Wednesday, December 31, 2014

  |   No comments   |  

2014 dalam Sepotong Percakapan



Saya sedang jaga ayah di rumah sakit, saat Cameo datang mengunjungi saya. Dia memang ke sana untuk bicara dengan saya. Bukan untuk melihat kondisi ayah, karena kemarin Cameo sudah menginap di rumah sakit bersama ibu. Bahkan dalam dua minggu ayah diinapkan di rumah sakit, Cameo sudah tiga kali ‘jaga malam’. Sementara saya sendiri, baru nanti malam sempat menginap menjaga ayah untuk pertama kalinya.

Ya, selama September-November kemarin saya memang sangat-sangat sibuk.
Itulah alasan mengapa saya bahkan tak punya waktu menjaga ayah. Itu juga alasan Cameo mengunjungi saya siang itu.

Long time no see, bro!” Cameo memukul pundak saya sambil tersenyum. Senyum yang di dalamnya banyak sekali tanda dan makna. Sesuatu yang membuat saya tak kuat membalas senyumnya.

Memang benar kami sudah tidak bertemu lama sekali. Mungkin sudah enam bulan lebih. Terakhir kali di Maret, saat saya traktir dia segelas cappucino dan kentang goreng. Waktu itu saya butuh kupingnya.

Selepas itu, banyak hal yang membuat saya akhirnya sibuk dengan diri sendiri dan masalah organisasi.

Sesuatu yang akhirnya menarik saya dari Cameo dan alterego lainnya.

“Mari keluar sebentar, bro? Biarin ayah istirahat sebentar,” kata Cameo.

Lalu, kami berdua pergi ke warung nasi padang di depan rumah sakit. Makan siang. Dan di sanalah terjadi sebuah percakapan yang membuat saya berefleksi atas diri sendiri. Ia terjadi awal November kemarin, tapi sengaja baru saya tulis sekarang.

Karena rasanya, akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk membaginya.
Kira-kira beginilah penggalan percakapan itu:

Cameo: Ke mana saja belakangan ini?

Saya: (tersenyum) tidak ke mana-mana. Biasa. Organisasi jadi sedikit butuh perhatian di tahun terakhir ini.

Lalu ada jeda. Pikiran saya sendiri kosong waktu itu.

Cameo: Tahun yang sulit ya… (tersenyum).

Saya bahkan tak bisa tersenyum. Cameo benar. Tahun ini benar-benar sulit, sebenarnya. Tak peduli seberapa besar saya berpikiran positif tentangnya.

Cameo: Berapa resolusimu yang sudah terlaksana?

Saya: (terkejut kemudian tertawa) Saya belum menghitung. Tapi sepertinya tinggal satu yang tidak terlaksana.

Cameo: Apa itu?

Saya: Jadi lebih produktif sebagai penulis lepas. Tahun ini saya jadi susah atur waktu. Termasuk waktu untuk menulis demi diri saya sendiri. Kau pasti paham maksudku, Kem. (tertawa)

Cameo: Ya… ya.. masalah atur waktu lagi ya (tersenyum getir).

Ada jeda lagi. Kali ini lumayan panjang.

Cameo: Lalu, kalau saya tanya apa kabarmu sekarang, kau mau jawab bagaimana?

Saya diam. Pertanyaan Cameo berhasil menohok ulu hati. Entah kenapa pahitnya empedu iba-tiba terasa hingga ke lidah. Membuat mulut ini berat untuk bergerak. Pikiran saya tiba-tiba meloncat-loncat di saat yang sama. Kembali mengenang bagaimana tahun ini dimulai.

Sebuah tanggung jawab besar saya emban di organisasi. Waktu itu keadaan memang tidak nyaman bagi beberapa orang, termasuk saya. Masalah juga datang dari rumah. Ibu dan ayah ‘berdebat hebat’ hahaha… kalau saya boleh pakai istilah itu. Semuanya dimulai dengan perasaan berkecamuk tahun ini. Lalu, seiring berjalan, masalah-masalah lain mulai muncul.

Sulit menjabarkannya tanpa kembali merasa getir di ulu hati dan sekujur tubuh. Tapi masalah-masalah itu terasa begitu kentara sehingga sulit mengingat momen-momen yang membuat bahagia.

Perkara cinta masih sama. Tahun ini saya masih tuna asmara. Tak bisa menemukan orang sebaik Rahasia, sehingga sadar atau tidak sadar saya masih berkeliling di lingkaran hidupnya. Berpindah hati ternyata bukan perkara gampang. Sampai… ah ya! Saya punya satu momen bahagia yang rasanya menutup kenangan atas beberapa masalah yang terjadi setahun ini!

Momen itu saya sebut sebagai ‘momen damai’. Terjadi saat saya sedang berdua dengan Rahasia, dalam sebuah perjalanan pulang ke rumah. Sulit menjelaskannya dengan kata-kata, tapi malam itu terasa sangat damai. Kami berdua terlibat percakapan ringan tentang hidup, seperti yang sebenarnya biasa kami lakukan, tapi beberapa saat kemudian kami berdua diam. Malam juga tiba-tiba ikut diam. Hening itu kemudian menyusupkan damai ke dalam hati kami berdua. Rahasia tersenyum di boncengan. Saya juga, kemudian bertanya, “Kamu juga merasa apa yang saya rasa sekarang?”. Dia menjawab, “Iya, sulit menjelaskannya tapi saya paham maksudmu.”

Abstrak? Begitulah yang kami rasakan. Entah dari mana perasaan damai itu datang, tapi bahagia yang diciptakannya benar-benar menyentuh kami secara abstrak.

Tapi, seminggu ini saya sudah tidak berhubungan lagi dengan Rahasia. Ada masalah yang mengganggunya. Tentang eksistensi diri saya, dan eksistensi dirinya sendiri. Masalah filosofi dalam hidup kami. Ada benturan pikiran, yang sebenarnya biasa terjadi antarkami berdua. Tapi kali ini sudah ditumpuk-tumpuk tanpa ada komunikasi lancar sebelumnya. Sehingga beginilah: masalah dengan Rahasia juga jadi salah satu masalah terberat setahun ini.

Sejumlah orang yang punya tempat istimewa tersendiri di hati dan pikiran saya anehnya juga terdepak begitu saja dari hidup saya. Beberapa karena masalah yang seumur hidup belum pernah saya alami di tahun-tahun sebelumnya. Saya memang tak pernah punya masalah personal seberat semua masalah personal yang terjadi di 2014 ini. Tak pernah kehilangan teman karena masalah begini, dan karena ini yang pertama kali, maka rasanya begitu berat dan sakit.

Tapi masalah ini berhasil membawa saya tiga langkah lebih mengenal diri saya sendiri. Lagi.
Tahun ini juga membawa jarak yang sangat panjang sebenarnya pada seorang kakak. Kakak yang belakangan saya rindukan alang kepalang. Sempat bertemu di tahun ini, jadi sedikit bersyukur. Semoga tahun depan bisa punya waktu untuk bertemu lebih lama. Bercerita lagi di sore-sore bersenja cantik, sambil minum espresso paling pahit.

Ah ya, betapa buruknya kesan yang ditinggalkan tahun ini, masih ada ‘semoga’ yang bisa terlontar untuk tahun berikutnya. Masih ada harapan yang mampu melambungkan perasaan getir.
Jadi kalau ditanya, apa kabar saya sekarang? Maka jawabannya adalah, “Pada akhirnya saya masih saya. Tentu dengan segala yang hilang dan apa pun itu yang bertambah. Dengan segala kesenangan dan kegetiran di dalamnya, saya baik-baik saja.”

P.S. Sebenarnya ada lagi yang terjadi di Desember, sesuatu yang saya pikir tak mungkin lagi terjadi. Maksudnya, bagaimana mungkin kegetiran masih berani menyelinap masuk ke bulan terakhir tahun ini? Dan ternyata ia berhasil menyusup sehingga benar-benar menutup tahun ini dengan kegetiran yang sempurna.

Hal itu adalah ketika melihat adik-adik, saudara, keluarga, atau apalah julukan yang pas saya berikan pada beberapa orang yang berhasil membuat saya jatuh cinta pada mereka tahun ini, menangis karena jatuh ke dalam prediksi meleset mereka. Prediksi yang kelewat jauh jatuhnya memang akan merusak orientasi yang sudah rapi disusun.

Sejak awal saya memang menarik diri jauh-jauh dari keputusan besar yang mau mereka pilih sendiri. Kepada adik-adik ini, saya bilang saya tak bisa bantu untuk pilihan mereka kali ini. Karena mereka sudah dewasa dan harus belajar berpegang pada apa yang telah mereka putuskan dan pilih. Tapi yang terjadi mereka malah sedih, karena lupa opsi lain yang sudah dicadangkan takdir.

Namun demikian, karena takdirlah yang sudah mencadangkan tentu saja yang terjadi bukanlah sesuatu tak ber-jalan keluar. Seperti yang salah seorang adik pernah bilang, kiranya sama seperti momen-momen mengejutkan lainnya, setelahnya menjadi soal terima-tidak terima dan mulai kembali berirama. Semuanya memang akan kembali berirama, maka beranilah untuk mengontrol iramanya agar tak berujung jadi irama yang bising alang kepalang.

Untuk tangis yang pernah jatuh, percayalah saya benar-benar minta maaf.

P.S.S. Kalau matamu sudah sampai ke paragraf ini, dan kau tak mengerti sepenuhnya apa isi tulisan ini, maka tetaplah di sana. sebab ini hanya catatan pribadi tentang tahun ini. Hanya sesuatu yang personal oleh seorang pribadi. Hanya sebatas itu.

Saturday, December 27, 2014

  |   No comments   |  

Kata-kata Miris dan Kalimat Patah Hati



I'm a mess right now
Inside out
Searching for a sweet surrender
But this is not the end

I can't work it out
How going through the motions
Going through us
I've known it for the longest time
And all of my hopes
All of my words
Are all over written on the signs
When you're on my road
Walking me home
See the flames inside my eyes
It burns so bright I wanna feel your love, no
Easy baby maybe I'm a liar
But for tonight I wanna fall in love
And put your faith in my stomach

I messed up this time
Late last night
Drinking to suppress devotion
With fingers intertwined

I can't shake this feeling now
We're going through the motions
Hoping you'd stop

And though I've only caused you pain,
You know but all of my words will always be low
Although all the lies we spoke
When you're on my road
Loving can hurt, loving can hurt sometimes
But it's the only thing that I know
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It is the only thing that makes us feel alive
Loving can heal, loving can mend your soul
And it's the only thing that I know, know
I swear it will get easier,
Remember that with every piece of you
And it's the only thing we take with us when we die


*Ini dikutip dari dua lagu Ed Sheeran. Pemuda Oranye ini memang jago memasangkan dua kata miris jadi kalimat mematikan bagi mereka yang selalu patah hati.


Thursday, December 25, 2014

,   |   No comments   |  

Sudahkah Kau Memberi Makan Batinmu, Alia?


Dahulu kala, kata ibuku, miliaran tahun sebelum manusia ada, bahkan jutaan tahun sebelum dinosaurus pertama lahir di dunia, dan sekitar dua ribu tahun sebelum jagat raya ini terbentuk, Tuhan lebih dulu menciptakan sesosok makhluk yang kini masih ada, tapi tak lagi bisa kaulihat bentuknya.
Kala itu, malaikat dan iblis masih hidup di surga bersama-sama. Tapi makhluk ini diasingkan Tuhan dari tanah surga. Ia tak mau malaikat dan iblis menganggu makhluk-makhluk yang ia beri nama Bath ini.
Sebabnya sederhana. Makhluk ini sangat rapuh. Mereka diciptakan dari zat ringan semacam asap bernama Bath. Zat ini hanya bisa kautemukan di atas sebuah sungai cahaya di tanah surga tingkat empat. Mereka sengaja diciptakan Tuhan untuk mengisi sebuah bejana bernama Dunja. Bejana ini letaknya sangat jauh dari surga, kira-kira delapan ratus triliun kali kau mengelilingi setiap inci Bumi.
Kelak, bejana bernama Dunja ini yang akan jadi cikal-bakal jagat raya yang sekarang kautinggali.
Di Dunja, Bath pertama diciptakan Tuhan. Bentuknya seperti ameba yang kaukenal sekarang, namun tidak hijau dan tidak sekecil itu. Ia menggeliat-liat di udara Dunja. Lebih tepatnya melayang. Bath tak punya mata, telinga, atau organ lainnya seperti yang kau dan makhluk lain miliki. Ukuran Bath hanya sebesar jantungmu. Sementara besar Dunja hanya sebesar kepala Spinx di Mesir.
Meskipun kecil, ternyata Dunja terasa sangat luas bagi Bath pertama. Sehingga ia berdialog dengan Tuhan. Jangan tanya bagaimana, karena Tuhan punya cara-cara berdialog yang otak manusia tak bisa jangkau caranya. Jadi, percaya sajalah.
Bath pertama cerita pada Tuhan, bahwa ia merasa benar-benar kesepian hidup sendiri di Bejana Dunja. Kerjanya hanya makan dan melayang seharian di Dunja, sendirian.
Ah ya, aku lupa bilang, kalau Bath bisa makan meski ia tak punya mulut. Tentu kau sudah tahu, meskipun aku belum bilang, kan?
Seperti malaikat yang membutuhkan asupan cahaya setiap hari, serta kasih Tuhan yang jadi makanan utamanya tiap hari, atau iblis yang membutuhkan amarah, dengki, dan kebencian sebagai santapannya, Bath juga butuh makan.
Dan semua makanan malaikat-iblis adalah makanan Bath.
Sebenarnya, kesepian yang dirasakan Bath pertama adalah hasil dari makanannya. Semua yang ia makan menjalari tubuhnya dan berubah jadi bermacam keinginan. Hal inilah yang kemudian, saat manusia sudah menemukan bahasa, disebut sebagai hasrat. Sesuatu yang kelak akan sangat dielu-elukan manusia, sesuatu yang akhirnya dikejar semua manusia untuk diwujudkan. Karena hasrat adalah apa yang dikejar manusia seumur hidupnya.
Malaikat dan iblis tentu saja tak memiliki hasrat, sebab yang ia makan tidak sebanyak yang Bath makan.
Sehingga malaikat dan iblis memang tak banyak minta pada Tuhan. Seperti Bath pertama yang akhirnya meminta satu lagi Bath diciptakan Tuhan untuk menemaninya di Bejana Dunja.
Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang tentu saja mengabulkan permohonan Bath pertama.
Namun, karena sudah ada dua Bath di dalam Bejana Dunja, maka Tuhan memberikan mereka nama. Supaya masing-masing Bath punya identitas. Bath pertama diberi nama Jiwa. Sedangkan Bath kedua diberi nama Roh. Pemberian nama ini ternyata asal mula terjadinya perdebatan tentang pembeda-bedaan di dunia kita sekarang. Inilah cikal-bakal dari kata rasis, nantinya.
Berjuta-juta tahun berlalu. Kehadiran Roh ternyata membuat Jiwa begitu gembira. Hidupnya di Bejana Dunja jadi lebih bersemangat. Roh juga merasakan hal yang sama atas eksistensi Jiwa. Kedekatan keduanya kemudian menimbulkan elemen baru yang kelak dikenal sebagai cinta. Cinta inilah yang kemudian merubah warna kedua Bath ini menjadi lebih terang. Kalau sebelumnya mereka lebih terlihat seperti asap, karena cinta, tubuh mereka lebih mengilat sekaligus lebih transparan. Mirip-mirip cahaya.
Karena cinta pula, Jiwa dan Roh akhirnya beranak-pinak.
Dalam berjuta-juta tahun itu, Bejana Dunja jadi sempit karena kelahiran ribuan Bath lainnya. Tubuh Bath yang terjebak dalam keabadian menjadi alasan penuhnya Bejana Dunja.
Akibat penuhnya Bejana Dunja ini, Jiwa akhirnya kembali mohon kepada Tuhan untuk membinasakan Bath-Bath lainnya. Ia minta Tuhan untuk membuat Bejana Dunja kembali kosong, seperti sedia kala, saat ia hanya hidup berdua dengan Roh.
Permohonan ini diketahui oleh Bath lainnya, termasuk Roh. Meski sangat mencintai Jiwa, tapi Roh tak ingin kehilangan anak-cucunya. Untuk dua ribu tahun selama permohonan Jiwa belum dikabulkan Tuhan, Bejana Dunja jadi tempat paling rusuh. Semua Bath yang memakan kebencian, amarah, dan makanan iblis lebih banyak ketimbang makanan malaikat, mengamuk dahsyat. Akibat kerusuhan ini, di suatu ketika Bejana Dunja pecah.
Ia berantakan jadi sebuah keadaan hampa berwarna hitam. Keadaan ini yang kemudian kita kenal sebagai jagat raya. Tapi waktu pertama kali ada, jagat raya masih kosong tanpa bintang ataupun planet. Yang ada hanya Bath-Bath yang tersesat. Termasuk Jiwa dan Roh.
Selama ribuan tahun, mereka terpisah. Di jagat raya yang begitu luas, kemungkinan satu Bath bertemu dengan Bath lainnya hanya satu berbanding satu juta cahaya. Sehingga Jiwa kembali merasa sepi. Dan ia akhirnya kembali memohon pada Tuhan, kali ini ia tak lupa menambahkan kata “segera” dalam dialognya pada Tuhan. Ia ingin sesegera mungkin dipertemukan kembali dengan Roh.
Sambil menunggu permintaannya dikabulkan, Jiwa mulai mendengar tentang keberadaan surga. Selama ini Jiwa pikir, hanya Bath-lah makhluk yang diciptakan Tuhan. Sambil menunggu bertemu dengan Roh, Jiwa melayang-layang menjauhi jagat raya dan mencari keberadaan surga.
Saat ia tiba di surga, saat itulah permintaan itu dikabulkan Tuhan. Jiwa kembali bertemu dengan Roh. Mereka berdua adalah Bath pertama yang akhirnya bisa sampai ke surga.
Di surga, Jiwa memang tak lagi sendiri. Ada banyak sekali malaikat yang cantik-cantik, juga iblis-iblis buruk rupa yang menyeimbangkan luasnya tanah surga. Tapi Jiwa cemburu. Malaikat dan iblis punya bentuk tubuh yang lebih lengkap daripada ia yang hanya terlihat seperti asap. Oleh karenanya, Jiwa meminta Tuhan menciptakan makhluk yang lebih sempurna bentuknya daripada malaikat dan iblis. Kali ini, Tuhan tak lama-lama mengabulkan permintaan Jiwa. Sebab di saat bersamaan, Tuhan sedang mempersiapkan Bumi, tempat tinggal baru untuk Jiwa dan Roh, makhluk kesayangannya.
Bentuk Bumi yang tak terlalu jauh berbeda dengan surga, memang akan jadi tantangan berat bagi bentuk tubuh Jiwa dan Roh. Sehingga Jiwa dan Roh ditiupkan ke sebuah tubuh yang kemudian dipanggil Adam.
Dalam tubuh itu, Jiwa dan Roh hidup saling melengkapi. Tapi bentuk baru tubuh mereka tak bisa lagi hanya memakan apa yang biasanya mereka makan. Kini, daging dan darah di tubuh itu perlu air dan daging buah serta daging hewan untuk tetap bisa bertahan. Tapi tubuh Adam, yang sebenarnya adalah Bath tetap membutuhkan asupan harapan, kebencian, amarah, kasih, cahaya serta kegelapan untuk tetap hidup.
Itulah mengapa manusia, butuh mengisi batin—nama lain Bath di masa kini—mereka. Sebab kebutuhan asli manusia adalah apa yang dibutuhkan batinnya. Di sanalah letak asal-mula segalanya yang ada di dunia ini. Bumi hanya menyediakan apa yang batin manusia minta.
“Alia!” ibu berteriak dari lantai bawah memanggilku.
“Ya, Bu?”
“Sudahkah kau memberi makan batinmu, Alia?”
,   |   No comments   |  

Syair tentang Nirmala dan Umur Panjangnya

Tak sengaja, kutemukan sebuah syair tentang seorang gadis bernama Nirmala. Dalam syair itu, Nirmala disebut-sebut sebagai gadis paling cantik di dunia ini. Matanya hitam bak jelaga kendi, hidungnya runcing nan mungil bak ujung permata yang diasah oleh ahli batu mulia paling tersohor, sedang bibirnya penuh dan merah bak buah tomat baru matang: betul-betul menggoda. Belum lagi, Nirmala punya tubuh sintal yang kelewat ramping untuk gadis-gadis Melayu pada zamannya. Tapi buah dadanya segar, tak terlalu kecil, pun tak kelewat besar. Diceritakan pula, kalau berjalan, maka semua mata pria akan tertanam ke pinggul montok dan kaki jenjang Nirmala.
Tapi sayang, gadis tercantik di dunia itu sekaligus jadi gadis paling terkutuk di jagat raya ini. Syair itu bilang, Bisalah jadi Nirmala memang gadis tercantik di dunia, tapi tiadalah lagi yang paling dikutuk selain jadi tercantik di jagat raya.
Dan syair itu berakhir di sana. Kertas tempat ia dituliskan memang robek setengah. Jadi, aku tak benar-benar tahu jika bait terakhir memanglah bait terakhir syair itu.
Kertasnya aku dapatkan dari balik bantal nenek saat bangun tadi pagi. Tapi, nenek sedang menyiapkan sarapan bersama Nini, pengasuh nenek yang dibayarnya dari panti jompo, jadi aku tak bisa langsung tanya. Lantas kubaca saja. Dan di sinilah aku sekarang, terjebak penasaran atas kisah si cantik Nirmala.
Saat nenek teriak memanggil namaku dari dapur, aku tahu itu saat yang tepat bertanya padanya tentang Nirmala dan secarik kertas berisi syair tentangnya ini.
“Kau dapat kertas itu dari mana?” muka nenek awalnya sangat terkejut.
“Bawah bantalmu, Nek,” kataku.
Lantas ada hening panjang di antara kami. Nenek menghela napasnya dulu. Kemudian meletakkan wajan berisi omelet yang ia masak di atas kompor. Lalu duduk di kursi di sebelahku. Matanya kemudian menerawang. Tapi kemudian, seulas senyum terpampang di wajahnya, sebelum akhirnya ia bercerita padaku:
***
Dahulu di negeri Melayu, di Tanah Deli, hidup seorang gadis jelita bernama Nirmala. Waktu itu, tepatnya tahun 1672, Nirmala masih gadis belia berusia 16 tahun. Ia memang dianugerahi kecantikan seribu dewi di Bumi dan seribu bidadari di surga. Rambutnya bergelombang dan mengeluarkan wewangian alami yang bisa membuat orang tersenyum saat menciumnya. Mata sehitam jelaga kendi, dengan gigi-geligi seputih kapas. Sangat menawan saat ia tersenyum, karena dibungkus oleh dua belah bibir penuh yang berwarna merah delima, tanpa gincu buatan.
Kakinya jenjang, mirip kaki noni-noni Belanda. Tubuhnya sintal, tak seperti putri-putri Melayu lain yang mulai gendut karena kue-kue impor dari Belanda yang terbuat dari keju dan mentega paling berlemak sedunia.
Tiap pria yang melihatnya, muda-tua, bujang-beristri, renta-belia, selalu mengences tapi hanya bisa membawa Nirmala sebatas fantasi sebelum tidur. Sebab, Nirmala memanglah salah satu putri dari Sultan Tuanku Panglima Gocah, sultan pertama yang membangun Kesultanan Deli. Ia bergelar Putri Nan Beluan, namun punya panggilan kecil bernama Nirmala yang berarti suci atau tanpa cacat, persis dengan kesempurnaan fisik yang dimilikinya sejak lahir.
Namun, di balik kecantikannya yang luar biasa, Nirmala ternyata dikutuk sejak lahir. Kata dukun beranak yang menangani persalinan Sang Permaisuri, putrinya memang akan terlahir cantik jelita, tapi di balik kecantikannya nanti, umur sang putri akan berhenti di usia 17 tahun.
Lepas beberapa detik mengatakan itu, sang dukun malah tewas mendadak tersedak napasnya sendiri.
Meski enggan percaya, tapi Sang Permaisuri menangis sepanjang malam mendengar ucapan si dukun. Seumur hidupnya tak pernah sama lagi, ia akan selalu menangis ketika memandangi putrinya, Nirmala. Bahkan Sang Permaisuri mangkat saat Nirmala berusia tujuh tahun. Ia wafat karena kesedihan yang menggerogoti jantungnya.
Nirmala memang tumbuh sempurna sebagai gadis cantik jelita.Puja-puji memang tak pernah absen mengisi harinya.Ia senang jadi gadis jelita, tapi di balik itu semua ia juga merasa terbebani atas kematian ibunya. Pun, ketakutan atas kutukan yang lahir bersamanya.
Atas ketakutan itu pula, akhirnya Nirmala diputuskan akan menikah di usia 16 tahun. Ia sebenarnya tak senang, tapi tak baik melawan raja. Lagi pula, sebelum meninggal Nirmala juga ingin mencicipi jadi seorang istri.
Maka ia dipersunting oleh seorang Raja dari Negeri Melayu di Pulau Borneo yang sudah kepala lima, jadi istri ketiga.
Mendekati ulang tahunnya ketujuh belas, Nirmala makin ketakutan. Tapi ia akhirnya mengikhlaskan segalanya pada Tuhan. Di malam terakhir ia berusia enam belas, Nirmala berdoa pada Tuhan. “Ambillah nyawa hamba, wahai Engkau pemilik jagat raya.Tapi hamba mohon, Engkau bersudi kira memberi hamba keturunan. Agar orang-orang pernah ingat, bila sorang subang bertajuk[1] Nirmala pernah hidup.” Lalu ia menangis sejadi-jadinya.
Esok hari tiba, dan akhirnya berakhir. Tapi Nirmala ternyata tak wafat di hari itu. Bahkan setahun lewat, dan ia berulang tahun kedelapan belas, sembilan belas, lalu dua puluh sembilan. Kutukan itu ternyata bukan tentang berakhirnya hidup Nirmala. Ia ternyata tak mati. Tapi, umurnya memang berhenti di angka tujuh belas.
Nirmala dikutuk untuk hidup abadi.
Semua orang mulai menyadarinya ketika ia berulang tahun yang ketiga puluh. Tapi tubuhnya masih cantik bak gadis belas berusia tujuh belas tahun. Padahal ia sudah beranak empat kali. Hamil pertamanya ia ketahui di ulang tahunnya ketujuh belas.
Kecantikan Nirmala ternyata juga abadi seperti tubuhnya. Membuat Raja Negeri Melayu di Pulau Borneo akhirnya menceraikan lima istri lainnya, karena bangga beristrikan Nirmala seorang.
Dan di sanalah kutukan Nirmala mulai terasa. Kelima mantan istri Sang Raja yang ditikam patah hati, akhirnya bersekongkol mencelakai Nirmala. Ia berusaha dilempar ke jurang. Tiga dari empat anaknya tewas karena insiden itu. Tapi Nirmala tetap tak bisa mati. Ia telah dikutuk hidup abadi dengan kecantikan tiada tara sejagat raya.
Kutukan itu kembali terasa seperti kutukan yang sebenarnya, saat orang-orang yang dicintai Nirmala mulai wafat dimakan usia. Ayah, kakak, adik, suami, dan bahkan anak serta menantunya.
Saat anaknya meninggal di usia tujuh puluh, bersama menantunya dalam sebuah perang, Nirmala benar-benar terpukul berat. Ia merasa kecantikan yang abadi di tubuh imortalnya mulai menyiksa. Ia mulai merasakan kesendirian dan kesepian yang akut. Sesuatu yang selalu jadi mimpi buruknya setiap malam. Menjalani hidup sendiri dalam sunyi dan sepi.
***
“Jadi, Nek, Nirmala masih hidup sampai sekarang?”
“Tentu saja,” kata nenek dengan muka yang sumringah, benar-benar beda dengan ekspresinya saat kutanyakan pertanyaan pertamaku tentang Nirmala.
“Wah, keren sekali. Tapi di mana sekarang dia, Nek?” aku juga tersenyum, tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan tambahan meloncat dari mulutku yang penasaran alang kepalang. “Eh, memangnya nenek kenal dengan Nirmala?”
Nenek tertawa dulu sebelum menjawab, “Tentu aku kenal dia. Dia nenek buyutku, Sayang. Dan kalau kau mau tahu dia di mana, coba ke kamar Nini sana. Minta foto Nirmala padanya,” kata Nenek.
Foto Nirmala? Wah, aku tak perlu lagi membayangkan kecantikan Nirmala, nenek buyut nenekku itu. Aku bisa melihat fotonya. Aku langsung berlari ke kamar Nini. Meminta foto Nirmala.
Saat Nini tersenyum, kemudian merogoh-rogoh lipatan baju di lemarinya, karena permintaanku, aku menyadari sesuatu.
Bibir Nini penuh, rambutnya wangi dan sehitam jelaga kendi… tubuhnya juga ramping dan sintal. Jangan-jangan dia…
  |   No comments   |  

The Giver: Simulacra Dunia Tanpa Konflik

 Ada Jeff Bridges, Meryl Streep, Katie Holmes, dan Taylor Swift. Tapi nama-nama ini tak akan mengalihkan perhatian Anda dari jalur cerita yang unik dan menarik.

Bayangkan sebuah tempat tanpa warna. Tanpa perbedaan. Tanpa kekerasan. Tanpa konflik. Ada manusia, tapi hidup mereka damai. Saling mengerti, saling percaya, dan tak ada yang berbohong sekali pun.
Di sanalah Jonas (Brenton Thwaites) hidup. Ia remaja tujuh belas tahun yang tak punya nama belakang. Sama seperti penduduk di kotanya. Mereka semua hidup dengan segala tetek-bengek aturan yang mewujudkan kedamaian dan kesamaan penduduknya: bijak berdiksi saat bicara, tak keluar lewat dari jam malam, berpakaian sepantasnya, dan jangan lupa “injeksi pagi”-mu.
Peraturan-peraturan ini yang membuat mereka melihat dunia hanya dalam satu warna: abu-abu.
Tapi Jonas berbeda. Ia merasakan perbedaan itu. Kadang, ia melihat pohon yang tak abu-abu, atau rambut Fiona (Odeya Rush), teman kecilnya, juga tak abu-abu. Tapi ia tak mau berbeda. “Lagipula, di dunia yang seluruhnya sama, kenapa harus ada yang berbeda?” kata Jonas di pembuka film.
Meski bisa melihat sesuatu selain abu-abu, sayangnya Jonas belum mengenal warna. Banyak hal dari masa lalu yang telah dihapus untuk menerapkan kedamaian dan kesamaan di kota itu. Selain warna, sejumlah kata juga dihapus.
Semuanya diatur oleh The Elders atau Para Tetua. Merekalah yang menyusun rutinitas kota dan menjaga kestabilan. Rupa-rupanya, untuk mewujudkan dunia yang benar-benar damai dan berdasarkan kesetaraan, ada banyak hal dari masa sekarang yang harus dinamai ulang. Tentu hal ini jadi lebih mudah saat semua memori telah dihapus.
Misalnya istilah ‘pelepasan’ di kota itu yang sebenarnya punya sinonim dengan euthanasia atau suntik mati di masa kini.
Selain menamai ulang banyak hal, mereka juga menciptakan stigma-stigma baru yang berujung membentuk simulacra. Sekali lagi, tentu saja hal ini untuk menciptakan dunia yang damai dan setara.
Simulacra adalah istilah yang ditemukan sosiolog Jean Baudrillard. Artinya, realitas tiruan yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya. Dengan kata lain, realitas sesungguhnya sudah dibelokkan dan kemudian benar-benar ditutup dari acuannya. Tapi, realitas ini belum sepenuhnya sempurna dikatakan sebagai sebuah realitas karena hubungan timbal balik belum terjadi.
Di celah itulah pekerjaan Penerima Kenangan hadir. Dan sialnya, Jonas terlahir untuk pekerjaan itu.
Penerima Kenangan adalah orang yang harus menerima kenangan-kenangan dari masa lalu, yang diterima dari Penerima Kenangan sebelumnya. Para Tetua tetap membutuhkan Penerima Kenangan untuk membuat suatu kebijakan baru, demi menjaga kedamaian dan kesetaraan.
Di saat itulah Jonas dipertemukan dengan The Giver, Penerima Kenangan sebelum Jonas.  Dan ia menemukan fakta-fakta sejarah yang dihapus dari kotanya.
Jonas melihat proses melahirkan, orang-orang beribadah haji, menyembah Tuhan, gajah ditembak mati, perang, kelaparan, salju, dan kebengisan manusia lainnya. Sesuatu yang tak diketahui seorang pun di kotanya bila bukan Penerima Kenangan.

Jonas juga mulai mengerti kenapa Para Tetua menerapkan aturan-aturan tersebut. Tapi karena telah melihat dunia yang sebenarnya tak sesempit kotanya, Jonas mulai mengerti bahwa ‘pelepasan’, salah satu kebijakan yang diciptakan Para Tetua, adalah pembunuhan. Dan membunuh bukanlah hal yang baik.
Alur cerita film ini memang rumit sejak awal. Dunia rekaan Lois Lowry, penulis novelnya yang diadaptasi jadi film ini, memang berbeda sekali dengan dunia kita. Tapi, sutradara Phillip Noyce berhasil membuatnya gampang dicerna.
Pertama, ia menggunakan efek abu-abu di awal film diputar, agar penonton bisa merasakan betapa monotonnya dunia yang sedang dijalani Jonas dan komunitasnya. Lalu, Noyce mendekorasi semua penampakan di filmnya dengan benda-benda yang terlihat futuristik. Sehingga kita sadar, kalau lokasi dalam film itu pastilah terjadi puluhan bahkan mungkin ratusan tahun setelah masa sekarang. Sehingga kita lebih mudah mencerna alur cerita.
Bisa dibilang, Noyce berhasil menerjemahkan dunia utopis rekaan Lowry yang penuh dengan nilai-nilai filosofis. Nilai-nilai yang membuatmu bertanya-tanya tentang dunia kita sekarang, dan mau tak mau membandingkannya dengan simulacra dunia tanpa konflik milik Jonas dan komunitasnya.
Kehadiran aktor-aktor kondang seperti Jeff Bridgess, Meryl Streep, dan Katie Holmes tak lagi jadi fokus Anda saat menonton.
Simulacra dunia tanpa konflik ini akan membuat kita berpikir, haruskah kita mengorbankan satu nyawa atau mungkin satu kata saja untuk dilenyapkan, demi mengejar kehidupan yang sempurna, damai, dan setara?
  |   No comments   |  

Horns: Hubungan Dekat Setan dan Manusia

Daniel Radcliffe membuktikan dirinya sebagai aktor betulan di film ini. Selain total jadi setan, ia juga benar-benar buang jauh aksen british-nya demi jadi pria Amerika asli.


Adegan film pertama dibuka oleh sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan di bawah pohon besar; sepertinya di hutan.Ialah Merrin yang diperankan si seksi Juno Temple, dan Ignatius Perrish yang diperankan mantan bocah sihir, Daniel Radcliffe.
Keduanya memang seperti muda-mudi yang sedang mabuk kepayang satu sama lain.
Ada dialog mesra yang kelewat mesum di antara mereka berdua. Intinya keduanya saling mencinta hingga maut yang memisahkan.
Adegan berganti. Sosok Ig, panggilan Ignatius, terkapar mabuk di lantai rumahnya. Ia mengintip ke luar rumah, dan seperti dugaannya, sekelompok wartawan dan warga sekitar sudah berkumpul di depan sana. Membawa beberapa tulisan mengejek tentang pembunuhan dan pembunuh.
Ig memang jadi tersangka utama tewasnya Merrin. Pacar yang menurutnya sangat ia cintai. Gadis itu ditemukan tewas dengan kepala pecah dihantam benda tumpul, tepat di bawah rumah pohon yang biasa jadi tempatnya pacaran dengan Ig. Mayat Merrin juga sudah divisum, dan ternyata si pembunuh memerkosa Merrin sebelum membunuhnya.
Ig merasa tak mungkin membunuhnya. Tapi semua orang di kota itu, termasuk ibu dan ayahnya yakin kalau ialah si pembunuh. Hanya Lee (Max Minghella), sahabatnya dan Terry Perish (Joe Anderson), abang Ig yang percaya kalau dia bukan pembunuh Merrin.
Tapi hanya dua orang yang mempercayainya? Yang benar saja. Apakah ia memang sebajingan itu?
Ig benar-benar marah pada dirinya sendiri.Sekaligus pada Tuhan.Di suatu malam, dalam keadaan mabuk, Ig mengencingi patung Bunda Maria yang ada di bawah rumah pohon tempat mayat Merrin ditemukan.Keesokan harinya hal aneh terjadi pada Ig. Di kepalanya tumbuh sepasang tanduk. Persis seperti tanduk setan.
Semua orang bisa melihatnya. Tapi merasa biasa-biasa saja. Seolah-olah tanduk itu memang ada sejak Ig lahir.
Ig berkunjung ke rumah sakit untuk menanyakan benda apa yang tumbuh di kepalanya itu. Tapi beberapa kejadian aneh lainnya terjadi. Mendadak semua orang yang berada di dekat Ig terang-terangan bercerita tentang dosa-dosanya pada Ig. Beberapa lainnya bahkan bercerita pada Ig tentang rencana jahat mereka. Seolah-olah Ig memang hadir untuk mendengarkan pikiran-pikiran jahat semua orang-orang itu.
Anehnya lagi, orang-orang ini akan mengikuti saran Ig dengan  sangat sadar. Misalnya ketika dokter yang ingin membedah tanduk di kepala Ig bertanya, “Bolehkah aku bercinta dengan susterku?”
Ig yang dalam keadaan terbius ternyata mengangguk. Dan ketika sadar, ia melihat dokternya sedang bercinta dengan si suster.
Menyadari kekuatan barunya ini, Ig memanfaatkannya untuk mengungkap siapa pembunuh Merrin sebenarnya. Dan kekuatan itu ternyata sangat membantu. Orang-orang jadi lebih terbuka pada Ig. Ia tak hanya semakin dekat dengan pembunuh Merrin yang sebenarnya, tapi karena kekuatan Ig, ia jadi tahu pikiran-pikiran orang sekitarnya tentang dirinya.
Ig jadi tahu kalau ayahnya ternyata tak pernah bangga punya anak sepertinya. Ia jadi tahu kalau ibunya juga malu punya anak seperti ia, dan berharap Ig pergi jauh dari kehidupan keluarganya. Karena status Ig yang merupakan tersangka telah merusak hidup sang ibu.
Tentu hal ini membuat Ig semakin tertekan. Ia sadar kalau tak ada orang di dunia ini yang begitu mencintai dirinya sebagaimana Merrin mencintainya. Kekuatan itu membantunya mengetahui mana orang yang baik padanya dengan tulus, dan mana yang hanya berpura-pura.
Tapi kekuatan Ig tak berlaku pada Lee. Teman sekaligus pengacaranya itu bahkan tak bisa melihat tanduk besar yang tumbuh di kepala Ig. Ig mengambil teori bahwa orang baik seperti Lee memang tak akan bisa melihat tanduk setan di kepalanya. Tapi teori Ig gagal dibuktikannya pada Terry, abangnya yang ia kira juga orang baik.
Terry bahkan akhirnya mengakui bahwa ia adalah orang terakhir yang melihat sosok Merrin. Bahkan batu yang menghantam kepala Merrin sempat singgah di tangannya. Lagi, Ig dikhianati orang yang dikiranya baik padanya.
Alur maju-mundur jadi hidangan utama dalam film ini.Alur begini yang akhirnya membuat kita paham kronologi pembunuhan Merrin.Bahwa ternyata, Lee memakai kalung suci milik Merrin yang melindunginya dari kekuatan Ig. Dan Lee-lah yang ternyata memerkosa Merrin dan kemudian membunuh gadis malang itu.
Film yang diangkat dari novel Joe Hill berjudul sama ini memang bercerita tentang hubungan akrab manusia dan setan.
Sosok Ignatius yang mendadak punya tanduk adalah personifikasi dari setan. Kemampuannya untuk membuat orang-orang bercerita tentang dosa mereka juga metafora dari keakraban manusia dan setan. Menggambarkan betapa dekatnya kita dengan tindakan-tindakan irasional dan ceroboh yang bermula dari nafsu.
Cerita brilian dari Joe Hill ini berhasil diterjemahkan dengan baik ke dalam layar lebar oleh Alexandre Aja, sang sutradara. Para pemain seperti Daniel Radcliffe dan Juno Temple juga berhasil menghidupkan suasana cerita dengan penampilan akting mereka yang penuh emosi. Bahkan setiap karakter pendukung berhasil membangun suasana manusia-manusia hipokrit yang jadi tema utama film ini.
Pantas saja Joe Hill, sang pencipta kisah Horn ini bilang kalau penampilan Radcliffe sebagai Ig Perrish adalah penampilan terbaiknya di layar lebar sejauh ini. “Dialah Ig Perrish yang luar biasa!” kata Joe Hill.
  |   2 comments   |  

Buah Simalakama Dalam Mockingjay

Katnis lepas dari kandang berbahaya bernama Hunger Games. Tak ada lagi permainan hidup dan mati. Tak ada lagi trik bertahan hidup demi jadi juara. Yang tertinggal hanya semangat memperjuangkan revolusi.

Seperti film berseri Harry Potter atau Twilight, film terakhir dari trilogi The Hunger Games ini juga dibagi jadi dua film. Alasannya? Karena dua film pasti menghasilkan keuntungan lebih banyak, ketimbang satu film saja.
Sejak awal pula, penonton juga sudah diberitahu kalau film pertama Mockingjay ini akan diakhiri dengan pertemuan Katniss (Jennifer Lawrence) dan Peeta (Josh Hutcherson). Sehingga bagi mereka yang telah membaca bukunya, alur cerita dengan sangat mudah akan bisa ditebak. Tentu pemberitahuan ini akan jadi buah simalakama bagi Francis Lawrence, sang sutradara, bila ia tak pandai menyelipkan kejutan-kejutan pada filmnya ini.
Tapi, benarkah begitu? Benarkah The Hunger Games: Mockingjay – Part I ini akan jadi film biasa-biasa saja? Mari kita telaah!
Film ini dibuka dengan kegelapan dan suara ketakutan Katniss. Ia kembali mengigau. Luka batin yang ditinggalkan permainan Quarter Quell di film sebelumnya The Hunger Games: Catching Fire masih kentara terlihat di tampang Katniss. Di film itu, ia kehilangan Peeta Mellark, sahabat yang sadar tak sadar mulai dicintainya.
Katniss terbangun di fasilitas bawah tanah militer milik Distrik 13, sebuah negara bagian yang selama ini eksistensinya bagaikan dongeng. Tak ada yang percaya kalau distrik ini masih ada hingga mereka sendiri berada di dalamnya, termasuk Katniss. Sebab, kehancuran Distrik 13-lah yang menjadi sejarah bermulanya permainan Hunger Games di negeri bernama Panem itu. Sebuah permainan yang akhirnya menjebak Katniss Everdeen menjadi salah satu petarung yang berhasil memenangkannya.
Kemenangan Katniss, yang berasal dari Distrik 12, distrik termiskin di Panem ternyata memercikan api revolusi di seluruh hati rakyat Panem, rakyat yang merasa terjajah oleh presiden mereka, Coriolanus Snow (Donald Sutherland). Inilah yang dimanfaatkan Alma Coin (Julianne Moore), Presiden Distrik 13 yang sekaligus jadi pemimpin revolusi.
Sosok Katniss dibentuk jadi lambang revolusi melawan kediktatoran Presiden Snow. Mereka menyebutnya sebagai Mockingjay, judul asli buku yang diadaptasi jadi film ini.
Presiden Coin, dibantu Plutarch Havensbee yang diperankan dengan sangat brilian oleh mendiang Philip Seymour Hoffman. Plutarch adalah kepala produksi Quarter Quell yang ternyata bagian dari pemberontakan terhadap Snow. Melaluinya, Katniss dibuatkan video-video propaganda yang bisa menyulutkan semangat para pemberontak yang terpisah-pisah di distrik masing-masing.
Hal ini bukan pekerjaan mudah, karena karakter Katniss yang kaku dan tak ramah. Belum lagi luka batinnya karena masih tak tahu kabar Peeta yang ditawan di Capitol, ibukota Panem, bersama sang Presiden Snow.
Dibantu Haymitch (Woody Harrelson) dan Effie Trinket (Elizabeth Banks), tim kemenangan Katniss saat masih hidup di Capitol, akhirnya Plutarch menciptakan video-video propaganda yang sukses. Banyak pemberontak makin bersatu dan mulai melakukan pergerakan melawan tentara-tentara milik Snow.
Seperti yang telah diberitahukan pada penonton, film ini diakhiri dengan pertemuan Katniss dan Peeta; tak ada yang meleset seperti yang dituliskan Suzanne Collins, sang empunya buku. Tapi sutradara Francis Lawrence sedikit membiarkan stafnya di dek penulisan naskah untuk berimprovisasi. Sama seperti film sebelumnya The Hunger Games: Catching Fire.
Kesempatan ini tak dibiarkan begitu saja oleh Danny Strong dan Peter Craig, dua orang dalang di dek penulisan naskah.
Mereka sedikit merombak detail dan menciptakan alur cerita yang lebih menarik daripada di bukunya. Seperti saat segerombolan massa membombardir bendungan yang jadi sumber listrik Capitol, atau adegan Katniss mengobrol santai dengan Presiden Snow melalui sambungan jarak jauh yang berubah horor di akhir.
Beberapa adegan lainnya juga diimprovisasi Strong dan Craig, menjadikan film yang dipotong ini jadi lebih segar dari semestinya.
Mockingjay memang bukan buku terbaik dari trilogi Hunger Games karya Collins. Ceritanya yang terkesan dimolor-molorkan menjadi sebab utama jeleknya buku Mockingjay. Ditambah lagi dengan keputusan memotong buku ini jadi dua film. Tentu saja ini jadi pekerjaan berat untuk menghadirkan film penutup yang apik bagi legenda si Katniss, gadis suci pemantik revolusi.

Tapi, bersyukurlah Lawrence karena bisa bekerja sama dengan Strong dan Craig yang membantunya membuat film ini tetap segar. Sebab percuma saja akting baik Jennifer Lawrence dan seperangkat aktor kawakan lainnya kalau plot film ini begitu molor.
Terima kasih pula patut dipersembahkan kepada Strong dan Craig yang berani menggantikan karakter Falvius, Octavia, dan Venia menjadi Effie Trinket. Ketiga karakter itu harusnya yang membantu Katniss di dalam buku saat ia mempersiapkan diri sebagai Mockingjay di video propaganda. Tapi, peran mereka di film langsung digantikan Effie Trinket yang dimainkan penuh nyawa dan humor oleh Elizabeth Banks.