Thursday, May 15, 2014

,   |   No comments   |  

Surat (Terakhir?) untuk Rahasia





Akhirnya tulisan ini kumulai… percayalah, aku tersenyum sekarang.

Sebelumnya, aku ingin menegurmu, Rahasia. Apa kabar? Masih kasmaran pada orang asing yang kau temui di salah satu festival kampus? Kupikir, jawabannya pasti ya. Semoga kau menemukannya dan berhasil menanyakan, “Siapa namamu?”

Aku berdoa sungguh-sungguh.

Ah ya. Aku baru saja membaca tulisan seorang teman, seorang kakak. Dia menulis sebagai hadiah ulang tahun pacarnya. Mereka ternyata sudah jadian enam bulan! Jujur saja, aku tahu banyak cerita mereka dari tulisan tersebut. Sebab, kami berdua memang sudah jarang sekali berbincang. Terlalu banyak perihal pekerjaan. Sedikit sekali tentang perasaan. Dan ketika menyadari hal ini, aku merindukannya. Well, kau pasti mengerti kenapa aku merindukan kakak yang satu itu.

Tapi sebenarnya aku bukan ingin mengadu padamu tentang kerinduan ini. Mungkin nanti, suatu waktu di sepotong sore.

Yang ingin kuceritakan sebenarnya adalah kita. Sorry, kalau pakai ‘kita’. Aku tahu, ‘kita’ bagimu hanya sebatas kemarin. Bagiku, sulit sampai ke sana. Sekarang pun mungkin belum seratus persen.

Sebenarnya, aku ingin menulis tentang ‘kita’ sejak minggu pertama kita jujur pada perasaan masing-masing. Saat kakiku selalu lemas melihat senyummu. Dan kau selalu berubah gugup—hingga sulit berkata saat mata kita beradu. Aku tahu kau istimewa. Itu sebabnya, aku ingin kau abadi dalam tulisan-tulisanku. Karya yang tujuan utamanya memuja-muji sosokmu, Rahasia.

Tapi di saat yang sama aku ragu.

Jujur, saat itu aku tak yakin kalau kau adalah yang terakhir bagiku. Karena sebelum kau datang, aku sedang kasmaran. Pada orang lain.

Tapi, kau merubah segalanya. Tak perlu kuceritakan lagi bagaimana berpengaruhnya kau dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pernah, sesekali bahkan, aku berusaha menceritakannya, tapi kau menolak dengar. “Babababa... udah deh, enggak nyaman,” katamu.

Entah kau dengar atau tidak saat itu, tapi sesuatu patah di rongga dadaku. Dan nyerinya keterlaluan. Tapi dari luka itu, aku berusaha mencari hikmah. Bahwa usahamu melupakanku begitu keras. Bukti bahwa yang ‘kita’ lalui kemarin Mei hingga September, memang membekas lekat di dirimu.

Tapi... benarkah? Atau aku yang tolol ini terlalu mencari-cari sesuatu yang tak seharusnya kucari? Entahlah, walaupun salah, biarkanlah aku berpikir demikian.

Dahulu, kupikir: bagaimanapun akhir kisah kita, kau akan tetap kutulis dalam beberapa judul. Kupikir, kisah kita istimewa. Terlalu berharga jika dilupa begitu saja. Kupikir, aku yang tak mau melupakanmu, melupakan kita. Tapi beberapa bulan terakhir, pikiranku meliuk-liuk. Melilit-lilit jadi benang kusut. Dan pikiran-pikiran kusut ini benar-benar menguras tenaga, waktu, dan perhatianku.

Aku harus selesaikan urusan kita, segera!

Kalimat ini kepalang sering menerorku. Mencak-mencak di kepalaku. Kau makin sibuk. Makin jahat pula padaku. Makin sering marah-marah. Makin sering merajuk tak bersebab. Sebenarnya, aku tak masalah dengan semua perilaku burukmu padaku. Kau tau, kau selalu bisa menguasaiku. Aku pun tau.

Tapi pernah dalam beberapa malam, kau kembali manis. Memporak-porandakan pertahananku. Membuat jantungku pengin loncat lagi dari rongganya.

Sejujurnya, terselip pula keraguanku dalam setiap sikap manismu. Raguku adalah tentang ragumu. Jika kau mengerti maksudku.

Tapi akhirnya aku tersadarkan oleh kadomu di ulang tahunku minggu lalu. Saat kau bilang kau punya seseorang baru. Yang kau temui di festival budaya itu. Percayalah, hatiku remuk-redam-hancur-lebur kala itu. Bunyi patahnya memekakkan telingaku. Hingga, maaf saja kalau aku tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja seperti biasanya. Maaf kalau aku menyebalkan saat itu. Tapi, aku butuh hal itu.

Terima kasih telah jujur. Kejujuranmu membuka mataku. Sangat lebar.

Aku sadar kalau berharap jadi halaman terakhirmu dan kau jadi halaman terakhirku, bukan berarti harus menjerumuskan diri dalam cinta semu yang tak sehat.

Aku sadar bahwa selama ini, selepas September, aku memang telah melepaskanmu. Membiarkanmu bertindak semaumu. Seperti sebelum kita bersama. Intinya, aku berhenti mengekangmu dalam istilah ‘kita’. Aku membiarkanmu menjadi dirimu lagi. Dirimu yang tanpa aku. Meski di saat yang sama aku merasa dirajam.

Tapi aku lupa satu hal.

Dalam proses itu, seharusnya aku juga berhenti mengekang diriku dalam istilah ‘kita’. Aku lupa kalau ‘kita’ hanyalah sebuah konsep di kemarin hari. Diam-diam aku berharap masih ada ‘kita’ di kemudiannya.

Tapi kau telah menyadarkanku. Terima kasih. Sekali lagi. Aku takkan mengubah pikiranmu tentang hal tersebut. Aku akan menyimpannya sampai nanti. Tapi, kali ini aku akan benar-benar menyimpannya, bukan malah memikirkannya tiap hari, tiap detik.

Akan kubuka kalau tiba saatnya.

Mungkin ini jenis cinta yang paling sesuai buat kita. Cinta yang tak perlu saling kekang. Biarkan masa muda tak dikekang janji-janji setia selamanya. Ya, kita memang terlalu muda. Setidaknya kau begitu. Hahahha... pasti kau mengerti maksudku.

Semoga ini bukan sebuah akhir. Karena seperti kubilang, aku tidak membuanh konsep ‘kita’, hanya menyimpannya.

Jika tak bisa temukan pengganti yang persis seperti aku, datanglah kembali. Ketuk pintu itu. Ruang di mana aku menyimpan ‘kita’. Kau pasti tahu di mana.

Kalau kau sudah sedikit tua dan dewasa, paham kalau muda bukan segala-galanya, dan takkan pernah jadi selamanya, ingat saja: aku ada. Setidaknya pernah ada.

***

Ah ya, sebenarnya aku punya rahasia ketika menamaimu Rahasia. Diam-diam, aku menebak ujung kisah ‘kita’. Tebakan pertamaku, suatu saat Rahasia akan terkuak. Persis sebagian rahasia lain di dunia ini.

Yang kedua, kupikir kau akan menjadi Rahasia yang tetap jadi rahasia. Persis sebagian rahasia lain di dunia.

Mungkin saat ini kau adalah Rahasia yang kedua. Tapi mungkin saja kau berubah jadi Rahasia yang pertama. Siapa sangka? Hahaha...

Akhirnya tulisan ini kuakhiri... percayalah, aku sedang tersenyum saat ini.
Aku tetap melanjutkan tulisan ini karena pada akhirnya aku yakin kalau kau memang saat istimewa, 

Rahasia. Tak peduli sebesar apa kepalamu setelah membacanya. Maaf kalau aku terlalu terbuka. Tapi aku hanya berusaha jujur pada diri sendiri. Hal yang sebenarnya bukan perkara ringan.

Rahasia, mari berteman saja!

Teman karib yang tetap selalu ada di setiap kala. Kau tahu, kupikir cinta jenis ini yang cocok dengan kita.

P.S. Tulisan ini sejujurnya kubuat 11 Mei lalu. Tapi sengaja kupublis di hari ini, tepat sehari sebelum kau menyatakan sesuatu yang mengubah duniaku di tahun lalu. Hari yang kini kau lupa hari apa. Ah ya, kau kira ia hanya Sabtu biasa.

Sunday, May 11, 2014

  |   No comments   |  

Eksekusi Tangan Dingin CuarĂ³n dalam Gravity

Alfonso CuarĂ³n, Sandra Bullock, dan George Clooney bergabung. Tak perlu banyak nama untuk menetaskan film sefenomenal Gravity. Tujuh Piala Oscars sudah membuktikan dahsyatnya kolaborasi mereka.



Salah satu film favorit saya ialah kreasi sutradara bertangan dingin, Alfonso CuarĂ³n. Ia hadir delapan tahun lalu dan berhasil masuk tiga nominasi Oscars dengan film The Children of Men. Dibintangi Clive Owen, film itu bercerita tentang dunia yang diserang kemandulan secara global. Sebuah cerita tak biasa, diangkat dari novel karya PD James.
Film itu begitu rapi di alur cerita dan arahan lakon. Sehingga meski ceritanya sulit diterima nalar, namun tetap memikat hingga adegan terakhir. Membuat banyak orang mulai memperhatikan karier CuarĂ³n, yang sebelumnya juga mendapat pujian atas film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban (2003) silam.
Setelah lama menghilang dari dunia penyutradaraan, CuarĂ³n kembali hadir. Kali ini dengan film garapan yang lebih serius. Tak main-main, ia menyiapkan film satu ini sejak 2010. Dan baru rilis di tahun lalu. Tiga tahun terkahir ia pakai untuk pematangan editing dan visual efek.
Film tersebut dilabeli tajuk Gravity.
Ceritanya langsung dibuka dengan latar ruang angkasa: pemandangan Bumi berotasi di belakang Ryan Stone (Sandra Bullock), seorang teknisi doktoral yang baru dengan dunia tanpa oksigen. Ia sedang otak-atik sebuah satelit, dibantu rekan bernama belakang Shariff yang wajah utuhnya tak kelihatan barang satu adegan pun. Mereka diawasi seorang astronot senior bernama Matthew Kowalski (George Clooney), tampan dan flamboyan.
Adegan itu menggambarkan betapa membosankannya ruang angkasa: melayang-layang di ruang gelap hampa udara, sepi—kecuali teriakan Shariff yang terdengar menikmati melayang-layang, dan obolan garing dengan stasiun ruang angkasa—Houston—di Bumi sana.
Untung, sesekali Matt menggoda Ryan. Tapi adegan tenang tersebut hanya berlangsung belasan menit. Sisanya, ketegangan bertubi-tubi yang memompa adrenalin.
Dimulai sejak serpihan satelit lain yang mendadak menyerbu satelit tempat Ryan bekerja. Serpihan-serpihan itu bergerak lebih cepat dari peluru yang diletuskan. Dan sekejap saja memorak-porandakan tempat kerja Ryan. Ia terlempar ke sisi lain ruang angkasa. Cukup jauh, hingga Matt tak bisa melihatnya, hingga ia melayang di bagian Bumi yang sedang malam. Cukup jauh, karena ia sempat kehilangan sinyal dari Houston dan Matt. Dan cukup lama, hingga oksigen dalam baju astronotnya hampir habis.
Di beberapa menit awal ini pula, penonton mulai sadar kalau film ini kemungkinan besar hanya akan diisi dua karakter saja sampai akhir. Atau mungkin hanya satu. Pasalnya, seluruh rombongan Ryan dan Matt tewas karena serangan serpihan laju tadi. Bahkan wajah Shariff bolong di tengah. Dan benar saja, film yang hanya berdurasi 91 menit ini memang bercerita proses Ryan bertahan hidup di tengah sepinya angkasa.
Adegan selanjutnya membuat Ryan harus rela berpisah dengan Matt dan berjuang bisa pulang ke Bumi. Sendiri.
Film panjang dengan sedikit karakter bukanlah perkara gampang, bahkan untuk dunia sekelas Hollywood. Tak banyak film sejenis bisa menarik perhatian penonton, apalagi hanya dengan modal alur dan lakon si aktor. Pemilihan Bullock sebagai protagonis utama adalah salah satu strategi jitu CuarĂ³n. Hanya aktris sekaliber Bullock yang bisa memaksa penonton ikut tegang bersamanya, padahal hanya dengan permainan mimik saja.
Sejatinya, memang tak banyak gestur yang bisa dibuat Bullock. Sebabnya jelas: tubuhnya dilapisi baju tebal, helm besar, pun cuma bisa melayang-layang di ruang hampa udara. Takut, haru, senang, putus asa, gelisah, dan marah hanya bisa digambarkannya lewat mimik—dan gerakan melayang. Tapi sudah cukup membawa ketegangan dan keharuan di saat yang sama.
Pun akting Clooney dalam penampilan singkatnya tak mungkin tak mencuri atensi penonton. Ia tampil sebentar, lalu mati, lalu tampil lagi dengan dialog-dialog kuat. Sungguh berkesan.
Belum lagi teknik pengambilan gambar yang tak biasa disajikan CuarĂ³n. Long shot yang dilakukannya benar-benar menciptakan suasana ruang angkasa yang begitu nyata, sebab kamera terus berputar dari sudut mana saja dan bisa berakhir di sudut mana saja pula dalam sekali pengambilan.
Sesekali CuarĂ³n juga bermain-main dengan point of view—sudut pandang. Sebuah adegan ia ambil dengan sudut pandang orang ketiga, lantas secara mendadak sudut pandang tersebut berubah jadi sudut pandang orang pertama. Misalnya saat Ryan terpelanting ke sudut lain di luar angkasa. Awalnya kamera mengambil gambar tubuh Ryan yang terlempar jauh, lalu kamera seolah-olah masuk ke dalam helm astronotnya dan penonton bisa merasakan degup jantung, napas, dan seluruh penglihatan Ryan.
Satu lagi yang tak mungkin terlewatkan dari film ini, adalah musik latar yang meneror. Berkat musiknya, adrenalin penonton terus digenjot hingga akhir film. Tak heran, Steven Price, penata musiknya berhasil membuat film ini meraih Oscars untuk Best Sound Mixing.
Dengan segala strategi yang CuarĂ³n sajikan, dan eksekusi yang bisa kita nikmati di layar lebar, patut saja CuarĂ³n menang sebagai Sutradara Terbaik atas film ini. Tangan dinginnya tak perlu diragukan.

Judul                : Gravity
Sutradara          : Alfonso CuarĂ³n
Naskah             : Alfonso CuarĂ³n dan JonĂ¡s CuarĂ³n
Pemain             : Sandra Bullock, George Clooney
Durasi               : 91 menit
  |   1 comment   |  

Biofilm Allen Ginsberg yang Tak Fokus

Sebenarnya susah menerka apa yang ingin disampaikan film ini: sepotong riwayat hidup Allen Ginsberg? Dunia sastra di era Perang Dunia II? Atau isu lesbian gay biseksual transgender (LGBT)? Biar pun begitu, Daniel Radcliffe menunjukkan perkembangan seni perannya di sini.



Allens Ginsberg adalah seorang pujangga Amerika era 50-an. Karyanya yang terkenal adalah kumpulan puisi berjudul Howl. Ia penentang militerisme, kapitalisme Amerika, dan represi seksualitas. Ia juga salah satu anggota Beat Generation, sekelompok penulis kiri di zamannya. Mereka menentang yang biasa, mendukung alternatif seksualitas, tertarik pada agama-agama yang berkembang di Timur, dan menolak gagasan kapitalisme yang mulai berkembang kala itu.
Jelas, jika seseorang tertarik mengangkat hidupnya ke dalam rol film, adalah pekerjaan berat untuk membungkus fokus. Hidup Ginsberg tak biasa, ia seorang tokoh dunia: pujangga, sastrawan, homoseksual, seorang anak korban rumah tangga yang berantakan, punya ibu yang mentalnya terganggu, dan lainnya. Terlalu banyak hal menarik yang bisa diangkat.
Dan sang sutradara John Krokidas, memilih masa muda Ginsberg sebagai jalan cerita filmnya. Masa kala Ginsberg masih jadi junior di University of Columbia. Kala ia, yang diperankan Daniel Radcliffe, bertemu dengan Lucien ‘Lu’ Carr (Dane Deehane), orang yang membawanya mengenal orang-orang luar biasa lainnya di dunia sastra masa itu.
Bak masa muda siapa pun, masa muda para pemuda ini juga dipenuhi pergolakan batin tentang identitas diri, politik negeri yang mau tak mau terkait dengan kehidupan mahasiswa seperti mereka, serta cinta, obsesi, dan ego pribadi.
Cerita tentang terbentuknya Beat Generation jadi fokus awal cerita. Di saat yang sama, pergolakan batin Ginsberg yang mulai jatuh cinta pada Lu juga seolah jadi ide utama cerita. Pun, Krokidas juga meyelipkan kisah keluarga Ginsberg yang amburadul di sini.
Pada setengah film berjalan, tergambar jelas kehidupan remaja yang begitu liar. Ginsberg, Lu, dan kawan-kawan mereka di Beat Generation selalu teler. Kalau tak karena alkohol, mesti karena heroin. Adegan Daniel Radcliffe onani di kamar asramanya juga memperkuat kesan liar yang coba Krokidas tonjolkan.
Tapi terlalu banyak fokus cerita yang mau ia sampaikan.
Ada cerita Jack Kerouac (Jack Huston), yang sebenarnya bisa dibuatkan satu biofilm sendiri, diselipkan dalam film ini. Kisah cinta rumit Lu dan David Kammerer (Micheal C Hall), seorang pujangga yang juga terkenal di era itu juga turut hadir di sini. Porsinya juga tak sedikit. Bahkan, di akhir cerita penonton baru sadar kalau fokus yang coba dibungkus Krokidas adalah kasus pembunuhan David Kammerer oleh Lu.
Penonton akan sadar kalau fokus yang dipilih Krokidas untuk film ini adalah sepotong riwayat hidup Allen Ginsberg saat mencintai pria yang ternyata seorang pembunuh. Penonton akan sadar kalau, inti dari film ini adalah Ginsberg sadar kalau ia harus meninggalkan Lu yang penuh pesona. Dan penonton akan sadar, terlalu banyak hal yang diselipkan Krokidas untuk mengerucutkan satu intisari singkat tersebut.
Pertanyaannya, kenapa dari sekian banyaknya hal menarik dari hidup Ginsberg, hanya sepotong ini yang berusaha ia tonjolkan? Mungkin jawabannya karena ia sulit membungkus fokus.
Tapi, seni peran Daniel Radcliffe adalah salah satu penghibur dari film tak berfokus ini. Ia tak lagi terlihat seperti bocah penyihir penyelamat dunia, ia memang terlihat seperti pujangga 50-an yang masih remaja, yang begitu rapuh karena kesensitivitasan yang ia miliki. Caranya memandang Lu, menghisap heroin hingga teler, dan adegan ranjangnya dengan seorang pria tak dikenal, semuanya terlihat natural.
Pun demikian dengan seni peran Dane Deehane. Ia membuat karakter Lucien Carr begitu gelap sekali gus begitu memikat. Caranya bicara, bergerak, membuat karakter ini tak gampang dilupakan. Dane Deehane bisa dibilang menghidupkan karakter Lucien Carr yang meskipun pembunuh, kasar, keras kepala, tapi akan tetap membuat kita berempati padanya.
Satu lagi bagusnya film ini adalah musik jazz yang begitu menyatu di sepanjang cerita. Wells terbantu karena lagu-lagu tersebut menguatkan latar 50-an yang ia berusaha bangun.
  |   No comments   |  

Teatrikal Tak Biasa Meryl Streep dan Kawan-kawan

Poster filmnya saja sudah provokatif. Ada Julia Roberts berusaha ‘menerkam’ Meryl Streep. Kita langsung sadar kalau Wells sedang membuat drama yang tidak biasa.
Sumber: Istimewa
Cerita ini diangkat dari drama peraih Pulitzer 2008 karangan Tracy Letts berjudul sama. Sang Sutradara John Wells tetap menggunakan jasa sang penulis naskah aslinya untuk memantapkan kerangka dasar film ini. Lain dari itu, ia membungkus drama bergenre ‘komedi gelap’ ini dengan sederet nama pelakon layar lebar yang tak main-main kemampuan sandiwaranya.
Salah satunya sang maestro di dunia akting, Meryl Streep. Kali ini ia berperan sebagai seorang wanita tua berambut cepak yang mulutnya disarangi kanker, Violet Weston namanya. Violet adalah istri seorang pujangga ternama Beverly Weston (Sam Shepard), ibu dari tiga orang putri. Sayang, keluarganya bukan keluarga yang harmonis. Jadilah kesan getir selalu ditampakkan tokoh Violet melalui mimik dan dialog-dialog sarkasnya.
Berantakannya keluarga ini langsung disajikan di menit-menit awal film dibuka.
Violet yang setengah mabuk berjalan tergopoh mendatangi Beverly yang sedang mewawancarai asisten rumah tangga baru mereka, Johnna (Misty Uphaim). Ada dialog gelap antarsepasang suami-istri tersebut. Violet penuh sindiran, sementara Beverly hanya menjawab santai, singkat, seolah-olah ia tak mengerti kalau sang istri menyindir. Ia kelihatan lelah.
Dan benar saja, beberapa hari kemudian ia ditemukan mati bunuh diri di tepi sebuah sungai di Oklahoma. Dugaan orang-orang, ia stres.
Kematian Beverly membawa dua putrinya kembali ke rumah mereka yang panas. Barbara (Julia Roberts), si sulung datang bersama suaminya Bill (Ewan McGregor) dan anaknya Jean (Abigail Breslin). Tokoh satu ini bukan karakter pendukung biasa. Ia salah satu kunci yang menggiring cerita.
Ada pula Karen (Juliette Lewis). Karakter centil ini datang bersama tunangannya yang parlente, Steve (Dermot Mulroney). Mereka harus kembali bertemu dengan ibu mereka dan Ivy (Jullianne Nicholson), saudari polos mereka yang terjebak di rumah itu.
Ternyata berkumpulnya keluarga besar ini malah membuka aib yang disimpan tiap karakter. Cuaca panas Oklahoma tak ada apa-apanya ketimbang panasnya meja makan keluarga Weston siang itu.
Violetlah pemicunya. Ia menyindir, berkata kasar, memandang hina, dan tak segan menuding lawan bicaranya dengan jari. Satu-satu, rahasia terbuka di meja makan itu. Selain keluarga Weston, ada tiga orang tambahan di sana. Ada Mattie Fae (Margo Martindale), adik Violet. Suaminya, Charles Aiken (Chris Cooper), dan anak mereka Little Charles Aiken (Benedict Cumberbatch). Tiga tokoh yang juga menambahi panas cerita.
Ujung pembicaraan di meja makan ini adalah gambar yang ada di poster film. Barbara berusaha ‘menerkam’ ibunya yang mulut berkankernya kelewat kasar.
Tapi konflik tak berhenti di sana. Banyak rahasia yang terus terbuka ke depannya. Tiap karakter meluap-luap. Tapi, yang menarik perhatian adalah dialog mereka yang meski kasar, getir, gelap, namun terdengar begitu indah karena saling bersahutan. Begitu teatrikal. Begitu Broadway.
Genre ‘komedi gelap’ itu juga tak sembarang mereka sandang. Sebab dalam begitu banyaknya stres yang ditabur drama ini, komedi-komedi ironi tetap mewarnai tiap adegan. Misalnya saat Barbara, Violet, dan Ivy saling meneriaki di meja makan yang sama dengan kala itu, sambil memakan lele goreng masakan Johnna, mereka saling melempar piring ke lantai sambil terus melanjutkan perbincangan. Tengiknya wajah Violet pasti akan membuat Anda tertawa.
Deretan nama besar di atas adalah jawaban kenapa drama ini jadi tak biasa. Semua karakter berhasil hidup dan tak tampil asal-asalan lalu terlupakan, kecuali (satu-satunya yang terlupakan) Abigail Breslin yang harus banyak berlatih lagi. Bahkan karakter Beverly yang tampil singkat juga berhasil menarik atensi dibuat Sam Shepard. Pun Johnna yang sedikit sekali berdialog juga tampil kuat dibuat Misty Uphaim.
Tapi tetap saja Meryl Streep dan Julia Roberts-lah bintangnya. Mereka tampil tak biasa, seperti performa-performa lainnya di film sebelumnya. Kepada Streep yang begitu teatrikal dan sempurna, saya angkat topi. Sayang saja, ia hanya berhasil masuk nominasi Aktris Terbaik Oscars dan kalah disandung Cate Blanchetts di film Blue Jasmine (2013).

Judul                : August: Osage County
Sutradara          : John Wells
Naskah             : Tracy Letts
Aktor                : Meryl Streep, Julia Roberts, Ewan McGreggor, Sam Shepard, Chriss Cooper
Rilis                  : Desember 2013

,   |   No comments   |  

Nephillim 2.0

SUDAH dua minggu sejak nenek dimakamkan, tapi air mata ibu tak kunjung kering. Dia masih saja mengurung diri di kamar, sambil terus mengisak tangis dan memeluk selembar daster terakhir yang nenek pakai saat kematian menjelangnya.
Padahal tak ada yang mengejutkan dari kematian nenek. Ia genap kepala sembilan, dua bulan lalu. Pun telah berbaring di dipan rumah sakit sejak delapan tahun silam, saat alzheimer dan osteoporosis kompak menggerogoti tubuhnya. Maksudku, kematian nenek sungguhlah hal paling alami yang tak perlu dikejutkan, apalagi dijadikan alasan untuk bermelodrama, seperti yang ibu lakukan.

Bukannya aku tak sedih. Nenek adalah manusia favoritku. Tak mungkin aku tak sedih. Aku juga menangis. Tapi tak separah ibu. Kadang, di satu atau dua potong malam, aku juga tenggelam dalam rindu yang begitu mengerikan pada sosok nenek. Dan tangis memang sesuatu yang tak bisa dicegah. Oleh karenanya, aku mencoba mengerti perasaan ibu. Mungkin dia memang sangat merindukan nenek.
Oh nenek....
Sosoknya memang begitu menentramkan. Meskipun alzheimer menggeroggoti ingatan-ingatannya, tapi ia selalu punya kenangan yang bisa diceritakan. Kenangan-kenangan itu berupa pengalaman hidup yang tampaknya begitu membekas di ingatannya. Pengalamannya bertemu Mlathiandra, sosok malaikat yang tak sengaja jatuh di halaman rumahnya, karena sayap Mlathiandra terluka.
Sebab alzheimer pula nenek hanya bisa menceritakan sepotong ingatan itu-itu saja kepadaku. Yang mengherankanku, kenapa dari berjuta memori yang pasti nenek miliki, hanya memori itu yang berhasil tinggal di kepalanya.
Tapi aku berhenti bertanya begitu saat ulang tahunku yang ketiga belas, delapan tahun lalu. Semuanya terjawab saat mendadak kepalaku dimasuki suara-suara aneh dari pikiran-pikiran orang di sekitarku. Persis seperti Mlathiandra yang nenek bilang juga bisa membaca pikiran orang. Nenek juga pernah bilang kalau kakek Rudi, suaminya, ayah ibuku, bukanlah kakekku yang sebenarnya.
Tapi benarkah aku seorang nephillim? Manusia setengat malaikat?
Tentu semua itu membingungkanku yang masih berusia tiga belas tahun. Kendati begitu, aku tak pernah menceritakan rahasia nenek ini pada siapapun. Termasuk ibu. Karena ibu hanya menganggap cerita tentang malaikat ini hanyalah efek samping dari penyakit alzheimer nenek.
“Malaikat itu hanya imajinasi nenek, Celia sayang.”
Hal ini pernah ibu ucapkan saat aku bertanya apakah ia mempercayai adanya malaikat.
Sejak saat itu, aku tahu ibu juga takkan percaya padaku kalau aku bilang aku bisa membaca pikirannya. Lagi pula, apa yang lebih menyeramkan daripada mengetahui kalau anakmu bisa membaca pikiran? Bisa-bisa aku diserahkan ke peneliti syaraf di universitas tempat ibu mengajar, untuk dibedah dan diteliti.
Jadi aku putuskan bungkam. Biarlah suara-suara bising di kepalaku ini jadi rahasiaku seorang diri.
“Kau sudah sarapan, Sayang?” suara ibu mendadak mengejutkanku. Suara yang keluar dari mulut, bukan berupa pikiran. Ia keluar dari pintu kamarnya. Perawakannya kusut. Rambutnya masai. Matanya sembab. Hidungnya pun sumbat karena ingus yang terlampau banyak. Tubuhnya kian bungkuk.
“Sudah, Bu,” kataku sambil lalu. Tapi ada enzim masam yang pecah di ulu hatiku melihat penampilan ibu. Penampilannya tak pernah seberantakan ini. Ia memang bungkuk, karena kyphosis yang dideritanya, tapi kaki jenjang dan pinggul ramping membuat penampilan ibu selalu memukau.
“Ibu mau ke mana?” aku tidak berencana bertanya, sampai kulihat ia mengambil payung dan memegang knop pintu. “Di luar hujan deras, Bu.”
Ibu berhenti sebelum memutar knop. “Ibu ada urusan mendadak di universitas. Jangan lupa makan malam ya. Ibu akan pulang larut,” katanya. Lalu ia memutar kenob dan hilang di balik pintu.
Cegah dia pergi, Celia.
Tiba-tiba sebuah suara melintas di kepalaku. Suara seorang pria.
“Siapa kau?” aku sangat terkejut. Rumah ini jelas-jelas kosong sepeninggal ibu beberapa detik lalu. Maksudku, hanya ada aku di sini. Jadi suara siapa itu?
Cegah ibumu pergi. Dia akan membahayakan hidup kalian. Suara itu kembali menggema di kepalaku, tidak merambat di udara yang masuk ke kupingku.
Aku tak menjawabnya, tapi memutar pandangan ke seluruh penjuru rumah. Rumah kami tidak besar, hanya terdiri dari satu ruang tamu, ruang televisi dan ruang makan yang dijadikan satu tanpa sekat, serta ada dua kamar yang saling berhadapan. Aku sedang berdiri di ruang televisi, dan dengan jelas bisa melihat sekeliling rumah. Kecuali dapur yang gelap gulita di samping kamar ibu. Lantas pandanganku berhenti di sana.
“Celia... kumohon dengarkan aku sebelum terlambat.”
Suara pria itu kembali terdengar. Kali ini bukan hanya di pikiranku, tapi juga keluar dari mulutnya.
Suara itu keluar bersamaan dengan gerakan sebuah siluet di dapur. Suara itu... ia memakai jubah hitam.
“Si... siapa.. kau?” adrenalinku meninggi. Sejak kapan dia ada di situ?
“Tenanglah, Celia sayang. Aku Mlathiandra. Jangan takut.” Ia membuka tudung jubahnya.
“Mlathiandra?!”
AKU tak menemukan istilah lain selain kaget setengah mati setelah melihat langsung Mlathiandra. Ia memang pria luar biasa tampan. Bersinar. Tinggi. Kokoh. Gagah. Dan... luar biasa tampan. Persis seperti deskripsi nenek. Meski tubuhnya ditutupi jubah hitam jelaga, tapi aku bisa melihat tumpukan bulu putih cemerlang yang kuncup dari balik bahu hingga betisnya. Sayap yang begitu indah...
“Celia! Segeralah kejar ibumu....
“Kenapa?”
Ia diam tapi melangkah maju, mendekat ke arahku.
“Sulit menjelaskannya... tapi kumohon kejar dia. Dia akan mengejar Vallen. Dia ingin membalas dendam atas kematian nenekmu.”
“Vallen? Balas dendam? Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Vallen, malaikat penjaga perdamaian. Ibumu ingin balas dendam pada mereka karena kematian Rita.
Vallen yang membuat nenekmu gila dan meracuninya dua minggu lalu.” Ocehan Mlathiandra makin tak keruan. Aku makin tak mengerti.
“Nenek tidak gila, Mlathiandra! Dia terkena alzheimer. Dan tak ada yang meracuninya!”
“Tidak, Sayang. Nenekmu sengaja dibuat gila setelah Vallen mengetahui kalau Rita melahirkan seorang Nephillim, ibumu.”
“Ibu? Nephillim? Apa maksudmu nephillim manusia setengah malaikat?”
“Ya. Seperti kau.”
Aku terdiam. Semuanya mulai tercerna dengan baik di kepalaku.
“Jadi kau memang kakek kandungku?” bulu kudukku meremang.
“Ya, Sayang. Ibumu adalah anakku.” Mlathiandra diam sejenak. “Setelah dia mengetahui dirinya nephillim, ia membawa Rita dan kau bersembunyi dari kejaran para Vallen. Tapi seorang Vallen berhasil menemukan Rita dua minggu lalu dan meracuninya. Ibumu ingin membalas dendam, tapi takut mencelakaimu. Ia juga sudah tahu kalau kekuatan membaca pikiranmu sudah mucul, tapi ia masih ingin merahasiakan semua ini darimu. Sejauh ini Vallen tak tahu kalau ada dua nephillim yang hidup. Aku sudah menasihatinya untuk tetap bersembunyi, tapi ia tidak mau dengar,” Mlathiandra bicara panjang lebar.
Tapi, saat aku ingin menjawab, pintu rumah ini tiba-tiba terbuka. Ibu yang basah kuyup masuk dengan tampang murka. “Mlathiandra, segera bawa Celia pergi dari sini!” ia setengah berteriak, setengah menggeram. “Cepat!!” katanya sekali lagi sebelum kami sempat menyahut.
Mlathiandra segera membungkusku dengan jubah hitamnya dan mengepakkan sayap lalu terbang menerobos langit-langit rumah.
Aku tak sempat merespon apapun saking cepatnya Mlathiandra bergerak. Adegan selanjutnya, yang kusaksikan melalui lubang di atap rumahku akibat hantaman tubuh kami, berlangsung cepat: Ibu membuka kemejanya dan menampakkan gumpalan bulu putih cemerlang yang menguncup sesuai bentuk punggungnya. Jadi itu alasan selama ini kenapa ibu bungkuk? Ia menyembunyikan sayapnya.
Lalu seseorang, yang juga bersayap, menerkamnya. Orang itu memegang sebuah tombak yang sudah bersarang di sayap kanan ibu. Darah muncrat.
“Aaaarrgh...” ibu berteriak.
“Ibu!!’

Aku balas meneriakinya, tapi Mlathiandra terbang begitu cepat, hingga lubang atap rumahku semakin mengecil buat jarak. Kami terbang makin tinggi, makin jauh dari ibu.