Monday, January 25, 2016

  |   No comments   |  

Meluruskan Kembali Pikiran



Sebenarnya, tak ada seorang teman pun yang menawarkan sebuah nasihat untuk pergi ke psikolog. Pun, tak pernah sekali pun terbersit di pikiran sempit saya untuk mendatangi seorang sarjana psikologi dan semena-mena curhat padanya, tentang drama hidup yang saya bikin sendiri, saya jalani sendiri, kemudian saya over-thinking-kan sendiri. Rasanya tidak adil saja pada si psikolog yang malang. Siapa saya, berani-beraninya merunyamkan kehidupan dia.

Tapi, seorang kawan, yang rajin menulis di blog-nya (tentu saja perbandingan ini dibuat antara dia dan blog sampah ini), dan tulisannya sangat bagus, pernah beberapa kali bercerita tentang saran yang diberikan psikolog pribadinya, saat ia punya masalah tertentu. Tulisan-tulisan itu lantas mengajak saya berpikir, kemudian membulatkan sebuah niat untuk mendatangi seorang psikolog untuk pertama kalinya dalam hidup saya.

Setelah bertemu dengannya, saya disuruh untuk menuliskan hasil perbincangan kami di blog ini. Tentu setelah dia tahu, saya suka menulis, dan bahkan sekarang saya menghidupi diri ini dari sana. Kurang lebih, begini ceritanya:

***

Psikolog:
Silakan...
(Sebelumnya kami berbasa-basi. Dia tanya secuil informasi dasar tentang siapa saya. Saya menjawab dengan kalimat-kalimat pendek dan seperlunya)

Saya:
Rasanya ada yang berubah dengan diri saya. Mungkin cerita ini sangat random, tapi sepertinya memang tak ada lagi yang lurus di kepala saya. Rasanya ada sesuatu yang bergulung-gulung di dalam sana. Dan ia sangat berat. Sungguh. Mungkin ada gulungan benang kusut yang terbuat dari platina di sana.

Psikolog:
Tak apa. Kamu bisa mulai cerita dari mana saja.
(Ia tersenyum. Sangat tulus. Tapi saya yakin, dia sudah melatih senyum tulus itu ribuan kali di hadapan ribuan pasiennya, sebelum saya)

Saya:
Saya sesungguhnya sangat tidak nyaman bercerita apa pun pada kamu... Jangan tersinggung dulu (Ia buru-buru menggeleng sambil tetap tersenyum tulus), saya memang tak pernah nyaman cerita apa pun kepada siapa pun. Jadi saya benar-benar bingung mau cerita apa.

Psikolog:
Lantas, kenapa kamu datang ke saya hari ini?

Saya diam. Bukan tak tahu jawabannya. Tapi heran, karena saya yakin, entah bagaimana, si psikolog sudah tahu jawaban saya. Meskipun begitu, saya tetap menjawab.

Saya:
Mungkin, karena saya pikir saya butuh kamu. Karena saya pikir, ini adalah sebuah jalan keluar. Atau mungkin, karena saya sebenarnya tidak berpikir apa-apa, sehingga akhirnya melenggang tak sengaja untuk bertemu kamu. Entahlah... kepala saya masih terlalu berat untuk mencari jawabannya. Tapi, rasanya sekarang saya tahu mau bercerita apa ke kamu. (Ada jeda sesaat). Saya ingin cerita tentang keinginan saya untuk bunuh diri. (Saya tersenyum). Dan ini bukan yang pertama kalinya. (Senyum saya masih lengket di wajah).

Dia hanya tersenyum. Mengisyaratkan untuk meneruskan cerita.

Saya:
Sedari kecil saya senang melamun. Atau orang-orang zaman ini menyebutnya over-thinking, sekarang. Tapi saya masih lebih senang menyebutnya sebagai melamun. Dari kegiatan itu, saya biasanya akan merasa lebih produktif. Sebab melamun tak jarang memaksa otak saya untuk menelurkan sebuah pemikiran. Tentu, dengan terlebih dahulu melaga pemikiran-pemikiran yang saya adopsi dari banyak sekali orang, banyak sekali tragedi, dan banyak sekali kejadian. Hasilnya, biasanya, memang saya koleksi sendiri. Jadi pil-pil yang saya konsumsi untuk makan batin sendiri. Kadang, pil-pil itu saya tuliskan jadi beberapa potong cerpen, atau tak jarang jadi coretan gambar di sebuah HVS. Ya, saya memang melodramatis, dan dangkal, dan melodramatis seperti para seniman awamnya. Tapi saya benar-benar nyaman dengan kegiatan pribadi untuk konsumsi pribadi itu. Seolah dari sana, ada kedamaian yang tercipta dan membuat hidup saya layak untuk setidaknya, dijalani, kalau kata 'diperjuangkan' dirasa terlalu berlebihan.

(Ada jeda).

Tapi, waktu bekerja semisterius cara Tuhan bekerja. Belakangan, karena tuntutan umur, yang tentu saja adalah dampak dari cara kerja waktu yang sungguh misterius, ada yang berubah dalam hidup saya. Alih-alih itu juga berdampak besar hingga mengubah siapa saya. Ada kenyamanan-kenyamanan kecil yang mulai terenggut. Ada kedamaian-kedamaian yang kian lama kian saya abaikan. Hingga yang muncul, tak jarang adalah rasa sesak.

Melamun mulai jarang saya lakukan. Menulis memang tak bisa saya tinggalkan. Bahkan di satu sisi, ada yang berkembang dari cara saya menulis. Meski bila ditilik dari sisi lain, ada yang hilang juga. Tapi ada yang berubah dari cara saya mengagumi melakukan praktik menulis. Dan perubahan itu terasa memuakkan. Awalnya saya tak menyadari perubahan itu. Sehingga, ketika suntuk datang, saya benar-benar lupa bahwa menulislah yang biasanya menyelamatkan saya dari situasi itu. Bahwa menulislah kadang yang membuat saya kembali damai. Sampai... datanglah sepucuk pikiran sederhana yang begitu menyeramkan, tapi terasa masuk akal itu... bahwa bunuh diri adalah jalan keluar.

(Ada jeda lagi. Kali ini ditambah senyum saya).

Seperti saya bilang sebelumnya, bunuh diri bukanlah ide baru. Iya sudah akrab dengan saya sejak remaja. Dan seringnya, ia harus undur diri sambil tertunduk, saat saya bisa menakhlukannya telak dengan argumen yang lebih masuk akal. Kadang saya berterima kasih  dengan cokolan agama yang begitu mengakar dari orang tua saya. Karena saya tahu, kalau bunuh diri sebenarnya adalah tindakan yang dangkal. Tapi, batu pun akan lapuk dibantai hujan terus menerus. Ketika ide bunuh diri terlalu sering unjuk gigi, hati pun bisa takhluk dibuatnya. (Saya berhenti, ada banyak sekali entah pikiran-pikiran aneh atau sejumlah kenangan yang mendadak berkelabat di kepala saya. Si psikolog menyadarinya, lalu memberiku pertanyaan).

Psikolog:
Jadi, kamu melakukannya?

(Ada jeda yang lama. Saya berpikir keras apakah akan menjawabnya atau tidak).

Saya:
Selalu hampir. Dan saya menyesal karena tidak jadi. (Saya tertawa). Sesungguhnya, kematian adalah salah satu hal yang paling saya idamkan dalam kehidupan ini. Tapi saya memang tak pernah terpikir, bahwa bunuh diri adalah cara untuk mendapatkannya. Hingga yang terakhir kemarin, rasanya mengakhiri hidup tak ada salahnya. Bahwa melanjutkan hidup pun tak ada gunanya. Sesederhana itu. Dan saya tak punya pikiran lain selain ingin mati. Mungkin segalanya punya puncaknya sendiri. Saya tidak bangga karena pernah hampir mati konyol. Tapi, setelah momen itu, ada banyak pencerahan yang muncul. Dan segalanya terjadi atas sebuah alasan.

Psikolog:
Kamu benar...

Dia hanya memberikan respon itu. Tapi rasanya lega sekali... rasanya dia benar-benar mengerti.

Saya:
Memangnya kamu pernah berada di kondisi itu?

Psikolog:
(Dia tertawa. Ada spektrum malu yang tersampir di senyum itu). Siapa yang tidak pernah depresi di zaman ini? Semua orang punya masalahnya... maksud saya, dramanya sendiri... (Ia tertawa). Saya paham benar rasanya. Tapi saya tak berani membanding-bandingkan pengalamanmu itu dengan saya... Rasanya pasti sangat tidak adil.

Saya:
Kamu baik sekali. Terima kasih, Cameo, sudah mau jadi psikolog dadakanku.