Dear… Rahasia.
Tahukah kau, apa yang kulakukan sepanjang hari kemarin? Hari
di mana kita tak bertemu seharian karena perselisihan kecil di hari sebelumnya.
Atau, tahukah kau apa yang kulakukan di hari-hari begitu? Saat kita tak bertemu
seharian. Tahukah kau apa yang kulakukan saat aku sendiri? Kupastikan kau tak
tahu. Sebab kau tak pernah bertanya tentang hal ini, sehingga kita tak pernah
berdiskusi tentangnya. Tapi tahukah kau kalau sebenarnya, terkadang aku ingin
kita mendiskusikannya. Kupastikan kau tak tahu. Sebab aku tak pernah meminta
hal itu.
Kau tahu kenapa? Kau pasti tahu, aku tak pernah ingin
meminta banyak. Tapi sesungguhnya aku sangat menyukai ketidaktahuanmu yang satu
ini. Tahu kenapa? Karena aku tahu kita membutuhkan ruang untuk diri kita
sendiri, terkadang. Dan ketidaktahuan satu ini memberikan ruang itu.
Mmmm… tahukah kau, apa yang membuatku marah tempo hari? Kau hampir
membuat tanganku terkilir tanpa sengaja, lalu kau pergi dan tak hirau padaku
yang terus mengaduh. Tanganku memang tak jadi terkilir, atau patah, tapi
kebasnya terasa hingga sore hari. Kemudian aku marah padamu dan bertingkah
gila. Percayalah, aku menyesal. Aku selalu menyesal setelah melakukan hal bodoh
padamu. Itu kutukanku yang akan selalu terjadi. Tapi tahukah kau, apa yang
terjadi saat setelah aku mengaduh dan sebelum aku bertingkah gila? Aku berpikir.
Aku berpikir tentang rasa sakit dan amarah yang sedang
kurasakan. Aku berpikir untuk bertingkah gila. Kemudian, aku berpikir dan
menimbang-nimbang. Apakah aku akan bertingkah gila? Akankah kulampiaskan amarah
itu? Hal ini sering sekali terjadi. Aku harus menimbang-nimbang akan melakukan
apa, sebab kau tahu sendiri kalau kau tukang merajuk. Aku harus
menimbang-nimbang, apakah bertingkah gila tidak akan jadi simalakama sendiri
padaku? Tapi siang itu, aku tak tahan. Rasanya kau sudah keterlaluan sekali. Dan
aku marah. Tapi seperti yang sama-sama bisa kita tebak, kau malah jadi yang
lebih marah karena aku marah padamu. Kau diam, tapi sedang memborbardirku
dengan amarahmu dalam diam itu.
Saat itu aku kembali berpikir. Apa yang harus kulakukan? Membiarkan
diriku jadi tertuduh? Membiarkan perselisihan itu jadi kesalahanku sendiri? Aku,
yang tangan kirinya hampir terkilir? “Oh, tentu saja tidak!” itu yang
kupikirkan saat itu. Aku memutuskan pergi. Meskipun aku tahu kalau masalah tak
akan selesai di sana. Malah akan lebih panjang jadinya.
Tapi tahukah kau? Yang sebenarnya kulakukan adalah memberi ruang
pada diriku sendiri. Saat itu aku benar-benar lelah untuk jadi orang yang
selalu berpikir untuk orang lain di atas diriku sendiri. Saat itu aku lelah
untuk jadi yang selalu salah. Waktu itu, aku sadar masalah akan lebih panjang
jadinya, tapi aku tetap butuh lari sebentar. Waktu itu, sakit di lengan kiriku
hanya pemicu sakit yang sudah lebih lama kupendam. Maka, aku memutuskan pergi. Aku
tak marah, hanya butuh lari. Butuh ruang sendiri.
Tentu saja kau tak tahu hal ini. Aku belum memberitahu
sesiapa pun perkara ini. Tapi kini kautahu setelah membacanya.
Omong-omong, tahukah kau, apa yang kupikirkan saat menulis tulisan
ini? Well, banyak sekali yang
melintas. Tapi kuberitahu satu hal: alasan kenapa tulisan ini bisa sampai ada. Sebab
aku tak akan pernah bisa mengungkapkan semua ini lewat kata-kata. Aku tak bisa
menepuk bahumu, lalu membuka mulut untuk memulai sebuah perbincangan. Ada banyak
hal yang membuatku takut melakukannya. Banyak hal yang belum kauketahui. Salah satunya
adalah karena kau belum menegurku lebih dulu seharian ini, bahkan lewat pesan
saja. Padahal aku ingin sekali. Tapi aku tak bisa, aku hanya bisa menuliskannya
di sini
Oh ya, tahukah kau apa yang belakangan ini kupikirkan? Sebenarnya
ini adalah rahasia untukmu, Rahasia. Tapi kuberitahu saja sedikit ya, aku
sedang menyiapkan sesuatu untukmu. Yang kuharap akan kau sukai nantinya.
(mungkin bersambung).
P.S. tulisan ini saya curi dari jurnal Oktober.