Tuesday, March 31, 2015

  |   No comments   |  

Film Oh Film



Wah. Belakangan duit memang terlalu gampang habis dibantai bioskop-bioskop. Entah kenapa, film-film yang belakangan keluar murah rejeki. Setidaknya, mereka berhasil membuat saya merogoh kocek untuk bayar tiket di 21. Well, walaupun sebenarnya enggak sampai separuh dari flm-film di bawah saya tonton di bioskop. Kebanyakan dari hardisk teman. Tapi, inilah rekap ulasan saya pada beberapa film yang saya tonton dua bulan belakangan.

1.       Into The Woods



Dear Ms. Meryl Streep, you are my everything, thank you for your existence in this cruel world. Film ini seperti film-film lainnya yang dibintangi Ms. Streep: spektakuler. Film musikal dengan aktor-aktor kelas kakap lainnya: Emily Blunt, Johny Depp, Anna Kendrick, Chris Pine dan lain-lain. Ceritanya ada Cinderella, Jack dan Kacang Polong, Si Kerudung Merah, dan Rapunzel digabungkan dalam film ini. Karena ini musikal, pasti nyanyi sana-nyanyi sini. Tapi nyanyian di musikal satu ini tak ada yang seluarbiasa I Dream a Dream dari Les Miserables yang dinyanyiin Anna “Fantine” Hathaway atau Let It Go dari Frozen yang dinyanyikan Idina “Elza” Menzel. Tapi, film ini tetap worth it untuk ditonton.

2.       Nightcrawler


Jake Gyllenhaal oh Jake Gyllenhaal!! Dia benar-benar total jadi psikopat memuakan di sini. Tokoh utama ini adalah karakter self-centered yang bakal ngelakuin apa aja supaya dia bisa apa aja. Di sini Jake jadi kamerawan lepas untuk sebuah acara berita kriminal. Di film ini, kita (kita di sini dimaksudkan untuk orang-orang yang dekat dengan ‘jurnalisme’) bakal banyak mikir dengan keadaan dunia jurnalistik kita sekarang. Terutama di pertelevisiannya. Tapi jangan salah. Film ini sama sekali tidak mencoba megupas apa-apa. Ini haya thriller yang dibuat untuk menghibur. Tapi selain menghibur, ada pesan yang diam-diam diselipkan. Pesan ini tak dimaksud untuk ‘harus’ ditangkap oleh semua penonton. Di situlah saya merasa senang menonton film ini. Sangat menghibur, dan cukup menginspirasi saya untuk buat naskah tentang wartawan.

3.       The Interview



AMAZIIING!! Saya pikir, saya jelas bukan satu-satunya pria di dunia ini yang makin jatuh cinta dengan James Franco. Saya pikir, semua jin juga bakal jatuh hati sama jenius satu ini.
Film ini ditulis, dikonsepkan, dan jelas dibuat dengan sebuah keseriusan yang dalam. Hampir tak ada cela, in my-very-humble-self opinion. Untuk anak komunikasi, film ini bagus banget dijadiin skripsi. Anak politik yang suka komunikasi politik juga bisa jadiin film ini penelitian brilian kalian! Sayang, judul skripsi saya yang diasese bukan film ini. Sungguh sayang. Ohya, karena film ini tidak ditayangkan di Indonesia, saya sangat menghormati para sineasnya untuk tidak membocorkan spoiler apa pun, selain bahwa film ini worth it untuk ditonton dua kali atau tiga kali dalam hari yang sama.

4.       Whiplash



Simpel, tapi ngangenin. Ini film sebenarnya dibalut naskah yang sederhana banget. Tentang seorang bocah yang mengejar mimpinya jadi drummer terbaik di dunia. Sepanjang film kita bakal lihat seberapa besar tekadnya untuk capai mimpi itu. Selain menghadapi mentor superseram yang diperankan JK Simmons, pemenang aktor pendukung terbaik di Oscar tahun ini, si bocah juga harus rela mutusin pacar secantik Melissa Benoist. Bocah itu diperankan Miles Teller. Keren!

5.       Birdman



Untuk orang-orang pecinta broadway kayak saya, ini film wajib tonton. Di-sutradarai dengan sangat cerdas oleh Sutradara Terbaik Oscar 2015, Alejandro González Iñárritu. Sinematografi yang bikin saya berdecak kayak hampir setiap adegan. Well, karena film ini cuma pakai satu long shot panjang, bisa dibilang film ini cuma punya satu adegan sih. Hahaha IYKWIM. Serius berdecak kayak, “ck… ck…”. Konfliknya enggak biasa di dekade terakhir. So, this movie was a real thing. Apalagi setelah menang di Oscar. Anyway, saya nontonnya sehari sebelum Oscar dan langsung bilang ke orang-orang kalau film ini bakal menang Sinematografi terbaik. Dan… saya ternyata punya bakat jadi cenayang.

6.       Boyhood



Wow. Salut untuk kerja keras sutradara Richard Linklater. Film ini saingan garis kerasnya Birdman. Bahkan menang duluan di Golden Globe. Alur ceritanya sederhana banget. Tapi ada imajinasi luar biasa dan kerja keras tak terhingga di balik film dua jam yang dibikin selama 12 tahun ini. Worth it banget untuk ditonton. Anyway, Linklater enggak perlu sedih karena enggak menang di Oscar. Tapi seluruh penduduk Bumi pasti sepakat kalau dia pasti menang kalau ada penganugerahan piala untuk manusia paling konsisten dan sabar di muka Bumi ini.

7.       Selma


Biasa aja. Sungguh. Tapi akting Oprah Winfrey buat film ini jadi worth it. Saya nangis pas dia mukul polisi rasis. Selain suara John Legend di penutupan film.

8.       The Imitation Game


Cumberbatch as Turing. What a brilliant choice. Udah itu aja. FIlmnya bagus. Seperti film-film biografi lainnya.

9.       Foxcatcher



Yang muncul di kepala saya habis nonton film ini cuma dua hal? Pertama, itu tadi serius Channing Tatum? Bibirnya gitu amat. Well, which mean good acting. Kedua, FILM APA INIII???

10.   The Normal Heart


Ini film disutradarai sama salah satu manusia favorit saya di dunia ini, Mr. Ryan Murphy. Ceritanya tentang gimana kaum gay terutama yang pria, bisa dapat hak politiknya. Benar-benar film propaganda. Sama kaya Selma. Tapi bedanya, semua yang main berakting luarbiasa menarik perhatian. Mark Rufallo yang jadi bintang utama benar-benar kelihatan kaya gay-tua yang menyebalkan (Well, Rufallo is one of the kind. Di Begin again dia luar biasa, bahkan di Foxcatcher-yang-entahapa-itu dia juga tampil menonjol). Matt Bomer bahkan rela turunin berat badannya sampai segitu supaya bisa peranin The Poor Felix Turner yang kena HIV/AIDS. Ohya, jangan lupa sama Julia Roberts yang kasih satu adegan marah-marah yang saya self-proclaimed sebagai best scene of 2014.

11.   The Best Of Me


Film murah. Well, kebanyakan film murah ya kaya gini. Cuma bisa jadi film “murah”.

12.   Big Hero 6


Pantas dapat animasi terbaik! Saya sedang menunggu sekuelnya.

13.   Theory Of Everything



Oh Felicity Jones aaaaaaaaaaaaaaaarrrhhhh!! Will you marry me??? Tapi, akting Eddy Redmayne bikin saya juga mau nikah sama dia. Ini film bagus dengan naskah adaptasi yang biasa-biasa saja. Jadi, gitu deh.

14.   Gone Girl dan The Boy Next Door






Well, dua film ini saya gabungkan karena penilaian saya serupa untuk kedua-duanya. Saya tidak bilang eksekusi kedua film ini baik, tapi saya senang setelah melihat dua film thriller ini. Saya punya firasat baik, kalau thriller bakal jadi hits setelah 2015 karena dua film ini. Mungkin setelah para produser Hollywood kehabisan akal bikin biofilm, dan atau film-film romantis berbudget murah, Gone Girl dan The Boy Next Door bakal menginspirasi mereka buat film thriller lagi. Mungkin kurangnya, Gone Girl belum bisa menerjemahkan keseraman dalam buku adaptasinya ke rol film sampai-sampai harus memperlihatkan penis Ben Affleck untuk meraup penonton. Sementara naskah The Boy Next Door juga terlalu dangkal dan “biasa”. Meski bokong mahal punya Jennifer Lopez memang worth it untuk dipampang dalam adegan mesranya bersama Guzman yang damn-lucky!

15.   Paddington


Enggak lucu. Atau humor saya yang jelek.

16.   Fifty Shades Of Grey
Sumpah, ini sama sekali bukan film. Hancur. Jelek. Dan emding enggak usah ditonton. Jelek dari semua lini: akting, naskah, penyutradaraan.

17.   Cinderella



Yang bagus cuma akting Cate Blanchett dan baju-baju yang ada di film. Terutama baju Cinderella di pesta Pangeran. Kemungkinan besar, film ini bakal masuk nominasi Oscar untuk kostum terbaik. Saya ketiduran di tengah film. Jadi kurang tau darimana Ibu Peri yang diperankan Belatrixx Lastrange di Harry Potter a.k.a Helena Bonham Carter. Iya, film ini saya tonton di bioskop.

18.   Kingsman: The Secret Service



Ini film asik! Keren! Dan saya punya firasat, adegan perkelahian Colin Firthd di Pub bakal jadi tren sendiri di kalangan sinematografer. Film menghibur yang enggak buat kita mikir: apa yang salah dari film ini. Bisa santai dari awal sampai akhir film. Dan terhibur. Sayang, LSF yang bodoh memotong satu adegan yang sebenarnya keren banget secara sinematografi di tengah film. Motongnya begok pula. Kerasa banget bagian itu kepotong. Jadi di tengah film diputar kita semua bakal, “what THE HELL???” iya, yang ini juga saya nontonnya di bioskop.

19.   Insurgent




Sama sekali beda dengan bukunya. Dan demi Allah, lebih bagus filmnya. Gausah bahas akting ya kalau film fantasi dari adaptasi buku gini. Lagian yang main itu Shailene Woodley. Man, you cant judge someone so fucking pretty like her. Pokoknya, filmnya lebih worth it dari novelnya. Yang bikin aneh sih ada scene yang membingkai kehadiran Shailene, Miles Teller, Ansel Elgorts, dan Theo James. Shit, ini semua cowok kan pernah ada adegan ranjangnya sama Shailene. Hahahahahaha sumpah, itu adegan sebenarnya adegan tegang karena marah-marah, tapi jadi tegang lain (baca: jangan ngeres) karena ingat Shailene pernah telanjang bareng cowok-cowok itu di film lain.

20.   Tracers



Ini baru ditonton hari ini sih. Tapi kurang suka dengan tensi filmnya. Walaupun cerita beginian udah lama enggak ada di bioskop, jadi kaya tontonan segarlah di sela-sela istirahat dari skripsi.

Tuesday, March 17, 2015

  |   2 comments   |  

Seorang Bocah dan Pertanyaannya



Halo, semua.



Ini Oktober yang sedang menulis. Kali ini, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan, dan hanya saya yang bisa menceritakannya. Untuk kehadiran pertama saya di sini, saya mohon maaf jika Anda kurang suka. Tapi, kalau tak masalah, saya ucapkan terima kasih.

Di kali pertama ini, saya ingin menceritakan sebuah perjalanan tanya-jawab hidup seorang kawan. Entah ini penting atau tidak, biarlah Anda hakimi setelah membaca kalimat terakhir.

Sebagai perkenalan, saya beritahu sedikit karakter kawan ini. Dia seorang pria, lahir dengan rasa penasaran besar dan penyakit paru-paru basah. Sampai usia dua tahun, ia harus menjalani berbagai macam pengobatan; mulai dari bersama dokter berijazah sampai beraneka dukun yang punya beraneka obat nyentrik pula. Jadi kelak, saat ibunya mulai menyadari kalau IQ anaknya di atas rata-rata, ia akan menjuluki putra pertamanya sebagai “anak obat”, sebab vitamin dan segala macam obat yang dimakannya sejak lahir hingga berusia dua tahun. 

Dia dilahirkan di keluarga muslim kental. Meski ibunya adalah seorang mualaf. Baru masuk Islam setahun setengah sebelum kelahirannya.

Jadilah ia dididik dengan segala macam ajaran Islam. Ia salat sejak usia lima, memang belum penuh lima waktu, paling sering tinggal subuh dan isya, tapi diimbangi dengan kepintarannya membaca Iqra. Di usia itu pula dia sudah bisa membaca dan menuliskan 26 alfabet dan angka satu sampai lima ratus. Meskipun sebenarnya dia menderita disleksia ringan yang membuat beberapa alfabet dan angka yang ditulisnya tertukar-tukar atau terbalik garisnya. Untungnya, disleksia itu tak berlangsung lama. Karena di usia enam ia sudah bisa menulis dikte dari gurunya.

Dia memang dikenal sebagai anak pintar. Neneknya—yang Kristen, dari pihak Ibu—pernah bangga sekali padanya yang masih berusia empat tahun karena sudah paham membaca jam dengan tepat.
Diam-diam, bocah ini senang dengan kepintarannya sendiri. Kepintaran-kepintaran yang ia buat selalu beroleh hadiah dari orang sekitarnya. Seperti saat dia pertama kali dapat peringkat pertama di kelas I SD. Waktu itu, sang kakek—yang muslim, dari pihak Ayah—membelikannya sepeda pertama, sesuatu yang membuat sepupu-sepupu sebayanya iri hati. Kala itu, dia juga sering dijadikan tolok ukur anak yang baik bagi sepupu-sepupunya yang bandal. Sebab ia sudah bisa salat lima waktu dan puasa penuh saat Ramadan. Ia juga sudah bisa baca Al-Quran dan juara dua dari delapan puluh anak di Madrasah tempatnya belajar mengaji.

Semua dilakukannya demi menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Demi beroleh pujian-pujian yang membuatnya semangat mengerjakan salat, puasa, mengaji, bahkan puasa-puasa sunah di luar Ramadan. Sebab ia sepenuhnya belum paham dengan semua yang dikerjakannya hingga usianya tujuh tahun. Hingga usia segitu, ia masih paham kalau semua yang dilakukannya untuk menyenangkan orangtua, pakcik-makcik, kakek-nenek, sanak-saudara, para tetangga, bahkan teman-teman Ayah dan Ibu yang kadang singgah ke rumah di akhir pekan. Sebab jika orang-orang itu senang, maka ia akan beroleh pujian-pujian yang juga membuatnya senang.

Tapi suatu waktu, saat usianya delapan tahun, ia menemukan sesuatu mengganjal pikirannya untuk waktu yang cukup lama. Ia temukan sesuatu itu saat membaca tafsiran Al-Quran di waktu senggang. Sebab Bobo yang ia baca tujuh kali sudah mulai membuatnya bosan. 

Di Al-Quran, ia menemukan ayat yang bilang kalau beribadah kepada Allah tidak boleh berdasarkan hal lain selain karena Allah SWT semata. Ya, kalau tidak salah artinya serupa demikian, tentu tidak dengan kalimat yang persis.

Maka, ayat itu tersangkut di kepalanya berhari-hari.

Ia berdialog dengan batinnya sendiri; ia menanyakan apakah salat yang selama ini dikerjakannya semata-mata karena Allah? Tentu tidak, Allah tahu aku bohong kalau kujawab iya. Dia kan Yang Maha Mengetahui.

Lalu? Sah-kah salatnya selama ini? Berdosakah iya karena salat-salat yang tidak sah itu? Jika dihitung-hitung, maka ia akan masuk neraka untuk waktu yang lama, sebab seorang ustadz pernah bilang di sebuah dakwah salat Jumat kalau sekali meninggalkan salat berarti akan disiksa di neraka selama 40 tahun. Sementara satu hari di neraka sama dengan empat puluh tahun di dunia. Maka bocah itu stres alang kepalang.

Waktu itu dia diajarkan ibunya kalau dosa seseorang dihitung sejak dia baligh. Tapi baligh didefinisikan sang Ibu sebagai kesadaran seseorang tentang mana dosa dan mana yang tidak. Maka sejak berusia enam tahun, ia sudah diingatkan kalau ia sudah menanggung dosa sendiri: maka dari itu, berhati-hatilah dalam tutur dan perilaku, kata Ibunya.

Belakangan sekali, saat usianya dua belas tahun, baru sang bocah tahu kalau baligh berarti sudah mimpi basah bagi pria, dan sudah menstruasi bagi perempuan. Jadilah ia terjebak dalam ketakutan yang tak semestinya datang di usia segitu. Salah kaprah ‘baligh’ itu didasarkan kepada keengganan ibunya menjelaskan definisi mimpi basah pada anaknya yang baru berusia delapan tahun. Sebab seks tabu: sesuatu yang kasat mata terpatri di setiap keluarga muslim-taat (kalau tak mau dibilang moderat) di Indonesia.

Di keluarga sang bocah memang banyak sekali yang tabu. Selain seks, pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan juga sangat diminimalisir keberadaannya oleh orang tua si bocah. Hal ini tak disadarinya sebelum ia menemukan ayat tentang ibadah yang riya. Sebab, sebelum menemukan ayat itu, pertanyaan: siapa sebenarnya Allah itu? Kenapa ia yang jadi Tuhan? Tak pernah singgah di kepalanya.

Tapi kini… kepalanya pusing dan berputar-putar dibuat pertanyaan-pertanyaan itu.
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena ia merasa salatnya tak pernah ia persembahkan dengan sangat rela hanya untuk Allah saja. Biasanya agar terlihat patuh saja di depan orang tuanya. Ia tak mau ayahnya yang galak sampai harus ambil potongan selang di atas lemari untuk memaksanya salat. Ia tahu kalau cambukan selang itu bisa jadi birat menyakitkan di pahanya.

Maka, pertanyaan: siapa sebenarnya Allah itu? mulai muncul. Sebab, logikanya berkata, bagaimana bisa ia salat—menyembah—mempersembahkan sesuatu—pada sesuatu yang belum dikenalnya. Apalagi ia punya nenek kandung yang Kristen, yang sehari-harinya tak perlu salat lima waktu, puasa, atau apa pun yang dilakukan seorang muslim untuk bisa mendapat surga milik Allah.

Neneknya juga menyembah Allah, tapi pelafalannya saja yang berbeda. Neneknya menyebut Allah sebagaimana ajaran alfabet di Indonesia. Sementara ia dan seluruh keluarganya yang muslim, membaca Allah dengan tajwid. Sebab ada tanda tasydid di atas huruf lam. Tapi semua keanehan yang menggelisahkan batinnya itu masih ia tahan sendiri.

Imajinasi liarnya mulai membayangkan bentuk Allah. Dan sosok Atok Zakwan—sepupu neneknya dari pihak ayah, yang tinggal di depan rumah mereka—terpilih mewakili sosok imajiner Tuhan versi si bocah. Atok Zakwan (sekarang mendiang) adalah pria gemuk yang sehari-harinya cuma pakai singlet dan sarung duduk di teras depan rumahnya. Suaranya berat, jarang tertawa, dan terlihat sangat wibawa. Mungkin sebab itu dia diam-diam menjadikan sosok Atok Zakwan sebagai Tuhan yang mengambang-ambang di gelapnya jagat raya. Belakangan, saat ia menemukan ayat lainnya, ia tahu bahwa Allah tidak berkelamin seperti makhuk yang diciptakan-Nya.

Pertanyaan-pertanyaan itu merambat ke asal-mula Allah. Dan si bocah malah jadi semakin pusing. Sebab orang tuanya hanya menjawab, “enggak boleh membayangkan yang enggak-enggak tentang Allah. Kita harus mengimani-Nya. Cuma Dia Tuhan semesta ini. Tidak beranak dan diperanakan,” saat ia akhirnya berani mengeluarkan pertanyaan itu dari kepalanya. Bocah itu memang pernah mendengar entah sebuah ayat di Al-Quran atau sebuah hadist, yang menjelaskan bahwa Allah tidak beranak dan diperanakan.

Seiring waktu berjalan, dan pertanyaan-pertanyaannya terus berkembang (misalnya, siapa Muhammad? Kenapa Islam yang rahmatan lil alamin? Apakah benar orang Kristen yang paling banyak jumlahnya cuma bakal jadi kayu bakar di neraka bersama kafir lainnya?), ia jadi jarang salat. Dan membuat orang tua serta pakcik-makciknya harus merepet dulu untuk mengingatkannya salat.
Di saat yang sama, si bocah terus belajar tentang Tuhan dan agama. Ia membaca sejarah, kitab-kitab. Ia berusaha keras mengenal Allah, Tuhan pertama yang ia kenal karena terlahir dari keluarga muslim.
Diam-diam, ia jadi jarang salat karena takut salatnya hanyalah perbuatan riya. Itu jika Allah yang dikenalkan Islam padanya adalah benar-benar Tuhan yang menciptakan dunia ini. Tapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya, maka ia tak mau melakukan hal yang sia-sia.

Tapi, dalam hati, ia juga berharap kalau Allah itu adalah Tuhan  yang memang harusnya ia sembah. Sebab, tujuh tahun hidup dikelilingi orang-orang yang beriman pada-Nya, tentu saja sudah cukup mengikat hati si bocah. Diam-diam, ia juga takut jadi kafir, dan masuk neraka. Ia sadar, jika Tuhan memang ada, maka pikiran-pikiran ini tak bisa disembunyikannya.

Tapi semua pikiran ini bisa disembunyikannya dari semua orang terutama orang tuanya. Sebab, selain takut jadi kafir, si bocah alih-alih lebih takut dimarahi ayah dan ibunya karena punya pikiran-pikiran ekstrem.

Ia simpan semuanya hingga remaja. Di sela-sela itu, ia masih salat dan puasa di depan orang tuanya. Takut dimarahi. Tapi terkadang memang karena ingin berdialog dengan Tuhan. Di sela-sela itu pula, ia mulai percaya bahwa di dunia ini, tak seorang manusia pun bisa bertahan tanpa berpegangan pada sesuatu; sesuatu spiritual yang ia sendiri sebut sebagai Tuhan (sebab seorang ateis mungkin menyebutnya lain). Tapi, melalui sejarah-sejarah dan pengalamannya sendiri, ia mengalami krisis kepercayaan kepada agama.

Mempelajari sejarah dan agama membuatnya mengalami hal ini.

Awalnya, ia menemukan ketenangan saat membaca kitab-kitab. Tak ada hal lain yang diajarkan agama-agama selain kedamaian, begitu pikir sang bocah. Tapi lama-kelamaan dirinya sadar bahwa itu semua, yang ia pikirkan, hanyalah kesimpulannya sendiri belaka. Sebab setelah membaca kisah-kisah di kitab itu, ia jadi punya pandangan sendiri tentang dosa dan tidak. Semuanya tak pernah jadi sangat teknis, seperti yang selama ini keluarganya ajarkan. Contohnya tentang hitung-hitungan hukuman di neraka bagi yang melalaikan salat yang didengar bocah dari seorang ustadz saat salat Jumat. Ternyata itu hanyalah kesimpulan yang dibuat dari potongan-potongan informasi di Al-Quran.

Ia jadi sadar kalau semua orang bisa menafsirkan hal yang berbeda sesuai dengan perspektifnya sendiri. Dan ia melihat itu terjadi di sekelilingnya. MUI memfatwakan rokok haram, tapi Ayah si bocah dan Ayahnya Ayah si bocah berhenti merokok bukan karena fatwa itu. Tapi karena sakit paru-paru yang akhirnya mereka derita karena ribuan batang rokok yang mereka isap, bahkan setelah mendengar fatwa itu. Yang terjadi adalah perbedaan tafsir. MUI dan Ayahnya sama-sama mengaku Islam. Dan keduanya sama-sama merasa melakukan hal yang benar.

Akhirnya si bocah berkesimpulan, bahwa agama pada akhirnya hanyalah persepsi yang terbentuk dari lingkunganmu-sejak-lahir dan dirimu-sendiri-selama-menjalani-hidup.

Tapi karena definisi ini, agama bisa menjadi salah satu hal paling merusak dunia. Hal inilah yang dirasakan sang bocah saat melihat para teroris menjual nama agama sebagai tindakan menghalalkan mereka membunuh. Ia juga melihat dengan mata kepalanya betapa manusia bisa begitu membenci sesamanya hanya karena berbeda agama.

Belum lagi melihat manusia-manusia yang memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai kekuasaan atau lebih parah: untuk berkuasa.

Tapi pikiran begini bisa didebat dengan pertanyaan retoris: kenapa agama yang dibenci? Bukannya yang dari tadi kau bahas adalah manusia yang melakukan inilah-itulah?

Maka si bocah sepakat untuk mengedit bahasanya. Ia tak curiga pada agama. Tapi ia mencurigai institusi agama. Ia memusuhi intitusi agama, yang katanya hadir sebagai medium tercapainya kedamaian, tapi adanya sebagai sumber kekisruhan duniawi.

Tapi, jikalaupun manusia yang salah, dan agama tak berdosa atas eksistensinya, bayangkan jika tak ada surga dan neraka? Seperti yang pernah Lennon nyanyikan dalam lagunya Imagine. Begitu pikir si bocah.

Sayangnya, diskusi-diskusi tentang agama begini jarang sekali ia cicipi. Kebanyakan temannya, yang ia yakini juga mengalami kegelisahan yang sama dengannya, malah tak punya nyali besar untuk mau diajak diskusi.

Rasanya wajar. Sebab di negeri ini sendiri ada latar politik dan budaya yang membentuk simulacra sendiri. Sejak 1965, pemerintah negeri ini di bawah kuasa Diktator Soeharto mulai membenci komunisme. Tak sekadar benci, tapi juga dimusuhi. Di orde itu sebuah partai berbasis komunisme, Partai Komunis Indonesia ditumpas atas tuduhan sebagai dalang terbunuhnya tujuh perwira Angkatan Darat pada 30 September tahun itu. Setelahnya, pemerintah menyamakan komunisme dengan materialisme dan ateis. Siapa yang ateis akan dituduh komunis. Siapa yang komunis, maka boleh dipenjarakan.

Dan semua hal ini benar-benar dinasionalkan dengan baik oleh pemerintah Orde Baru, nama orde tersebut. Ayah dan Ibu si bocah adalah generasi kedua yang benar-benar membenci dan ketakutan setengah mati pada komunis. Sebab kakeknya dari ayah adalah seorang pegawai negeri di dinas sosial, sementara kakek dari ibunya adalah Tentara Nasional Indonesia.

Hal inilah yang jadi sebuah simulacra lucu di sini, di Nusantara. Dengan latar belakang politik demikian, manusia-manusianya dididik dengan teror: sebab menyangkal atau mempertanyakan Tuhan bukan hanya mengirimmu ke neraka setelah mati, tapi juga bui sebelum kematian itu datang.
 Simulacra adalah istilah yang ditemukan sosiolog Jean Baudrillard. Artinya, realitas tiruan, realitas semu yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya. Istilah ini hanya saya pinjam lalu pakai untuk menggambarkan apa yang dirasakan si bocah.

Stigma masyarakat itu memang kuat sekali dampaknya. Bocah itu ingat betapa takutnya ia bertanya pada sang ayah perkara hal-hal begitu. Takut divonis kafir dan dianggap sesat. Ia berasumsi kalau banyak temannya juga mengalami hal yang sama, dan pada akhirnya memilih diam. Diam mengikuti ketentuan yang telah dunia ini tetapkan.

Ia melihat sendiri beberapa teman juga mencari-cari tahu siapa sebenarnya Tuhan? Tapi tak banyak yang melanjutkan pencarian itu dengan serius, sebab takut stigma kafir dan sesat. Kadang, kata-kata memang jauh lebih runcing dari pedang mana pun, dan lebih kencang dari peluru apa pun.
Banyak temannya yang tetap mengenakan jilbab meski tak salat lima waktu, tetap memakai kalung salib meski jarang ke gereja. Agama jadi begitu fleksibel bagi beberapa orang.

Tapi beberapa temannya justru begitu alim mengikuti syariat.

Diam-diam ia senang melihat beberapa temannya yang semakin taat pada agama yang mereka yakini. Mereka melakukan semua ritual yang disuruh agama seperti karena kehendak sendiri. “Mungkin mereka telah memahami dan memilih hidup rukun dengan agamanya,” pikir si bocah. “Mungkin perjalananku sampai sana masih perlu waktu lagi.”

Tapi untuk saat ini, si bocah masih tidak bisa percaya pada institusi agama. Seperti gereja yang kehilangan kekuasaannya di abad ke-15, bocah itu juga kehilangan kepercayaannya pada agama di usia 7-10 tahun. Jika di Eropa sana orang-orang mulai meninggalkan gereja karena zaman rasionalitas mulai masuk, maka sama halnya yang terjadi pada si bocah. Dia dia-diam mengerti kenapa paham sekularisme itu perlu. Sekularisme sendiri adalah paham yang memisahkan negara dan agama. Kelak, saat kuliah di jurusan Ilmu Politik, si bocah jauh lebih paham kenapa negara yang bijak harus memisahkan antara kepentingan negara dan agama-agama. Sebab agama-agama telah berubah jadi sesuatu yang sensitif.

(Bersambung…)

Tuesday, March 10, 2015

,   |   2 comments   |  

Ketika Pria-pria Patah Hati Berkumpul



Pertemuan kami kemarin siang ditakdirkan tanpa kesengajaan. Maksudnya, ya namanya takdir pasti sudah direncanakan dan pasti disengajakan. Tapi itukan cuma Yang Maha Kuasa yang tahu. Bagi kami berempat yang menjalankan, pertemuan semalam sama sekali tanpa kesengajaan.



Awalnya saya cuma rindu makan sepotong sayap ayam krispi yang dibuat dalam paket termurah di KFC. Jadilah siang kemarin saya santai, pakai kaos santai, celana santai, untuk santai-santai makan siang di KFC. Sendiri.

Tapi tanpa sengaja, ekor mata saya menangkap kehadiran seorang bastard buluk yang pakai kaos buluk, jins belel yang buluk, tas buluk, dan tampang buluk. Otak saya langsung mengidentifikasi bocah itu sebagai Cameo. Atas nama pertemanan, saya akhirnya duduk di sebelah kursi yang diduduki Cameo. Bocah itu tak kaget sama sekali. Mungkin lewat ekor matanya, dia juga sudah lihat kedatangan saya sejak saya parkir. Karena Cameo memang duduk menghadap halaman parkir KFC itu.

Awal perbincangan kami berdua dibuka dengan basa-basi paling basi tentang kabar keduanya. Saya bilang pengin sibuk skripsi, sementara Cameo bilang dia sibuk mikir. Entah apa pun maksudnya, saya hanya membalas dengan tersenyum.

Sekitar empat menit seperempat (kalau tidak salah, soalnya saya tidak ingat kalau saya melihat jam kemarin), ayam yang saya pesan sudah tinggal tulang-belulang yang sum-sumnya disedotin. Lebih lima puluh detik kemudian (yang ini juga hanya terka-terkaannya saya saja) Orion dan Oktober datang duduk di meja kami. Oktober bilang dia lewat di depan KFC ini dan lihat ada kami berdua duduk di sini. Sementara Orion bilang, dia dari tadi keliling-keliling di jalanan dan enggak sengaja ketemu Oktober dan mengikutinya sampai kemari.

Mendengar alasan Ion, panggilan Orion, singgah ke sini, kami semua menganga. Termasuk Cameo yang sebenarnya lagi sibuk mengunyah kulit ayam krispinya.

Bertahun-tahun berteman dengan Ion, kami tak pernah tahu kalau Ion punya kebiasaan aneh begitu. Oktober bahkan langsung berkomentar sarkas, “Jadi selama ini kamu itu penguntit saya?”
Meskipun enggak ada kata negatif di kalimat Oktober barusan, tapi telinga kami semua terasa bernanah. 

“Bukan! Tadi itu cuma enggak sengaja kok,” kata Ion buru-buru.

“Kamu sebenarnya kenapa, Yon?” Cameo akhirnya menanyakan pertanyaan yang pas.
Sejenak bocah paling tampan di antara kami semua itu diam. Tapi seperti biasa, akhirnya dia menceritakan apa yang membuat kepalanya resah sebulan-dua bulan belakangan.

Dia bilang, dia kembali dekat dengan Senja, gadis oriental super keras kepala yang tempo hari pernah diceritakannya waktu kami lari pagi. Menurut cerita Ion, gadis itu kembali mendekat ke arahnya. Awalnya ia kira itu hanya semacam nostalgia belaka di antara keduanya. Sebab, mereka berdua memang jadi teman dekat selama setahun terakhir. Tapi di saat yang sama, Ion memutuskan untuk memendam rasa pada Senja, orang pertama yang bisa membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Kenapa? Sebab selama itu pula Orion tak yakin dengan perasaannya. Jujur, katanya dia memang mengagumi Senja. Dan ‘mengagumi seseorang’ saja merupakan hal yang tidak biasa bagi seorang Orion. Dia itu si superegois. Tak ada yang bisa membuatnya menghamba cinta selain dirinya sendiri. Dia memang supernarsistik di saat bersamaan. Tapi, sulit bagi Orion untuk mengakui betapa dia senang melihat cara Senja tersenyum, berjalan, diam dalam bacaannya, tenggelam dalam apa yang ditontonya, dan terutama cara Senja menatap matanya secara sembunyi-sembunyi. Orion tak bisa bohong, ada sesuatu yang bergetar jauh di dasar hatinya yang paling dasar.

Sebenarnya, mendengar Orion mengoceh begitu saja sudah sangat aneh. Kami semua jadi penasaran seperti apa sebenarnya sosok Senja itu. sosok seseorang yang bisa membuat si superegois cum supernarsistik bisa bertekuk lutut. Yang menjadi tidak aneh adalah bahwa Orion masih terlihat begitu menyangkal semua perasaan yang dimilikinya untuk Senja. Masih ada sebagian diri Orion yang tak rela kalau dia ternyata harus menyukai orang lain selain dirinya sendiri.

“Tapi, sebenarnya ada satu alasan lagi,” kata Orion di tengah obrolan. Ia bilang, dia sendiri tak yakin kalau Senja juga menyukainya. Tapi kadang, ia juga merasa kalau Senja punya perasaan tersembunyi juga untuknya. Perasaan dilematis ini yang akhirnya membuat Orion menyerah. Ia belum pernah hidup di sebuah ketidakpastian yang ternyata begitu menyiksa.

Saya sih mafhum. Orang sekeren Orion pasti akan sangat jetlag dengan sebuah ketidakpastian. Ketidakpastian hanya pernah dijalankan oleh manusia normal. Manusia yang tak punya kesempurnaan seperti Orion. Ketidakpastian adalah sesuatu yang muncul dari ketakutan manusia terhadap rejeksi—penolakan. Orion yang seumur hidupnya selalu dipuja-puji pasti pada akhirnya akan menemui jetlag pertamanya terhadap penolakan. Dan Tuhan menakdirkan Senja sebagai penyebabnya.

Perbincangan tentang Senja berhenti di sana. Kami tak bisa berkomentar banyak, karena benar-benar tak pernah ketemu si Senja ini. Tapi menurut deskripsi Orion, Senja itu adalah ia versi seorang gadis. Senja juga superegois dan supernarsitik. Bedanya, Orion akan selalu tampak menonjol tanpa perlu berusaha karena ia punya karisma. Sementara Senja sebenarnya juga punya karisma, tapi anehnya karisma itu muncul dari kesederhanaan Senja. Kesederhanaan itu yang membuatnya menonjol.
Oktober juga akhirnya cerita tentang kisah patah hatinya. Kisah patah hati yang katanya, berhasil dilaluinya.

Beberapa bulan lalu bocah berkacamata itu memang terlihat sangat mengenaskan. Dia baru patah hati, tentu dengan Rahasia, mantan pacarnya Orion. Tapi hanya aku yang mengetahui rahasia ini. Di pertemuan kemarin itu, Oktober masih merahasiakan Rahasia. Cameo dan Orion tak terlalu curiga tentang siap gadis yang diceritakan Oktober. Karena O memang terlalu puitis. Dia yang paling puitis, jadi wajar kalau dia berlagak romantis dengan tidak menyebutkan nama gadis yang disukainya itu.
Tapi dari cerita si bastard ini, dia sepertinya mengalami masa transisi paling besar dalam hidupnya. Rahasia membolak-balikan dunia Oktober. Ia menganggap jatuh cintanya pada gadis itu bukanlah perkara biasa. Ia telah mencintai Rahasia dengan cara yang paling ekstrem. Sehingga ia jadi sulit untuk membenci cinta pertamanya itu agar bisa melangkah keluar dari hubungan yang sebenarnya tidak sehat bagi jiwanya. Ia bahkan sampai menulis sebuah surat terakhir untuk Rahasia. Surat yang cuma aku sendiri pernah baca.

Tapi itu beberapa bulan lalu. Oktober bilang kini dia sudah jadi manusia bebas lagi, tanpa harus kehilangan cinta untuk Rahasia. Dia ternyata tak perlu membenci Rahasia, untuk bisa keluar hidup-hidup dari rasa sakit patah hatinya pada Rahasia.

“Kuncinya cuma waktu,” kata Oktober. Hubungannya dengan Rahasia masih baik-baik saja sampai sekarang. Mereka tetap makan siang bersama. Bahkan Oktober masih bisa tersenyum saat Rahasia menceritakan pemuda yang ia taksir sekarang.

Cerita Oktober memang menginspirasi kami. Bahwa patah hati mungkin tidak akan terelakan bagi semua pria, bahkan untuk cecunguk seperti saya dan Cameo. Karena faktanya, pemuda sesempurna Orion saja bisa patah hati karena jetlag pertamanya atas penolakan.

Tapi sesungguhnya, saya dan Cameo juga sedang patah hati meski kami tak punya cerita sejelas cerita Oktober dan Orion. Diam-diam saya sedang patah hati dengan nasib sendiri. Belakangan ada yang berubah dari diri saya, dan karenanya saya patah hati. Diam-diam merindukan diri yang lama. Sementara Cameo, dia juga sesungguhnya sedang patah hati. Cameo adalah yang paling tidak memiliki rasa di antara kami. Dia sama sekali belum pernah menyukai seorang pun dalam hidupnya yang memang baru sebentar. Tapi Cameo adalah orang tua yang terjebak di tubuh remaja. Meski ia tak bicara, tapi saya bisa melihat jelas di wajahnya: dia sedang patah hati. Dia patah hati pada dirinya yang tak pernah merasakan cinta.


p.s Perbincangan it uterus berlanjut sampai malam hari. Tapi kami tak melanjutkan kisah-kisah patah hati. Semuanya sepakat untuk menghibur diri. Kami lebih banyak cerita tentang film dan rencana naik gunung setelah aku seminar proposal. Semoga rencana ini bisa sampai. Anyway, kami memang kehilangan jejak Narajata belakangan ini. Kabarnya kemarin dia terkena masalah berat yang tak satu pun dari kami mengetahuinya. Tapi, Narajata memang pribadi yang begitu. Dia tak akan datang dengan tampang murung atau wajah kusut. Dia tak senang kalau orang lain tahu kalau dia sedang ada masalah. Semoga saja masalahnya bisa cepat selesai dan dia kembali bahagia.