AKU
DULU
persis bocah di depanku ini. Tinggi, ceking, punya tatapan dungu, irit sekali
bicara, tapi punya daftar bacaan bagus, meski wajahnya masih gamblang
menggambarkan usia yang belia, namun pikirannya sudah menua lima sampai enam
tahun dari usianya. Tergambar dari kata-kata yang keluar dari mulutnya, yang
sepertinya memang diatur keluar satu kalimat per dua jam saja.
Dia juga pegiat pers
mahasiswa, sama seperti aku dulu. Tapi bocah ini lebih hebat, dia masih 19
tahun dan sudah jadi pemimpin redaksi di medianya. Aku dulu hanya reporter
selama 3 tahun, baru jadi redaktur di tahun terakhir. Mungkin bisa juga jadi pemred
kalau aku masih mau tambah setahun lagi saja tinggal di pers mahasiswa-ku,
alih-alih bertindak bodoh menyelesaikan skripsi. Kalau tidak kan aku bisa
sedikit menyombong, pura-pura pintar memberi saran pada bocah ini tentang
bagaimana jadi pemred pers mahasiswa yang baik.
Tapi, begitulah Takdir.
Dia bukan tipikal karib baik yang mengingatkanmu akan ada apa di detik berikutnya hidupmu. Dia
tipikal teman yang selalu hadir dan menemanimu dalam keheningan. Anehnya, teman
bernama Takdir tadi dimiliki semua orang dengan rupa berbeda-beda.
Seperti aku dan bocah
ini. Aku merasa punya banyak kemiripan dengannya, seolah-olah melihat diriku
sewaktu muda, jelas di depan mata, berwujud dalam rupa orang lain.
Kemiripan-kemiripan ini juga mengingatkanku kejadian 14 tahun lalu.
Kejadiannya persis seperti
hari ini. Aku yang masih berusia 16 tahun, lebih muda dari si bocah beberapa
tahun, sedang mengintil seorang teman, persis seperti bocah ini mengintilku
pagi ini. Temanku itu juga wartawan, sama seperti aku hari ini. Namanya
Prayoga, usianya lebih tua lima tahun dariku.
Bedanya, waktu itu aku
hanya ikut-ikut saja ke mana Prayoga pergi, sementara si bocah ini magang di
kantorku dan disuruh ikut aku. Aku dan Prayoga semacam karib yang dipersatukan
teman bernama Takdir tadi di sebuah panti asuhan. Kala itu, 12 mei 1998,
Prayoga baru diterima dua minggu sebuah media bagus yang beritanya melawan
Soeharto.
Di hari terik itu,
ribuan mahasiswa turun ke jalan, mereka berdemontrasi menuntut banyak hal yang
belum sepenuhnya kupahami betul. Saat itu, yang kuketahui semua mahasiswa
membenci Soeharto dan ingin menurunkannya dari kursi Presiden. Prayoga adalah
salah satu orang yang benci sekali pada Soeharto meski dia bukan anak kuliahan.
Katanya, “Soeharto itu diktator yang bakal buat hidup cucumu sama menderitanya
sama hidupmu sekarang kalau tidak diberantas dari sekarang.”
Entah darimana pikiran
seperti itu bisa muncul dari mulut Prayoga. Mungkin dari teman-temannya yang
kuliah di UI dan buku-buku bagus, sumbangan mereka, yang dilahapnya tiap sebelum
tidur. Oleh karenanya, semangat Prayoga berapi-api sekali pagi itu.
Aku ingat betul muka
sumringahnya kala mendengar kematian enam orang mahasiswa Trisakti di hari itu.
Dia bilang, “Sudah mulai, Bro. Soeharto bakal berakhir hari ini. Dia cuma bakal
jadi sejarah kelam!” sambil tertawa girang.
Sementara Jakarta
berubah bising, bau keringat, dan mencekam hari itu. Polisi dan mahasiswa
saling lempar botol, ada juga yang lempar batu. Sebagian mahasiswa lainnya
menyanyikan mars anti Orde Baru saat dua orang kawannya sedang berorasi. Di
saat yang sama pula gas air mata disemprotkan ke udara. Aku merasa posisiku
hari itu sudah cukup aman dari jangkauan kekisruhan. Tapi gas air mata yang
disemprot membabi buta sampai juga ke mataku. Membuatnya perih dan berlinangan
air mata. Pandanganku mengabur, dan di saat itulah aku mendengar suara terakhir
Prayoga. Katanya, “tunggu di sini, Bro. Jangan ke mana-mana.”
Lantas dia berlari ke
arah kerumunan dan tenggelam di sana.
Aku menunggu di situ.
Menepati janji pada Prayoga sampai kerumunan itu hilang di malam hari, mungkin
subuh. Karena tak kunjung dijemput, aku akhirnya beranjak. Pergi ke kantor
Prayoga sambil berjalan kaki. Dan pemandangan neraka tak mungkin lebih seram
dari pemandangan yang kulihat malam itu.
Api menyala-nyala
membakar ruko-ruko sekitar. Dinding-dinding sebagian ruko sudah jebol. Mungkin
dijarah. Jalanan sepi, tapi banyak sekali bangkai mobil dan sepeda motor gosong
yang berserakan di jalan raya. Aku bahkan melihat dua orang bersimbah darah
tergeletak tak bernyawa di sebuah simpang.
Kupikir hari itu adalah
hari kiamat, yang orang-orang bilang akan segera datang. Untung, aku bertemu
Suci, pacar Prayoga yang adalah wartawan senior di tempatnya bekerja. Olehnya,
aku dibawa ke kantor mereka dan dibuat sadar dengan apa yang sebenarnya sedang
terjadi.
Kerusuhan ini karena
enam mahasiswa Trisakti yang mati tadi. Prayoga benar. Ternyata tak hanya
mahasiswa yang membenci Soeharto. Semua orang benci dia dan pemerintahannya
yang korup.
Wartawan-wartawan
inilah saksi hidup segalanya yang tiran terjadi di negeri ini. Merekalah yang
menyimpan banyak sekali tumpukan arsip pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
pemerintah, yang tak pernah kulihat di TVRI, atau stasiun TV swasta yang mulai
menjamur itu. Yang aku dan warga Indonesia lihat hanyalah yang pemerintah ingin
kami lihat, ternyata.
Sampai dua hari berikutnya,
tepat tanggal 14 Mei, aku masih di sana. Melihat langsung neraka yang belum
meninggalkan Jakarta. Makin banyak mayat yang dibiarkan saja tergeletak di
pinggir jalan. Ruko, mal, segala tempat yang mungkin menyimpan harta benda
dijebol dan dijarah. Demonstrasi masih terjadi. Baku hantam polisi-mahasiswa
seolah jadi makanan sehari-hari. Seperti yang kubilang, neraka masih di sini.
Dan di malam itu, aku
ingat sekali, kala sekitar dua puluh orang pria bertubuh rupa-rupa: gemuk,
ceking, berotot, bertato, muka bekas tersayat parang, datang ke kantor Suci.
Mereka mengobrak-abrik semua kabinet yang ada di kantor itu. Menjungkir-balikan
meja dan sofa di ruang tamu. Dan sempat menarik kerah kemeja Mas Handy,
reporter senior di sana. Salah satunya, yang pegang kerah Mas Handy bilang,
“Kalau sampai kita lihat yang enggak-enggak keluar di koran lo, lo pikir
baik-baik aja deh!”
Ketegangan itu
berlangsung sekitar dua jam. Dan anak bau kencur sepertiku sudah setengah mati
ketakutan. Tapi merasa takut di tengah neraka membuatku merasa masih hidup,
masih punya harapan, dan mulai terbakar semangat revolusi yang masih bernyala
garang di hati semua wartawan ini.
Sampai tanggal 21 Mei, sampai
Soeharto menyatakan pemundurannya sebagai Presiden di Kairo sana, neraka masih
ada di sini. Bahkan sampai Desember, hal ini jadi makanan sehari-hari.
Demonstrasi masih berlangsung. Semuanya kuikuti bersama Suci dan Mas Handy, dan
teman-teman mereka yang seolah-olah punya kekuatan lebih menghadapi neraka ini
karena profesi mereka sebagai wartawan.
Meski kantor itu
seperti kapal pecah, apalagi setelah penyerangan di malam 14 Mei kemarin, dan
semua wartawan di sana memang tak punya waktu senggang sedikit saja untuk
merapikannya karena dikejar-kejar tenggat, tapi kantor itulah rumah pertama yang
kurasakan. Di sanalah aku benar-benar merasakan hidup. Di tengah arus informasi
yang keluar-masuk setiap saat ke telinga, menjadikan aku orang pertama yang
tahu segalanya.
Meski risikonya
ternyata tak main-main: kehidupan orang-orang ini jadi ikut-ikutan tak rapi,
karena tekanan pekerjaaannya.
Seperti Suci yang
benar-benar tak punya teman karib lagi setelah menghilangnya Prayoga, atau Mas
Handy yang bercerai dengan istrinya karena tak mau diajak eksodus ke Singapura.
Maklum saja Mas Handy dan istrinya masih keturunan Tionghoa kental.
Di antara mereka,
memang jarang ada yang ingat untuk merapikan hidupnya masing-masing. Tapi,
bukankah itu syarat jadi andal seperti mereka? Mengabdi pada apa yang mereka
kerjakan. Dengan sangat profesional dan jujur. Mereka hanya tidur empat-lima
jam sehari. Itu sudah paling banyak. Malah lebih sering bergadang tiga hari,
ditemani literatur pendukung liputan dan sepeda motor ringkih merk Astrea yang
disiapkan kantor untuk menemui narasumber, kapan saja. Untung ada beberapa office boy yang disiapkan untuk merawat
perut kami—kini aku juga jadi penghuni kantor itu sepeninggal Prayoga.
Kehidupan-beradu-cepat-dengan-waktu
begitu ternyata yang akhirnya kuputuskan untuk dipilih. Itulah satu-satunya
alasanku berkuliah: ingin jadi wartawan seperti Mas Handy dan Suci, juga
Prayoga, temanku yang gagah berani. Jadi, ketika ada kesempatan bisa bergabung
dengan pers mahasiswa di universitas, aku tak menyia-nyiakannya.
“Massa sudah ramai,
Mas. Katanya yang di Monas sudah kisruh. Ada FPI di sana.” Si bocah menggangu
lamunanku. Dia daritadi bersenggama dengan gadget-nya, mengumpulkan informasi terbaru dari semua
media sosialnya. Aku yang suruh.
“Kamu pakai saja
helm-ku. Oh ya, pegang kamera ini. Hari ini aku mau ikuti kronologis saja. Kamu
yang cari momen. Kita pisah di sini ya,” kataku.
“Loh, kok begitu, Mas?”
“Kamu pernah dengar
Tragedi Mei 1998, kan? Pastilah. Pemred pasti tahulah.” Aku tersenyum sambil
pegang pundaknya. “Percayalah, Bro. Hari ini, 22 Juli, 16 tahun setelah tragedi
itu, bakal jadi hari yang jauh lebih keren. Itu kalau elo masih hidup setelah
hari ini.”