Judul :
Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya
Pengarang : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013, Juni
Tebal : 236 hal
Pengarang : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013, Juni
Tebal : 236 hal
Tanpa
satu nama pun, tanpa dialog, hanya narasi sepanjang 37 surat panjang, Michell,
saya kira mencoba berfilosofi. Atau dia memang begitu.
Surat Panjang Tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya
memang sebuah judul yang provokatif. Judul sepanjang itu dan embel-embel
Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 tentu akan menarik minat (sangat)
banyak orang. Belum lagi nama Dewi Kharisma Michellia.
Meski ini kali pertamanya nama tersebut tercantum sebagai
nama penulis di sebuah novel, tapi gadis ini punya banyak teman seantero
Indonesia. Dia berbakat memanfaatkan teknologi untuk meluaskan jaringan dan
menyebarkan karya. Di blog pribadinya ia berbagi puluhan cerpennya yang
beberapa di antaranya dimuat di media nasional.
Sebenarnya, melalui sebuah kicauannya di media sosial,
saya tahu kalau Surat Panjang, kita singkat saja begitu, adalah novel ke-33
Michell. Saya juga heran kenapa judul naskah ini yang ia kirimkan ke Sayembara
Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Tapi syukurlah, karena bisa jadi unggulan
pada lomba bergengsi tersebut, alih-alih menjadi novel pertama yang ia
terbitkan.
Surat Panjang sendiri, seperti namanya adalah senandika
37 surat yang diceritakan oleh seorang wanita berusia 40 tahunan yang tak
diberi nama. Surat-surat wanita itu ia tujukan kepada cinta abadi-nya yang tak
pernah sampai karena terhalang problema darah. Ia menyebut sepupu yang ia
cintai itu sebagai Tuan Alien, karena secuil kisah yang sempat mereka kecap
sewaktu kecil.
Meskipun dibangun oleh fondasi ‘kasih tak sampai’ dan
rasa patah hati karena ditinggal nikah Tuan Alien, tapi saya mengasumsikan
jenis novel ini bukanlah roman. Isinya memang konsisten seperti judulnya,
memang kumpulan surat yang ditulisnya bertahun-tahun hingga ia mati karena
kanker, atau begitulah pembaca digiring. Tapi melalui surat-surat tersebut, Aku
yang merupakan seorang reporter media nasional di Jakarta, menuturkan banyak
sekali nilai-nilai filosofi kehidupan.
Tentang kesendirian, patah hati, terbuang,
ketidakbahagiaan, patah hati. Tema-tema yang sebenarnya biasa hadir di
kehidupan sehari-hari. Namun dikupas secara dalam dan kebanyakan dibedah di
dalam alam pikiran.
Sehingga tepat kalau dikatakan sebagai novel yang
difilsafatkan. Genre inilah yang
hadir pada buku-buku penulis kenamaan Indonesia sekarang yang karya-karyanya
diakui sebagai buah sastra modern. Sebut saja nama-nama seperti Dewi Lestari
atau Djenar Maesa Ayu.
Diksi Michell begitu memukau. Ia mengumbar
pengetahuan-pengetahuannya yang ia dapat dari membaca buku-buku bagus, mendengar
simfoni-simfoni gubahan maestro dan film-film sesuai seleranya yang sesekali ia
kutip dalam beberapa paragraf.
Namun sesungguhnya saya pribadi tidak terlalu suka dengan
para penulis yang bahasanya sungguh indah sedemikian rupa hingga meleleh-leleh
pembaca dibuatnya. Masalah selera saja. Saya rasa penulis-penulis demikian
terlalu egois dengan diksi-diksi dalam mereka. Tapi dengan Surat Panjang ini,
Michell mampu disandingkan dengan nama-nama tersebut.
Dan karena pilihan kata yang disampaikan Michell begitu
memukau, ia turut terjebak dalam karakteristik kebanyakan penulis Indonesia,
yang hanya menyuguhkan permainan kata nan apik tapi lupa menyajikan akhir yang
baik bagi ceritanya sendiri. Seperti Pulang-nya Leila S Chudori, atau seri
Supernova-nya Dewi Lestrari, Surat Panjang juga berakhir begitu saja. Seperti
hanya memoar Aku hingga ia menjelang ajalnya.
Selain itu, kekurangan buku ini juga terletak pada
formatnya. Format surat yang full
narasi begini memang akan berisiko membuat pembaca kebosanan meski sebenarnya
cukup menarik. Jadilah Aku yang diciptakan Michell bersenandika sepanjang 37
surat, yang meski teruntuk Tuan Alien, namun malah menjadi memoar pribadinya
menggerutui hidup.