Tuesday, June 24, 2014

,   |   1 comment   |  

Kita yang Penulis Lepas Ini



Penulis Lepas! Kepalaku langsung berdenting ketika ekor mata ini menangkap kehadiranmu. Pemuda kusut yang karena takdir Tuhan lewat di depanku beberapa detik lalu. Entah kenapa kepalaku punya kekuatan gaib untuk menandai penulis lepas sepertimu. Mungkin karena perawakanmu yang khas sekali, bak penulis lepas di seluruh dunia ini: kaos berwarna muram, jins belel yang sobek di lutut, cambang-kumis-janggut yang tak dicukur karena tak sempat, bukan karena ikut-ikut tren; serta ransel buluk yang isinya (teramatlah pasti) komputer jinjing yang baterainya sudah soak sehingga ke mana pun kau pergi pasti menginting pengisi daya-nya.

Terlebih lagi kita bertemu di tempat ini, swalayan mini yang buka 24 jam. Tempatnya para penulis lepas bergadang, mengejar tenggat demi transferan di rekening. Kopi botolan dan kudapan ringan yang kau bawa semakin menguatkan tebakanku tentang siapa dirimu.

Eh... Kau melirik, lalu mengangkat sebelah alismu. Sapaan buatku yang lancang menatapmu lebih dari sepuluh detik. Sungguh memalukan.

Bukannya membalas sapaanmu, aku malah tunduk. Pura-pura tak lihat. Sungguh. Aku. Malu.

***

Penulis Lepas! Kepalaku berdenting. Setiap bertemu orang yang memakai kaos berwarna muram, jins belel yang sobek di lutut, dan tampang bantal, kepalaku langsung berdenting seperti sekarang ini. Mungkin juga karena tempat ini. Swalayan mini yang buka 24 jam biasanya adalah tempat tongkrongan mahasiswa semester awal mengerjakan tugas, atau mahasiswa akhir mengerjakan revisi bab dua skripsinya, dan makhluk seperti kita: penulis lepas yang dikejar tenggat.Walaupun yang terlihat di atas mejamu adalah bir dengan nol alkohol, tapi garis hitam di bawah matamu menunjukkan seberapa banyak kafein yang telah kau sedu dengan air hangat. Semakin meyakinkanku tentang siapa dirimu.

Denting di kepalaku semakin kencang saat ekor mata ini menangkap lirikan lancangmu. Dari sepuluh detik lalu, kau tanpa sadar memandangiku.

Iseng, kuangkat saja alis kiriku sambil membalas pandanganmu. Hitung-hitung sapaan buat rekan senasib. Tapi kau malah tunduk, malu, mungkin. Darah naik ke pipimu, membuatnya bersemu merah. Lucu. 

Tampangmu lucu. Apa aku kerjain sekalian saja?

Aku sengaja pindah meja, duduk di kursi kosong di kirimu. Lalu bilang, "Penulis lepas, kan?"

Sengaja pakai 'kan', karena sesungguhnya yang barusan hanya pertanyaan retorik.

***

Eh... Eh... Kau kok malah pindah meja? Kok jadi duduk di kursi kosong di kiriku?

Dan dengan senyum jail kau malah lancang bertanya padaku yang asing ini, "Penulis lepas, kan?" Sengaja pakai 'kan', seolah-olah melemparkan pertanyaan retorik.

Aku mengernyitkan dahi. Pasang muka terganggu. Pura-pura terganggu. Tapi aktingku hanya sebatas ekspresi saja, tak keluar melalui dialog. Sejujurnya aku gugup, mendadak aku sadar kalau kau bukan penulis lepas biasa. Wajahmu terlihat tampan dari jarak segini. Kau penulis lepas yang tampan! Dan mungkin saja kau itu penulis lepas-tampan yang cenayang juga.

"Hei, kau penulis lepas, kan?"

Eh, ternyata itu bukan pertanyaan retorik ya? "Tahu dari mana?"

Kau hanya tersenyum. Lantas menenggak kopi botolanmu.

***

Wajahmu makin merah. Makin lucu saat aku sudah duduk. Kau mengernyitkan dahi. Pasang muka terganggu. Atau pura-pura terganggu? Tapi aktingmu hanya sebatas ekspresi saja, tak ada dialog yang keluar. Kelihatan sekali gugup. Kau kelihatannya sadar sesuatu. Kenapa? Wajahku tampan? Atau kau mulai berpikir kalau aku cenayang?

Daripada kau diam saja, maka kutanyakam sekali lagi pertanyaan retorik tadi, "Hei, kau penulis lepas, kan?"
Kau mulai ragu kalau itu tadi retorik belaka, maka kau sahut dengan, "Tahu dari mana?"

***

Setelah ada jeda sejenak, kau mulai cerita. Kau memulainya dengan sebuah tanya, "Percaya takdir, tidak? Mungkinkah dua orang berbeda, yang tak pernah jumpa bisa punya pikiran yang sama? Seolah-olah pikiran mereka adalah kembar identik?"

Oke, itu tadi bukan satu pertanyaan. Itu tiga. Tapi jawabannya kan cuma satu: bisa saja iya, tidak, atau mungkin. Tapi aku memilih menjawab: tidak. Kau diam, tapi seperti ingin mendengar argumen dari alasanku. Maka aku berargumen. Setelah mendengarnya, kau bilang "Coba kau tuliskan kronologi pertemuan kita tadi. Lengkap dengan seluruh pikiran yang berkecamuk di sana," kau menunjuk kepalaku. "Aku juga tuliskan hal sama di laptop bututku," tambahmu seraya tersenyum. Anehnya, aku merasa ada yang ganjil di senyummu; dan di wajah tampanmu yang kelewat tampan tiap detik berdetak. Sayangnya, kelak baru kusadari alasannya.

Lima belas menit berlalu. Kau sudah selesai duluan menulis. Aku kebanyakan gugup. Tapi saat aku selesai dan kita bertukar laptop untuk membaca tulisan masing-masing, aku kaget kepalang alang. Mungkinkah ada manusia yang pikirannya kembar identik?

Tapi mendadak bulu-bulu di tengkuk leherku meremang hebat. Mungkin karena senyummu. Senyum yang memperlihatkan gigi-gigi taringmu bertumbuh cepat.


Sekarang kau bertanya, "Percaya kalau vampir itu ada?"