Thursday, September 13, 2012

  |   No comments   |  

Gigolo

Malam kian sempit. Dan beberapa menit lagi, tanggal akan segera berganti. Kemeriahan di ruangan ini belum sepenuhnya berkobar. Masih banyak wanita setengah baya bergaun indah yang menanti acara puncak dengan tampang murung. Dan acara itu baru akan dimulai tepat tengah malam nanti.


Wangi berbagai jenis whine bertebaran bebas di udara. Sangat harum dan menggoda selera.

Zach berjalan anggun ke arah para hadirin yang telah menantinya. Dia sudah sangat terbiasa dengan pandangan orang-orang yang langsung menyerbunya saat memasuki ruangan tempat acara lelang berlangsung.

Pria ini memang luarbiasa tampan—bahkan kata tampan belum cukup untuk menggambarkan kesempurnaan fisiknya. Dia juga punya otak yang berkualitas baik. Tapi siapa yang butuh itu di tempat ini? Mereka—semua hadirin—hanya perlu penampilan menarik dan layanan yang memuaskan. Karena mereka yang hadir bukanlah orang-orang sembarang. Ada puluhan istri pejabat, wanita karir penguasa tunggal sebuah perusahaan ternama, dan beberapa gay muda yang hidupnya kaya raya sejak lahir. Setidaknya begitulah daftar tamu yang hadir malam ini.

Dan yang akan mendapatkan Zach adalah dia yang sanggup menawar sampai harga tertinggi, karena Jane—master of ceremony acara ini sekaligus mucikari yang punya kuasa penuh terhadap Zach—tidak akan tinggal diam bila Primadonanya ditawar lebih rendah dari ekspektasinya.

“Belum saatnya untuk terpukau,” suara sengau Jane mengganggu di saat yang tidak tepat. Padahal semua hadirin masih sibuk mengagumi kesempurnaan tubuh Zach yang berdiri di tengah panggung, sekarang. “Kalian semua tahu peraturannya, satu tawaran berarti satu yang dilepas,” entah apa maksudnya.

“Kurasa, semua orang di sini telah mengenal Primadona kita malam ini. Dan aku tidak perlu bersusah payah untuk memperkenalkannya pada kalian semua, terutama Anda, Nyonya Margareth. Tentu Anda sudah sangat akrab dengan Zach.”

Seketika semua pandangan di ruangan ini beralih menuju seorang wanita tua bergaun pale blue, yang sibuk mengibas kipasnya. “Tentu saja. Aku mengenal Zach luar dalam,” Ia tersenyum bangga, semakin kencang mengibaskan kipasnya. “Benar kan, Sayang?” kali ini pandangan mata sayu Margareth, mengarah ke wajah Zach yang tak berhenti menebarkan senyuman indahnya.

Tapi pemuda luarbiasa tampan itu hanya mengangguk anggun, dan membuat semua hadirin semakin terpukau padanya.

“Baiklah. Agar kita semua tidak menyesal hadir dalam acara lelang malam ini, sebaiknya saya segera mengumumkan harga pembuka untuk Zach. Dan harganya adalah seratus lima puluh juta!!” suara ketukan palu menyusul setelah angka tersebut membuana.

Harga itu memang bukan lelucon. Semua orang di ruangan itu sadar kalau Zach pantas atas harga itu, bahkan lebih. Tapi tidak bagi Anna...


Anna, Secret Room sebuah Hotel yang tak ingin disebut namanya.
“Yang benar saja,” batinku. Setampan apa pun wajah Zach, kurasa angka tadi masih terdengar berlebihan hanya untuk menghabiskan semalam bersamanya. Harga pembuka untuk Zach melebihi harga pembuka gigolo lainnya. Bahkan mencapai limabelas kali lipatnya.

Acara ini benar-benar di luar dugaanku.

“Seratus enam puluh juta!” tawaran pertama menggema, dan berasal dari seorang pria bersetelan rapi dan elegan yang duduk di meja bundar di belakangku.

“Terima kasih,” akhirnya Zach mengeluarkan suara. Suara yang lembut bernada halus, tegas tapi menyentuh. Benar-benar sesuatu yang nyaman di telinga.

“Kenapa belum dibuka?”

Terdengar teriakan seorang pria lainnya, jauh dari belakangku. Entah apa yang dimaksudkannya, tapi yang jelas itu teriakan untuk Zach.

“Maaf. Baiklah,” sekali lagi Zach menyuguhkan senyuman terindahnya, dan sekali lagi aku kembali tersihir.

Namun pandanganku segera beralih ke gerakan mendadak yang dilakukan Zach. Gerakan membuka simpul sederhana dasi yang melilit leher jenjangnya, kemudian melemparkan helaian dasi itu ke arah penonton.

Suara selanjutnya yang terdengar adalah siulan dari beberapa orang—yang jelas suara siulan pria.

“Seratus delapan puluh juta!” kali ini tawaran berasal dari wanita tua yang duduk di meja yang sama denganku.

Zach kembali melepaskan salah satu pakaian yang membalut tubuh seksi—bahkan kata itu belum cukup kuat untuk menggambarkan kesempurnaan tubuh—nya. Dan kali ini, dia sudah tidak mengenakan jas hitam yang terlihat berkilau dan mahal itu. Memperlihatkan tubuh proporsional bak seorang model yang hanya dilapisi dengan selembar kemeja putih tipis.

“Dua ratus lima puluh juta!!”

Ya Tuhan, wanita di hadapanku ternyata benar-benar telah dibuat gila dengan kesempurnaan Zach. Dia berani bertaruh harga semahal itu hanya untuk mendapatkan Zach malam ini. Menarik? Tidak! Mereka gila



Beberapa detik kemudian, Zach sudah bertelanjang dada dengan senyum yang belum berhenti menyihir seluruh hadirin.

“Satu milyar!!”

Suasana hening sejenak, tawaran paling fantastis membuat semua orang tercengang. Termasuk Zach. Tak ada yang menyangka angka itu akan keluar malam ini—setidaknya aku begitu. Dan yang cukup gila untuk melakukannya adalah seorang pria berambut hitam kusam, kusut sepanjang leher, dengan penampilan parlente yang akan mengecohmu tentang orientasi seksnya—maksudku, dia lebih terlihat seperti pria normal. Tapi, bukankah memang begitu keadaan zaman ini. Sekarang kau tidak akan bisa membedakan yang mana straight males dengan gay males, karena keduanya terlihat sama. Terkadang pria yang terlihat feminin malah bukan seorang gay atau sebaliknya.

“Satu milyar satu! Satu milyar dua!...”

Wanita kerdil itu menghitung lambat, berharap akan ada penawaran yang lebih besar, sekaligus ketakutan pelelang terakhirnya berubah pikiran.

Semua tatapan benci mengarah ke pria itu, pria parlente yang kini tersenyum lebar karena bangga.

“Bagaimana Nyonya Margareth?” si pembawa acara memastikan sekali lagi, masih dengan rakus berharap lebih dari yang telah ada di hadapan matanya.

“Tampaknya malam ini Zach bukan milikku,” suaranya terdengar pasrah, tapi ia masih sempat menyelipkan senyum palsu di bibirnya—berpura-pura tabah menerima kekalahan.

“Satu milyar tiga!! Sang Primadona terjual kepada Tuan Abbruzi! Selamat.”

Sejenak suasana hening, padahal seharusnya ada sedikit kericuhan pertanda para hadirin semangat dengan acara puncak yang telah berakhir bahagia—setidaknya begitu bagi Tuan Abbruzi. Tapi nyatanya semua orang terlalu kecewa, bahkan tidak untuk senyuman singkat tanda penghormatan pada Tuan Abbruzi yang telah memenangkan Zach.

Di detik berikutnya, satu persatu wanita bergaun mahal di ruangan ini beranjak dari bangkunya. Meninggalkan acara lelang yang telah berakhir dengan kekalahan sebagai oleh-oleh yang mereka bawa pulang. Mungkin hanya ada beberapa wanita yang membawa beberapa gigolo sebagai souvenir malam ini.

Seharusnya aku juga sudah memikirkan jalan pulang sekarang ini, tapi ada suatu hal yang menahanku. Sebuah rasa yang lebih menantang daripada apa pun—setidaknya untuk saat ini. Sesuatu yang bersangkutan dengan Zach. Mungkin aku akan mendapatkan pengetahuan lebih jika aku mengikutinya. Aku sangat penasaran dengan kegiatan Zach setelah acara ini berakhir. Dia masih menampilkan senyuman menawan itu di depan sana. Menyambut hangat rangkulan Abbruzi yang tampaknya sudah sangat bernafsu dengan tangkapan besarnya.

Apa yang akan mereka lakukan? Well, maksudku, tentu saja mereka akan bercinta. Tapi bagaimana setelahnya? Apakah Zach akan ditinggal begitu saja? Apakah mereka punya batas waktu transaksi? Atau Zach akan semalaman melayani tua bangka itu?

Shit!! Mereka benar-benar membuatku penasaran. Aku yakin ada cara untuk membuntuti dua pria yang sudah mulai beranjak itu. Aku harus mendapatkannya. Mendapatkan penjelasan tentang semua ini.

Siapa yang mau mati penasaran?


Zach, bersama pelanggannya, Abbruzi, menuju kamar di sebuah Hotel yang tak ingin disebutkan.

Dammit, kenapa harus si tua bangka ini? Aku tahu kalau dia akan membawa hawa segar bagi rekeningku. Tapi dia akan minta lebih dari porsi yang seharusnya dia dapatkan—bukannya aku tidak bisa memberinya lebih, tentu aku bisa, buktinya dia selalu pulang dengan senyum lebar merekah setiap kali selesai denganku. Tapi masalahnya, aku tidak suka bau perfume-nya, atau harus kubilang bau badannya. Siapa yang suka bau keringat mafia obat bius?

“Kenapa Zach? Apa tawaranku malam ini masih kurang?” Abbruzi memulai dialog pembuka. Bibirnya tertarik ke belakang, memperlihatkan sebaris gigi kuning yang sudah tak sehat lagi karena racun nikotin yang melekat.

“Tidak. Tentu tidak. Tawaranmu melebihi jangkauanku.” Sebenarnya aku ingin menjawab kurang. Pasti Jane akan sangat tamak mengambil bagiannya. Satu milyar memang bukan angka yang kecil. Aku juga tidak mendapatkan angka itu setiap malamnya, tapi punya mucikari seperti Jane membuatku pasrah mendapatkan angka berapa pun.

“Jadi, ke mana senyuman indahmu itu?”

“Akh, maaf,” aku tersenyum, terpaksa.

“Tak ada yang seindah ini.” Jemari kakunya menyentuh daguku. Rasanya bagai ditusuk-tusuk dengan ranting kecil yang tajam. Sangat tidak nyaman.

Kami terus berjalan menuju sebuah kamar; tempatku untuk menjalankan tugas malam ini. Dua pengawal pribadi Abbruzi terus membuntuti kami di jarak yang cukup aman; sekitar setengah sampai satu meter. Keduanya di balut kemeja bercorak yang tampak jelas bukan style mereka. Aku yakin, Abbruzi yang memaksa mereka memakai kemeja jelek itu. Sangat Abbruzi.

Salah seorang pengawalnya bergerak mendahului kami saat kamar VVIP yang Abbruzi pesan tinggal beberapa sentimeter di depan kami. Pria bertubuh besar itu membuka pintu, tepat saat aku dan Abbruzi tiba di ambangnya.

Tapi ada yang janggal dari para pengawal Abbruzi. Biasanya butuh lebih dari lima pria bertubuh besar untuk mengawalnya kemana pun ia pergi. Mafia sekelas dia pasti punya banyak musuh di mana pun. Bahkan orang awam sepertiku tahu hal sederhana seperti itu. Namun, tampaknya Abbruzi benar-benar ingin bersantai malam ini. Dan itu berarti dia akan meminta sangat lebih dariku. Shit!

“Penjagaan yang ketat. Kau mengerti kan, Simon?” Abbruzi menepuk-nepuk kepala salah seorang pengawalnya bak seorang majikan memperlakukan anjingnya.

“Mengerti, Tuan.” Dan seperti di film-film, anjingnya terlihat patuh. Membuatku mual.

Tangan kisut Abbruzi melingkar di bahuku. Menggiringku ke dalam kamar yang beraroma lilac sempurna. Tapi sayang, wewangian ini akan segera digantikan dengan aroma tak sedap dari tubuh Abbruzi.

“Kau mau kita minum dulu?”

“Terserah Anda. Saya budaknya malam ini.”

Oh damn. Kau memang sangat sempurna, Nak.” Sekarang Abbruzi telah memelukku, mendaratkan bibir kasarnya ke sekujur leherku. Dan aku masih tak tahu bagian mana dari kalimatku barusan yang membuatnya menjadi sangat bergairah seperti ini. “Kau bukan hanya punya tubuh sempurna, tapi juga punya tingkah yang benar.”

Oh, itu rupanya. Pujian yang sudah sangat sering kudengar. “Terima kasih, Tuan.”

Abbruzi berhenti sejenak, kemudian menatapku dengan mata hitam pekatnya. “Bibir ini terlihat sangat menggoda,” tangannya meraba bibirku. “Dan malam ini, seluruh tubuhmu harus jadi milikku.” Kemudian Abbruzi berusaha melumat mulutku, sebelum akhirnya aku berhasil mengelak. Dan tampaknya membuatnya sedikit berang.

“Maaf Tuan.”

“Ya. Ya. Ya. Peraturanmu?”

“Ya.”

“Aku akan membayar tiga kali lipat tawaranku, jika kau mau membuat pengecualian kali ini saja.”

“Maaf tuan. Tidak bisa.” Aku melepaskan pelukannya. Menjauh perlahan, sambil melepas jaket yang kukenakan; berharap dia akan teralihkan dari hasratnya untuk menciumku.

“Baiklah. Baiklah. Kau menang. Setidaknya aku hanya kehilangan bibir dari seluruh anggota tubuhmu.” Kemudian si tua bangka itu menyerangku. Membuat tubuh kami berdua mendarat tidak lancar di atas kasur.

*tulisan ini adalah BAB I dari novel yang telah saya tulis, judulnya Untitled

Tuesday, September 11, 2012

  |   No comments   |  

Nothing Ever Hurt Like You


A Duet with: James Morrison

One, two, three, four

Loving you was easy, playing by the rules
But you said love tastes so much better when it's cruel
To you everything was just a game
And oh yeah, you played me good
But I want you, I want you, I want you
So much more than I should, yes I do

I've got my hands up, so take your aim, yeah, I'm ready
There's nothing that we can't go through
Oh, it hit me like a steel freight train when you left me
And nothing ever hurt like you, nothing ever hurt like you

I was naive and wide-eyed, but you made me see
That you don't get to taste the honey
Without the sting of a bee, no, you don't
Oh yes, you stung me good, oh yeah, you dug in deep
But I'll take it, I'll take it, I'll take it
Till I'm down on my knees, on my knees

Oh, I've got my hands up, so take your aim, yeah, I'm ready
There ain't nothing that I won't do
Walk a thousand miles on broken glass
It won't stop me from making my way back to you
It's not real until you feel pain
And nothing ever hurt like you, nothing ever hurt like you
Oh, nothing hurt like you, you got to believe me, alright

Oh, everything was just a game, yes, you played me good
But I want you, I want you, I want you, I want you, I want you

Oh, I've got my hands up, so take your aim, yes, I'm ready
There ain't nothing that we can't go through
Oh, it hit me like a hurricane when you left me
But I'd do it all again for you

I'll walk a thousand miles on broken glass
It won't stop me from making my way back to you
It's not real until you feel the pain
And nothing ever hurt like you, nothing ever hurt like you

Nothing in the whole wide world
Nothing ever, nothing ever, nothing ever
Nothing ever hurt like you, like you
Like you, like you, hurt like you
Will ever, will never hurt like you, you, you, you
Nothing ever hurt like you

Monday, September 10, 2012

  |   1 comment   |  

Tentang Postingan Alterego

Saya bingung mau mulai dari mana.
    Tulisan ini sebenarnya saya buat untuk menjawab beberapa pertanyaan yang timbul dari postingan sebelumnya tentang para Alteregoes.

Alteregoes; Teman Baik


     Pertama, yang saya ingin jelaskan adalah tentang definisi Alterego. Banyak orang yang baca postingan saya mengira bahwa para Alterego adalah sosok rekaan belaka. Ada yang bilang beberapa di antara mereka sangat  mirip saya. Opini terbanyak sebut Cameo adalah saya versi muda. Yang kedua terbanyak bilang October mirip sekali dengan saya. Sisanya hanya berasumsi tentang siapa sebenarnya Narajata dan Orion.

    Aneh mendengarnya. Sering kali malah saya terpingkal; lebih seringnya sih tahan senyum, dan anggap serius opini-opini mereka. Tapi saya tak bisa diam saat ada beberapa orang yang ngotot dengan jumlah para Alterego.

    Ada yang bilang, "Mana ada orang punya Alterego sampai empat begitu." Ada pula yang bilang, "Unik sekali kamu punya empat Alterego sekaligus." Tapi dari dua kalimat di atas, saya tak temukan korelasi dari definisi Alterego yang mereka maksud. Intinya, mereka tak paham Alterego yang saya maksud di sini.

    Kebanyakan orang malah mengira saya 'berkepribadian-ganda' karena punya 4 Alterego. Padahal yang saya maksud Alterego di sini adalah Teman Baik; a.k.a sahabat atau apalah sebutan manisnya yang lain.

   Narajata, October, Cameo dan Orion adalah 4 karib saya yang saya miliki sejak kecil. Kami tak bertemu sekaligus. Dan saya punya sejarah 'pertemuan pertama' yang panjang pada tiap sosoknya. Tapi seingat saya, yang pertama kali saya temui adalah Narajata, kemudian October dan Orion, dan terakhir Cameo.

October mendadak confident, haha
    Umur kami juga berbeda semua, meski anehnya Saya, Cameo dan Orion lahir di tanggal dan bulan yang sama. Hanya beda tahun. Kami juga seperti Teman Baik pada umumnya: sering berdebat, tak jarang kelahi, saling cemburu meski tak jarang pula terselip bro-mance yang menggelikan.

   Omong-omong tentang  yang menggelikan, saya jadi teringat dengan opini orang-orang setelah baca postingan tentang Orion. Kebanyakan mereka malah benci dengan sosok yang satu ini. Saya, Narajata dan Cameo benar-benar terpingkal saat tahu hal tersebut. Orion diam saja, tak acuh. Tapi malah October yang ribut. "Mereka cuma belum lihat elu, Yon. Kalau lihat pasti speechless," katanya minggu lalu saat kami sedang berkumpul di kamar saya.

Orion yang dibenci, hahaha
    October juga tak sepakat kalau banyak orang yang bilang saya mirip dia. Saya memang suka menulis, dan senang menggambar. Tapi coretan-coretan saya, baik yang diketik dalam microsoft word atau yang ditoreh di selembar HVS atau quarto, adalah amatir punya. Jadi, saya sepakat dengan dia. Saya juga tak pemalu-pemalu amat dibandingkan si kikuk itu.

Cameo, si Bocah
    Perihal dibanding-bandingkan dengan Cameo, tentu saya tak punya masalah. Dia Alterego favorit saya. Saya senang dengan quality time yang sering kami habiskan bersama. Tapi tetap saja si cerewet October tak setuju. Ia bilang, "Cameo si tua yang terjebak di tubuh anak abege, kalau elu mah emang tua beneran, Dam." Dan semua orang menyambung lelucon itu dengan gelak memuakan.

    Meski postingan ini berakhir tanpa klimaks apa pun, saya yakin beberapa kalimat ini cukup menjawab tentang siapa sebenarnya para Alteregoes ini.

Thursday, September 6, 2012