Friday, February 13, 2015

,   |   No comments   |  

Tahukah Kau? Tahukah Aku?





Dear… Rahasia.

Tahukah kau, apa yang kulakukan sepanjang hari kemarin? Hari di mana kita tak bertemu seharian karena perselisihan kecil di hari sebelumnya. Atau, tahukah kau apa yang kulakukan di hari-hari begitu? Saat kita tak bertemu seharian. Tahukah kau apa yang kulakukan saat aku sendiri? Kupastikan kau tak tahu. Sebab kau tak pernah bertanya tentang hal ini, sehingga kita tak pernah berdiskusi tentangnya. Tapi tahukah kau kalau sebenarnya, terkadang aku ingin kita mendiskusikannya. Kupastikan kau tak tahu. Sebab aku tak pernah meminta hal itu.

Kau tahu kenapa? Kau pasti tahu, aku tak pernah ingin meminta banyak. Tapi sesungguhnya aku sangat menyukai ketidaktahuanmu yang satu ini. Tahu kenapa? Karena aku tahu kita membutuhkan ruang untuk diri kita sendiri, terkadang. Dan ketidaktahuan satu ini memberikan ruang itu.

Mmmm… tahukah kau, apa yang membuatku marah tempo hari? Kau hampir membuat tanganku terkilir tanpa sengaja, lalu kau pergi dan tak hirau padaku yang terus mengaduh. Tanganku memang tak jadi terkilir, atau patah, tapi kebasnya terasa hingga sore hari. Kemudian aku marah padamu dan bertingkah gila. Percayalah, aku menyesal. Aku selalu menyesal setelah melakukan hal bodoh padamu. Itu kutukanku yang akan selalu terjadi. Tapi tahukah kau, apa yang terjadi saat setelah aku mengaduh dan sebelum aku bertingkah gila? Aku berpikir.

Aku berpikir tentang rasa sakit dan amarah yang sedang kurasakan. Aku berpikir untuk bertingkah gila. Kemudian, aku berpikir dan menimbang-nimbang. Apakah aku akan bertingkah gila? Akankah kulampiaskan amarah itu? Hal ini sering sekali terjadi. Aku harus menimbang-nimbang akan melakukan apa, sebab kau tahu sendiri kalau kau tukang merajuk. Aku harus menimbang-nimbang, apakah bertingkah gila tidak akan jadi simalakama sendiri padaku? Tapi siang itu, aku tak tahan. Rasanya kau sudah keterlaluan sekali. Dan aku marah. Tapi seperti yang sama-sama bisa kita tebak, kau malah jadi yang lebih marah karena aku marah padamu. Kau diam, tapi sedang memborbardirku dengan amarahmu dalam diam itu.

Saat itu aku kembali berpikir. Apa yang harus kulakukan? Membiarkan diriku jadi tertuduh? Membiarkan perselisihan itu jadi kesalahanku sendiri? Aku, yang tangan kirinya hampir terkilir? “Oh, tentu saja tidak!” itu yang kupikirkan saat itu. Aku memutuskan pergi. Meskipun aku tahu kalau masalah tak akan selesai di sana. Malah akan lebih panjang jadinya.

Tapi tahukah kau? Yang sebenarnya kulakukan adalah memberi ruang pada diriku sendiri. Saat itu aku benar-benar lelah untuk jadi orang yang selalu berpikir untuk orang lain di atas diriku sendiri. Saat itu aku lelah untuk jadi yang selalu salah. Waktu itu, aku sadar masalah akan lebih panjang jadinya, tapi aku tetap butuh lari sebentar. Waktu itu, sakit di lengan kiriku hanya pemicu sakit yang sudah lebih lama kupendam. Maka, aku memutuskan pergi. Aku tak marah, hanya butuh lari. Butuh ruang sendiri.

Tentu saja kau tak tahu hal ini. Aku belum memberitahu sesiapa pun perkara ini. Tapi kini kautahu setelah membacanya.

Omong-omong, tahukah kau, apa yang kupikirkan saat menulis tulisan ini? Well, banyak sekali yang melintas. Tapi kuberitahu satu hal: alasan kenapa tulisan ini bisa sampai ada. Sebab aku tak akan pernah bisa mengungkapkan semua ini lewat kata-kata. Aku tak bisa menepuk bahumu, lalu membuka mulut untuk memulai sebuah perbincangan. Ada banyak hal yang membuatku takut melakukannya. Banyak hal yang belum kauketahui. Salah satunya adalah karena kau belum menegurku lebih dulu seharian ini, bahkan lewat pesan saja. Padahal aku ingin sekali. Tapi aku tak bisa, aku hanya bisa menuliskannya di sini

Oh ya, tahukah kau apa yang belakangan ini kupikirkan? Sebenarnya ini adalah rahasia untukmu, Rahasia. Tapi kuberitahu saja sedikit ya, aku sedang menyiapkan sesuatu untukmu. Yang kuharap akan kau sukai nantinya.

(mungkin bersambung).

P.S. tulisan ini saya curi dari jurnal Oktober.