Akhirnya tulisan ini
kumulai… percayalah, aku tersenyum sekarang.
Sebelumnya, aku ingin
menegurmu, Rahasia. Apa kabar? Masih kasmaran pada orang asing yang kau temui
di salah satu festival kampus? Kupikir, jawabannya pasti ya. Semoga kau
menemukannya dan berhasil menanyakan, “Siapa namamu?”
Aku berdoa
sungguh-sungguh.
Ah ya. Aku baru saja
membaca tulisan seorang teman, seorang kakak. Dia menulis sebagai hadiah ulang
tahun pacarnya. Mereka ternyata sudah jadian enam bulan! Jujur saja, aku tahu
banyak cerita mereka dari tulisan tersebut. Sebab, kami berdua memang sudah
jarang sekali berbincang. Terlalu banyak perihal pekerjaan. Sedikit sekali
tentang perasaan. Dan ketika menyadari hal ini, aku merindukannya. Well,
kau pasti mengerti kenapa aku merindukan kakak yang satu itu.
Tapi sebenarnya aku
bukan ingin mengadu padamu tentang kerinduan ini. Mungkin nanti, suatu waktu di
sepotong sore.
Yang ingin kuceritakan sebenarnya adalah kita. Sorry, kalau pakai
‘kita’. Aku tahu, ‘kita’ bagimu hanya sebatas kemarin. Bagiku, sulit sampai ke
sana. Sekarang pun mungkin belum seratus persen.
Sebenarnya, aku ingin menulis tentang ‘kita’ sejak minggu
pertama kita jujur pada perasaan masing-masing. Saat kakiku selalu lemas
melihat senyummu. Dan kau selalu berubah gugup—hingga sulit berkata saat mata
kita beradu. Aku tahu kau istimewa. Itu sebabnya, aku ingin kau abadi dalam
tulisan-tulisanku. Karya yang tujuan utamanya memuja-muji sosokmu, Rahasia.
Tapi di saat yang sama aku ragu.
Jujur, saat itu aku tak yakin kalau kau adalah yang terakhir
bagiku. Karena sebelum kau datang, aku sedang kasmaran. Pada orang lain.
Tapi, kau merubah segalanya. Tak perlu kuceritakan lagi
bagaimana berpengaruhnya kau dalam beberapa tahun terakhir ini.
Pernah, sesekali bahkan, aku berusaha menceritakannya, tapi
kau menolak dengar. “Babababa... udah deh, enggak nyaman,” katamu.
Entah kau dengar atau tidak saat itu, tapi sesuatu patah di
rongga dadaku. Dan nyerinya keterlaluan. Tapi dari luka itu, aku berusaha
mencari hikmah. Bahwa usahamu melupakanku begitu keras. Bukti bahwa yang ‘kita’
lalui kemarin Mei hingga September, memang membekas lekat di dirimu.
Tapi... benarkah? Atau aku yang tolol ini terlalu
mencari-cari sesuatu yang tak seharusnya kucari? Entahlah, walaupun salah,
biarkanlah aku berpikir demikian.
Dahulu, kupikir: bagaimanapun akhir kisah kita, kau akan
tetap kutulis dalam beberapa judul. Kupikir, kisah kita istimewa. Terlalu berharga
jika dilupa begitu saja. Kupikir, aku yang tak mau melupakanmu, melupakan kita.
Tapi beberapa bulan terakhir, pikiranku meliuk-liuk. Melilit-lilit jadi benang
kusut. Dan pikiran-pikiran kusut ini benar-benar menguras tenaga, waktu, dan
perhatianku.
Aku harus selesaikan urusan kita, segera!
Kalimat ini kepalang sering menerorku. Mencak-mencak di
kepalaku. Kau makin sibuk. Makin jahat pula padaku. Makin sering marah-marah. Makin
sering merajuk tak bersebab. Sebenarnya, aku tak masalah dengan semua perilaku
burukmu padaku. Kau tau, kau selalu bisa menguasaiku. Aku pun tau.
Tapi pernah dalam beberapa malam, kau kembali manis. Memporak-porandakan
pertahananku. Membuat jantungku pengin loncat lagi dari rongganya.
Sejujurnya, terselip pula keraguanku dalam setiap sikap
manismu. Raguku adalah tentang ragumu. Jika kau mengerti maksudku.
Tapi akhirnya aku tersadarkan oleh kadomu di ulang tahunku
minggu lalu. Saat kau bilang kau punya seseorang baru. Yang kau temui di
festival budaya itu. Percayalah, hatiku remuk-redam-hancur-lebur kala itu. Bunyi
patahnya memekakkan telingaku. Hingga, maaf saja kalau aku tak bisa lagi
berpura-pura baik-baik saja seperti biasanya. Maaf kalau aku menyebalkan saat
itu. Tapi, aku butuh hal itu.
Terima kasih telah jujur. Kejujuranmu membuka mataku. Sangat
lebar.
Aku sadar kalau berharap jadi halaman terakhirmu dan kau
jadi halaman terakhirku, bukan berarti harus menjerumuskan diri dalam cinta
semu yang tak sehat.
Aku sadar bahwa selama ini, selepas September, aku memang
telah melepaskanmu. Membiarkanmu bertindak semaumu. Seperti sebelum kita
bersama. Intinya, aku berhenti mengekangmu dalam istilah ‘kita’. Aku membiarkanmu
menjadi dirimu lagi. Dirimu yang tanpa aku. Meski di saat yang sama aku merasa
dirajam.
Tapi aku lupa satu hal.
Dalam proses itu, seharusnya aku juga berhenti mengekang
diriku dalam istilah ‘kita’. Aku lupa kalau ‘kita’ hanyalah sebuah konsep di
kemarin hari. Diam-diam aku berharap masih ada ‘kita’ di kemudiannya.
Tapi kau telah
menyadarkanku. Terima kasih. Sekali lagi. Aku takkan mengubah pikiranmu tentang
hal tersebut. Aku akan menyimpannya sampai nanti. Tapi, kali ini aku akan
benar-benar menyimpannya, bukan malah memikirkannya tiap hari, tiap detik.
Akan kubuka kalau tiba saatnya.
Mungkin ini jenis cinta yang paling sesuai buat kita. Cinta yang
tak perlu saling kekang. Biarkan masa muda tak dikekang janji-janji setia
selamanya. Ya, kita memang terlalu muda. Setidaknya kau begitu. Hahahha...
pasti kau mengerti maksudku.
Semoga ini bukan sebuah akhir. Karena seperti kubilang, aku
tidak membuanh konsep ‘kita’, hanya menyimpannya.
Jika tak bisa temukan pengganti yang persis seperti aku, datanglah
kembali. Ketuk pintu itu. Ruang di mana aku menyimpan ‘kita’. Kau pasti tahu di
mana.
Kalau kau sudah sedikit tua dan dewasa, paham kalau muda
bukan segala-galanya, dan takkan pernah jadi selamanya, ingat saja: aku ada. Setidaknya
pernah ada.
***
Ah ya, sebenarnya aku punya rahasia ketika menamaimu
Rahasia. Diam-diam, aku menebak ujung kisah ‘kita’. Tebakan pertamaku, suatu
saat Rahasia akan terkuak. Persis sebagian rahasia lain di dunia ini.
Yang kedua, kupikir kau akan menjadi Rahasia yang tetap jadi
rahasia. Persis sebagian rahasia lain di dunia.
Mungkin saat ini kau adalah Rahasia yang kedua. Tapi mungkin
saja kau berubah jadi Rahasia yang pertama. Siapa sangka? Hahaha...
Akhirnya tulisan ini kuakhiri... percayalah, aku sedang
tersenyum saat ini.
Aku tetap melanjutkan tulisan ini karena pada akhirnya aku
yakin kalau kau memang saat istimewa,
Rahasia. Tak peduli sebesar apa kepalamu
setelah membacanya. Maaf kalau aku terlalu terbuka. Tapi aku hanya berusaha
jujur pada diri sendiri. Hal yang sebenarnya bukan perkara ringan.
Rahasia, mari berteman saja!
Teman karib yang tetap selalu ada di setiap kala. Kau tahu,
kupikir cinta jenis ini yang cocok dengan kita.
P.S. Tulisan ini sejujurnya kubuat 11 Mei lalu. Tapi sengaja
kupublis di hari ini, tepat sehari sebelum kau menyatakan sesuatu yang mengubah
duniaku di tahun lalu. Hari yang kini kau lupa hari apa. Ah ya, kau kira ia
hanya Sabtu biasa.