Saya sedang jaga ayah di rumah sakit, saat Cameo datang mengunjungi saya. Dia memang ke sana untuk bicara dengan saya. Bukan untuk melihat kondisi ayah, karena kemarin Cameo sudah menginap di rumah sakit bersama ibu. Bahkan dalam dua minggu ayah diinapkan di rumah sakit, Cameo sudah tiga kali ‘jaga malam’. Sementara saya sendiri, baru nanti malam sempat menginap menjaga ayah untuk pertama kalinya.
Ya, selama September-November kemarin saya
memang sangat-sangat sibuk.
Itulah alasan mengapa saya bahkan tak punya
waktu menjaga ayah. Itu juga alasan Cameo mengunjungi saya siang itu.
“Long
time no see, bro!” Cameo memukul pundak saya sambil tersenyum. Senyum yang
di dalamnya banyak sekali tanda dan makna. Sesuatu yang membuat saya tak kuat
membalas senyumnya.
Memang benar kami sudah tidak bertemu lama
sekali. Mungkin sudah enam bulan lebih. Terakhir kali di Maret, saat saya
traktir dia segelas cappucino dan kentang goreng. Waktu itu saya butuh
kupingnya.
Selepas itu, banyak hal yang membuat saya
akhirnya sibuk dengan diri sendiri dan masalah organisasi.
Sesuatu yang akhirnya menarik saya dari Cameo
dan alterego lainnya.
“Mari keluar sebentar, bro? Biarin ayah istirahat sebentar,” kata
Cameo.
Lalu, kami berdua pergi ke warung nasi padang
di depan rumah sakit. Makan siang. Dan di sanalah terjadi sebuah percakapan
yang membuat saya berefleksi atas diri sendiri. Ia terjadi awal November
kemarin, tapi sengaja baru saya tulis sekarang.
Karena rasanya, akhir tahun adalah waktu yang
tepat untuk membaginya.
Kira-kira beginilah penggalan percakapan itu:
Cameo: Ke mana saja belakangan ini?
Saya: (tersenyum) tidak ke mana-mana. Biasa. Organisasi
jadi sedikit butuh perhatian di tahun terakhir ini.
Lalu ada jeda. Pikiran saya sendiri kosong
waktu itu.
Cameo: Tahun yang sulit ya… (tersenyum).
Saya bahkan tak bisa tersenyum. Cameo benar. Tahun
ini benar-benar sulit, sebenarnya. Tak peduli seberapa besar saya berpikiran
positif tentangnya.
Cameo: Berapa resolusimu yang sudah
terlaksana?
Saya: (terkejut kemudian tertawa) Saya belum
menghitung. Tapi sepertinya tinggal satu yang tidak terlaksana.
Cameo: Apa itu?
Saya: Jadi lebih produktif sebagai penulis
lepas. Tahun ini saya jadi susah atur waktu. Termasuk waktu untuk menulis demi
diri saya sendiri. Kau pasti paham maksudku, Kem. (tertawa)
Cameo: Ya… ya.. masalah atur waktu lagi ya
(tersenyum getir).
Ada jeda lagi. Kali ini lumayan panjang.
Cameo: Lalu, kalau saya tanya apa kabarmu
sekarang, kau mau jawab bagaimana?
Saya diam. Pertanyaan Cameo berhasil menohok
ulu hati. Entah kenapa pahitnya empedu iba-tiba terasa hingga ke lidah. Membuat
mulut ini berat untuk bergerak. Pikiran saya tiba-tiba meloncat-loncat di saat
yang sama. Kembali mengenang bagaimana tahun ini dimulai.
Sebuah tanggung jawab besar saya emban di
organisasi. Waktu itu keadaan memang tidak nyaman bagi beberapa orang, termasuk
saya. Masalah juga datang dari rumah. Ibu dan ayah ‘berdebat hebat’ hahaha…
kalau saya boleh pakai istilah itu. Semuanya dimulai dengan perasaan berkecamuk
tahun ini. Lalu, seiring berjalan, masalah-masalah lain mulai muncul.
Sulit menjabarkannya tanpa kembali merasa
getir di ulu hati dan sekujur tubuh. Tapi masalah-masalah itu terasa begitu
kentara sehingga sulit mengingat momen-momen yang membuat bahagia.
Perkara cinta masih sama. Tahun ini saya
masih tuna asmara. Tak bisa menemukan orang sebaik Rahasia, sehingga sadar atau
tidak sadar saya masih berkeliling di lingkaran hidupnya. Berpindah hati
ternyata bukan perkara gampang. Sampai… ah ya! Saya punya satu momen bahagia
yang rasanya menutup kenangan atas beberapa masalah yang terjadi setahun ini!
Momen itu saya sebut sebagai ‘momen damai’. Terjadi
saat saya sedang berdua dengan Rahasia, dalam sebuah perjalanan pulang ke
rumah. Sulit menjelaskannya dengan kata-kata, tapi malam itu terasa sangat
damai. Kami berdua terlibat percakapan ringan tentang hidup, seperti yang
sebenarnya biasa kami lakukan, tapi beberapa saat kemudian kami berdua diam. Malam
juga tiba-tiba ikut diam. Hening itu kemudian menyusupkan damai ke dalam hati
kami berdua. Rahasia tersenyum di boncengan. Saya juga, kemudian bertanya, “Kamu
juga merasa apa yang saya rasa sekarang?”. Dia menjawab, “Iya, sulit
menjelaskannya tapi saya paham maksudmu.”
Abstrak? Begitulah yang kami rasakan. Entah dari
mana perasaan damai itu datang, tapi bahagia yang diciptakannya benar-benar
menyentuh kami secara abstrak.
Tapi, seminggu ini saya sudah tidak
berhubungan lagi dengan Rahasia. Ada masalah yang mengganggunya. Tentang eksistensi
diri saya, dan eksistensi dirinya sendiri. Masalah filosofi dalam hidup kami. Ada
benturan pikiran, yang sebenarnya biasa terjadi antarkami berdua. Tapi kali ini
sudah ditumpuk-tumpuk tanpa ada komunikasi lancar sebelumnya. Sehingga beginilah:
masalah dengan Rahasia juga jadi salah satu masalah terberat setahun ini.
Sejumlah orang yang punya tempat istimewa
tersendiri di hati dan pikiran saya anehnya juga terdepak begitu saja dari
hidup saya. Beberapa karena masalah yang seumur hidup belum pernah saya alami
di tahun-tahun sebelumnya. Saya memang tak pernah punya masalah personal
seberat semua masalah personal yang terjadi di 2014 ini. Tak pernah kehilangan
teman karena masalah begini, dan karena ini yang pertama kali, maka rasanya
begitu berat dan sakit.
Tapi masalah ini berhasil membawa saya tiga
langkah lebih mengenal diri saya sendiri. Lagi.
Tahun ini juga membawa jarak yang sangat
panjang sebenarnya pada seorang kakak. Kakak yang belakangan saya rindukan
alang kepalang. Sempat bertemu di tahun ini, jadi sedikit bersyukur. Semoga tahun
depan bisa punya waktu untuk bertemu lebih lama. Bercerita lagi di sore-sore
bersenja cantik, sambil minum espresso paling pahit.
Ah ya, betapa buruknya kesan yang
ditinggalkan tahun ini, masih ada ‘semoga’ yang bisa terlontar untuk tahun
berikutnya. Masih ada harapan yang mampu melambungkan perasaan getir.
Jadi kalau ditanya, apa kabar saya sekarang?
Maka jawabannya adalah, “Pada akhirnya saya masih saya. Tentu dengan segala
yang hilang dan apa pun itu yang bertambah. Dengan segala kesenangan dan
kegetiran di dalamnya, saya baik-baik saja.”
P.S. Sebenarnya ada lagi yang terjadi di
Desember, sesuatu yang saya pikir tak mungkin lagi terjadi. Maksudnya,
bagaimana mungkin kegetiran masih berani menyelinap masuk ke bulan terakhir
tahun ini? Dan ternyata ia berhasil menyusup sehingga benar-benar menutup tahun
ini dengan kegetiran yang sempurna.
Hal itu adalah ketika melihat adik-adik,
saudara, keluarga, atau apalah julukan yang pas saya berikan pada beberapa
orang yang berhasil membuat saya jatuh cinta pada mereka tahun ini, menangis
karena jatuh ke dalam prediksi meleset mereka. Prediksi yang kelewat jauh
jatuhnya memang akan merusak orientasi yang sudah rapi disusun.
Sejak awal saya memang menarik diri jauh-jauh
dari keputusan besar yang mau mereka pilih sendiri. Kepada adik-adik ini, saya
bilang saya tak bisa bantu untuk pilihan mereka kali ini. Karena mereka sudah
dewasa dan harus belajar berpegang pada apa yang telah mereka putuskan dan
pilih. Tapi yang terjadi mereka malah sedih, karena lupa opsi lain yang sudah
dicadangkan takdir.
Namun demikian, karena takdirlah yang sudah
mencadangkan tentu saja yang terjadi bukanlah sesuatu tak ber-jalan keluar. Seperti
yang salah seorang adik pernah bilang, kiranya
sama seperti momen-momen mengejutkan lainnya, setelahnya menjadi soal
terima-tidak terima dan mulai kembali berirama. Semuanya memang
akan kembali berirama, maka beranilah untuk mengontrol iramanya agar tak
berujung jadi irama yang bising alang kepalang.
Untuk tangis yang pernah jatuh, percayalah saya benar-benar
minta maaf.
P.S.S. Kalau matamu sudah sampai ke paragraf ini, dan kau
tak mengerti sepenuhnya apa isi tulisan ini, maka tetaplah di sana. sebab ini
hanya catatan pribadi tentang tahun ini. Hanya sesuatu yang personal oleh
seorang pribadi. Hanya sebatas itu.