Friday, April 26, 2013

  |   No comments   |  

Warna Kita Sama



Marina tak mengenal warna sejak lahir. Matanya hanya bisa menangkap gradasi hitam, abu-abu dan putih. Alih-alih mati penasaran dengan warna-warni yg orang-orang di sekitarannya ributkan setiap hari, Marina tak peduli sama sekali. Tapi Sabtu pagi ini mengubah pandangan Marina tentang warna.

Untuk pertama kalinya ia menangkap sebuah warna lain selain hitam, abu-abu dan putih. Sebuah warna yang menyala terang di tengah kebutaan indera penglihatannya terhadap warna. Ia sendiri tak tahu warna apa itu. Karena itu adalah warna pertama yg ia lihat seumur hidup.

Warna itu mendadak menyala dari sepasang mata yang begitu cantik. Sepasang mata bulat, tajam, nan cemerlang. Sepasang mata yang benar-benar sulit Marina abaikan karena warna itu. "Aduh, warna apa sih itu?" batin Marina.
Tiba-tiba mata itu menangkap keganjilan tingkah Marina yg diam-diam memerhatikannya dari kejauhan. Tapi si empunya mata indah itu bukannya ketakutan malah memberikan seulas senyum pada Marina. Senyum yg membuat lutut-lututnya lemas.

"Lania, ayo kita pergi!" seorang gadis, mungkin berusia delapan tahun, bergaun putih keabu-abuan, rambut hitam legam dan kulit abu-abu tua, menghampiri si mata berwarna dan mengajaknya pergi.

Perasaan gundah mendadak menelusup ke benak Marina. Rasa kecewa, entah darimana, turut menggelabukan perasaannya. Ia masih penasaran dengan si mata berwarna; si Lania.

***
Lania tidak tahu kata lain selain rindu, yang bisa mendeskripsikan perasaannya sekarang. Dan perasaan ini muncul saat ia dipaksa Naya untuk pergi dari taman, pagi tadi. Padahal, di taman itu, untuk pertama kalinya di hidup Lania, ia melihat sebuah warna. Warna yang belum ia ketahui namanya. Dan warna itu dilihatnya pada sepasang mata sendu yang begitu teduh ketika dipandang. Kepada mata itu pula rindu yang kini ia rasakan sedang tertuju.

Sejak lahir, mata Lania memang hanya bisa menangkap gradasi hitam, abu-abu dan putih. Mungkin karena hal itulah Lania jadi begitu merindukan si mata berwarna yang tampak terkejut sekali saat Lania melemparkan senyum padanya.
Dalam hati yang dipenuhi rindu, Lania berdoa: "Semoga pagi ini bukan pertemuan terakhirku dengan sepasang mata itu."

***

Marina jadi keranjingan pergi ke taman setiap hari. Pasalnya ia sudah mati penasaran ingin bertemu lagi dengan Lania si mata berwarna.

Rasa penasarannya sudah akut. Bukan hanya karena dari mata Lania lah, Marina bisa melihat satu-satunya warna, tapi karena diam-diam Marina juga punya perasaan aneh pada Lania.

Sejak Sabtu itu, Marina jadi tak bisa bernapas tanpa memikirkan Lania di kepalanya. Ia jadi sering senyum sendiri, bahkan tertawa sendiri saat memikirkan si cantik itu.

Marina tahu ada yang salah dalam keranjingannya memikirkan Lania. Ia sadar kalau mereka punya kelamin yang sama, bokong yang sama-sama molek, yang tentu saja menarik bagi para pejantan. Tapi, Marina tak bisa bohong pada dirinya sendiri, kalau Lania, si mata berwarna, telah membuatnya jatuh hati.

Lagipula, cinta sesama jenis bukan hal baru baginya. Dulu, Marina ingat betul, saat usianya masih beberapa hari, ibunya pernah bermesraan dengan gadis lain di depan matanya dan ketiga adiknya. Beberapa tahun setelah itu, ia juga melihat Dina, adik kandungnya dari ayah yang berbeda juga bermesraan dengan sesama jenis. Jadi, Marina masih merasa tak ada yang terlalu salah dengan perasaannya pada Lania. Kecuali, perasaan rindunya yang makin menjadi-jadi setiap detiknya.

Sialnya, hari ini adalah minggu kedua Marina menanti Lania dalam kehampaan di taman ini. Dan rindu di dadanya sudah penuh sesak. Di dua minggu ini pula hari-hari Marina kembali monoton tanpa warna. Hanya hitam, abu-abu dan putih.

"Hai, kau!" mendadak terdengar suara yang asing di telinga Marina, memanggilnya.

Spontan, ia menoleh ke sumber suara. Lantas terkejut, karena untuk kedua kalinya ia melihat sebuah warna dalam hidupnya. Dan rasanya masih sama seperti kali pertama: takjub.

"Hai..." lidah Marina mendadak kelu. Ia dibuat gagap oleh perasaan gugup yang mendadak menelusup.

"Siapa namamu?" Lania tersenyum. Senyum yang membuat lutut-lutut Marina kembali lemas.

"Ma-ri-na.."

"Aku Lania,"

"Aku tahu," kali ini Marina yang tersenyum.

Lantas, seperti telah saling mengetahui perasaan masing-masing, Marina dan Lania langsung mendekatkan kepala mereka dan saling menjilat wajah.

"Lania... Hei, di sini kau rupanya. Eh! Kau dapat teman baru ya? Wah... Wah... Mata kalian sama-sama hijau. Cantik sekali dia..."

Naya mendadak merapat ke arah dia sejoli yang tengah memadu kasih itu. Dan dengan paksa menggendong Marina. "Kucing lucu... Siapa pemilikmu, sayang?" tanya Naya pada Marina, sambil mengusap-usap kepala kucing itu.

*Cerpen ini dimuat pada Kover MAGAZINE Edisi April 2013

Monday, April 1, 2013

  |   No comments   |  

Rahasia Bulan dan Mentari



Latte menyengat dari cangkir bundar di depan hidungku
Si Panjang dan Pendek masih saja berkejar-kejaran
Begitu pula Bulan yang tak lelah menggapai Mentari
Atau Mentari yang selama ini berusaha mendekap Bulan
Entahlah...
Mereka pintar menyimpan rahasia dalam diam
Tapi aku jadi berpikir sejenak
Tak ada benda bersinar lain di langit kecuali mereka
Ada tapi jauh...
Lantas kenapa mereka tak bisa bersatu
Keduanya menahan sepi dalam kesendirian
Saling kejar, entah saling lari
Tak ada yang tahu yang terjadi sebenarnya
Itu hanya terjadi antara mereka saja
Rasa itu... entah sepi, entah benci
Tapi Mentari dan Bulan tak pernah bersama
Nyaris, selalu saja nyaris
Bukan selalu berusaha lebih keras untuk menggapai Mentari..
Tapi selalu nihil, seolah keindahan mentari meredupkan semangatnya
Lantas aku teringat kita
Aku si Bulan dan kau Mentarinya..
Hah...
Saat ini latte ini malam ini
Sebaiknya hanya aku dan Bulan saja
#di sebuah bon dari kedai kopi