Sunday, January 4, 2015

  |   No comments   |  

Hari Ini dan 16 Tahun Lalu






AKU DULU persis bocah di depanku ini. Tinggi, ceking, punya tatapan dungu, irit sekali bicara, tapi punya daftar bacaan bagus, meski wajahnya masih gamblang menggambarkan usia yang belia, namun pikirannya sudah menua lima sampai enam tahun dari usianya. Tergambar dari kata-kata yang keluar dari mulutnya, yang sepertinya memang diatur keluar satu kalimat per dua jam saja.

Dia juga pegiat pers mahasiswa, sama seperti aku dulu. Tapi bocah ini lebih hebat, dia masih 19 tahun dan sudah jadi pemimpin redaksi di medianya. Aku dulu hanya reporter selama 3 tahun, baru jadi redaktur di tahun terakhir. Mungkin bisa juga jadi pemred kalau aku masih mau tambah setahun lagi saja tinggal di pers mahasiswa-ku, alih-alih bertindak bodoh menyelesaikan skripsi. Kalau tidak kan aku bisa sedikit menyombong, pura-pura pintar memberi saran pada bocah ini tentang bagaimana jadi pemred pers mahasiswa yang baik.

Tapi, begitulah Takdir. Dia bukan tipikal karib baik yang mengingatkanmu  akan ada apa di detik berikutnya hidupmu. Dia tipikal teman yang selalu hadir dan menemanimu dalam keheningan. Anehnya, teman bernama Takdir tadi dimiliki semua orang dengan rupa berbeda-beda.

Seperti aku dan bocah ini. Aku merasa punya banyak kemiripan dengannya, seolah-olah melihat diriku sewaktu muda, jelas di depan mata, berwujud dalam rupa orang lain. Kemiripan-kemiripan ini juga mengingatkanku kejadian 14 tahun lalu.

Kejadiannya persis seperti hari ini. Aku yang masih berusia 16 tahun, lebih muda dari si bocah beberapa tahun, sedang mengintil seorang teman, persis seperti bocah ini mengintilku pagi ini. Temanku itu juga wartawan, sama seperti aku hari ini. Namanya Prayoga, usianya lebih tua lima tahun dariku.

Bedanya, waktu itu aku hanya ikut-ikut saja ke mana Prayoga pergi, sementara si bocah ini magang di kantorku dan disuruh ikut aku. Aku dan Prayoga semacam karib yang dipersatukan teman bernama Takdir tadi di sebuah panti asuhan. Kala itu, 12 mei 1998, Prayoga baru diterima dua minggu sebuah media bagus yang beritanya melawan Soeharto.

Di hari terik itu, ribuan mahasiswa turun ke jalan, mereka berdemontrasi menuntut banyak hal yang belum sepenuhnya kupahami betul. Saat itu, yang kuketahui semua mahasiswa membenci Soeharto dan ingin menurunkannya dari kursi Presiden. Prayoga adalah salah satu orang yang benci sekali pada Soeharto meski dia bukan anak kuliahan. Katanya, “Soeharto itu diktator yang bakal buat hidup cucumu sama menderitanya sama hidupmu sekarang kalau tidak diberantas dari sekarang.”

Entah darimana pikiran seperti itu bisa muncul dari mulut Prayoga. Mungkin dari teman-temannya yang kuliah di UI dan buku-buku bagus, sumbangan mereka, yang dilahapnya tiap sebelum tidur. Oleh karenanya, semangat Prayoga berapi-api sekali pagi itu. 

Aku ingat betul muka sumringahnya kala mendengar kematian enam orang mahasiswa Trisakti di hari itu. Dia bilang, “Sudah mulai, Bro. Soeharto bakal berakhir hari ini. Dia cuma bakal jadi sejarah kelam!” sambil tertawa girang.

Sementara Jakarta berubah bising, bau keringat, dan mencekam hari itu. Polisi dan mahasiswa saling lempar botol, ada juga yang lempar batu. Sebagian mahasiswa lainnya menyanyikan mars anti Orde Baru saat dua orang kawannya sedang berorasi. Di saat yang sama pula gas air mata disemprotkan ke udara. Aku merasa posisiku hari itu sudah cukup aman dari jangkauan kekisruhan. Tapi gas air mata yang disemprot membabi buta sampai juga ke mataku. Membuatnya perih dan berlinangan air mata. Pandanganku mengabur, dan di saat itulah aku mendengar suara terakhir Prayoga. Katanya, “tunggu di sini, Bro. Jangan ke mana-mana.”
Lantas dia berlari ke arah kerumunan dan tenggelam  di sana. 

Aku menunggu di situ. Menepati janji pada Prayoga sampai kerumunan itu hilang di malam hari, mungkin subuh. Karena tak kunjung dijemput, aku akhirnya beranjak. Pergi ke kantor Prayoga sambil berjalan kaki. Dan pemandangan neraka tak mungkin lebih seram dari pemandangan yang kulihat malam itu.

Api menyala-nyala membakar ruko-ruko sekitar. Dinding-dinding sebagian ruko sudah jebol. Mungkin dijarah. Jalanan sepi, tapi banyak sekali bangkai mobil dan sepeda motor gosong yang berserakan di jalan raya. Aku bahkan melihat dua orang bersimbah darah tergeletak tak bernyawa di sebuah simpang.

Kupikir hari itu adalah hari kiamat, yang orang-orang bilang akan segera datang. Untung, aku bertemu Suci, pacar Prayoga yang adalah wartawan senior di tempatnya bekerja. Olehnya, aku dibawa ke kantor mereka dan dibuat sadar dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Kerusuhan ini karena enam mahasiswa Trisakti yang mati tadi. Prayoga benar. Ternyata tak hanya mahasiswa yang membenci Soeharto. Semua orang benci dia dan pemerintahannya yang korup.

Wartawan-wartawan inilah saksi hidup segalanya yang tiran terjadi di negeri ini. Merekalah yang menyimpan banyak sekali tumpukan arsip pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pemerintah, yang tak pernah kulihat di TVRI, atau stasiun TV swasta yang mulai menjamur itu. Yang aku dan warga Indonesia lihat hanyalah yang pemerintah ingin kami lihat, ternyata.

Sampai dua hari berikutnya, tepat tanggal 14 Mei, aku masih di sana. Melihat langsung neraka yang belum meninggalkan Jakarta. Makin banyak mayat yang dibiarkan saja tergeletak di pinggir jalan. Ruko, mal, segala tempat yang mungkin menyimpan harta benda dijebol dan dijarah. Demonstrasi masih terjadi. Baku hantam polisi-mahasiswa seolah jadi makanan sehari-hari. Seperti yang kubilang, neraka masih di sini.

Dan di malam itu, aku ingat sekali, kala sekitar dua puluh orang pria bertubuh rupa-rupa: gemuk, ceking, berotot, bertato, muka bekas tersayat parang, datang ke kantor Suci. Mereka mengobrak-abrik semua kabinet yang ada di kantor itu. Menjungkir-balikan meja dan sofa di ruang tamu. Dan sempat menarik kerah kemeja Mas Handy, reporter senior di sana. Salah satunya, yang pegang kerah Mas Handy bilang, “Kalau sampai kita lihat yang enggak-enggak keluar di koran lo, lo pikir baik-baik aja deh!”

Ketegangan itu berlangsung sekitar dua jam. Dan anak bau kencur sepertiku sudah setengah mati ketakutan. Tapi merasa takut di tengah neraka membuatku merasa masih hidup, masih punya harapan, dan mulai terbakar semangat revolusi yang masih bernyala garang di hati semua wartawan ini.

Sampai tanggal 21 Mei, sampai Soeharto menyatakan pemundurannya sebagai Presiden di Kairo sana, neraka masih ada di sini. Bahkan sampai Desember, hal ini jadi makanan sehari-hari. Demonstrasi masih berlangsung. Semuanya kuikuti bersama Suci dan Mas Handy, dan teman-teman mereka yang seolah-olah punya kekuatan lebih menghadapi neraka ini karena profesi mereka sebagai wartawan.

Meski kantor itu seperti kapal pecah, apalagi setelah penyerangan di malam 14 Mei kemarin, dan semua wartawan di sana memang tak punya waktu senggang sedikit saja untuk merapikannya karena dikejar-kejar tenggat, tapi kantor itulah rumah pertama yang kurasakan. Di sanalah aku benar-benar merasakan hidup. Di tengah arus informasi yang keluar-masuk setiap saat ke telinga, menjadikan aku orang pertama yang tahu segalanya.

Meski risikonya ternyata tak main-main: kehidupan orang-orang ini jadi ikut-ikutan tak rapi, karena tekanan pekerjaaannya. 

Seperti Suci yang benar-benar tak punya teman karib lagi setelah menghilangnya Prayoga, atau Mas Handy yang bercerai dengan istrinya karena tak mau diajak eksodus ke Singapura. Maklum saja Mas Handy dan istrinya masih keturunan Tionghoa kental.

Di antara mereka, memang jarang ada yang ingat untuk merapikan hidupnya masing-masing. Tapi, bukankah itu syarat jadi andal seperti mereka? Mengabdi pada apa yang mereka kerjakan. Dengan sangat profesional dan jujur. Mereka hanya tidur empat-lima jam sehari. Itu sudah paling banyak. Malah lebih sering bergadang tiga hari, ditemani literatur pendukung liputan dan sepeda motor ringkih merk Astrea yang disiapkan kantor untuk menemui narasumber, kapan saja. Untung ada beberapa office boy yang disiapkan untuk merawat perut kami—kini aku juga jadi penghuni kantor itu sepeninggal Prayoga.

Kehidupan-beradu-cepat-dengan-waktu begitu ternyata yang akhirnya kuputuskan untuk dipilih. Itulah satu-satunya alasanku berkuliah: ingin jadi wartawan seperti Mas Handy dan Suci, juga Prayoga, temanku yang gagah berani. Jadi, ketika ada kesempatan bisa bergabung dengan pers mahasiswa di universitas, aku tak menyia-nyiakannya.

“Massa sudah ramai, Mas. Katanya yang di Monas sudah kisruh. Ada FPI di sana.” Si bocah menggangu lamunanku. Dia daritadi bersenggama dengan gadget-nya,  mengumpulkan informasi terbaru dari semua media sosialnya. Aku yang suruh.

“Kamu pakai saja helm-ku. Oh ya, pegang kamera ini. Hari ini aku mau ikuti kronologis saja. Kamu yang cari momen. Kita pisah di sini ya,” kataku.

“Loh, kok begitu, Mas?”

“Kamu pernah dengar Tragedi Mei 1998, kan? Pastilah. Pemred pasti tahulah.” Aku tersenyum sambil pegang pundaknya. “Percayalah, Bro. Hari ini, 22 Juli, 16 tahun setelah tragedi itu, bakal jadi hari yang jauh lebih keren. Itu kalau elo masih hidup setelah hari ini.”

Bocah itu malah senyum. Dan aku mendapatkan satu perbedaan di antara kami. Dia, tak bisa dipungkiri, jauh lebih siap daripada aku dulu untuk neraka hari ini.