Tuesday, August 28, 2012

  |   No comments   |  

I'm Still Breathing

A Duet with Katy Perry



I leave the gas on
Walk the alleys in the dark
Sleep with candles burning
I leave the door unlocked
I'm weaving a rope and
Running all the red lights
Did I get your attention
'Cause I'm sending
All the signs that
The clock is ticking
And I'll be giving
My two weeks

Pick your favorite
Shade of black
You'd best
Prepare a speech
Say something funny
Say something sweet
But don't say
That you loved me

'cause I'm still breathing
But we've been
Dead for awhile
This sickness has no cure
We're going down for sure
Already lost our grip
Best abandon ship

Maybe I was too pale
Maybe I was too fat
Maybe you had better
Better luck in the sack
No formal education
And I swore way too much
But I swear
You didn't fucking care
'Cause we were in love

So as I write this letter
And shed my last tear
It's all for the better
That we end this here
Let's close this chapter
Say one last prayer
But don't say
That you loved me

Tuesday, August 21, 2012

  |   No comments   |  

Permainan Tuhan

Aku tertegun. Frank berbicara? Apa kupingku tidak salah dengar? Dia berbicara! Ini kali pertama setelah tujuh tahun lebih ia membisu. Ya Tuhan, apakah ini pertanda baik? Kuharap begitu. Tapi kalimat yang keluar dari mulutnya malah berbau sinistik.

“Kaubilang apa, Frank?” Ray juga terkejut, sama seperti semua orang di ruangan ini. Mulutnya bahkan setengah  menganga.

“Jangan terlalu senang menyambutnya. Tuhan hanya sedang mempermainkan kalian. Jangan mensyukuri apa pun.” Suaranya dalam. Berat dan fasih. Tak berbeda dengan suara Frank tujuh tahun lalu, sejak terakhir kalinya ia mengeluarkan suara.

Tapi apa yang dibicarakannya? Apa dia mengkritikku karena terlalu bahagia menyambut cabang bayi di rahimku ini. Salahkah jika aku menyambut antusias anak pertama yang telah dinanti selama lima belas tahun?

Kenapa hal itu yang harus jadi kalimat pembuka kebisuan Frank selama ini?

“Jangan dengarkan orang gila ini, Sayang.” Perkataan Ray membuatku tersentak. Aku tidak rela abang kandungku dihina begitu.

“Jaga mulutmu, Ray. Dia itu abang iparmu!” aku menepis tanggannya yang merangkul bahuku.
Perlahan kudekati Frank yang sedang duduk di kursi roda setianya. Aku merunduk untuk bisa melihat matanya. Tapi tatapannya masih sama—kosong—seperti biasa. Namun, aku sangat berharap kalau kalimat tadi bukan kalimat terakhirnya.

“Kau ingin katakan yang lainnya? Frank?” kutatap matanya. Berusaha menyampaikan kerinduanku, yang selama ini tercipta karena kehilangan figurnya.

Frank memang sangat berubah setelah kehilangan anaknya, Cassamirra. Ia berubah mejadi lebih pendiam—bahkan berhenti berbicara sama sekali. Frank merasa bersalah karena Cassamirra tewas di tangan penculik. Ia selalu beranggapan kalau dialah penyebab kematian putrinya itu.

“Frank? Maukah kau mengobrol denganku?” aku berusaha mencuri perhatian matanya. Dan tampaknya kali ini berhasil.

Ia menatapku selama dua detik penuh. Kemudian tangannya menjangkau kepalaku; mengusap lembut. Sepersekian detik kemudian pendangannya kembali berubah kosong.

“Maaf, Nyonya. Pak Presiden menelepon Anda!” Rose, asistenku, setengah berteriak dari depan pintu ruangan ini.

“Sebentar, Frank. Aku harus terima pekerjaan dulu.” Kudampingi perkataanku dengan senyum, berharap Frank bisa menyadari maksudnya. “Ya, Pak Presiden! Ada yang bisa saya bantu?”


Tiga puluh menit kemudian, aku sudah berada di kantor pribadi Presiden. Ia meneleponku khusus untuk menanggapi gejala sosial yang sekarang tengah merebak di masyarakat. 

“Isu mengenai kiamat pada tanggal 21 Desember tahun ini ternyata berhasil mengambil atensi penduduk Indonesia. Bahkan beberapa kalangan diantara mereka telah melakukan ritual-ritual aneh yang meresahkan. Seperti beberapa pemuda di Bali yang kabur dari rumah dan bersembunyi ke pulau kosong di sekitar Lombok. Saya kira hal ini harus segera ditanggapi.” Dengan wibawanya, Pak Presiden mengingatkanku tentang tragedi aneh yang sedang melanda negeri.

“Sepertinya mereka sangat memercayai statement-statement yang keluar dari mulut para peramal. Tapi perkataan beberapa diantara perama-peramal itu memang terbukti kebenarannya. Seperti tsunami kecil dan beberapa gunung meletus yang terjadi beberapa bulan lalu. Masyarakat pasti sangat mempertimbangkan ramalan-ramalan mereka tentang kedatangan kiamat tersebut. Saya kan tidak bisa merubah presepsi tiap orang tentang hal itu.” Aku berharap Pak Presiden punya jalan keluar atas masalah ini.

“Ya, saya setuju dengan Anda. Apalagi masyarakat negeri ini pantang diberi pandangan, semua langsung tersulut untuk mengumbar pendapatnya masing-masing. Nantinya malah tercipta opini majemuk yang semakin membingungkan kita untuk berbuat apa. Tapi tidak ada salahnya kalau sore nanti Anda memberikan sedikit arahan tentang bagaimana bersikap terhadap isu tersebut.” Pak Presiden memang orang yang cerdas dan bijak dalam mengambil keputusan, dan aku jarang tidak setuju dengan kebijakannya.

“Baiklah kalau begitu. Saya akan menyuruh Rose untuk menyiapkan konfrensi pers sore ini. Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?”

“Oh tidak. Tidak ada lagi. Saya hanya ingin membahas hal ini bersama Anda. Berharap masyarakat kita tidak bertingkah aneh menyambut hari esok yang mereka sangsikan. Ah ya, bagaimana kondisi kehamilan Anda? Semuanya baik-baik saja?”

“Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja, Pak. Maaf kalau kehamilan ini sering menghambat kinerja saya.” Aku tersenyum malu, mengharap kemakluman darinya.

“Ini memang hal pertama dalam sejarah politik Indonesia. Bahwa salah satu menteri wanitanya sedang mengandung ketika dalam masa menjabat. Tapi kinerja Anda malah semakin baik, saya kira.” Beliau memang lawan bicara yang andal.

“Baiklah kalau begitu, Pak. Saya mohon pamit dulu. Saya harus menyiapkan materi yang akan saya sampaikan nanti.” Aku undur diri. Tanganku langsung merogoh kocek setelah keluar dari ruang kerja Pak Yudhawiryawan. Nomor Rose adalah hal pertama yang kucari setelah menggenggam telepon selulerku.

Dengan kecepatan kilat, Rose menyiapkan konfrensi pers itu tepat pukul dua siang. Aku harus pergi mengecek perutku pada pukul tiga, jadi aku hanya memiliki waktu enam puluh menit untuk melayani para wartawan yang menanti tanggapanku tentang ketakutan masyarakat terhadap kabar kiamat.

Rose melakukannya dengan sangat baik, padahal dia sedang mengandung sama sepertiku. Hanya saja usia kandungannya lebih muda daripada kandunganku. Kalau tidak salah, janinnya masih berumur dua atau tiga bulan. Tapi semangatnya sama sekali tidak berkurang. Aku beruntung punya karyawan sepertinya.

“Selamat siang, semua,” aku menyapa para jurnalis yang sudah berkumpul di ruangan ini. “Pada kesempatan ini, saya ingin ajukan beberapa statement mengenai keresahan masyarakat tentang akhir dari hari ini.” Kupadu kalimatku dengan tawa renyah, berusaha mencairkan suasana tegang yang menghiasi seantero ruangan. “Awalnya, saya sendiri tidak terlalu menanggapi isu-isu yang beredar mengenai hari kiamat yang katanya akan terjadi pada hari ini, 21 Desember 2012. Namun, ternyata masalah kecil ini merenggut seluruh atensi masyarakat. Banyak dari mereka yang merasa sangat khawatir dan cemas tentang hari ini. Padahal, lihat saja, kita semua masih hidup sampai saat ini. Dan belum ada hal aneh apa pun yang terjadi hari ini,” aku kembali tertawa—sulit untuk tidak menganggap lucu kegalauan masyarakat yang satu ini. “Matahari bahkan masih terbit dari Timur pagi ini, sekali lagi saya ingin tegaskan, kalau kita tidak perlu cemas tentang akhir dari hari ini. Nikmatilah hari ini seperti umur Anda masih seribu tahun lagi. Kiamat pasti akan datang, tapi yang jelas bukan hari in...” belum selesai ucapanku, mendadak perutku terasa begitu mulas. Seakan-akan perutku sedang diperas di mesin penggilasan. Ya Tuhan, sakit sekali! “...Aduh!” aku mengaduh tanpa sadar. Sambil terus memenggangi perut bundar dan buncitku.

“Ada apa, Bu? Ada apa?” suara-suara penasaran menggema di ruangan ini. Mereka mungkin sedang mengerubungi aku yang mulai tak kuasa untuk berdiri. Penglihatanku memburam. Semuanya mulai gelap, tapi sakit di perutku tidak berhenti menghunjam.


Kepalaku sedikit pusing. Tapi aku harus membuka mata dan segera sembuh, masih ada tumpukan pekerjaan di atas meja yang minta segera diselesaikan. Aku tidak bisa meninggalkan masalah dalam negeri yang sedang bertumpuk. Padahal, kehamilan ini saja sudah cukup menyita waktuku dalam menyelesaikan pekerjaan.

            Tunggu dulu! Apa aku sedang bermimpi saat ini? Kenapa perut buncitku sudah hilang? Jangan-jangan anak di dalam perutku sudah lahir. Tapi usia kandunganku kan masih delapan bulan.

            “Ray! Ray! Bangun!” kutepuk perlahan punggung suamiku yang sedang tertidur di sisi kanan tepi ranjangku.

            “Hai, Sayang! Kau sudah sadar?”

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku bisa di Rumah Sakit ini? Dan kemana bayiku?” aku tak bisa menahan ledakan pertanyaan yang rasanya sudah lama sekali kutahan.

“Tenanglah dulu. Kau masih belum begitu pulih.”

“Aku baru bisa tenang kalau kau sudah menjelaskan semuanya.” Usaha Ray menenangkanku belum berhasil. Rasa penasaranku masih merajai kalbu.

“Baiklah. Pertama kau harus paham, kalau ini adalah hal yang paling sulit untuk dijelaskan. Apalagi bagi orang yang berpatokan terhadap nalar sepertimu...”

“Jangan berbelit-belit! DIMANA BAYIKU?” firasatku buruk tentang hal ini, Ray seharusnya tidak perlu panjang lebar begitu.

“Bayimu—anak kita, sudah meninggal.”

Tenggorokanku tercekat. Aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Rasanya hatiku sedang diiris untuk lembaran keseratus juta. Bagaimana bisa Tuhan tiba-tiba berbuat tidak adil seperti ini. Aku sudah sangat pasrah menjadi wanita yang tidak sempurna—tanpa anak—ketika Dia tiba-tiba menganugerahi kandunganku dengan cabang bayi. Harapanku yang telah pupus selama lima belas tahun dalam penantian itu, mulai berkembang kembali seiring pertumbuhan si cabang bayi. Dan kini, sesuka hati-Nya Ia mempermainkanku.

            Air mata tak terbendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Ray memelukku, dan berusaha menenangkan, “Tenanglah, Afiva. Kau tidak sendiri. Keguguran ini bukan hanya terjadi padamu. Rose dan ratusan wanita lainnya di dunia ini juga sedang menangisi kematian calon bayi mereka.”

            “Apa? Apa yang kaubilang? Rose juga kehilangan bayinya?”

            “Ya, Sayang. Dan ibu-ibu hamil lainnya. Di seluruh dunia!”

            Apa? Bisakah itu diterima nalar? Apa yang sedang Tuhan pikirkan—jika Dia memang berpikir—saat ini? Apa Dia sedang mengadakan pengguguran masal! Oh yang benar saja! Dia benar-benar tidak tertebak.

            “Mungkin ini akan membantu untuk menjelaskannya.” Ray memegang remote televisi, kemudian menyalakannya.

            “Menteri Dalam Negeri, Afiva Andreana Habib, mendadak rubuh kemarin siang saat sedang menyelenggarakan konfrensi persnya menanggapi isu kiamat 21 Desember.” Suara sang penyiar tegas membacakan berita.

            Tayangan di televisi berganti dengan liputan saat konfrensi pers kemarin. Tampak sesosok wanita tiga puluh delapan tahun dengan setelan blus hijau muda sedang mengambil tempat di podium. Menebar senyum singkat lalu menyampaikan materi pernyataannya. “...nikmatilah hari ini seperti umur Anda masih seribu tahun lagi. Kiamat pasti akan datang, tapi yang jelas bukan hari in...” mendadak wanita itu mengaduh dan terjatuh setelah panjang lebar memberikan tanggapan.

            Beberapa orang mengangkatnya keluar frame, tapi kamera tetap merekam. Beberapa wartawan yang maju ke podium—mereka yang berniat menolong sang Ibu Menteri—kembali ke tempat dan membiarkan seorang wanita dengan setelan abu-abu rapi untuk mengambilalih situasi. “Maaf, sebelumnya atas kecelakan barusan. Belakangan kondisi Ibu Menteri memang sedang kurang baik. Mungkin karena pengaruh kondisinya yang sedang mangandung. Jadi, saya memohon maaf kepada Anda semua atas... ADUH!!” Rose juga mengaduh seperti aku yang terlebih dahulu jatuh. Ia memegang perutnya. Dan mendadak pingsan.

Tayangan TV kembali menyorot sang Pembawa Acara. “Sampai berita ini dilansir, belum ada keterangan jelas dari pihak Afiva A. Habib mengenai penyebab kecelakaan ganjil tersebut. Dan menurut Juru Bicara Kepresidenan, Tommy Annanda, Presiden akan segera mengadakan konfrensi pers menanggapi kecelakaan yang menimpa salah satu menterinya tersebut, dalam waktu dekat.” Pembawa acara mengambil jeda. “Beralih ke berita berikutnya, ternyata tumbangnya menteri Dalam Negeri, Afiva A. Habib dan asistennya, Roseey Anindya, berhubungan dengan gejala aneh yang melanda dunia selama seharian kemarin.” Tayangan kembali beralih ke gambar lainnya; gambar puluhan Rumah Sakit dengan puluhan orang mondar-mandir di dalamnya.

“Ratusan Ibu hamil di seluruh dunia, memadati Rumah Sakit sekitar, karena mendadak merasakan kontraksi. Anehnya lagi, semua dari ratusan wanita itu harus menjalani operasi pengangkatan janin karena bayi mereka telah meninggal di dalam rahim. Sampai sekarang, peristiwa aneh ini masih mengambil perhatian penuh dari seluruh negara di dunia. Bahkan, Ann McGuirre, Presiden Amerika Serikat, melakukan pertemuan mendadak dengan Jenderal PBB, Ameita Lee Jyun. Membahas pandemik global yang sedang melanda...”

“Apa yang kaulakukan, Afiva?” Ray histeris melihatku mencabut jarum infus.

“Banyak yang harus kulakukan.” Aku turun dari ranjang dan mengambil beberapa pakaian di dalam lemari, lalu mengganti piyama hijau milik Rumah Sakit yang kukenakan dengan pakaian tersebut di dalam kamar mandi.

“Afiva, ayolah!! Jangan bertingkah seperti anak kecil. Tuhan bahkan akan menyuruhmu istirahat kalau kau ingin Dia menyembuhkanmu.” Ray menggerutu dari luar kamar mandi.

“Persetan dengan Tuhan!” teriakanku menghambur ke muka Ray, lalu aku berlalu dan pergi dari Rumah Sakit keparat ini.

Di tengah lorong yang dipadati orang-orang berlalu lalang (tampak sekali Rumah Sakit masih sibuk dengan pasien-pasiennya yang mendadak membeludak), aku teringat dengan perkataan Frank kemarin pagi. Apakah ini maksud perkataan itu? Bahwa Tuhan memang sedang mempermainkanku.


“Bu Afiva? Anda sudah keluar dari Rumah Sakit?” Pak Yudha tampak sangat terkejut melihat kedatanganku di Istana Negara.

            “Banyak yang harus saya kerjakan, Pak. Bagaimana dengan perkembangan kasus Pengguguran Massal ini?”

“Pengguguran Massal? Istilah yang bagus.” Dino Saptian, salah satu anggota Tim Pencitraan Presiden, menimpali pertanyaanku.

“Menurut data yang sedang dikumpulkan PBB, sudah tercatat jutaan wanita dari seratus dua belas negara yang telah disensus mengalami keguguran massal ini. Dan semua dari wanita itu juga telah didiagnosa tidak bisa hamil lagi.” Jawab Pak Presiden.

Apa? Tidak bisa hamil lagi? Jutaan wanita? Ternyata Tuhan benar-benar ingin bermain. “Data terkumpul secepat itu. Dan apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku.

“Kita akan memberitahu masyarakat setelah punya data resmi dari PBB atau organisasi resmi yang bersangkutan.” Pak Presiden kemudian meninggalkanku dengan beberapa orang lain, di lobi Istana.

Dia pasti punya urusan lain yang harus segera ditangani. Begitu pula aku.

Kutancap gas mobil dan melaju pulang ke rumah. Ada yang ingin kutanyakan pada Frank. Tak peduli ia mau atau tidak, tapi dia harus menjawab pertanyaanku kali ini.

“Frank, kautahu sesuatu tentang kejadian aneh ini?” kutemui Frank sedang larut menonton di kamarnya yang redup. Tingkah Frank masih seperti biasanya. Kaku seperti tidak memiliki ruh.

Dia diam.

“Frank!! Jawab aku!! Apa ini maksud dari perkataanmu kemarin? Bahwa rahimku akan kembali kosong tanpa kehadiran siapa pun. BENAR BEGITU??” aku tahu tindakanku sia-sia. Frank sudah kembali menjadi Frank yang bisu selama beberapa tahun terakhir. Dia akan tetap diam dan dingin walau aku meneriakinya sekeras apa pun.

Rasa putus asa tiba-tiba menusuk hatiku. Rasanya berubah menjadi sakit saat mengingat peringatan Frank kemarin. Sekarang begitu mudah untuk bermain Permainan Seandainya. Seandainya aku tidak terlalu berharap pada kehamilanku kemarin, seandainya aku mendengar Frank tentang Tuhan yang sedang ingin bermain dengan perasaanku. Pasti aku tidak akan sehancur ini. Tidak begitu sakit saat menyadari kalau perutku kembali kosong. Dan tak akan pernah terisi lagi.

“Paradenya belum selesai. Tuhan masih mau terus bermain. Tapi kali ini Dia akan lebih serius.” Frank mendadak bicara. Aku sontak langsung menatap wajah kosongnya. “Dia akan menyelamatkan mereka yang terkutuk selama ini. Dan meninggalkan mereka yang sudah menikmati dunia dengan ketakutan menanti kepunahan mereka.” Frank kembali diam.

Rasa penasaranku tersulut. Frank ternyata berteka-teki. Apa maksud perkataannya ini? Tapi apa pun artinya, pasti akan ada korban lagi. Kali ini pasti mereka yang hidup. Bukan para calon bayi yang belum bernyawa.


Dua bulan berlalu setelah kejadian aneh itu. Ketakutan masyarakat kian membuncah. Semua orang mulai membuat presepsi mereka masing-masing. Beberapa kaum ulama dari berbagai agama mulai menganggap kejadian itu adalah awal datangnya kiamat yang sudah Tuhan rencanakan. Namun mereka masih memercayai Tuhan—bahwa kelak Dia akan datang membawa mereka ke surga.

            Omong kosong!

            Opini kedua pecah. Lebih banyak orang malah menganggap kejadian kemarin sebagai kiamat yang diinterpretasikan Tuhan dari pemahaman-Nya sendiri—bahwa Tuhan punya cara-Nya sendiri mengartikan kiamat untuk manusia.

            Kebanyakan dari orang-orang yang berada di opsi kedua, telah menganggap Tuhan pergi meninggalkan umat-Nya, bersama ketakutan menanti kepunahan mereka—seperti kata Frank.

            Tapi sampai sekarang aku masih tidak mengerti beberapa kalimat terakhir Frank itu. Apa maksudnya Tuhan akan meyelamatkan mereka yang selama ini terkutuk? Apa dia akan mencabut nyawa massal kali ini?

            Aku tertawa memikirkan pikiran itu. Dino Saptian pasti akan menganggap aku pencetus istilah yang andal jika mendengar kata mencabut nyawa massal.


“Bagaimana kabarmu, Rose?” aku menggenggam tangan Rose. Dia masih terbaring lemas di ranjang. Aku belum pernah melihat wajah Rose sepucat ini. Dia bahkan mirip Frank sekarang. Bisu dan membatu.

“Rose istri kedua Baskoro. Istri pertamanya diceraikan Baskoro karena tidak bisa memberikannya anak. Jadi pria bangsat itu sangat mengharapkan anak dari Rose. Tapi setelah kejadian dua bulan lalu, Baskoro frustrasi dan memaki-maki Rose. Dia juga tengah mempersiapkan perceraian mereka saat ini. Kautahu,” Ibu Rose, Nyonya Yolanda, mulai tersedu. “Kehilangan bayi dan suami di waktu yang sama, sudah sangat berat bagi putriku. Tapi kemarin, setelah Reneé, kembaran Rose, meninggal karena penyakit AIDS-nya, semua semakin terlihat tidak adil...” Yolanda sesenggukan. “Tidak adil, Bu.”

Aku hanya bisa mengiba. Melihat wanita tua di depanku dengan pandangan kasihan. Ia juga terluka karena permainan Tuhan. Bahkan kali ini ia terkena dua-duanya.

Pertama, kehilangan cucu dan menantu karena pembukaan permainan Tuhan: pengguguran massal. Kedua, ia kehilangan salah seorang anaknya karena permainan Tuhan kedua: pembunuhan massal mereka-yang-terkutuk.

Dua hari lalu, tepat setelah PBB mengumumkan hasil temuannya tentang kemandulan semua wanita di dunia ini (yakni: kemandulan wanita dewasa 15-55 tahun, dan tidak ditemukannya rahim pada anak perempuan berusia 0-15 tahun), terjadi hal aneh lainnya.

Mendadak semua orang yang mengidap AIDS, Kanker, Hepatitis dan seluruh penyakit yang belum ditemukan obatnya, mati secara massal. Dan tebak, kejadian ini lagi-lagi tidak hanya melanda satu tempat, tapi seluruh dunia.

Semua ini cukup membuatku sangat, sangat membenci Tuhan. Ia menyiksa jutaan orang yang selama ini telah memercayai janji-janji-Nya. Belum cukup dengan itu, ia mengambil harapan manusia untuk memiliki keturunan. Dan kini meninggalkan kami dengan keterpurukan kami menunggu ajal; bahkan Ia memperlakukan Dinosaurus jauh lebih baik.

Rasa benci itu kian bertambah ketika aku bertemu dengan orang-orang seperti Nyonya Yolanda, yang kehilangan seluruh hidupnya di saat yang bersamaan. Dimana Dia saat orang-orang membutuhkan-Nya?

Oh ya! Dia sedang berleha-leha di tahta kekuasaan-Nya. Menunggu jadwal permainan selanjutnya dimainkan.

Dan ternyata bukan aku saja yang berpikiran demikian. Ingat masyarakat opsi kedua? Mereka kini semakin banyak. Dan mulai bertingkah di luar-kendali.

Sebagian besar dari mereka mulai tidak mematuhi peraturan-peraturan dan hukum yang ada. Banyak gadis yang terang-terangan melakukan seks di luar nikah, dan bercumbu di depan umum. Alasan mereka kuat, karena mereka tak punya rahim lagi. Tak ada resiko hamil ataupun terkena penyakit kelamin; karena mereka-yang-terkutuk telah mati.

Bukan hanya itu, kekacauan lain juga terjadi. Banyak dari prajurit pertahanan di setiap negara mulai membelot dan bertingkah sesuka hati mereka. Seperti kemarin di Kalimantan Barat, terjadi perang antara dua kompi Angkatan Bersenjata satu linud, hanya karena sebagian dari mereka adalah orang-orang di opsi pertama.

Pemberontakan orang-orang di opsi kedua semakin menjadi-jadi. Mereka menunjukkan kebencian mereka terhadap Tuhan dengan melanggar semua aturan yang telah mereka jalankan selama ini. Sebenarnya, gejala ini menambah berat tugasku. Tapi aku tidak akan pernah menyalahkan mereka. Tuhan-lah yang bersalah! Ia yang sekarang tidak lebih dari sekadar seorang anak kecil yang mempermainkan bonekanya.
 
***

“Afiva! Apa kautahu apa yang kaulakukan barusan?” Dino Saptian terus memegangi lenganku. Ia bersikeras—sebersikeras aku yang terus berontak. “Kau memukul kepala Presiden! Dan merasa belum puas?” pria seperempat abad itu terus berteriak di telingaku.

            “Biar! Biar kupukul sekali lagi kepalanya. Ini satu-satunya kesempatanku!” aku juga terus berontak. Sedangkan Yudhawiryawan yang kepalanya sudah berlumuran darah dilarikan para pengawalnya menuju ambulan yang sudah menunggu di pelataran depan Istana.

“Sebenarnya apa maumu?” Dino kini dibantu beberapa pria lainnya untuk menenangkanku.

“Dia sudah kuperingatkan! TAPI DIA TIDAK MENDENGAR!! Dia malah menganggapku GILA!!” aku menjerit-jerit. Emosiku sudah benar-benar meledak.

“Kau memang sudah GILA!!”

Begitulah tudingan yang kudengar dari orang-orang terdekatku belakangan ini. Mereka semua bilang kalau aku sudah tidak waras. Ray bahkan menamparku karena aku berbicara kasar—mungkin kotor—terhadap Tuhan yang masih dipercayainya. Mereka semua menganggapku tertekan karena keguguran yang kualami tempo hari. Itu mungkin benar. Tapi aku bukan hanya sekadar tertekan—aku marah—aku tidak terima diperlakukan seperti ini.

Tuhan mengaduk-aduk perasaanku. Mencabik-cabiknya lalu meremukkannya.

Dia masih punya rencana untuk menambah penderitaan kami—makhluk bumi yang tersisa—dengan rencana yang lebih menyakitkan. Frank memberitahuku kemarin. Dan aku baru sadar kemarin, kalau Frank adalah cenayang. Ia bisa melihat masa depan, dan tahu apa niat busuk Tuhan.

Tentu aku tidak akan tinggal diam. Aku harus memberitahu yang lain kalau pagelaran parade musibah dari Tuhan masih akan terjadi lagi. Tapi Yudhawiryawan malah menganggapku bergurau—lebih parahnya lagi, ia menganggapku gila.

Siapa yang tidak marah dianggap seperti itu? Jadi kupukul saja kepalanya dengan haq sembilan senti yang kukenakan. Membuat lubang kecil bersarang di kepala idiotnya. Hahahaha! Sekarang siapa yang akan gila?

Tapi karena pemukulan itu, sekarang aku punya kesempatan untuk berbicara kepada khalayak dan memberitahukan mereka apa yang telah diramalkan Frank.

Dino membawaku ke kantor polisi dan menjalani pemeriksaan. Setelah dua jam diinterogasi dan aku diam saja, aku kemudian dibawa ke tempat tahanan sementara. Di perjalanan, puluhan wartawan mengerubungiku dan meyerang dengan jutaan pertanyaan. Mendadak mataku silau dengan lampu kamera, dan aku sadar kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengatakan apa yang telah Frank ramalkan.

“Saya memperingatkan kalian semua: Tuhan sedang mempermainkan kita. Setelah bermain dengan dua bencana besar, Dia akan sesegera mungkin mengeluarkan permainan ketiganya. Dan kali ini Dia akan membuat kita terjaga sepanjang malam, karena keributan senjata yang beradu. Bahkan langit malam akan berubah merah selamanya. Perang Dunia pertama dan kedua akan jauh lebih baik daripada yang satu ini. Karena dahulu masih ada ibu hamil dan tangisan bayi-bayi!!”

“Apa itu? Wanita ini mengoceh apa?”

“Dia sudah tidak waras!”

“Huu! DASAR PEREMPUAN STRES!!”

Para wartawan itu menghujatku. Meremehkan perkataanku, dan seperti yang lain, menganggapku gila.

(cerpen ini pernah jadi juara II sayembara menulis cerpen se-sumut dan dibukukan di antologi cerpen: Sepasang Sayap Menari)

Friday, August 17, 2012

  |   No comments   |  

Malam Takbiran

Dia datang lagi.
Seperti biasanya, dia hanya diam sambil tersenyum. Dan seperti biasanya pula, dia duduk di sampingku.

Aku juga hanya bisa diam, menikmati kerinduaan yang lebih baik tak dihamburkan ke dalam kata-kata. Lantas, kuletakkan kepalaku di atas pahanya. Dan tangannya mulai mengusap-usap rambutku.

Mendadak sebaris ingatan melintas di otakku. Dan aku berkata, "Hari ini puasa terakhir. Nanti malam kami takbiran."

Ia tetap diam dan tersenyum. Tapi telah terbit masing-masing sebutir air di ujung matanya.

Aku hanya bisa mengikutinya, menangis. Menikmati kerinduaan yang menyesak di hati.

Tuesday, August 14, 2012

Monday, August 13, 2012

  |   No comments   |  

Alterego Terakhir: Si Supersempurna

#Orion


Saya kasih yang buruknya dulu

Masuk ke yang terakhir. Namanya Orion. Dan seperti namanya yang begitu megah dan memukau, Orion adalah yang paling sempurna.

Dia supertampan, supercerdas, superpercayadiri dan super... sempurna. Tak ada kata lain yang bisa menggambarkan fisiknya selain kata itu.

Kadang-kadang saya selalu terpukau bila melihat sosoknya yang begitu memikat. Ia punya pandangan rendah hati yang selalu berhasil memenangkan hati orang yang melihatnya. Orang-orang akan merasa berdosa bila berpikiran buruk tentang sosoknya yang begitu... teduh.

Padahal mereka saja yang tak kenal Orion. Mereka pasti akan mengira pemuda cerdas nan tampan ini adalah pria baik-baik yang belum pernah mengecup bibir kekasihnya, tak mungkin tahu rasa anggur yang paling memabukkan, tak mungkin berani menikmati seks sebelum resmi menjadi suami seorang gadis beruntung. Tapi bagaimana mungkin dia bisa emnjadi secerdas itu bila tidak pernah melakukan apa-apa yang ia ketahui.

Mereka lah yang naif; orang-orang yang menganggap Orion begitu naif.

Karena sesungguhnya Orion adalah orang yang congkak. Tak ada yang lebih penting di dunia ini selain dirinya sendiri. Ia sempurna dan ia sadar betul dengan kesempurnaan yang dimilikinya. Jadilah ia manusia paling angkuh dan arogan yang pernah saya temui.

Tapi sesungguhnya kesombongannya tak pernah berlebihan. Ia memang serbatahu, bahkan pengetahuannya lebih dalam dari pengetahuan yang dimiliki Cameo. Ketika menggali, maka Orion tak akan puas bila hanya sampai akar. Bila perlu ia akan terus menggali hingga ke intinya inti Bumi. Ia juga tak pernah berlebihan dengan ketampanannya. Siapa pun bisa ia miliki. Sayangnya ia terlalu angkuh untuk menyerobot sembarang orang. Dengan otak cerdasnya yang terkadang licik, saya tak akan meragukan Orion barang setitik pun.

Sayang, sifat arogan yang telah mendarahdaging di tubuh Orion melahirkan sifat malas-malasan yang juga luarbiasa mengerikan. Ia adalah bastard yang sangat percaya pada keberuntungan dan sialnya dia memang selalu beruntung. Orion tak pernah berkeringat untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti yang saya bilang, dia selalu beruntung.

Namun karena kesempurnaan di hidupnya, cita-cita Orion tak pernah lebih tinggi dari cita-cita Alterego lain; tak pernah setinggi namanya sendiri. Ia hanya (selalu) menginginkan hal-hal kecil. Misalnya, hidup bahagia tanpa sedikitpun perasaan gelisah.

Tapi bisa dibilang Orion punya sesuatu sebagai sumber kehidupannya. Sesuatu yang sungguh vital menopangnya untuk tetap hidup. Seperti bernapas bagi manusia. Sesuatu yang sangat dibutuhkannya sekaligus sesuatu yang bisa menjadi Kryptonite baginya: sesuatu yang bisa saja membunuhnya.

Sesuatu itu adalah perhatian orang-orang sekitarnya. Berlawanan dengan Cameo dan October yang ebnci keramaian, Orion justru membutuhkannya. Ia butuh puja-puji penggemarnya. Seperti Cleopatra yang butuh adiknya Mutny; seperti Hitler yang butuh koloninya.

Orion akan sangat menikmati wajah kagum penggemarnya saat ia bicara atau sekadar tersenyum. Dan ia hidup dari hal-hal tersebut.

Tapi entah kenapa Orion-lah yang paling sering kalah berdebat saat kami berlima berdiskusi. Seolah dia tak pernah berhasil memenangkan hati kami seperti ia (dengan mudah) memangkan hati orang lain. Orion-lah yang paling sering mundur diam-diam saat yang lain ngotot solusinya yang paling benar. Padahal kami semua tahu, dialah yang paling logis dan sering benar (tentu saja setelah kebijaksanaan yang paling sering Cameo tunjukkan).

Belakangan, saat saya sedikit lebih akrab dengan Alterego yang satu ini, saya baru tahu alasannya. Ternyata selain menjadi yang paling angkuh dan arogan, Orion juga yang paling dewasa. Dia tak pernah ingin menjadi yang paling menonjol di antara yang lain. Katanya, "Aku hanya merasa lebih seimbang jika bertindak begitu, Dam," saat saya tanya mengapa.


Begitulah sedikit kisah tentang keempat Alterego yang saya miliki sekaligus saya cintai. Sekarang Anda bisa bayangkan betapa sulitnya hidup di tengah-tengah 4 pribadi yang begitu bertabrakan. Tapi beruntung sampai sekarang saya bisa melewatinya. Oh ya, setelah melalui diskusi panjang (tak lupa perdebatan alot) akhirnya saya menulis halaman ini. They insist me to create this! Dan October lah yang paling ngotot. Dia juga dalang dari terciptanya blog ini.

Sunday, August 12, 2012

  |   1 comment   |  

Alterego Favorit

#Cameo
Cameo memang susah ditebak

Sekarang masuk ke Alterego favorit saya. (ssstt... jangan beritahu Alterego yang lain).

Namanya Cameo King Hutabarat. Biasa dipanggil Cameo atau Kemi. umurnya masih 16 tahun, yang paling muda di antara yang lain. Tapi justru Cameo lah yang paling tua. Physically, dia memang masih imut-imut selayaknya anak baru gede normal. Bulu ketiaknya saja baru beberapa helai dan masih halus-halus. Tapi ada yang sedikit tidak beres dengan otaknya; cara berpikirnya.

Cara berpikirnya lebih dulu dewasa daripada umur dan tubuhnya. Maksud saya, jika ada yang berani membelah kepalanya, maka tahulah kita kalau otak bocah ini sudah usang, keriput, kisut, kering dan mungkin sedikit ditumbuhi rambut-rambut putih saking seringnya dipakai berpikir. Anehnya, yang selalu dihasilkan dari proses-proses pemikirannya adalah hal-hal yang gila.

Sebut saja: mati muda di usia 36 tahun, tidak percaya pada intitusi pernikahan, dan beberapa hal lainnya yang ekstrim bila terlontar dari mulut bocah 16 tahun.

Terkadang saya merasa begitu tolol saat berdiskusi dengan Kemi. "Kenapa gue ga mikir gitu pas umur gue se-elo ya, Kem." Kalimat itu adalah kalimat yang paling sering terlontar saat saya mengobrol dengannya. Itu karena Cameo begitu bijak dalam berkeputusan. Seolah-olah semua hal di dunia ini telah dipikirkannya dengan matang-matang. Ndak heran sih, toh bocah ini memang cerdas sejak kecil, sejak dia sudah mulai bisa bicara. Maka kata tanya yang (dahulu) paling sering ia lontarkan adalah "kenapa?". Ibu bilang sih dia sudah bisa bicara dengan lancar saat berusia 11 bulan. Jadi, hitung sendiri saja sudah berapa pertanyaan yang ia tanyakan dan temukan jawabannya.

Hobi utama Cameo adalah membaca. Tak terhitung jumlah buku yang telah ia lahap. Sialnya, buku-buku itu terdiri dari berbagai genre. Jadi tak heran (lagi) ia cukup tahu banyak hal. Kenapa saya bilang cukup? Karena si Aneh Cameo ini tak suka mendalami satu hal hingga begitu dalam. Ia hanya akan mengupas kulit luarnya saja untuk kemudian direnungkan dalam ubun-ubun sendiri. "Mencegah terpengaruh pemikiran-pemikiran orang lain," katanya saat saya tanyai mengapa. Tapi belakangan saya baru sadar kalau Cameo lebih tertarik dengan bacaan yang berbau sejarah. Namun jawaban 'mengapa' dari pertanyaan ini belum saya ketahui jawabannya. Mungkin nanti kalau teringat akan saya tanyakan. Soalnya sekarang Cameo sedang pergi. Dan kalau sudah pergi begini, hanya Yang Maha Kuasa lah yang tahu ia berada di mana.

Cameo memang sangat suka menghilang tiba-tiba utnuk menyendiri. Dia bilang hal itu dilakukannya demi kualitas spiritual yang tetap stabil. Oh ya, dia juga yang paling religius di antara yang lain. Dan jujur saja saya tak pernah bertemu orang sereligius bocah ini seumur hidup. Tapi... ah, semoga Cameo tak marah bila saya beritahu yang satu ini; Tapi sesungguhnya Cameo adalah seorang penganut paham Agnotisme. Paham yang dianut mereka yang beriman kalau Tuhan itu ada tapi tak percaya pada aturan-aturan agama. Salah satu pemikiran ekstrimnya yang ia dapatkan entah dari mana. Selama ini ia merahasiakan hal tersebut karena menganggap tak ada yang lebih siap tentang hal-hal ektrim yang ia pikirkan selain dirinya sendiri. "Kebanyakan orang bakal nganggap gue aneh, dan lo tau gue paling benci deskriminasi," ungkapnya di sepotong senja saat kami berbincang ditemani bubur jagung muda, makanan favoritnya.

Dan memang benar, Cameo benci deskriminasi. Ia tak suka teman-teman sebayanya (baca: remaja pria normal) saat sedang berkumpul dan membicarakan wanita bak barang pameran di rumah lelang. Cameo tak suka saat mereka bicara seolah-olah merendahkan kaum Hawa karena punya tubuh yang superindah. Padahal, saat saya tanya beberapa teman wanita, kata-kata yang dianggap Cameo merendahkan (misalnya: "si Ranum bagus juga barangnya" atau yang lebih sederhana "Si Ranum senyum terus ke elo tuh, apalagi? embat gih!") adalah kata-kata biasa yang tidak diambil hati oleh kaum wanita itu sendiri. Tapi ya mau bagaimana lagi. Kalau katanya dia benci, maka Cameo akan benci. Titik.

Dia juga benci makhluk-makhluk fanatik. Misalnya mereka yang terlalu setia pada agamanya sehingga sudi merendahkan agama lain. Atau mereka yang terlalu bangga akan etnisnya sehingga mendeskreditkan etnis lain.

Cameo sendiri terlahir dari berbagai etnis dan berbagai agama. Ayahnya Melayu dengan setengah darah Arab, sedang ibunya Karo dengan separuh darah Tiong Hoa. Keluarga Ibunya Protestan taat, sedang keluarga ayahnya muslim fanatik. Jadi jika ada yang bertanya siapa yang paling mengerti keberagaman, maka Cameo akan tersinggung bila ada yang mengaku lebih paham dari dirinya.

Tapi seperti manusia lainnya, dibalik segala sifatnya yang saya puja-puja, Cameo juga punya bagian yang tidak saya suka. Yakni, sifat keras kepalanya. Dia yang paling keras kepala di antara yang lain. Cameo memang bukan tipikal orang yang akan sudi menghabiskan waktu dengan bertegang urat leher. Malah dia lebih senang diam-melihat daripada berdebat. Tapi justru di situ titik keegoisan tertingginya. Sikap itu seolah-olah berkata, "Silakan Bicara hingga mulutmu berbuih, tapi aku punya otakku sendiri yang berfungsi jauh lebih baik."

Oh ya, tentang marga Cameo; Dia hanya suka rima dalam kata tersebut. Bukan karena ia benci ayahnya yang Melayu.
  |   1 comment   |  

Si Pemalu Akut

 #October
October juga sering senyum-senyum sendiri

Yang kedua bernama October atau Oktober. Terserah. Toh Alterego yang satu ini sering mengganti-ganti namanya sendiri. Kadang ia bernama Dreamer, Putih, Llama di Tengah Gurun, Hitam dan Hampa (BlackBlank) atau si Tak Berpikir. Hal ini dikarenakan sifatn puitisnya. October memang yang paling puitis; tertarik pada dunia bahasa; mencintai tulis-menulis dan sedikit jurnalisme.

Tapi anehnya ia lebih pemalu daripada Narajata dan Alterego lainnya. Ia pemalu akut. Padahal bisa dibilang October lah yang paling berbakat. Selain pintar menulis dan jago merangkai kata, October juga pandai menggambar. Ia jago menciptakan berbagai bentuk di selembar kertas dengan pensilnya.

Beri saja sedikit waktu, maka kertas itu akan penuh.

Diam-diam, October juga senang bernyanyi. Ia paham nada sedikit-sedikit, meski yang keluar dari pita suaranya tak selalu merdu.

Tapi, memang, di antara semua kebiasaan yang dimilikinya itu, October paling senang dengan kemampuan menulisnya. Kadang saya baru bisa merasakan confidence yang dimiliki Alterego ini ketika membaca tulisannya. Ia begitu lantang, berani dan tak bisa dibilangi. Semua yang ditulisnya biasanya keluar begitu saja. Seolah sifat pemalunya bukan elemen utama yang terlahir bersamanya. Padahal karena sifat pemalu akutnya itu lah maka bakat tersebut terlahir. October memang bukan orang yang ekspresif; lebih sering memendam sendiri. Tapi bakat menulisnya ia jadikan media mengekspresikan diri. Sehingga, entah bagaimana, ia tetap waras dan seimbang dalam segala hal.

Karena sekali-kali saya dibuat gila oleh sifat pemalu October.

Pernah suatu waktu, October hampir pingsan saat disuruh menyanyi di depan kelas. Padahal hal tersebut adalah bagian dari ujian mata pelajaran Kesenian saat SMA. Mau tak mau ia emmang harus maju ke depan kelas dan bernyanyi. Tapi yang terjadi, dia kelihatan seperti idiot karena setengah mati tercekat suaranya sendiri yang (mendadak) tak bisa keluar.

Ada-ada saja memang. Tapi seperti itulah October. Ah ya, secara penampilan October juga tidak jelek. Kaki dan leher jenjang, bahu bidang meski tumbuh dengan bdan kerempeng. Ia juga selalu pakai kacamata; bukan karena ingin terlihat masa kini,tapi memang minus yang sudah sampai angka tiga. Tidak jelek sama sekali. Mirip-mirip style-nya Cameron Mitchell: Nerdy. Meski tak se-cute beliau.

Tapi entah kenapa (bukannya tak tahu kenapa), October selalu minder dengan segala hal yang berkaitan dengan penampilannya. Ia tak pernah betah di keramaian. Selalu gerah di ruang terbuka. Dan parahnya, dia yang paling moody-an.

October mudah tersinggung ; yang paling rapuh dan sering kali melankolis. Mungkin pengaruh sifat puitisnya.

Sama seperti Alterego lainnya, October juga orang yang setia. Bahkan bisa dibilang ia terlalu... setia. Cinta pertama October adalah seorang gadis yang lebih tua setahun dari dirinya. Dan mereka pertama kali bertemu saat umurnya masih tiga tahun. Saking setianya, October tetap menyukai gadis yang sama hingga berusia 16 tahun. Pathetic, huh?

Ya, tapi begitulah October. Sekarang dia juga sedang menyukai orang lain yang baru ditemui setahun belakangan. Tapi mungkin di lain cerita saja saya kisahkan.
  |   No comments   |  

Perkenalkan Narajata, Alterego Pertama Saya

#Narajata
kira-kira, Narajata bisa sekocak ini

Tak mau panjang-panjang bercuap, saya kenalkan saja Alterego yang pertama: namanya Narajata. Narajata yang paling humoris. Dia suka bergurau. Mulai dari hidung tipis karibnya, hasil ujian dari dosen killer, sampai apa saja yang keluar dari mulut lawan bicaranya, ia jadikan bahannya bergurau. Kadang, gurauan Narajata bisa jadi sembilu tajam bagi mereka yang sedang digoda. Tapi Narajata juga punya sifat 'tak enak hati' yang berlebihan. Jadi, selalu saja ia bisa mengembalikan mood seseorang yang (sakit hati) termakan guraunnya.

Secara fisik, Narajata tak seperti komedian pada umumnya. Wajahnya tidak bisa dimasukan kategori jelek, mesipun tak punya wajah rupawan seperti Nicholas Saputra atau Zayn Malik. Sedang-sedang lah. I juga tak terlalu pintar. Nilai akademisnya standar. Tapi seperti yang saya bilang di awal, dia jeniusnya komedin. Dan sat sedng berguru, mulutnya tak pernah jadi kelu, seperti saat dia disuruh menghapal naskah pidato dan membacakannya di depan umum.

Rasa percaya dirinya hanya sebatas guyonan-guyonan yang ia lontarkan. Bisa dibilang Narajata hanya percaya diri ketika ia sedang mengolah sesuatu menjadi lelucon di otaknya. Semangatnya juga baru akan tumbuh ketika lawn bicaranya tertawa. Mendadak Narajata akan jadi orang yang banyak omong.

Ah, ya. Narajata benci orang-orang tahu masalah pribadinya. Ia tak pernah bercerita tentang 'apa yang terjadi hari ini' atau 'siapa yang sedang dikencaninya sekarang' pada sembarang orang. Narajata mengutamakan privasi. Menurutnya, di jaman ini, di mana semua hal dieksploitasi, terutama kebebasan, privasi adalah barang mahal. Dan... sesungguhnya sifat aneh yang telah lama bercokol di dasar cerebellum-nya ini adalah alasan mengapa Narajta menjadi sosok yang begitu humoris, bahkan konyol.

Ketika ada orang yang begitu peduli (usil, menurut Narajata. Dan dia akan membunuh saya jika kalimat di dalam kurung ini tidak saya tulis) tentang dirinya dan berusaha mengorek sedikit privasi itu, maka Narajata akan bersembunyi di balik sikap humoris yang ia punya. Ia akan (dengan segala cara) mengalihkan tujuan orang tersebut dengan guyonan-guyonan. Sehingga ia berubah jadi sosok jenaka, salah satu sosok favorit dunia.

Friday, August 10, 2012

  |   2 comments   |  

Hemaphrodite

M memutar setir, menginjak gas sedalam-dalamnya lalu meluncur dengan Ford Escape XLT silver kesayangannya menuju rumah sakit. Ia terburu-buru, mengingat pesan yang dua menit lalu dikirimkan Hill kepadanya. M memang selalu terburu-buru kalau menanggapi masalah yang bersangkutan dengan gadis ini.

            Bukan hanya karena persahabatan mereka yang sudah memasuki usia kedelapan tahun, tapi karena Hill memang satu-satunya orang terpenting dalam kehidupan M saat ini. Setelah semua kehilangan yang dirasakannya, mana mungkin M rela kehilangan Hill.

“Halo! Syukurlah, Hill. Akhirnya kauangkat teleponku. Kenapa lama sekali?” semua kekhawatiran yang M rasakan menghambur dalam suaranya.

Tapi Hill tidak menjawab. Ia hanya sesengukan di ujung telepon.
“Astaga, please jangan menangis, Hill. Ceritakan semuanya padaku. Ayolah.” M berusaha menyemangati, walau nada khawatir masih sangat kentara di suaranya.

“Dia sudah keluar dari ruang ICU, M...”

M memotong kata-kata Hill, “Syukurlah. Berarti operasinya berjalan lancar?”

“Bukan,” Hill semakin tersedu, suaranya hampir tidak jelas. “Beni sudah meninggal, M. Dia sudah tidak ada.” Yang terdengar selanjutnya hanyalah tangisan Hill yang semakin tak keruan.

M terdiam, memikirkan nasib sahabatnya setelah ditinggalkan Beni, calon suami Hill. Seharusnya lima hari lagi Hill dan Beni akan bersanding di pelaminan. Tapi semua rencana indah yang telah dirancang sepasang kekasih itu rusak karena kematian Beni.

Siang tadi Beni terkena peluru nyasar ketika sedang latihan menembak di kantornya. Salah seorang rekan polisi Ben menjemput Hill beberapa jam setelah operasi pengangkatan peluru di dada Ben berlangsung. Semalaman suntuk, Hill menunggu kabar Ben dari dokter yang bertugas sambil duduk sendiri di ruang tunggu.

Sekarang, M tengah sibuk mengejar waktu untuk tiba di rumah sakit sesegera mungkin. Hill dan Beni sama-sama tak punya keluarga. Keduanya adalah single survivor di kota besar ini. Jadi, sebagai seorang sahabat, M merasa sangat bertanggungjawab untuk mengurus segala sesuatu hal yang bersangkutan dengan pemakaman Beni, nantinya. Dan jauh di dalam lubuk hatinya, ia juga merasa bertanggungjawab untuk mengembalikan keceriaan Hill, karena kehilangan Ben.

Sesampainya di rumah sakit, M mendapati Hill tengah tak sadarkan diri karena dehidrasi di salah satu ruang inap di rumah sakit itu. Untunglah ia hanya kekurangan ion saja, mungkin karena terlalu kelelahan menunggui Ben.

Memanfaatkan waktu, M segera mengurusi semua administrasi dan registrasi yang dibutuhkan Beni untuk mendapatkan pemakaman yang layak.

Dalam beberapa lembar form yang diisinya, M selalu berhenti dan berpikir sejenak di kolom jenis kelamin. Bukannya ia tak tahu harus mengisi apa di kolom itu, tapi setiap kali melewatinya, sebaris memori tentang masa lalunya berkelabat di kertas itu.


M ingat betul masa kecilnya, ia dibesarkan dan dididik sebagai seorang pria oleh Dikan dan Dewi, kedua orangtuanya. Begitu pula yang tertera di akta kelahirannya, M adalah seorang pria. Tapi Dewi pernah bilang pada M kalau akta kelahirannya yang sekarang adalah akta pengganti yang dibuat karena terdapat kesalahan di akta sebelumnya. Ia terlahir sebagai anak perempuan. Dokter yang menangani kelahirannya sangat yakin akan hal itu.
Tapi beberapa hari setelah kelahirannya, kelamin M berubah menjadi skrotum; dengan kata lain, ia adalah pria.

Baru beberapa tahun yang lalu—tepat saat M berusia tiga belas tahun—ia baru tahu kalau dirinya adalah seorang True Hemaphrodite. Seorang Kelamin Ganda sejati. Rahasia ini disimpannya sendiri, hanya Dede, kakak lelaki satu-satunya M yang tahu tentang hal itu. Karena kedua orangtua mereka meninggal saat M berusia sepuluh tahun.

Tapi hidup harus tetap berlanjut. M yang saat itu adalah seorang remaja rapuh, harus sudah bisa mengontrol emosinya dan berlapang dada dengan kondisi aneh-nya itu. Ia dan Dede sepakat untuk merahasiakan semua masalah itu. Toh, selama ini ia telah diakui semua orang sebagai seorang pria. Tak ada gunjingan ataupun makian dari orang-orang, selama mereka tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

Rahasia ini harus ditutupi dari semua orang; semuanya, termasuk Hill sekalipun.
Yang terpenting adalah, pilihan M. Dan ia telah memilih untuk menjadi seorang pria; menganggap hormon testosterone-nya lebih mendominasi. Berharap sisi kewanitaannya sama sekali tidak ada. Walaupun ia sadar betul, kalau ia adalah setengah perempuan.


“Bagaimana, Pak? Sudah selesai form-nya?” salah seorang suster membuyarkan lamunan M. Dan dengan senyum manis, sang suster menagih lembaran-lembaran kertas putih di tangan M

“Ah ya. Ini, Sus! Tolong diurus sebaik-baiknya, ya.”

Kemudian M berlalu, menjengguk sebentar jasad Beni yang disimpan di kamar jenazah, dan langsung mendatangi Hill di ruang inapnya.

“Hai.” Sapa M, saat melihat Hill sudah sadar.

“Hai. Terima kasih ya. Kau sangat membantu.” Hill memaksa untuk tersenyum.

“Tak perlu, Sayang. Ini kewajibanku.” Tangan M mengelus lembut rambut Hill yang masih
berbaring di atas kasur. “Bagaimana kabar Barry? Apa dia sudah tahu tentang Beni?”

“Ya. Dia sedang dalam perjalanan ke sini. Aku sudah menyuruhnya untuk tetap di rumah dan  menyiapkan segala sesuatunya, tapi dia bersikeras untuk datang kemari.” Suara Hill terdengar sangat parau.

“Istirahatlah. Biar aku yang menangani semuanya. Termasuk Barry.”

Kemudian Hill mengikuti saran M. Ia lelap hanya dalam beberapa menit saja.


M,
Aku duduk di sofa di sebelah ranjang Hill, sambil menunggu kedatangan Barry. Anak itu pasti sekarang sedang sangat terpukul. Dia sudah kehilangan kedua orangtuanya di usia yang sangat muda. Diam-diam dalam hati, aku berjanji untuk tetap berteman dengannya selama yang kubisa. Menjadi orang pertama yang maju ketika dia dalam kesulitan, seperti yang sekarang kulakukan terhadap Hill.

Di atas ranjang itu, tubuh Hill tampak sangat rapuh. Ia terlihat begitu kelelahan, sendiri, dan sangat sedih—bahkan saat ia terlelap kau bisa melihat kesedihan mengalir deras di garis mukanya.

Shit! Sadar M! Hill baru saja kehilangan Ben, dan sempat-sempatnya kau mengagumi sahabatmu sendiri? Oh, yang benar saja.

“M?”

Kepalaku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Barry sudah berdiri di balik pintu masuk. Tubuhnya yang begitu ramping dan tinggi—sial! Apa yang kaumakan, Barr? Kenapa sudah setinggi ini?—sudah berdiri di samping sofa yang kududuki.

“Barry?” aku terlonjak, dan benar saja, sekarang bocah ini sudah lebih tinggi satu kepala dari tubuhku.

“Bagaimana keadaan Hill?” ekspresinya begitu datar. Khas Barry yang kukenal. Selalu berusaha tak menunjukkan ekspresi yang sedang dirasanya.

“Dia hanya pingsan tadi. Mungkin kelelahan. Kau sudah melihat Ayahmu?” aku memperlambat kata-kataku pada kalimat terakhir.

“Ya. Dia terlihat...” walaupun ditutupi, aku berani sumpah kalau tadi ada garis getir melintas di matanya. “Kautahu-lah, kaku.” Barry tersenyum, dan tulang rusukku sepertinya baru saja disiram dengan air dingin dari kutub. Anak ini bukan sekadar sedih, dia sangat terpukul.

“Tenanglah, Man. Masih ada Hill dan aku. Aku janji kita akan tetap berkawan.” Kuberanikan diri untuk melingkarkan tangan di pundaknya. Dan sayang, tanganku hanya bisa merangkul sejauh tengkuk lehernya.

Di luar dugaan, Barry menangis dan membalas pelukanku. Dia menangis. Menangis sejadi-jadinya.

“Kau mau kopi?” tanyaku bingung untuk menenangkannya.

Beberapa menit kemudian, kami sudah duduk di salah satu bangku di kantin di rumah sakit itu. Barry sudah tak lagi menangis, dan ia tampak sangat malu karena tadi sempat menangis di bahuku.

“Maaf, M. Tadi aku tidak bermaksud...”

“Tenang saja, itu tadi manusiawi. Dan setahuku itu hal paling manusiawi yang pernah kaulakukan.” Aku tersenyum lalu menyeruput kopiku dengan bibir, sebelum kusadari ada yang aneh dengan kalimatku barusan. “Maaf, maaf. Bukan itu maksudku.” Dasar bodoh! Kenapa menebar ranjau, saat suasana sudah mulai membaik, gerutuku dalam hati.

Barry malah tertawa, tawa ringan. “Kau ini lucu.” Ia menenggak cappuccino-nya.

“Apa?” keningku mengernyit. “Apa aku barusan bertingkah bodoh?” tentu saja, tolol.
Barry tertawa lagi, sejenak kulihat ia melepaskan semua kesedihannya bersama tawa terakhir. Syukur jika tindakan tololku barusan bisa mengurangi kesedihan anak ini.

“Apa Hill sudah menyiapkan pemakaman Dad?” matanya kembali datar. Tidak tersirat apa pun di dalamnya.

“Tenang saja. Semuanya sudah kuurus.”

“Kau memang benar-benar baik sekali, M.”

“Kuanggap itu pujian. Terima kasih kembali.”

Dan pemuda ini tertawa lagi. Sepertinya beberapa menit saja denganku sudah berhasil membuatnya menjadi lebih manusiawi.


Hari berlalu secepat kijang berlari.

Keadaan Hill semakin membaik setiap harinya, walau tetap saja ini adalah seminggu terburuk dalam hidupnya. Dia harus kehilangan calon suami di saat hari pernikahannya menjelang. Memangnya ada yang bisa lebih buruk lagi? Ternyata ada. Sekarang seluruh ruangan di pikiran Hill diambil alih oleh masa depan Barry.

Anak itu sebatang kara, sekarang. Walaupun belum resmi sebagai ibu Barry yang sah, Hill tetap merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak itu. Usianya baru 17 tahun. Harus ada seseorang yang merawatnya, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan, sampai Barry bisa mengurus dirinya sendiri.

Henry memang tidak meninggalkan tangung jawab sebesar itu pada Hill tanpa sedikit pun bantuan. Ternyata almarhum calon suaminya itu telah meninggalkan deposito, asuransi dan segala jenis keperluan lainnya yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup anaknya jikalau kejadian yang sekarang telah terjadi, terjadi. Hill tak khawatir dengan masalah itu. Dan sepertinya Barry juga tidak. Yang sedikit mengganggu pikirannya adalah tentang bagaimana berhadapan dengan remaja 17 tahun dengan kemampuan wanita dua puluh tujuh tahun sepertinya?

Hill belum pernah menikah, apalagi punya anak. Tapi M selalu ada di masa-masa membingungkan seperti ini. Dan Hill tak pernah berhenti bersyukur atas hari pertama ia dipertemukan dengan M, oleh Tuhan.

“Ada yang mencarimu, Hill, seorang pria,” ujar M di suatu siang, saat mereka berdua tengah membahas pilihan universitas untuk Barry di rumah Hill.

“Siapa? Oh, hai Garin. Lama tidak bertemu.” Hill bangkit dari sofa dan langsung memeluk tamu yang dibawa M.

“Aku turut berduka, Hill. Aku baru pulang dari tugas dinas, sehingga baru bisa datang sekarang.”

“Oh, tidak apa-apa. Aku bisa mengerti.” Raut kesedihan kembali merasuki wajah Hill.
“Ada yang ingin kubicarakan, Hill, bisakah?” Garin melirik ke arah M. Mungkin ia hanya ingin bicara empat mata dengan Hill.

“Oh, tidak masalah, aku bisa keluar sebentar.” M paham dengan maksud lirikan Garin. “Lagi pula aku harus menjemput Barry dari sekolahnya.”

“Terima kasih, M.” Hill tersenyum, berterimakasih atas pengertian M.


M,
“Bagaimana ujiannya?” tanyaku pada Barry, saat ia telah menutup pintu mobil dari dalam.
“Tidak buruk, sejauh ini lancar-lancar saja,’ jawab Barry.

“Sudah punya pilihan universitas?” aku mennghidupkan mesin mobilnya dan menancap gas.

“Entahlah, aku masih bingung. Sebenarnya aku ingin melanjutkan kuliah di bidang seni, mungkin teaterikal atau musik, tapi ayah dulu tidak setuju dengan pilihanku itu. Dia lebih senang kalau aku mengikuti jejaknya masuk ke akademi polisi.”

“Sulit juga ya.” Aku berkomentar sekenanya. “Bagaimana pendapat Hill?”

“Dia bilang, dia lebih senang jika yang kupilih membuatku senang. Dan sumpah, jawabannya sama sekali tidak membantu. Tapi kautahulah bagaimana Hill, dia hanya ingin aku senang.” Barry tertawa ringan menjawab pertanyaanku.

Ya Barr, aku sangat tahu bagaimana karakter Hill, dan karena itu aku masih tidak bisa memandangnya hanya dengan pandangan sebatas sahabat.

“M?” Barry membuyarkan pikiranku.

“Ya?”

“Apa pendapatmu melihat waria itu?” Barry menunjuk sesuatu di luar jendela mobil dengan pandangannya, saat lampu lalu lintas menyala merah.

“Apa maksudmu?” entah mengapa, pertanyaannya membuatku gugup. Kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang waria itu? Apa dia mulai menyadari sesuatu yang aneh dari penampianku? Apakah dia mulai curiga kalau ada yang salah dengan tubuhku? Aku memang terlalu kecil bila dibandingkan dengan ukuran pria pada umumnya. Kuitku juga jauh lebih halus dari pria normal, belum lagi warnanya yang terang membuatku semakin terlihat lebih seperti pria cantik, ketimbang pria normal. Aku juga punya dada seperti perempuan, walaupun tidak terlalu besar. Tapi dada itu kan sudah kusembunyikan dengan kain pembebat, sehingga kalau dilihat dari luar aku seperti pria biasa yang sewajarnya tidak memiliki dada.

“Tidak ada. Aku hanya merasa senasib dengan mereka. Karena apa yang mereka inginkan bertentangan dengan apa yang orang di sekitarnya inginkan dari mereka.”dia tertawa.

“Pintar juga ya, aku berfilosofi,” tambahnya, bergurau.

Lalu kami berdua hanya tertawa. Aku setengah bersyukur karena ternyata ketakutanku tidak beralasan.


Seminggu lagi berlalu dengan cepat. Hill semakin membaik, begitu pula dengan Barry. M juga semakin sering berkunjung, memastikan keadaan mereka berdua baik-baik saja. Tapi ternyata M tidak sendiri, Garin, teman almarhum Beni itu, belakangan juga semakin sering berkunjung. Tapi sejauh yang M perhatikan, kunjungan pria jangkung itu bukan kunjungan biasa.

            Garin sering membawakan makanan-makanan ringan untuk Hill dan Barry. Terkadang bahkan dia menetap sampai waktu makan malam, dan kalau M tidak salah mengingat, Garin sudah dua kali menginap di rumah Hill. Dan semua itu mulai mengganggu M.

            Apakah mungkin Garin sedang menarik perhatin Hill? Apakah Garin suka dengan Hill sejak Beni masih hidup, hanya saja baru memiliki kesempatan sekarang untuk mendekati Hill? Batin M, dalam pikiran-pikiran paranoia-nya.

            “Hai M, sedang apa?”tiba-tiba saja sosok Garin sudah ada di sofa di ruang tengah rumah Hill, tempat M sedang asyik menonton TV.

            “Nonton,’ jawab M dengan nada kesal yang kentara sekali. M memang bermasalah dengan emosinya yang meluap-luap.

            :Garin malah tertawa mendengar jawaban ketus M. “Ya, aku tahu yang itu. Maksudku, kau selalu di sini, apa kau tidak bekerja?”

            “Hei, kau ini memang selalu blakblakan begitu ya? Lalu kau sendiri? Bukannya kau polisi? Kenapa sekarang tidak di lampu merah?”

            Garin malah tertawa lagi, terlihat lebih geli. “Aku bukan Polantas, dan maaf karena terlalu blakblakan.”

            Suasana hening cukup lama. Mereka berdua berubah semakin kaku di setiap detiknya. Kecanggungan mendadak begitu terasa. “Omong-omong, aku penulis,” kata M di sela kecanggungan itu.

            “Oh.” Garin melenguh cukup panjang. “Kau novelis?”

            Dan yang terjadi selanjutnya adalah perbincangan yang panjang di antara keduanya. Perbincangan yang tidak disangka-sangka M, menjadi jalan keakrabannya dengan Garin, orang yang selama ini dianggapnya sebagai saingan.

            Tapi di lain sisi, kedekatan mereka ternyata mengundang kecemburuan dari Barry. Selama ini, diam-diam Barry menaruh perhatian pada M, sahabat Hill, yang telah dianggapnya ibu sekarang. Barry tahu kalau ada yang salah dengan rasa simpati yang ditaruhnya pada M; mereka sama-sama pria, setidaknya begitu sepengetahuan Barry. Tapi ternyata kharisma M lebih kuat dari yang diduganya selama ini. Dia tetap saja tidak bisa membohongi perasaannya.

            “Ada yang ingin kubicarakan, M, bisa?” tanya Barry di sepotong siang pada M.

            “Tentu, tentu,” jawab M memenuhi permintaan Barry.

            Lalu, keduanya pergi ke halaman belakang rumah Hill. Perawakan Barry tampak sangat tegang dan serius, sedang M menanggapinya dengan senyum geli. “Ada apa, Barr? Serius sekali?”

            “Ada yang ingin kukatakan.”

            “Katakan saja.”

            Ada jeda yang cukup lama, Barry tampak seperti sedang berpikir dan menimbang pikirannya. “Aku… aku… aku menyukaimu, M.”

            Dunia M serasa runtuh. Dia benar-benar terkejut. Dan tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. “Kau bercanda kan, Barr?” M berharap perkataannya benar.

            “Aku tidak, M. Aku serius. Aku sudah lama memikirkan ini.” Barry mendekat, berusaha memeluk M. Tapi M, tentu saja, mengelak.

            “Aku tidak bisa, Barr. Tentu kutahu itu.” M mulai kalut. Dia tidak menyangka hal ini bisa terjadi.

            “Kenapa? Karena pria itu?”

            “Pria? Siapa?”

            “Si Garin bodoh itu. Pria yang telah membunuh ayahku!!” Barry berubah gusar. Emosi yang selama ini dipendamnya meledak.

            “Membunuh ayahmu?” dunia M kembali disambar petir. Dia yakin otaknya sebentar lagi korslet karena semua kejutan ini.

            “Seharusnya yang mati saat itu dia, bukan ayah! Ternyata sebelum kejadian itu, dia meminta ayah untuk menukar shift tugas mereka! Dia sendiri yang mengaku pada Hill,” ucapan Barry terdengar sangat dingin.

            “Tidak, Barr. Bukan karena Garin. Aku hanya berteman dengannya. Lagipula, kami…” perkataan M terhenti. Dia sebenarnya ingin bilang kalau dia dan Garin sama-sama pria, sehingga mereka tidak seharusnya bersama seperti dugaan Barry. Tapi M tahu kalimatnya akan salah dan teredngar seperti kebohongan besar. Dia bukan pria, dia setengah pria dan setengah wanita.

            “Kalian apa?” tuntut Barry.

            M masih diam; berpikir.

            “Kalian apa, M?” Barry mengguncang-guncang bahu M.

            “Kami tidak ada apa-apa! AKU MENYUKAI HILL! HILL! BUKAN GARIN!” M juga meledak. Dia akhirnya mengeluarkan apa yang ia pendam selama ini.

            Kali ini dunia Barry yang tersambar petir. Padahal ia sudah menyiapkan diri untuk jawaban tidak dari M. Tapi bukan dengan alasan seperti ini. “Baiklah.”

            “Baiklah apa?”

            “Kau bisa memiliki Hill.”

            M malah tertawa mendengar pernyataan tanpa nada yang keluar dari mulut Barry barusan. “Kalau aku mau aku bisa mendapatkannya dari dulu. Masalahnya, aku tidak bisa.”

            Wajah Barry berubah heran. Dia memang tidak bertanya, tapi matanya berisyarat begitu, lantas M berkata, “Aku ini bukan pria, Barr, serta bukan pula wanita. Aku setengah dari kedua-duanya. Aku hemaphrodite.”

(MUNGKIN) BERSAMBUNG...