Tuesday, October 15, 2013

  |   No comments   |  

Tragedi



Siang itu aku mendapat pesan singkat di layar ponselku. "Mari bicara, Steph. Ada hal penting yang ingin kuomongkan," katamu.

Itu adalah pesan pertama setelah lama sekali kita tak saling berkomunikasi. Tentu saja membuatku kaget. Setahuku, meski kita setiap hari bertemu, tapi hubungan kita tak pernah sama lagi seperti dahulu sebelum tragedi itu terjadi.

Kau dan aku hanya akan saling tegur dan bicara seadanya jika tak sengaja terjebak di dalam forum yang sama. Sialnya, geng kita terlalu sering menghabiskan waktu bersama, sehingga aku (yang sesungguhnya sangat menghindarimu) tak mampu bersikap semestinya dan harus terima kenyataan makan hati setiap melihat senyummu yang memabukkan.

Hah, tragedi memalukan.

Ah ya, lalu saat kubalas pesanmu dan menanyakan, apa yang ingin kau bicarakan? Lantas kau membalas: sebaiknya kita bertemu. Kutunggu di tempat biasa.

Aneh rasanya membaca pesanmu. Istilah 'tempat biasa' sudah lama sekali tidak kita pakai. Aku memang memilih untuk menghindari segala sesuatu yang bisa membuatku teringat pada sosokmu sejak tragedi itu.

Tapi, aku kini sudah berbeda. Rasa sakit setelah tragedi itu sudah lenyap sama sekali. Aku adalah Stephanie yang baru, yang benar-benar sudah melupakan tragedi itu. Dan siap menjalin hubungan pertemanan yang benar-benar baru denganmu.

Maka kuputuskan menerima tawaranmu untuk bertemu. Toh, belakangan ini aku sedang kasmaran dibuat Leo, anak baru yang ditransfer dari Udayana Bali itu. Aku sangat yakin bisa melalui pembicaraan intim kita berdua untuk pertama kalinya sejak tragedi itu.

"Hai Steph, terima kasih sudah datang," katamu dengan wajah kuyu. Kau kelihatan seperti zombie. Ada setengah lingkaran hitam di bawah kedua matamu. Belum lagi tatapan cemas yang kau suguhkan saat menyambutku. Kau benar-benar kelihatan kacau.

"Hai. Ada apa ini? Mendadak ingin mengobrol berdua saja begini," kataku sambil tersenyum. Menutupi rasa kikuk yang mendadak menyerang tengkuk leherku.

Kau diam saja. Tidak menjawab, malah tersenyum seraya menunduk.

Ada hening yang begitu lama. Tapi perasaan aneh melandaku sepanjang jeda itu. Tiba-tiba pikiranku melayang ke rumor tentangmu yang belakangan ini beredar. Rumor tentang kedekatanmu dengan Leo.

Aku tahu Leo belakangan digosipkan punya hubungan khusus denganku, meskipun aku dan Leo sudah mengklarifikasi hal itu berulang-ulang. Tapi tetap saja orang-orang menyalahartikan kedekatan kami.

Namun, yang juga menjadi perhatian orang-orang belakangan ini adalah kedekatan kalian berdua.

Aku dan Leo memang terlihat seperti dua orang kasmaran yang selalu salah tingkah ketika harus saling bicara. Jadi wajar saja orang-orang berasumsi begitu. Toh, aku pikir aku juga tertarik dengan senyum manis pemuda Bali itu. Tapi kedekatanmu dengan Leo berbeda. Kalian terlihat sangat nyaman saat sedang berdua. Seperti sobat lama yang bertemu lagi dan kembali akrab.

Maka, saat itu juga aku berpikir ajakanmu untuk bertemu di sini, segera, hari ini, adalah untuk membicarakan Leo.

Adegan berikutnya terjadi dengan sangat cepat.

Kau bilang, "Kau boleh tanyakan kenapa setelah aku bertanya tentang satu hal ini. Tapi komohon jangan dipotong dulu."

Aku mengangguk.

"Jadi, benar tidak? Gosip yang selama ini beredar? Tentang kau dan Leo!"

Aku sontak tertawa. Meskipun pertanyaanmu benar-benar tertebak olehku. "Tentu saja tidak, San. Aku masih jomlo."

Diam-diam, hatiku meringis dan menyesakkan dada. Betapa sialnya nasibku. Dulu mencintaimu meski tahu kalau itu salah, sesuatu yg setelah itu kusebut tragedi. Lantas dengan susah payah berhasil keluar dari kepedihan yang disebabkan tragedi itu. Lalu diam-diam jatuh cinta pada seorang anak baru, yang sesungguhnya menyelamatkanku dari tragedi itu.

Tapi hari ini aku akan patah hati lagi. Karena kau akan memberitahuku kalau kau juga menyukai pria yang sedang kusukai. Entahlah, entah kali ini aku akan selamat atau tidak.

"Kau serius? Maksudku... Belakangan kau terlihat sangat mesra dengannya," tambahmu. "Jadi kau sedang jatuh cinta dengan siapa?"

"Tidak ada," aku berbohong dan tersenyum.

"Baguslah," lalu kau yang tersenyum.
"Sebenarnya Steph..."

Kupingku menuli. Tak kuasa menahan rasa sakit yang mendadak menyesakkan ini.

"Aku sedang jatuh cinta.."

"Pada Leo?" aku tak tahan untuk memotongmu.

"Bukan! Bukan! Kan sudah kubilang jangan dipotong dulu," katamu. "Sebenarnya... Sebenarnya aku jatuh cinta padamu, Steph."

Dan duniaku mendadak jungkir balik. Tragedi itu masih begitu membekas di kepalaku. Saat aku yang begitu kasmaran padamu tahun lalu, berujar jujur padamu kalau aku sangat, sangat jatuh cinta padamu. Lalu dengan sadar juga memintamu untuk menolakku mentah-mentah agar rasa sakit dapat mengalihkanku dari perasaan yang tak semestinya ini.

Walaupun diam-diam aku berharap kau juga menyukaiku dan kita bisa punya hubungan manis, yang tak apa jika kita sembunyikan dari dunia. Kisah manis yang hanya untuk kita berdua.

Tapi kau, dengan baik hati, memilih untuk mewujudkan permintaanku.

Dan setelah setahun, setelah hatiku mulai terisi oleh sosok orang lain selain dirimu, kau malah merusaknya dengan pernyataanmu. "Entahlah, Santi. Aku bingung."

"Kenapa?" tanyamu sambil menggenggam tanganku.

"Aku... Aku..."

Genggaman tanganmu semakin erat. "Tenanglah... Tenang, Steph. Kau cukup menjawab pertanyaanku ini, apakah kau masih mencintaiku, Stephanie?"

Petir kembali menyambar. Luka akibat tragedi itu kembali menguak. Dan sadarlah aku, bahwa aku memang masih mencintaimu, Santi. Dengan sepenuh hatiku.

Tapi tragedi di hidup manusia bak hujan di musim kemarau yang tak tahu kapan datangnya.

Sambil sesenggukan, kutulis surat ini untuk jenazahmu yang sebentar lagi akan dikremasi.

Terima kasih sudah memberitahu perasaanmu terhadapku sebelum kau benar-benar meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

Sebulan ini adalah hari-hari paling membahagiakan bagiku. Terima kasih, Santi-ku, tragediku sekaligus sumber kebahagiaanku, yang kini menjadi tempat rinduku tertuju.

cerpen ini pernah dimuat di Kover Magazine edisi Agustus

Tuesday, September 10, 2013

,   |   No comments   |  

Dia Punya Rahasia





Dia punya rahasia. Namanya Rahasia. Maksudku, pacarku yang bernama Rahasia punya rahasia.

Sebenarnya tak heran kalau seseorang punya rahasia. Toh semua orang punya rahasia. Pun aku juga punya rahasia. Jadi tak apa kalau Rahasia punya rahasia.

Tapi yang membuatku kesal adalah dia tak ingin aku tahu rahasianya. Padahal aku tak punya rahasia yang kusembunyikan darinya. Semua rahasia yang kumiliki sudah kubagi dengannya. Bahkan sesuatu yang kurencanakan akan jadi rahasiaku kuberitahukan terlebih dahulu pada Rahasia.

Sebenarnya dia juga melakukan hal yang sama. Banyak rahasianya yang ia bagikan padaku. Katanya, suatu waktu, sudah semua. Tak ada yang ia rahasiakan lagi.

Rasanya menyenangkan mengetahui rahasia pasanganmu. Hal tersebut membuatmu merasa dipercaya. Merasa istimewa dan diistimewakan oleh pasanganmu. Meski kadang yang ia anggap rahasia adalah hal sederhana yang tak kau sangka. Seperti punya tahi lalat besar di tengkuk kepalanya.

Intinya, tak penting apa yang dirahasiakan pasanganmu darimu. Karena meskipun ia punya rahasia kalau dia sebenarnya adalah makhluk gaib yang dikutuk Tuhan dari neraka sekalipun, kau akan tetap mencintainya selamanya. Berulang-ulang kali jatuh hati saat melihat matanya yang tengah memandangmu. Atau meleleh-leleh saat melihat senyum paling indah yang hanya dimilikinya. Itu semua karena kau telah jatuh cinta padanya. Telah memilih untuk menghabiskan seluruh eksistensi hidupmu bersamanya.

Karena tak ada hal indah lain di dunia ini selain hidup bersamanya. Karena tak ada lagi yang kau inginkan selain bersamanya. Jadi rahasia apa pun yang ia punya, sadar atau tidak disadarinya sudah kau terima sejak memilih dia sebagai pasanganmu.

Yang membuatku bahagia sekali adalah kesukarelaan Rahasia membagikan rahasianya padaku. Dahulu aku tak pernah meminta. Ia dengan sangat girang akan bercerita tentang segala hal mengenai dirinya. Tentangnya yang selama ini tak pernah ia ceritakan pada orang lain. Tentang hubungannya dengan ayah, ibu, kakak dan adiknya. Pun tentang perasaannya pada beberapa orang sebelum ia bertemu denganku.

Meski sedikit sakit hati di beberapa bagian, terutama saat dia bercerita tentang perasaannya terhadap beberapa pria, aku tetap senang bukan main. Karena Rahasia telah membuatku menjadi istimewa karena bisa mendengarkan rahasia-rahasianya.

Tapi itu dahulu.

Beberapa bulan lalu, tiba-tiba Rahasia bilang ia masih punya satu rahasia lagi dariku dan seluruh dunia. Aku sumringah karena siap diistimewakan lagi olehnya. Merasa siap mendengar satu lagi rahasia dari orang yang paling kucintai.

Tapi prediksiku salah. Rahasia bilang dia memang punya rahasia, tapi dia tak bilang akan memberitahuku saat itu juga. Jadilah aku kecewa.

Aku kecewa karena tak bisa merasa istimewa lagi. Tapi kututupi kekecewaanku. Aku dijanjikan Rahasia akan diceritakan tentang rahasia satu itu, suatu waktu nanti. Jadi aku bersabar saja. Toh kami punya selamanya.

Tapi meskipun selamanya ada di genggaman tangan, tapi ia tak sembarang diberi nama selamanya. Ada alasan untuk nama itu. Selamanya dibuat untuk menggambarkan waktu yang sangat lama. Dan berbulan-bulan setelah Rahasia menjanjikan hal tersebut padaku, niatnya untuk menepati tak kunjung terjadi.

Aku tetap menutupi kekecewaan. Pasalnya aku lebih senang kalau Rahasia yang ingat sendiri tentang janjinya dan langsung menjelaskannya padaku. Tapi hal itu tak pernah terjadi.

Lama kelamaan aku merasa tak istimewa lagi bagi Rahasia. Ia merahasiakan sesuatu dariku dan seluruh dunia. Lantas apa bedanya aku dengan seluruh dunia? Karena bagiku Rahasia-ku berbeda dari orang-orang lain di dunia ini. Setidaknya di mataku dialah yang paling istimewa.

Maka aku mulai menduga-duga rahasianya. Rahasia apa yang ia punya, yang membuatnya begitu merahasiakannya. Bahkan dariku yang sudah sangat mengenalnya luar dalam. Dariku yang sangat ia cintai.

Aku tak punya pikiran lain selain, bahwa rahasianya Rahasia adalah sesuatu yang membuatku akan lebih bahagia. Misalnya catatan pribadinya tentang segala sesuatu yang ia puja dariku. Biarlah sedikit narsis.

Itu jauh lebih baik daripada berpikiran buruk tentang rahasia itu. Memikirkan Rahasia punya rahasia saja sudah membuat kepalaku sempoyongan selalu, belum lagi sakit hati yang muncul kalau pikiran dia tidak lagi percaya padaku muncul.

Hah!

Ah ya, Rahasia pernah bilang alasan kenapa rahasia tersebut belum dia beritahukan padaku. Katanya, "Aku takut kamu marah. Aku belum siap kamu tahu. Cuma itu kok alasannya. Jadi tenang saja ya, pasti bakal aku beritahu nanti."

Bisa bayangkan apa yang kurasakan? Tak perlu kau bilang, aku sudah merasakannya. Aku kesal. Kecewa, sangat, sangat kecewa. Terutama pada diri sendiri. Ternyata aku terlalu naif kalau berpikiran dia sengaja mengistimewakan diriku dengan sejuta rahasianya. Bukankah aku baru istimewa jika dia memberitahuku satu -satu saja- rahasia yang paling dirahasiakannya itu?

Jadi kupaksa ia untuk memberitahuku. Untuk membuktikan bahwa aku memang seistimewa itu.
"Enam hari lagi!" kataku
"Aku belum siap."
"Enam hari lagi."
"Nanti saja kalau kita sudah punya rumah sendiri. Aku janji," tambahnya.
"Kau bukan Tuhan! Bagaimana kalau aku mati besok?"
"Ndak boleh."
"Kau bukan Tuhan! Enam hari lagi..." aku memutuskan hubungan jarak jauh kami.
Sialnya, sebelum enam hari yang paling kutunggu datang, ajalku mendahului semuanya. Ia datang mendahului hari di mana aku akan melihat Rahasia melunturkan egoisnya untukku atau membuatku merasa tidak istimewa selamanya.

Sekarang aku hanya bisa melihatnya menangis menyesal dari atas langit. Sebentar lagi dia pasti akan membisikkan rahasianya ke telinga mayatku. Lagi pula sudah kubilang dia bukan Tuhan!


______________
 Lagi, saya menemukan sesuatu tentang Rahasia di jurnal pribadi Oktober.
,   |   No comments   |  

Dosa Terindah

 
 
Sayapku lemah. Tubuhku terpaku. Entah karena lelah terbang seharian, atau memang makhluk di depanku pintar menghipnosis. Yang jelas aku membatu menatapnya.
Matanya! Matanya sangat memikat. Shit! Mana mungkin malaikat sepertiku bisa punya hati! Tapi kalaupun punya, pasti gadis itu telah mencurinya dariku. Sialan! Aku benar-benar jatuh cinta sekarang.
Dan bila Tuhan ingin memotong sayapku karena telah berbuat  dosa paling besar ini, aku rela karena dia. Karena dia adalah dosa terindah bagiku.
***
Tengah malam tadi, seseorang mem-pos sesuatu di statusnya dan menandai nama saya. Isinya kurang lebih seperti tiga paragraf yang saya tuliskan di atas. Katanya sih itu isi sms saya tiga tahun lalu padanya. Padahal seingat saya sudah enam tahun lebih kami tidak bertemu. Selama itu pula saya tidak punya nomor selulernya. Hahaha... kira-kira apa yang saya pikirkan saat mengirim sms tersebut ya. 
- Oktober

Friday, August 23, 2013

  |   No comments   |  

Senandika 37 Surat



Judul                : Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya
Pengarang        : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit            : Gramedia Pustaka Utama
Tahun               : 2013, Juni
Tebal                : 236 hal

Tanpa satu nama pun, tanpa dialog, hanya narasi sepanjang 37 surat panjang, Michell, saya kira mencoba berfilosofi. Atau dia memang begitu.

 

Surat Panjang Tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya memang sebuah judul yang provokatif. Judul sepanjang itu dan embel-embel Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 tentu akan menarik minat (sangat) banyak orang. Belum lagi nama Dewi Kharisma Michellia.
Meski ini kali pertamanya nama tersebut tercantum sebagai nama penulis di sebuah novel, tapi gadis ini punya banyak teman seantero Indonesia. Dia berbakat memanfaatkan teknologi untuk meluaskan jaringan dan menyebarkan karya. Di blog pribadinya ia berbagi puluhan cerpennya yang beberapa di antaranya dimuat di media nasional.
Sebenarnya, melalui sebuah kicauannya di media sosial, saya tahu kalau Surat Panjang, kita singkat saja begitu, adalah novel ke-33 Michell. Saya juga heran kenapa judul naskah ini yang ia kirimkan ke Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Tapi syukurlah, karena bisa jadi unggulan pada lomba bergengsi tersebut, alih-alih menjadi novel pertama yang ia terbitkan.
Surat Panjang sendiri, seperti namanya adalah senandika 37 surat yang diceritakan oleh seorang wanita berusia 40 tahunan yang tak diberi nama. Surat-surat wanita itu ia tujukan kepada cinta abadi-nya yang tak pernah sampai karena terhalang problema darah. Ia menyebut sepupu yang ia cintai itu sebagai Tuan Alien, karena secuil kisah yang sempat mereka kecap sewaktu kecil.
Meskipun dibangun oleh fondasi ‘kasih tak sampai’ dan rasa patah hati karena ditinggal nikah Tuan Alien, tapi saya mengasumsikan jenis novel ini bukanlah roman. Isinya memang konsisten seperti judulnya, memang kumpulan surat yang ditulisnya bertahun-tahun hingga ia mati karena kanker, atau begitulah pembaca digiring. Tapi melalui surat-surat tersebut, Aku yang merupakan seorang reporter media nasional di Jakarta, menuturkan banyak sekali nilai-nilai filosofi kehidupan.
Tentang kesendirian, patah hati, terbuang, ketidakbahagiaan, patah hati. Tema-tema yang sebenarnya biasa hadir di kehidupan sehari-hari. Namun dikupas secara dalam dan kebanyakan dibedah di dalam alam pikiran.
Sehingga tepat kalau dikatakan sebagai novel yang difilsafatkan. Genre inilah yang hadir pada buku-buku penulis kenamaan Indonesia sekarang yang karya-karyanya diakui sebagai buah sastra modern. Sebut saja nama-nama seperti Dewi Lestari atau Djenar Maesa Ayu.
Diksi Michell begitu memukau. Ia mengumbar pengetahuan-pengetahuannya yang ia dapat dari membaca buku-buku bagus, mendengar simfoni-simfoni gubahan maestro dan film-film sesuai seleranya yang sesekali ia kutip dalam beberapa paragraf.
Namun sesungguhnya saya pribadi tidak terlalu suka dengan para penulis yang bahasanya sungguh indah sedemikian rupa hingga meleleh-leleh pembaca dibuatnya. Masalah selera saja. Saya rasa penulis-penulis demikian terlalu egois dengan diksi-diksi dalam mereka. Tapi dengan Surat Panjang ini, Michell mampu disandingkan dengan nama-nama tersebut.
Dan karena pilihan kata yang disampaikan Michell begitu memukau, ia turut terjebak dalam karakteristik kebanyakan penulis Indonesia, yang hanya menyuguhkan permainan kata nan apik tapi lupa menyajikan akhir yang baik bagi ceritanya sendiri. Seperti Pulang-nya Leila S Chudori, atau seri Supernova-nya Dewi Lestrari, Surat Panjang juga berakhir begitu saja. Seperti hanya memoar Aku hingga ia menjelang ajalnya.
Selain itu, kekurangan buku ini juga terletak pada formatnya. Format surat yang full narasi begini memang akan berisiko membuat pembaca kebosanan meski sebenarnya cukup menarik. Jadilah Aku yang diciptakan Michell bersenandika sepanjang 37 surat, yang meski teruntuk Tuan Alien, namun malah menjadi memoar pribadinya menggerutui hidup.