Sekarang tepat pukul 4 pagi saat saya memulai tulisan ini.
Satu artikel tentang kopi sudah selesai untuk dikirimkan ke editor, sebentar
lagi. Semoga sudah bisa dinikmati nanti siang oleh pembaca. Seharusnya saya
langsung saja mulai menulis artikel lainnya, yang proses penghimpunan datanya
sudah selesai dua hari ini. Tapi sebaris pikiran malah mengarahkan saya untuk
menulis ini di halaman kosong microsoft word.
Saya teringat dulu di sepotong pagi-pagi buta begini juga,
waktu masih umur empat atau lima, Ibu masih belum lelah mendongeng. Biasanya,
ia akan membangunkan saya sekitar pukul empat atau lima pagi, lalu menceritakan
sebuah dongeng. Ini dilakukannya hanya saat ayah kena shift malam. Ia takut
menunggu ayah pulang kerja sendirian. Jadilah aku dibangunkan untuk
menemaninya.
Wajar sebenarnya. Dulu kami tinggal di Batam. Medio 1999,
suasana Batam di pagi buta cukup mencekam. Perang saudara di Batam antara suku
Batak dan Flores bikin gelisah semua orang. Aksi saling tebas pakai parang oleh
mereka yang berkonflik jadi cerita pengantar tidur dan penyambut bangun. Sebab
kami adalah perantauan dari Medan, tentu saja Ibu selalu berubah jadi penakut
saat harus ditinggal suami sendiri dengan anak-anaknya. Saya anak paling besar,
sekaligus yang paling suka dongeng. Mungkin itu alasan Ibu kenapa selalu
membangunkan saya daripada Rara, adik saya.
Waktu itu anak Ibu memang masih dua.
Kalau diingat-ingat, ada banyak sekali dongeng yang
diceritakan Ibu pada masa-masa itu. Sehingga kelak, pada satu titik di hidup
ini, saya akan sadar kalau tak ada satu dongeng pun yang pertama kali saya
dengar dari orang lain selain Ibu. Ini sungguh. Saya tak sadar waktu itu, kalau Ibu memang ahli dongeng yang
rupanya tahu Putri Kacang Polong, Klenting Kuning, Dracula, Van Helsing,
Siluman Ular Putih, dan dongeng, legenda, serta mitos lainnya yang kebanyakan
orang tak tahu. Tentu selain dongeng-dongeng awam macam Cinderella, Si Cantik
dan Si Buruk Rupa, Itik Buruk Rupa, Kuntilanak, Legenda Danau Toba, Legenda
Candi Prambanan, dan lainnya. Atas pengalaman itu, saya sangat mencintai Ibu.
Tapi pengalaman itu tak lantas membuat saya dekat dengan Ibu
ketika beranjak dewasa. Mungkin Ibu merasa dekat. Tapi saya tidak.
Mungkin Ibu merasa mengerti saya, tapi sejujurnya ada banyak
sekali hal yang tak Ibu ketahui tentang saya. Itu yang membuat saya merasa tak
dekat dengannya. Pun sejak kecil, saya adalah anak Ibu yang paling jarang
tinggal bersamanya. Liburan pun lebih sering tinggal atau dibawa pergi
jalan-jalan Andong, sebutan nenek dalam bahasa Melayu. Tiga tahun terakhir,
saya juga sudah tak tinggal dengan Ibu. Untuk alasan akademis, dan... hhmm
pilihan saya sendiri.
Ibu sebenarnya pernah bilang benci pada saya karena pilihan
ini. “Dari kecil sama Andongnya, sudah besar ini juga tak bisa tinggal dengan
Ibunya sendiri,” katanya suatu waktu, berapi-api.
Tapi Ibu tidak menyerah. Selama tiga tahun terakhir, setiap
hari ia menelpon saya. Menanyakan empat pertanyaan wajib, dan beberapa
pertanyaan sunah. Yang wajib: “Sudah makan?”, “Sudah salat? Pasti belum!”, “Tidak
sakit kan?”, dan “Hari ini tidak jatuh dari motor kan?”. Pertanyaan sunahnya
bisa apa saja. Tergantung situasi dan kondisi. Misalnya, “Kapan pulang?”, “Bisa
bolos kerja nggak besok? Supaya bisa pulang ke rumah dulu.” Dan semacamnya.
Telepon terakhir dari Ibu berdering lima hari yang lalu.
Telpon itu berbunyi setelah saya mengirimkan pesan singkat ke beliau terlebih
dulu. Saya memang sedikit marah waktu itu, soalnya Rara baru saja curhat kalau
dia sedang dimarahi. Saya marah pada Ibu karena saya tak ingin dia marah-marah,
buang energi. Waktu itu saya tahu kalau dia sedang tidak dalam keadaan fit. Apa
pun alasannya untuk marah pada Rara, sebaiknya diurungkan saja. “Pikirin yang
baik-baik saja,” kata sepenggal kalimat saya dalam pesan singkat itu.
Tapi rupanya Ibu tak terima. Dia merasa saya membela Rara.
Dan dia kecewa berat. Sambil memaki, dia mengakhiri sambungan telepon hari itu.
Itu pertama kalinya Ibu kasar pada saya selama lima tahun terkahir. Saya juga
terkejut. Mungkin karena sudah lama tidak dibentak Ibu. Ada kecewa yang juga
menelusup di otak.
Saya menenangkan diri dengan berpikir kalau pertengkaran Ibu
dan anak adalah hal wajar. Kami akan tetap jadi Ibu dan anak, kendati dihasut buzzer pencipta konflik antara Trump dan
Hillary. Atau sebelumnya Prabowo dan Jokowi.
Tapi lima hari setelah itu hidup saya sepi dari deringan
telepon Ibu. Rupanya dia benar-benar marah, itu asumsi saya. Awalnya saya tak
acuh, sampai dapat pesan dari Rara kalau Ibu sakit, dua hari lalu. Tapi saya masih
tak merendahkan diri untuk menghubunginya duluan. Ia juga begitu. Padahal saya
tahu penyebab sakit Ibu. Dia memang seorang paranoia yang akan gampang depresi
saat overthinking. Saya sedikit banyak
yakin, penyebab Ibu sakit adalah karena kekecewaannya pada saya. Dan saya sedih
karena itu. Sungguh.
Sampai tadi, saat telepon dari Rara masuk. Dia bilang Ibu
masuk rumah sakit. Perutnya sakit, dan demam beberapa hari terakhir. Saya
langsung pulang. Bersama banyak sekali perasaan bersalah dan cemas.
Riwayat sakit Ibu banyak. Penyakit kami mirip. Pneumonia,
maag akut, diabetes adalah satu di antaranya. Tapi yang kali ini berbeda. Ibu divonis
usus buntu. Besok dia akan operasi. Semalaman ini sudah lebih dari 9 kali
jarinya diadu jarum untuk mengukur kadar gula darahnya. Kadar gula itu harus
stabil sebelum dia dioperasi besok. Sejam sekali seorang dokter jaga akan masuk
ke ruangan untuk mengeceknya.
Pagi-pagi buta begini, saat menemani Ibu terus-terusan
mengaduh karena perutnya yang begah, saya teringat pagi-pagi dulu. Ketika ia
mendongengkan cerita-cerita yang jadi pengantar tidur lelap saya.
Lekas sembuh, Bu.