Friday, June 26, 2015

  |   1 comment   |  

Sepotong Pagi Kita




Aku terbangun dengan keringat dan muka kusut bekas jiplakan seprai. Sedetik sebelumnya, aku terlarut dalam sebuah mimpi buruk. Buruk sekali... hingga aku gelapan mencari-cari udara ketika sadar kalau semuanya mimpi.

"Mimpi buruk?" katamu, yang juga jadi harus terbangun karena suara gelapanku.

Aku hanya mengangguk, kemudian memelukmu. Membaui lehermu. Bau yang selalu membuat saraf-sarafku tenang.

Kemudian yang terjadi, api menjalar di mana-mana. Membakar epidermis kita berdua. Sebabnya? Kulitku bersentuhan dengan kulitmu. Aku masih sering heran, kenapa denganmu gairah itu tak pernah hilang? Lima belas tahun menikah denganmu tak membuat gairahku hilang setiap kali mencium bau tubuhmu, merasakan nafasmu meniup lembut bibir atasku. Dan kita selalu saja bisa terbakar.

***

Pagi itu kau memasak telur dadar untuk sarapan. "Tumben masak?" kataku, meledekmu. Seraya mengalungkan lenganku ke pinggul kecilmu, yang tetap saja kecil setelah bertahun-tahun kau menumpuk umur. Seolah tubuhmu memang tak bisa memproduksi lemak.

"Kau telat bangun karena mimpi buruk tadi pagi. Jadi, daripada membangunkanmu, lebih baik aku melatih bakat hebatku, kan," katamu, kemudian mengecup pipiku.

"Denting sudah bangun?" tanyaku.

"Sepertinya belum. Hari ini kan sekolah libur," sahutmu.

Lalu kita berdua sarapan di meja kecil di dapur kecil kita. Wajah tirusmu masih memesona. Membuat telur dadarmu yang biasa-biasa saja semakin tak menarik. Kau belum punya keriput di usia kepala tiga ini. Hanya saja, beberapa rambut perak mulai muncul di rambut pendekmu. Tapi, dari pertama kali kita berjumpa dulu, aku juga sering memperhatikan satu-satu rambut perak sudah berani muncul di kepalamu. Padahal waktu itu kau belum dua puluh tahun.

"Hari ini jadi ikut denganku?" mendadak kau berkata, membuyarkan lamunanku.

"Oh ya, seminar buku keempatmu, ya? Tentu, tentu. Tapi kau yang menyetir, kan?"

Kau merengut. "Kau ini. Laki-laki mana yang malas sekali menyetir sepertimu," kau meledekku. Tapi kita berdua tertawa setelahnya.

Aku benar-benar suka tawamu. Kau sangat manis saat memasangnya. Ya, Tuhan, kenapa aku hari ini? Kurasa aku jatuh cinta lagi padamu hari ini. Tapi aku malu mengatakannya. Rasanya, aku sudah terlalu tua untuk bilang, aku cinta kamu, lalu mengecup keningmu. Kita memang tak pernah begitu. Kau pemalu, begitu juga aku. Sudah sifat alamiah. Dan beginilah kalau dua orang pemalu jatuh cinta lalu menikah. Kedua-duanya akan jadi sangat canggung dengan hal-hal romantis yang seharusnya wajar saja di hubungan orang lain di luar rumah kita.

Aku tak bisa menahan tawa karena pikiran aneh barusan. Kita memang pasangan yang aneh. Tapi selalu asyik untuk jadi aneh berdua denganmu.

Mendadak mimpi tadi pagi terlintas lagi di kepalaku. Mimpinya tentang kita berdua, lima belas tahun lalu, saat kita masih sangat muda.

Aku bermimpi tentang Ibu yang pingsan berkali-kali saat aku pertama kali membawamu ke rumah orangtuaku, memperkenalkan kau sebagai kekasihku. Ia menjerit histeris, menyumpah-serapahi kita berdua. Kau hampir menangis, tapi aku udah lebih dahulu dibanjiri air mata. Tangan kita bergenggaman. Erat sekali, hingga aku merasa ada tenaga tambahan yang mengalir dari sana. Tenaga tambahan yang membuatku kuat menghadapi histerisnya Ibu.

Sebenarnya itu bukan mimpi. Itu adalah kenangan yang terus melekat di kepalaku. Kenangan yang tak mungkin bisa hilang.

"Ah ya, kau mimpi apa tadi pagi?"

Aku tertawa dengan pertanyaan pemecah keheningan darimu. "Kau membaca pikiranku ya?"

"Ha?" wajahmu melongo bingung.

"Aku baru saja memikirkannya." Aku masih selalu heran betapa kita berdua begitu terkoneksi. Ini bukan kali pertamanya kau benar-benar bisa membaca pikiranku. Sejak kita belum saling mengenal dan tak berani mengungkapan perasaan karena banyak hal, kita juga sering saling membaca pikiran. Sebenarnya ini sebab mengapa aku tahu kau adalah masa depanku. "Aku mimpi tentang Ibu," tambahku.

"Hai, Dads..." Denting muncul dari pintu dapur. Wajahnya kusut, rambutnya masai. Putri kita baru bangun. "Ini ada telepon dari nenek," katanya sambil menyerahkan selulernya kepadaku.

"Oh," kataku. Lalu aku menerima telepon Ibu. Suaranya riang sekali. Katanya Farid, anak pertama adikku, cucu pertamanya, dapat beasiswa di Amerika. Jadi dia ingin aku dan kau menyambut ponakan kita itu nanti setibanya dia di sini. Ibu juga cerita panjang lebar tentang kabarnya, sekaligus mencecarku pertanyaan tentang kabar kita di sini. Dia juga bilang sesuatu yang mengejutkanku. "Kata Denting, dia sedang naksir orang. Kau pasti belum tahu. Coba tanya sana, selidiki, nanti anakmu suka pada preman Amerika," katanya.

Atas secuil informasi itu, aku langsung mengajakmu main ke kamar Denting. Membangunkannya, lalu bertanya tentang hal itu.

"Ya ampun, seperti tidak bisa nanti-nanti saja bertanyanya," anak gadismu itu merajuk, pasang muka sangar.

"Kan kami cuma mau tahu, Dens. Masa nenek yang di Indonesia lebih dulu tahu daripada ayahmu sendiri," kataku membujuknya.

"Okay. Well, aku sebenarnya masih bingung, Dad," katanya. "There's a girl I like, and there's this boy I like. And I dont know which one I like more. I still dont know  what to do."

Kita berdua langsung bertukar pandangan. Ada dua reaksi yang terjadi, mata kita sama-sama hampir keluar, kemudian detik berikutnya kita sama-sama tersenyum.

Kau kemudian duduk di samping Denting dan berkata, "Which one is good person? Which one make you laugh more?"

"I think this boy, Dad," sahut denting padamu.

Saturday, June 20, 2015

  |   1 comment   |  

Ibnu, Kejujuran, dan Audisi Kata-kata





SAYA SERING MENGINTIP blognya. Tulisan-tulisannya original. Dibalut kata-kata ringan, tulisan Ibnu Habibi sampai pada tempatnya.  Cerita yang dipaparkan Ibnu adalah kisah sehari-hari, benar-benar sederhana tapi tak pernah seringan kelihatannya. Di sana selalu ada hal yang bisa dibawa pulang lalu dibawa tidur untuk direnungkan.

Saya selalu senang dengan hal besar yang dibalut sederhana. Baca saja salah satu posnya ini. Ada filosofi di dalamnya.

Orang Lampung yang sebagian hatinya tertinggal di Yogya ini, sebenarnya adalah Pegawai Pajak di Kantor Pelayanan Pajak. Tapi ia tak hanya pandai mengulik pajak pendapatan seseorang, tapi pintar meracik kata. Tulisan Ibnu tak pernah serumit tulisan ilmiah, atau dibalut sastra jenis-apa-yang-sebenarnya-kau-tak-peduli. 

Dari Ibnu saya belajar bahwa menulis adalah pekerjaan mudah. Bahwa satu-satunya perkakas yang dibutuhkan untuk menulis adalah kejujuran. Bahwa menulis bukan tentang bagaimana kau memilih kata-kata cantik, mengaudisinya untuk sebuah kalimat pamungkas; melainkan membiarkan kejujuranmu yang menguraikan isi kepala menjadi kata-kata. Dan biarkan pembaca bermain liar dengan imajinasinya. Sekali lagi, saya ingin bilang kalau saya selalu senang dengan hal besar yang dibalut kesederhanaan. 

Maka, simak jawaban menariknya.

Who are you? Tell us who you are in your view.
Who am I? Um, I'm Ibnu Habibi. No more explanation I can be thinking of.

Where did you grow up?
I grew up in rural environment, it's small city called Kotabumi. North Lampung to be exact.

How’s life?
There’s nothing particular thing to say, it’s always the same and I don’t mind it.

Work?
Hahaha. That’s what I’m doing in order to feed myself. If anything, I do enjoy it.

Feed? Secara harfiah atau dipetik, Mas?
Petik deh. Hahahahaha 

Suka-duka jadi pegawai pajak?
Sukanya bisa ngintip penghasilan orang lain. Dukanya apa, ya. Masih baru aku, jadi belum bisa bilang apa-apa.

What does a typical workday for you look like?
I get up early. Goes to work. Comes back home with no jobs left on my hands.

What labels stick to yourself?
Many had called me Mr. Bean—apparently I look alike to him, according to people who have seen me in person—well, I don't mind it though.

What is the hardest stuff in life so far?
I figuratively thought the answer for minutes, yet I barely can come up with a single answer. When it happened, I just had to deal with it. See? No hard stuff.

What is your dream job?
I want to work for Google. Wearing colorful attire to work. Yes, that's the headline.

Apa yang buat Google jadi menarik? 
Saya tidak punya jawaban khusus. Saya tertarik dengan Google setelah menonton The Internship.

You love reading. What book are they?
It doesn't have to be books. I love reading when things interest me. Journal, article, website, etc. Everything I've read I put it on goodreads. Go check 'em if you'd like to know.

What is you hate the most about Indonesia?
I don't hate Indonesia nor I love it. I don't have particular feeling for this country. Why should I be? That's the question.
 
Dari yang saya baca, blogmu berisi kehidupan sehari-hari. Semuanya realitas?
Iya dan tidak. Ada juga kok yang hanya terjadi di kepalaku.

What is your blog for you?
It's a media where I can talk to myself. Some people on twitter said they like it, well. Numerous thanks to them.

"A mediawhere I can talk to myself." Interesting answer. Kenapa mikir begitu? 
Karena tidak banyak orang yang ketika saya berbicara, ia hanya ingin benar-benar mendengarkan. Blog saya percaya tidak seperti itu.

You will write your own masterpiece—your book. Bakalan tentang apakah itu?
I will when its time has come. Tentang seseorang yang ingin lari dari dunianya dengan cara terus menciptakan dunia-dunia lain di dunianya.

Who is your favorite artist?
I don't know many artists, my friend Aulia Kushardini does. Let me check on her later.

Adakah di Bumi ini orang yang kamu ingin sekali jadi dia?
Jujur, tidak ada.

Pernah ikut pers sekolah? Atau semacamnya?
Sewaktu kuliah aku ikut jurnalistik. Tugasku wawancara dosen-dosen untuk bikin profil mereka. Enaknya, lebih kenal dengan mereka.

Penulis favorit?
Aku suka Dee, Paulo Coelho, George Orwell.

Ada niat berlibur dalam waktu dekat?
Ada, ke Jepang. Semoga awal tahun depan memungkinkan. (eh itu masih lama ya?)

Well, terima kasih, Ibnu!

Thursday, June 18, 2015

  |   No comments   |  

Gembrang: Di Balik Kacamata Seorang Anarkis dan Pegiat Pers Mahasiswa





AUVIAR RIZKY WICAKSANTI nama aslinya. Mahasiswa Antropologi Universitas Gadjah Mada ini saya temui Juni tahun lalu dalam sebuah pelatihan jurnalistik di Bandung. Tampilannya unik. Rambut panjang sampai punggung yang selalu dikuncir di belakang, kacamata yang menempel di hidung, pakaian sporty, suara medok. 

Gembrang, begitu ia mendeklarasikan dirinya akrab disapa, adalah salah satu peserta pelatihan yang sangat vokal dan gampang berbaur. Sungguh jauh beda dari saya. Saat itu dia adalah staf risetnya, Diaz Prasongko, salah seorang kawan dari pers mahasiswa Balairung milik UGM yang saya kenal tahun sebelumnya. 

Tak saya sangka, perempuan idealis dan sering mengunggah lambang Anarki di instagramnya ini akan menjadi Pemimpin Umum Balairung 2015. Sejauh sejarah mencatat, Balairung adalah salah satu pers mahasiswa yang getol dan baik dalam menjalankan perannya. Punya reputasi di kalangan pers mahasiswa se-Indonesia.

Karakter Gembrang yang unik dan beberapa kesamaan kami menyukai Beat Generation sedikit banyak memberi saya pantikan untuk berpikir-dalam terhadap beberapa hal. Simak jawaban menariknya.

Who are you?
Just nothing. 

Where did you grow up?
Dari kecil aku tinggal di Randublatung, Blora. Sebuah desa kecil yang terkenal dengan “Samin” (mungkin kamu bisa cari di Google, apa itu Samin dan siapa itu Samin). Dan ya, kalau Blora, kamu tahu Pramoedya Ananta Toer,  kan? Hehe…

What are you doing now? Tell us your late work
Baru saja balik diskusi buat workshop kedua. Tapi waktunya malah kesita buat mempersiapkan perjalananku ke makam Nietzsche. Tim risetku di sini (Jerman) menyiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Dari tiket, hotel, dan ijin buat masuk ke makam Nietzsche. Hehe

What does a typical workday for you look like?
Aku prefer buat kerja di malam hari. Lebih tenang, tidak penat dengan kerumunan, dan tidak jenuh dengan lalu-lalang kendaraan—dan polusi.
 
Apa karya terdekat yang akan kamu kerjakan?
Hystexical Project, sebuah tulisan hasil riset di Jerman, dan nulis Survei di jurnal BALAIRUNG.

Sejak 2014, kamu sudah kasitau aku kalau akan pergi ke Jerman Juni 2015. Ini salah satu mimpimu ya?
Seriously, ini sebuah kecelakaan, Adam. Dan bisa dibilang aku “iseng” buat ikutan. Jadi, ada salah seorang temanku yang lumayan licik untuk menghadang seseorang agar ndak ikut program riset ini. Pertama, dia bilang ke aku, “Aku ga ikut kok Mbrang. Ga menarik.” So, aku pikir, program tersebut memang ndak menarik. Jadi aku lupakan begitu saja. Sampai pada akhirnya, sehabis kuliah, aku bertemu dengan kawan baikku, “Kamu ga ikut tandem research, Mbrang?” Aku jawab, “Enggak ah. Aku banyak kerjaan di B21. Emang siapa saja yang ikut, Mbak?” Dan kawanku menjawab, “A,” seseorang yang bilang ke aku kalau dia ga akan ikut program ini.
Well, bukan bermaksud balas dendam loh, Dam. Serius, bahwa aku ikutan ini murni iseng. Ternyata benar ya bahwa seseorang yang licik ndak akan pernah mendapatkan nikmat yang baik. Dari 30 mahasiswa hanya diambil 8 orang, dan seleksi pertama, aku lolos. Di bulan September tahun lalu, aku riset di Jogja sama partnerku dari Jerman yang bernama Sabina. Tahun ini, giliran mahasiswa dari Indonesia yang datang ke Jerman. Dari 8 orang tersebut hanya diambil 4 berdasarkan seleksi proposal riset, dan interview. Serius, waktu interview aku dibabat habis sama para dosen. Mungkin sudah tipikalku kali ya, ketika dibabat justru merasa tertantang dan menghabiskan banyak waktu untuk berdebat. Bisa dibilang, interviewku paling lama daripada yang lain.
Awalnya, aku ndak berharap begitu besar. Ikhlas saja, bahkan aku sempat lupa tentang kapan hari pengumuman. Sampai menjelang pagi, aku dikabari oleh temanku (yang ndak lolos ke Jerman) bahwa aku lolos. Gimana ya, aku senang—tapi juga sedih. Aku sedih—tapi juga senang. Benar-benar dilema. Ah ya, well. Sebelum dapat pengumuman kabar aku bakal ke Jerman, aku dikabari temanku buat ngajar di sebuah kelas di Belanda. Aku menolaknya dengan alasan masih bulan Februari, dalam iklim di BALAIRUNG belum begitu stabil. Dan di bulan Maret, aku dapat kabar kalau aku lolos buat riset di Jerman. Aku cerita dengan orang-orang di B21, dan mereka memperbolehkanku buat berangkat ke Jerman. Walaupun sebenarnya sangat berat hati buat ninggalin lembaga yang punya begitu banyak pekerjaan.

What is your dream job?
Dosen. Soalnya aku pengin memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia.

What is you hate the most about Indonesia?
Those who on the government inside.

You love reading. What book are they?
Philosophy, Anthropology, and literature books.

Kamu seorang Anarkis ya? Apa itu dan bagaimana ceritanya?
Well, bahkan aku sendiri ga berani melabeliku sebagai seorang Anarkis, Adam. Pertama, aku hanya bertindak selaras dengan naluri dan nurani(ku) sebagai manusia. Kedua, masih dalam proses pencarian (yang mungkin tidak akan pernah berakhir). Ketiga, aku ga mau “hidup” hanya untuk menuruti asa yang tak terbendung. Keep on realistic, keep on idealistic. Bisa dibilang, ya, aku benci Negara (lebih tepatnya manusia yang berada pemerintahan Negara ini). Negara pada akhirnya akan korup (hukum alam, mungkin). Indonesia menurutku sebuah konsep yang belum clear, atau didefinisikan secara ngawur oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Perlu didefinisikan kembali Indonesia itu apa, siapa, untuk apa, dan mengapa harus ada Indonesia? Jika tidak, ya, bisa dibilang Negara (dipastikan) akan korup. Apalagi Indonesia yang terdiri atas beragam macam pulau yang tentu tidak bisa dengan mudah untuk “dipersatukan”. Bahkan representasi atas “persatuan” tersebut terkadang amat politik. Tergantung pada siapa yang sedang punya power untuk mengendalikan persatuan tersebut; tentu siapa adalah seseorang yang memiliki kepentingan. Sebab, tidak ada kepentingan di atas kekuasaan. Pun sebaliknya, keduanya selalu berjalan beriringan.

What labels stick to yourself?
One kind, is RebelLuna. 

What is it?
RebelLuna itu karena aku suka banget bukunya Albert Camus yang berjudul The Rebel. Kalau Luna, artinya bulan. Bila digabung, artinya Bulan Pemberontak. So, that’s why aku suka banget aktivitas di malam hari dan bisa dibilang aku sangat terinspirasi oleh bukunya Camus.

Semacam filosofi hidup ya?
Ah, ya. Bisa dibilang seperti itu.

Apa kamu membenci manusia?
Iya, aku sangat benci dengan manusia-manusia yang rakus, egois, dan materialistis.

Kamu juga aktivis pers kampus, Pemimpin Umum Balairung pula. Apa rasanya?
Biasa saja, bahkan sampai hari ini aku ga merasa bahwa aku adalah Pemimpin Umum BALAIRUNG. Really, biasa saja, Adam. Nothing special for this position. Tapi, aku ngerasa beruntung punya keluarga yang amat “lekat” di B21 (Rumah secretariat BALAIRUNG). Aku menjalankannya dengan senang, sebab banyak orang yang bisa diajak berbagi. Bisa dibilang mungkin aku amat sayang dengan orang-orang di B21, dan mengingat tidak mudah pemilihanku tahun lalu. Butuh waktu hampir 6 jam untuk menentukan siapa PU BALAIRUNG, dan itu yang membuatku sedih. Beberapa kawan berniat untukku naik jadi PU. Padahal, seperti yang kamu ketahui, tahun lalu aku berniat untuk keluar dari BALAIRUNG. Ternyata takdir berkata “lain”.

Memangnya pekerjaan Pemimpin Umum sebuah pers mahasiswa itu apa sih?
Paling utama adalah menciptakan “karakteristik” lembaga, sebab dari sanalah bisa dibilang pers kampus “eksis”. Atau menjadi media alternatif di tengah ketidakwarasan sosial. Itu secara idealnya lembaga loh, ya. Tapi, seorang PU juga bertanggung jawab buat menjadi monitor dan moderator buat seluruh iklim (kerja?) lembaga. 

Apa yang membuat aktivis pers kampus istimewa? Dan menurut pengalamanmu, apa yang kurang dari aktivis pers kampus era-mu?
Andai mahasiswa hari ini benar-benar gila, aku pikir mereka bisa gila-gilaan secara total. Gila-gilaan dalam arti mereka bisa bebas dengan segala ide-idenya. Pers umum hari gila—dalam arti money oriented, dan pers kampus mestinya menjadi dan mencari alternatif dari kondisi mainstream yang ada. Ya, gila-gilaan buat idealis. Sayangnya, yang idealis selalu berbenturan dengan rezim yang sudah mapan. Dan hari itu tidak banyak mahasiswa yang “gila”, kebanyakan normal. Normal lebih baik, mungkin? Kekurangannya, financial support. Mana ada orang mau ngasih uang untuk mendanai misi pembunuhan?—membunuh si pemberi uang.

What is the hardest stuff in life so far?
I can say, all about love (relation). Bahkan ada orang yang bilang bahwa aku beruntung di berbagai hal, tapi tidak untuk asmara. Iya, but itu mungkin.

Bagaimana hidupmu sepuluh tahun mendatang?
Fokus belajar hingga PhD, bukan mengejar gelar tapi ingin mendapat pengalaman dari berbagai macam sisi kehidupan. Entah bakal stay di Indonesia, atau kuliah di luar negeri, tergantung takdir ke depannya seperti apa. Ndak terlalu ngoyo juga dengan duniawi, toh hidup ending-nya buat mati kok. Bukan untuk apa-apa, bukan untuk siapa-siapa.

Ceritakan tentang Suketi!
Mungkin banyak orang tidak percaya dengan apa yang aku percayai. Dan aku pun tidak mewajibkan mereka untuk memercayai apa yang aku percayai. Bisa dibilang untukmu agamamu, untukku agamaku. Tapi Suketi bukan agama loh ya. Hehehe… Suketi bisa dibilang demit/hantu/penjaga kosku. Aku merawatnya sejak pertama aku menemukan “totem”-nya Suketi. Suketi adalah bagian yang terpisah dari totem materialnya (seperti boneka yang mungkin kamu sudah tahu). Sampai hari ini, aku belum bisa berkomunikasi dengannya sebab sering aku tinggal pergi, dan jarang aku ajakin jalan. Ah ya, Suketi. Tetiba aku rindu dengan kondisinya di kosan. Mungkin dia sedang hunting makanan.

Who is your favorite artist?
Beat Generation :)

So I do! They’re God! But could you tell us who the ‘h’ are they and why were they so ‘f’ cool?
Adam, aku percaya bahwa seseorang yang lahir dari kondisi ketertindasan adalah orang yang besar, mahabesar mungkin. Jika dibumikan sama konteks Indonesia, kamu tentu menemukan perbedaan antara Gunawan Mohammad dan Pramoedya Ananta Toer. GM itu manusia yang lahir dari teks, sedangkan Pram, dia lahir dari kondisi ketertindasan yang sebenar-benarnya. Ia dikucilkan, dibuang, dan ditindas sama pemerintah saat itu. tapi buktinya, dia bisa menghasilkan karya yang besar dan mengagumkan. Beat Generation, semacam Pram di Amerika. Mereka (Beat) bukanlah orang yang lahir dari teks.

Sebentar lagi lebaran, apa yang ingin kamu bilang ke orang-orang muslim di Indonesia?
Jujur, aku seseorang yang tidak begitu peduli dengan lebaran. Bagiku, minta maaf bukan hanya di momen lebaran. So, aku bingung mau menjawab pertanyaan ini seperti apa. Yang jelas, jika harus menjawabnya, aku cuma mau bilang, “Agama bukan lah tentang apa yang kamu pakai, namun kebaikan yang selalu kamu lakukan”
 
Setelah selesai S1, apa rencana terdekatmu?
Mungkin mencari pengalaman; kerja sekaligus gabung di salah satu komunitas selama satu tahun. Lantas melanjutkan studi. Aku ga bisa dan ga mau langsung melanjutkan studi, kesannya kok ndak bisa hidup susah. Hehehe… but, ya, let we see!

Well, sukses, Gembrang! Terima kasih!

Saturday, June 13, 2015

  |   No comments   |  

Semua Orang Adalah Guru, Semua Tempat Adalah Sekolah





Kemarin, saat saya sedang duduk sendiri di sebuah mini market 24 jam, mendadak seorang pria, mungkin 24 atau 25 tahun, duduk di samping saya. Sebelum duduk, tangannya menepuk ringan pundak saya.

“Hei, kamu!” saya kaget, tapi langsung mengenalinya.

“Sendiri saja?” dia tersenyum.

“Iya nih. Kamu?”

“Iya. Sedang sendiri juga,” katanya.

Pria itu adalah Rudi, bocah yang diceritakan Naomi pada saya dua tahun lalu. Naomi adalah gadis yang bekerja sebagai Teman Khayalan dalam 31Desember.

“Kamu sibuk?” tanya Rudi pada saya. Dia tampak begitu gelisah.

“Tidak juga. Cuma sedang me-time.” Saya tertawa.

“Wah, berarti saya mengganggu.”

“Oh, tidak-tidak… me-time yang saya maksud ya begini ini. Biasanya didatangi orang-orang seperti kamu.”

“Oh,” katanya. Lalu kami berdua tertawa.

Rudi, setahun belakangan, memang sering menjumpai saya. Terakhir kali Desember tahun lalu. Dia yang kini sudah tak remaja lagi sedang sering mengalami disorientasi. Katanya, dia sering membayangkan sosok seorang gadis yang sama sekali tak ia kenal. Tapi, bayangan gadis itu kelewat sering muncul di mimpi ataupun lamunannya untuk bisa disebut kebetulan lalu diabaikan.

Di umurnya yang sudah 25 tahun, tentu saja Rudi telah mengenal banyak sekali gadis. Tapi dia tak ingat pernah dekat dengan yang satu ini. Dari ciri-ciri yang disebutkan Rudi, saya bisa pastikan kalau gadis itu sebenarnya adalah Naomi. Tapi saat saya beritahu tentang siapa Naomi, Rudi tidak percaya, dan malah menganggap saya bercanda. “Mana ada yang seperti itu,” kata Rudi suatu waktu di pertemuan pertama kami. Saya tak ambil pusing respon Rudi. Ia malah yakin kalau gadis yang ada di visinya itu adalah seseorang yang akan dijumpainya di masa depan; bahwa entah bagaimana, kepalanya bisa memproyeksikan citra gadis yang akan jadi jodohnya di masa depan, seperti cenayang. Saya berusaha menahan tawa, membiarkannya memercayai apa yang ingin dia percayai.
Tapi suatu siang di pertengahan tahun lalu, Rudi tak sengaja membaca 31 Desember, dan perlahan mulai membuka diri untuk percaya. Itu sebabnya dia jadi sering datang menemui saya. Berharap Naomi juga datang menemui saya, saat kami sedang mengobrol begini. Tapi, Naomi memang tak pernah datang lagi setelah dua tahun lalu. Dia lenyap begitu saja seperti semua orang yang bekerja sebagai Teman Khayalan. Tipikal.

“Masih belum bertemu Naomi?” Rudi tersenyum. Tapi senyuman yang terasa getir.
Saya hanya menggeleng. Lalu terdengar helaan nafas berat yang panjang dari Rudi.
Tampaknya pria ini sudah sampai pada suntuk beratnya. Dia mungkin setengah mati ingin tahu cerita sebenarnya dari Naomi, gadis yang menjajah pikirannya belakangan ini.

Lalu kami berdua diam untuk waktu yang cukup lama. Rudi sibuk melamun dengan sesekali menyesap kopi dingin miliknya. Sementara saya kembali larut dalam selembar jendela microsoft word yang sedang terbuka.

“Kamu sedang menulis apa?” tiba-tiba Rudi kembali membuka perbincangan.

“Ah ini,” saya tertawa. “Aku sedang kena writer’s block. Jadi sedang berusaha menuliskan sesuatu.”

“Oh,” kata Rudi sambil mengintip ke jendela komputer jinjing saya. “Siapa itu Diam? Tokoh baru?” tambahnya.

“Eumm… Bukan… bukan…,” sahut saya. Sekonyong-konyong rasanya darah mengalir naik ke pipi saya. Menyebabkan sensasi malu di sekujur tubuh.

“Dia orang sepertiku—Naomi dan aku?” Rudi kembali menambahi pertanyaannya.
Lama diam, baru saya menjawab, “Bukan. Dia salah seorang teman.”

“Dan kamu sedang suka dia ya.” Rudi tidak melontarkan pertanyaan. Nada suaranya bilang kalau yang tadi itu adalah pernyataan.

Saya kembali diam. Kali ini tertohok malu yang lebih besar. Saya memang tipikal orang yang tak nyaman membahas dirinya sendiri. Apalagi di depan orang asing seperti Rudi. Saya memang jauh lebih nyaman untuk jadi pendengar, bagi mereka yang mau berbagi kisahnya. Dan sungguh, rasanya tidak nyaman sekali saat Rudi sadar kalau saya sedang jatuh cinta pada seseorang.

“Eh, Rud,” mendadak saya punya satu hal yang bisa dijadikan pengalih perhatian Rudi. “Saya sepertinya akan buat sesuatu yang baru di blog saya.”

“Ha? Apa itu?”

“Selama ini, saya belajar banyak sekali dari mendengar cerita orang-orang—kamu, Naomi, Attaria, M, Celia, dan banyak lainnya. Saya juga dapat pelajaran banyak dari melihat dan mendengar langsung cerita beberapa kawan saya yang tak pernah masuk di blog. Jadi, saya akan mulai memasukkan mereka ke sana. Saya ingin orang lain juga belajar dari cara berpikir mereka,” kata saya panjang lebar.

“Wah, bagus itu. Kapan rencananya?”

“Secepatnya. Saya sudah wawancara dua kawan baik. Yang satu sudah hampir selesai, dan sedang menunggu yang satunya lagi. Dua orang ini, somehow, memengaruhi pola pikir saya di beberapa momen hidup saya. Dan saya ingin orang lain tahu kalau mereka keren.”

“Aku jadi pengin baca, tapi apa mereka mau kisahnya ditampilkan di blog?”

“Mereka berdua mau. Tapi beberapa kawan lainnya belum saya tanyai. Semoga saja mau. Sebab, bagi mereka yang mau, saya akan mengahadiahinya sketsa wajah mereka.” Saya tertawa. “Bukan sogokan, hanya seperti ucapan terima kasih.”

“Wah. Bagus… bagus… konsep yang bagus.”

“Terima kasih,” kata saya.

“Seperti pepatah lama ya, semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah,” kata Rudi sambil tertawa.

Saya juga tertawa bersama Rudi. Entah kenapa kalimat terakhirnya itu benar-benar mengena. Saya selalu paham istilah itu, tapi belum pernah menemukan kalimat pas yang bisa membungkusnya. Dan terima kasih kepada Rudi yang telah membahasakannya untuk saya.

Sayang, beberapa menit setelah perbincangan itu Rudi harus kembali ke kantornya. Ahya, dia sudah lama tidak jadi penari jalanan lagi. Kini dia bekerja sebagai seorang dosen muda di salah satu universitas negeri. Entah kenapa, dalam hati saya berjanji pada diri sendiri untuk menuliskan cerita Rudi suatu saat nanti, meski ia tak memintanya. Mungkin saya bisa menggabungkan cerita dari Naomi dan versi Rudi. Mungkin cerita mereka akna hebat. Siapa tahu. Kan semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah.