Friday, August 23, 2013

  |   No comments   |  

Senandika 37 Surat



Judul                : Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya
Pengarang        : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit            : Gramedia Pustaka Utama
Tahun               : 2013, Juni
Tebal                : 236 hal

Tanpa satu nama pun, tanpa dialog, hanya narasi sepanjang 37 surat panjang, Michell, saya kira mencoba berfilosofi. Atau dia memang begitu.

 

Surat Panjang Tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya memang sebuah judul yang provokatif. Judul sepanjang itu dan embel-embel Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 tentu akan menarik minat (sangat) banyak orang. Belum lagi nama Dewi Kharisma Michellia.
Meski ini kali pertamanya nama tersebut tercantum sebagai nama penulis di sebuah novel, tapi gadis ini punya banyak teman seantero Indonesia. Dia berbakat memanfaatkan teknologi untuk meluaskan jaringan dan menyebarkan karya. Di blog pribadinya ia berbagi puluhan cerpennya yang beberapa di antaranya dimuat di media nasional.
Sebenarnya, melalui sebuah kicauannya di media sosial, saya tahu kalau Surat Panjang, kita singkat saja begitu, adalah novel ke-33 Michell. Saya juga heran kenapa judul naskah ini yang ia kirimkan ke Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Tapi syukurlah, karena bisa jadi unggulan pada lomba bergengsi tersebut, alih-alih menjadi novel pertama yang ia terbitkan.
Surat Panjang sendiri, seperti namanya adalah senandika 37 surat yang diceritakan oleh seorang wanita berusia 40 tahunan yang tak diberi nama. Surat-surat wanita itu ia tujukan kepada cinta abadi-nya yang tak pernah sampai karena terhalang problema darah. Ia menyebut sepupu yang ia cintai itu sebagai Tuan Alien, karena secuil kisah yang sempat mereka kecap sewaktu kecil.
Meskipun dibangun oleh fondasi ‘kasih tak sampai’ dan rasa patah hati karena ditinggal nikah Tuan Alien, tapi saya mengasumsikan jenis novel ini bukanlah roman. Isinya memang konsisten seperti judulnya, memang kumpulan surat yang ditulisnya bertahun-tahun hingga ia mati karena kanker, atau begitulah pembaca digiring. Tapi melalui surat-surat tersebut, Aku yang merupakan seorang reporter media nasional di Jakarta, menuturkan banyak sekali nilai-nilai filosofi kehidupan.
Tentang kesendirian, patah hati, terbuang, ketidakbahagiaan, patah hati. Tema-tema yang sebenarnya biasa hadir di kehidupan sehari-hari. Namun dikupas secara dalam dan kebanyakan dibedah di dalam alam pikiran.
Sehingga tepat kalau dikatakan sebagai novel yang difilsafatkan. Genre inilah yang hadir pada buku-buku penulis kenamaan Indonesia sekarang yang karya-karyanya diakui sebagai buah sastra modern. Sebut saja nama-nama seperti Dewi Lestari atau Djenar Maesa Ayu.
Diksi Michell begitu memukau. Ia mengumbar pengetahuan-pengetahuannya yang ia dapat dari membaca buku-buku bagus, mendengar simfoni-simfoni gubahan maestro dan film-film sesuai seleranya yang sesekali ia kutip dalam beberapa paragraf.
Namun sesungguhnya saya pribadi tidak terlalu suka dengan para penulis yang bahasanya sungguh indah sedemikian rupa hingga meleleh-leleh pembaca dibuatnya. Masalah selera saja. Saya rasa penulis-penulis demikian terlalu egois dengan diksi-diksi dalam mereka. Tapi dengan Surat Panjang ini, Michell mampu disandingkan dengan nama-nama tersebut.
Dan karena pilihan kata yang disampaikan Michell begitu memukau, ia turut terjebak dalam karakteristik kebanyakan penulis Indonesia, yang hanya menyuguhkan permainan kata nan apik tapi lupa menyajikan akhir yang baik bagi ceritanya sendiri. Seperti Pulang-nya Leila S Chudori, atau seri Supernova-nya Dewi Lestrari, Surat Panjang juga berakhir begitu saja. Seperti hanya memoar Aku hingga ia menjelang ajalnya.
Selain itu, kekurangan buku ini juga terletak pada formatnya. Format surat yang full narasi begini memang akan berisiko membuat pembaca kebosanan meski sebenarnya cukup menarik. Jadilah Aku yang diciptakan Michell bersenandika sepanjang 37 surat, yang meski teruntuk Tuan Alien, namun malah menjadi memoar pribadinya menggerutui hidup.