Thursday, April 30, 2015

  |   No comments   |  

Di Pertengahan Malam Antara April dan Mei






Saya sedang di indekos baru. Sendirian di kamar. Seperti biasa, kamar ini berantakan: tumpukan pakaian kotor membukit, meja kecil di sudut ruangan ditumpuki pakaian bersih dan pritilan skripsi, sementara selimut, sarung laptop, botol bekas air mineral, dan beberapa plastik indomaret berserakan di lantai.

Kusutnya kamar saya tak lebih parah dibandingkan kusutnya jagat raya yang ada di kepala saya, malam ini. Ya, malam ini. Malam di antara April dan Mei. Malam di mana April mengecup kening Mei dan membisikkan, “selamat datang, Mei,” kepadanya. Di malam ini pula suasana angkasa di antara rongga-rongga rusuk saya dilanda kumolonimbus. Ia yang biasanya terang-benderang kini kelabu abu-abu. Membuat pahit lidah saya secara otomatis. Membikin suntuk di sekujur badan yang dialiri darah.

Asal muasalnya? 

Entahlah. Saya saat ini benar-benar tidak tahu sekaligus tahu betul apa asal-muasalnya perasaan kelabu ini. Mungkin saking banyaknya penyebab perasaan aneh ini muncul, makanya saya tahu sekaligus tak tahu asal muasalnya. Pernahkah kau merasakan demikian sekonyong-konyong di suatu malam? Suatu malam saat April mengecup kening Mei dan membisikkan, “selamat bekerja, Mei,” kepadanya.

Lalu, tubuh saya gemetar. Ada spektrum aneh yang mendadak membanjiri seluruh epidermis di tubuh ini. Banjirnya bukan banjir biasa, banjirnya banjir bandang. Spektrum ini akrab dengan saya, tapi dibanjirbandangi spektrum aneh bernama kerinduan tentu saja bukan perkara akrab tak akrab; kerinduan yang datang mendadak inilah yang akhirnya membuat tubuh saya gemetar. Tak sampai membikin gigi gemertak, atau badan meriang. Gemetar yang dimaksud tak kelihatan kasat mata. Tapi dari dalam, goncangannya begitu kuat. Sehingga saya seribu persen yakin, kalau darah-darah di dalam tubuh ini bergemericik tak beraturan.

Kerinduan ini saja sebenarnya sudah terasa sungguh aneh. Karena selain goncangannya yang luarbiasa, ia pun datang begitu tiba-tiba. Tapi yang tak kalah aneh adalah kepada siapa kerinduan ini bertuan.

Kepada siapakah kerinduan ini di alamatkan?

Entahlah. Kali ini saya benar-benar tak tahu siapa yang sedang saya rindukan. Tak ada wajah, tak ada tubuh, bahkan tak ada nama. Ia bukan seseorang dari masa sekarang, pun bukan ia yang ada dari masa lalu. Saya benar-benar tak melihat wajah, tubuh, pun nama pada alamat dari kerinduan mendadak ini. Pernahkah kau merasa rindu pada seseorang yang belum kau temui? Seseorang yang nantinya akan selalu ada untukmu dan kau ada untuknya, dari subuh hingga senja, dari pagi hingga terik, dari sore hingga gulita. Pernahkah kau merasakan perasaan demikian sekonyong-konyong di suatu malam? Suatu malam saat April mengecup kening Mei dan membisikkan, “selamat tinggal, Mei, sampai berjumpa lagi.”



Pada sebuah malam, saat pelukan sungguh dirindukan sebagai obat kesuntukan. Pada sebuah malam saat akhir April disambut awal Mei dengan bahagia.