Friday, September 30, 2016

4 comments   |  

Ibu (Pt. II)



Sekarang tepat pukul 4 pagi saat saya memulai tulisan ini. Satu artikel tentang kopi sudah selesai untuk dikirimkan ke editor, sebentar lagi. Semoga sudah bisa dinikmati nanti siang oleh pembaca. Seharusnya saya langsung saja mulai menulis artikel lainnya, yang proses penghimpunan datanya sudah selesai dua hari ini. Tapi sebaris pikiran malah mengarahkan saya untuk menulis ini di halaman kosong microsoft word.

Saya teringat dulu di sepotong pagi-pagi buta begini juga, waktu masih umur empat atau lima, Ibu masih belum lelah mendongeng. Biasanya, ia akan membangunkan saya sekitar pukul empat atau lima pagi, lalu menceritakan sebuah dongeng. Ini dilakukannya hanya saat ayah kena shift malam. Ia takut menunggu ayah pulang kerja sendirian. Jadilah aku dibangunkan untuk menemaninya.

Wajar sebenarnya. Dulu kami tinggal di Batam. Medio 1999, suasana Batam di pagi buta cukup mencekam. Perang saudara di Batam antara suku Batak dan Flores bikin gelisah semua orang. Aksi saling tebas pakai parang oleh mereka yang berkonflik jadi cerita pengantar tidur dan penyambut bangun. Sebab kami adalah perantauan dari Medan, tentu saja Ibu selalu berubah jadi penakut saat harus ditinggal suami sendiri dengan anak-anaknya. Saya anak paling besar, sekaligus yang paling suka dongeng. Mungkin itu alasan Ibu kenapa selalu membangunkan saya daripada Rara, adik saya.
Waktu itu anak Ibu memang masih dua.

Kalau diingat-ingat, ada banyak sekali dongeng yang diceritakan Ibu pada masa-masa itu. Sehingga kelak, pada satu titik di hidup ini, saya akan sadar kalau tak ada satu dongeng pun yang pertama kali saya dengar dari orang lain selain Ibu. Ini sungguh. Saya tak sadar  waktu itu, kalau Ibu memang ahli dongeng yang rupanya tahu Putri Kacang Polong, Klenting Kuning, Dracula, Van Helsing, Siluman Ular Putih, dan dongeng, legenda, serta mitos lainnya yang kebanyakan orang tak tahu. Tentu selain dongeng-dongeng awam macam Cinderella, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, Itik Buruk Rupa, Kuntilanak, Legenda Danau Toba, Legenda Candi Prambanan, dan lainnya. Atas pengalaman itu, saya sangat mencintai Ibu.

Tapi pengalaman itu tak lantas membuat saya dekat dengan Ibu ketika beranjak dewasa. Mungkin Ibu merasa dekat. Tapi saya tidak.

Mungkin Ibu merasa mengerti saya, tapi sejujurnya ada banyak sekali hal yang tak Ibu ketahui tentang saya. Itu yang membuat saya merasa tak dekat dengannya. Pun sejak kecil, saya adalah anak Ibu yang paling jarang tinggal bersamanya. Liburan pun lebih sering tinggal atau dibawa pergi jalan-jalan Andong, sebutan nenek dalam bahasa Melayu. Tiga tahun terakhir, saya juga sudah tak tinggal dengan Ibu. Untuk alasan akademis, dan... hhmm pilihan saya sendiri.

Ibu sebenarnya pernah bilang benci pada saya karena pilihan ini. “Dari kecil sama Andongnya, sudah besar ini juga tak bisa tinggal dengan Ibunya sendiri,” katanya suatu waktu, berapi-api.

Tapi Ibu tidak menyerah. Selama tiga tahun terakhir, setiap hari ia menelpon saya. Menanyakan empat pertanyaan wajib, dan beberapa pertanyaan sunah. Yang wajib: “Sudah makan?”, “Sudah salat? Pasti belum!”, “Tidak sakit kan?”, dan “Hari ini tidak jatuh dari motor kan?”. Pertanyaan sunahnya bisa apa saja. Tergantung situasi dan kondisi. Misalnya, “Kapan pulang?”, “Bisa bolos kerja nggak besok? Supaya bisa pulang ke rumah dulu.” Dan semacamnya.

Telepon terakhir dari Ibu berdering lima hari yang lalu. Telpon itu berbunyi setelah saya mengirimkan pesan singkat ke beliau terlebih dulu. Saya memang sedikit marah waktu itu, soalnya Rara baru saja curhat kalau dia sedang dimarahi. Saya marah pada Ibu karena saya tak ingin dia marah-marah, buang energi. Waktu itu saya tahu kalau dia sedang tidak dalam keadaan fit. Apa pun alasannya untuk marah pada Rara, sebaiknya diurungkan saja. “Pikirin yang baik-baik saja,” kata sepenggal kalimat saya dalam pesan singkat itu.



Tapi rupanya Ibu tak terima. Dia merasa saya membela Rara. Dan dia kecewa berat. Sambil memaki, dia mengakhiri sambungan telepon hari itu. Itu pertama kalinya Ibu kasar pada saya selama lima tahun terkahir. Saya juga terkejut. Mungkin karena sudah lama tidak dibentak Ibu. Ada kecewa yang juga menelusup di otak.

Saya menenangkan diri dengan berpikir kalau pertengkaran Ibu dan anak adalah hal wajar. Kami akan tetap jadi Ibu dan anak, kendati dihasut buzzer pencipta konflik antara Trump dan Hillary. Atau sebelumnya Prabowo dan Jokowi.

Tapi lima hari setelah itu hidup saya sepi dari deringan telepon Ibu. Rupanya dia benar-benar marah, itu asumsi saya. Awalnya saya tak acuh, sampai dapat pesan dari Rara kalau Ibu sakit, dua hari lalu. Tapi saya masih tak merendahkan diri untuk menghubunginya duluan. Ia juga begitu. Padahal saya tahu penyebab sakit Ibu. Dia memang seorang paranoia yang akan gampang depresi saat overthinking. Saya sedikit banyak yakin, penyebab Ibu sakit adalah karena kekecewaannya pada saya. Dan saya sedih karena itu. Sungguh.

Sampai tadi, saat telepon dari Rara masuk. Dia bilang Ibu masuk rumah sakit. Perutnya sakit, dan demam beberapa hari terakhir. Saya langsung pulang. Bersama banyak sekali perasaan bersalah dan cemas.

Riwayat sakit Ibu banyak. Penyakit kami mirip. Pneumonia, maag akut, diabetes adalah satu di antaranya. Tapi yang kali ini berbeda. Ibu divonis usus buntu. Besok dia akan operasi. Semalaman ini sudah lebih dari 9 kali jarinya diadu jarum untuk mengukur kadar gula darahnya. Kadar gula itu harus stabil sebelum dia dioperasi besok. Sejam sekali seorang dokter jaga akan masuk ke ruangan untuk mengeceknya.

Pagi-pagi buta begini, saat menemani Ibu terus-terusan mengaduh karena perutnya yang begah, saya teringat pagi-pagi dulu. Ketika ia mendongengkan cerita-cerita yang jadi pengantar tidur lelap saya.

Lekas sembuh, Bu.