Penulis Lepas! Kepalaku
langsung berdenting ketika ekor mata ini menangkap kehadiranmu. Pemuda kusut
yang karena takdir Tuhan lewat di depanku beberapa detik lalu. Entah kenapa
kepalaku punya kekuatan gaib untuk menandai penulis lepas sepertimu. Mungkin
karena perawakanmu yang khas sekali, bak penulis lepas di seluruh dunia ini:
kaos berwarna muram, jins belel yang sobek di lutut, cambang-kumis-janggut yang
tak dicukur karena tak sempat, bukan karena ikut-ikut tren; serta ransel buluk
yang isinya (teramatlah pasti) komputer jinjing yang baterainya sudah soak
sehingga ke mana pun kau pergi pasti menginting pengisi daya-nya.
Terlebih lagi kita bertemu di tempat
ini, swalayan mini yang buka 24 jam. Tempatnya para penulis lepas bergadang,
mengejar tenggat demi transferan di rekening. Kopi botolan dan kudapan ringan
yang kau bawa semakin menguatkan tebakanku tentang siapa dirimu.
Eh... Kau melirik, lalu mengangkat
sebelah alismu. Sapaan buatku yang lancang menatapmu lebih dari sepuluh detik.
Sungguh memalukan.
Bukannya membalas sapaanmu, aku malah
tunduk. Pura-pura tak lihat. Sungguh. Aku. Malu.
***
Penulis Lepas! Kepalaku
berdenting. Setiap bertemu orang yang memakai kaos berwarna muram, jins belel
yang sobek di lutut, dan tampang bantal, kepalaku langsung berdenting seperti
sekarang ini. Mungkin juga karena tempat ini. Swalayan mini yang buka 24 jam
biasanya adalah tempat tongkrongan mahasiswa semester awal mengerjakan tugas,
atau mahasiswa akhir mengerjakan revisi bab dua skripsinya, dan makhluk seperti
kita: penulis lepas yang dikejar tenggat.Walaupun yang terlihat di atas mejamu
adalah bir dengan nol alkohol, tapi garis hitam di bawah matamu menunjukkan
seberapa banyak kafein yang telah kau sedu dengan air hangat. Semakin
meyakinkanku tentang siapa dirimu.
Denting di kepalaku semakin kencang saat
ekor mata ini menangkap lirikan lancangmu. Dari sepuluh detik lalu, kau tanpa
sadar memandangiku.
Iseng, kuangkat saja alis kiriku sambil
membalas pandanganmu. Hitung-hitung sapaan buat rekan senasib. Tapi kau malah
tunduk, malu, mungkin. Darah naik ke pipimu, membuatnya bersemu merah. Lucu.
Tampangmu lucu. Apa aku kerjain sekalian saja?
Aku sengaja pindah meja, duduk di kursi
kosong di kirimu. Lalu bilang, "Penulis lepas, kan?"
Sengaja pakai 'kan', karena sesungguhnya
yang barusan hanya pertanyaan retorik.
***
Eh... Eh... Kau kok malah pindah meja?
Kok jadi duduk di kursi kosong di kiriku?
Dan dengan senyum jail kau malah lancang
bertanya padaku yang asing ini, "Penulis lepas, kan?" Sengaja pakai
'kan', seolah-olah melemparkan pertanyaan retorik.
Aku mengernyitkan dahi. Pasang muka
terganggu. Pura-pura terganggu. Tapi aktingku hanya sebatas ekspresi saja, tak
keluar melalui dialog. Sejujurnya aku gugup, mendadak aku sadar kalau kau bukan
penulis lepas biasa. Wajahmu terlihat tampan dari jarak segini. Kau penulis
lepas yang tampan! Dan mungkin saja kau itu penulis lepas-tampan yang cenayang
juga.
"Hei, kau penulis lepas, kan?"
Eh, ternyata itu bukan pertanyaan retorik
ya? "Tahu dari mana?"
Kau hanya tersenyum. Lantas menenggak
kopi botolanmu.
***
Wajahmu makin merah. Makin lucu saat aku
sudah duduk. Kau mengernyitkan dahi. Pasang muka terganggu. Atau pura-pura
terganggu? Tapi aktingmu hanya sebatas ekspresi saja, tak ada dialog yang
keluar. Kelihatan sekali gugup. Kau kelihatannya sadar sesuatu. Kenapa? Wajahku
tampan? Atau kau mulai berpikir kalau aku cenayang?
Daripada kau diam saja, maka kutanyakam
sekali lagi pertanyaan retorik tadi, "Hei, kau penulis lepas, kan?"
Kau mulai ragu kalau itu tadi retorik
belaka, maka kau sahut dengan, "Tahu dari mana?"
***
Setelah ada jeda sejenak, kau mulai
cerita. Kau memulainya dengan sebuah tanya, "Percaya takdir, tidak?
Mungkinkah dua orang berbeda, yang tak pernah jumpa bisa punya pikiran yang
sama? Seolah-olah pikiran mereka adalah kembar identik?"
Oke, itu tadi bukan satu pertanyaan. Itu
tiga. Tapi jawabannya kan cuma satu: bisa saja iya, tidak, atau mungkin. Tapi
aku memilih menjawab: tidak. Kau diam, tapi seperti ingin mendengar argumen
dari alasanku. Maka aku berargumen. Setelah mendengarnya, kau bilang "Coba
kau tuliskan kronologi pertemuan kita tadi. Lengkap dengan seluruh pikiran yang
berkecamuk di sana," kau menunjuk kepalaku. "Aku juga tuliskan hal sama
di laptop bututku," tambahmu seraya tersenyum. Anehnya, aku merasa ada
yang ganjil di senyummu; dan di wajah tampanmu yang kelewat tampan tiap detik
berdetak. Sayangnya, kelak baru kusadari alasannya.
Lima belas menit berlalu. Kau sudah
selesai duluan menulis. Aku kebanyakan gugup. Tapi saat aku selesai dan kita
bertukar laptop untuk membaca tulisan masing-masing, aku kaget kepalang alang.
Mungkinkah ada manusia yang pikirannya kembar identik?
Tapi mendadak bulu-bulu di tengkuk
leherku meremang hebat. Mungkin karena senyummu. Senyum yang memperlihatkan
gigi-gigi taringmu bertumbuh cepat.
Sekarang kau bertanya, "Percaya
kalau vampir itu ada?"