Hari ini Dedee, salah
seorang rekan kerja Alex di firma, mengadakan pesta kecil-kecilan di apartemen
mewahnya di kawasan Upper East Side, Manhattan, NYC. Dedee dan Sonya,
pasangannya, baru saja dikaruniai seorang putri setelah delapan tahun
pertunangan mereka. Dan rencananya bulan depan mereka akan menggelar pesta
pernikahan di pantai Miami.
Alex sangat semangat untuk menghadiri pesta itu. Maklum
saja, dia dan Dedee sudah bersahabat sejak aku belum hadir di kehidupan Alex.
Kebahagiaan Dedee yang baru mendapatkan
putri pertama seolah menular pada sahabat kentalnya itu. Alex bahkan sempat
pusing memilih kado untuk Lidya, si bayi imut yang sedang menangis di
gendonganku.
“Sonya, bisa bantu aku? Lidya sepertinya tidak suka
parfumku,” candaku sembari menyerahkan malaikat kecil itu kembali ke gendongan
ibunya.
“Sayang sekali, Honey. Padahal perfume Auntie
Rizky itu perfume yang mahal,” ujar Sonya membalas candaku dengan bahasa
Inggrisnya yang kental aksen Rumania—dan selalu tidak tepat mengeja namaku.
“Bisa pinjam Sonya dan malaikat ini sebentar, Rizky?”
tiba-tiba Dedee sudah ada di depanku, di sebelah isterinya. Ia tersenyum—dan
seperti Sonya, tidak fasih menyebutkan namaku. Lebih terdengar seperti Ræiski
ketimbang Rizky.
Kemudian keluarga kecil itu menjauh beberapa langkah
dariku. Ternyata mereka punya tamu lain yang harus ditemui. Dengan bangga Dedee
dan Sonya memamerkan putri mereka pada Fred Johnson, pemilik Firma tempat Dedee
dan Alex bekerja sebagai pengacara. Sepasang ayah-ibu muda itu terus saja tersenyum
di sela perbincangan mereka dengan si Bos Besar. Terlalu bahagia dibuat bayi
pertama mereka.
Mendadak spektrum aneh mengalir di sekujur tubuhku.
Spektrum yang dikenali tubuhku sebagai sensasi kecemburuan. Tapi aku tidak tahu
untuk apa kecemburuan ini? Mungkinkah aku cemburu pada Sonya yang sedang
menggendong bayinya sendiri? Benarkah aku cemburu untuk menjadi seorang Ibu?
“Rizky?” seseorang menegurku—dengan pelafalan tepat dan
fasih, dan satu-satunya yang bisa begitu hanyalah...
“Ya, Alex?”
“Bisa kemari sebentar? Ada yang mau kukenalkan,” ujarnya
dengan senyum lebar. “Ini Mr. Younghusband, George Younghusband, beliau adalah
rekanan kerja Firma kami. Advokat paling disegani di Negara Bagian ini,” tambah
Alex setibanya aku di sampingnya.
Pria setengah baya dengan rambut keperakan di depan kami
tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya untuk berjabat denganku. “Nice to
meet you, Ms.?”
“Kumalasari, Rizky Kumalasari,” ucapku tegas. Fasih
dengan ejaan bahasa Indonesia yang tepat. “Nice to meet you too, Mr.
Younghusband.”
“Owh,
what a beautiful name. Where do you come from, Beautiful Lady?”
tanya pak tua itu lagi. Masih dengan senyum ramah.
“I’m
from Indonesia, Sir.”
“Indonesia?
Sorry?”
Aku
selalu benci bagian ini. Kenapa orang-orang dari negeri ini selalu bingung saat
aku menjelaskan dari mana asalku. Apa mereka tidak memelajari peta di bangku
sekolah dasar—maksudku Elementary School?
“Do
you know Bali, Sir?” Alex menyadari kegusaranku, dan dia mengambilalih
perbincangan.
“Yes.
Oh, I see! Indonesia is a part of Bali, right?”
“No!
No!” Alex tak bisa menahan tawanya, tapi aku tidak menemukan bagian lucu
dari kebodohan pria tua di depanku ini. “Bali is a part of Indonesia, that’s
the correct.”
Lalu
mereka berdua tertawa. Menertawakan keeksistensian negeriku yang malang. Jelas
sudah kalau Bali lebih tenar daripada Indonesia. Menyedihkan!
“Omong-omong,
Pak, Rizky ini adalah isteri saya.” Alex memotong tawa mereka dengan pernyataan
yang tampaknya sangat mengejutkan Younghusband.
Tapi,
siapa pun akan terkejut jika mendengar kalimat itu untuk pertama kali. Siapa
yang tidak terkejut kalau melihat dua wanita muda dengan gaun summer
mengaku sebagai sepasang suami-istri di sebuah pesta kecil begini. Jadi
keterkejutan Younghusband sama sekali tidak melukai perasaanku, dan aku yakin
begitu juga dengan Alex.
“Kalian
berdua sudah menikah?” tanyanya masih dengan mata terbelalak, seperti sedang
menelan biji durian—durian? Ya, aku rindu buah itu—bulat-bulat.
“Ya,
Pak,”sahutku dengan senyum sinis, lalu merangkul hangat pinggul Alex. Rasanya
senang sekali melihat mata mendeliknya itu. Siapa suruh tadi menertawakan Tanah
Airku?
“Ohh.”
Dia hanya bisa melenguh panjang.
Dan
aku tidak bisa menahan tawaku melihat ekspresinya. Bahkan aku terus tertawa hingga
pesta itu selesai. Senang sekali melihat
orang-yang-telah-mengolok-olok-negeriku menderita.
“Jangan
tertawa terus, Sayang. Jangan jahat begitu pada Pak Tua tadi,” ujar Alex ketika
melihatku masih tertawa saat baru keluar dari kamar mandi di kamar tidur kami.
“Siapa
suruh mengolok-olok negeriku begitu? Indonesia itu negeri yang hebat tau? Kaya
Sumber Daya Alam berkualitas dan satu-satunya negara dengan penduduk muslim
terbanyak yang berhasil menerapkan sistem Demokrasi dengan nilai A plus...”
“Kan
mulai lagi deh. Kalau semangat nasionalismenya sudah kebakar gini, pasti jadi
orator yang andal,” potong Alex melihatku terus mengoceh.
“Kesal
juga dibuat bapak tadi,” gerutuku.
“Sudah,
jangan dipikir lagi. Kemari saja.” Alex menepuk-nepuk sisi ranjang di sebelahnya.
Mengisyaratkan padaku untuk segera merangsak di tempat tidur.
“Tapi
Lex, I think Younghusband has crush on you sebelum dia tahu kalau
kita suami-istri,” kataku dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang
separo-separo. Walaupun tidak begitu fasih, tapi Alex ngerti bahasa Indonesia
sedikit-sedikit. Hasil bimbinganku bertahun-tahun.
“Jangan
mulai deh. Tahu kan kalau aku malas banget sama perbincangan yang mengarah ke
sini begini.” Alex menutup mukanya dengan bantal.
“Tapi
serius deh. Siapa sih yang bisa nolak kharisma kamu?”
“Oh,
please Rizky. Yang cantik itu kamu. Semua cewek-cewek di kantor aku
selalu jealous sama kulit kuninng-tropis kamu, rambut hitam kamu yang
asli hitam seratus persen, bukan hasil cat kimia kayak mereka. Mata hitam kamu
juga bikin semua orang makin cemburu kan? Mereka malah harus pakai kontak lensa
untuk bisa begitu.”
“Itu
kan cewek-cewek di sini aja yang nggak pernah puas sama penampilan mereka. Udah
syukur punya kulit putih yang bakal balik putih nggak peduli dibakar di UV
sampai dua ribu Fahreinhet, malah mau kulit cokelat kayak orang Asia. Sama tuh,
kayak cewek-cewek di Indonesia yang mati-matian mau mutihin kulitnya. Coba
mereka tinggal di sini pasti bakal lebih pede-an dikit...”
“Loh?
Loh? Tadi ngomel-ngomel bela-in Indonesia, kenapa sekarang malah jelek-jelekin
begitu.”
Aku
malah tertawa mendengar kalimat terakhir Alex. “Aku baru kali ini dengar bule
ngomong Loh? Loh? pake aksen British lagi. Lucu banget sih kamu sayang.” Aku
terus tertawa sambil mengacak-acak rambut panjang Alex.
“Please
don’t ma hair, Rizky!” Alex bangkit dari pembaringannya dan mengambil
guling untuk menyerangku.
Untuk
beberapa menit kami terlibat pertarungan lempar-lemparan-guling yang sengit.
Tapi seperti di pertarungan apa pun, aku selalu mengalah pada Alex. Dan dia
selalu keluar jadi pemenangnya.
“Lex,
kamu lihat tidak kalau Dedee dan Sonya tadi gembira banget?” tanyaku saat kami
berdua sudah tergeletak lemas di atas ranjang setelah pertarungan
lempar-lemparan-bantal.
“Tentu.
Dedee sudah mengharapkan Lidya selama bertahun-tahun. Akhirnya anak itu muncul
juga,” jawabnya lirih, masih tersengal-sengal karena napas.
“Lex...”
“Ya?”
“Kau
mau anak juga tidak?”
Sepersekian
detik kemudian Alex bangkit untuk duduk secepat kilat. “Apa?”
“Kubilang,
kau mau punya anak juga tidak?”
Lalu
dia tertawa. “Kamu ini ngomong apa sih, Rizky? Kita ini pasangan lesbian.
Gimana caranya punya anak?”
“Itu
yang sudah kupikirkan dari tadi.” aku juga ikut bangkit, bersandar pada
sandaran kasur seperti yang sedang Alex lakukan.
“Sudah?
Apa maksudnya sudah?”
“Sebenarnya
aku terus memikirkan hal ini setelah melihat bayi Dedee tadi. Bayi itu
sepertinya menggodaku untuk mengikuti jejak ibunya. Aku sepertinya juga ingin
mengandung anakku sendiri.” Kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku. Aku
bahkan belum sempat memikirkannya.
“Tapi
bagaimana caranya?”
“Kita
melakukan bayi tabung?”
“Lalu
siapa ayahnya? Kau juga ingin mencari donor? Apa kau mau kita punya anak dari
pria-entah-siapa?” raut wajah Alex mendadak berubah serius.
“Kita
bisa mencarinya pelan-pelan. Tidak perlu terburu-buru.”
“Tapi...”
perkataannya terpotong. “Sebaiknya kita tidur saja dulu. Besok kita bicarakan
lagi.” Alex menurunkan bantal yang menjadi sanggahan kepalanya. Kemudian
berputar sembilan puluh derajat untuk tidur membelakangiku.
“Kuharap
kau benar-benar memikirkannya, Lex. Karena aku benar-benar merindukan seorang
anak.”
Itu
perkataan terakhirku pada Alex sejak lima hari lalu. Dan selama itu pula kami
berdua saling diam tanpa menyapa.
Aku
paham betul dengan sifat dan tabiat Alex. Dia sengaja mendiamkanku agar aku
bosan sendiri dan menyerah pada permintaanku tempo hari. Dia paham betul kalau
aku sangat mencintainya dan dia sangat pintar memanfaatkan fakta itu.
Tapi
aku tidak mau menyerah. Aku benar-benar sudah sampai pada keputusan bulat untuk
segera memiliki anak dari rahimku sendiri. Tak peduli bagaimana caranya, apa
pun tantangannya, aku benar-benar sudah yakin.
Aku
memang seorang lesbian—wanita yang lebih menyukai dada penuh dalam bra,
daripada dada bidang pria seksi—tapi fakta itu tidak bisa mematahkan bahwa aku
adalah seorang wanita. Dan wanita punya naluri untuk menjadi Ibu. Seharusnya
Alex memahami hal itu, bukannya mendiamkanku agar melupakan permintaan ini.
“Bisa
tolong pasangkan dasiku, Rizz?” Billy mendadak muncul dari balik pintu ruang
kerjaku, menguar pelan seraya memegang dasi kupu-kupu merah yang terlilit—tidak
rapi—di lehernya.
Aku
beringsut berdiri dari kursiku untuk membenahi dasi pemuda Eropa dua puluh
delapan tahun di depanku. Billy Guillio adalah rekan kerja sekaligus sahabat
karibku di perusahaan M-Magazine. Kami berdua adalah Chief Editor
di majalah Fashion ini. “Ada meeting ya?”
“Yup.
Aku harus bertemu dengan Salome Rodriguez-si nenek sihir itu. Perusahaannya kan
sedang mempersiapkan Pekan Fashion untuk minggu depan. Aku kebagian tugas
mengulas hasil wawancaranya dengan Gemma. Hanya sekadar mengecek. Jangan
khwatir. Tapi sepertinya kau bukan sedang khawatir padaku. What’s on your
mind, Darling? Masalah rumah tangga?” dia tersenyum.
“Begitulah,”
ujarku sambil mengencangkan dasinya—sentuhan terakhir untuk membuat dia tampil perfecto.
“Alex dan aku masih puasa bicara.” Aku tidak bisa—tidak pernah
bisa—menyembunyikan perasaanku saat di depan Billy. Dia manusia paling kucintai
setelah Alex dan Almarhum kedua orangtuaku.
“Sejak
lima hari lalu? Oh yang benar saja. Sepertinya ini perang paling berat yang
pernah kalian alami. Apa aku sekarang boleh tahu masalah BESAR apa yang sedang
kalian hadapi?” Billy bertingkah melebih-lebihkan saat mengucapkan kata besar.
“Alex
tidak menyetujui gagasanku untuk punya anak.”
“What?
Kau mau punya anak?”
“Kenapa?
Kau juga menganggapku gila?”
“Tidak,
tentu tidak, Sayang.” Billy mengusap-usap pundakku. “Kukira ini sangat
tiba-tiba. Dan sebenarnya...”
Mendadak
suasana hening. Billy membuat jeda.
“Dan
sebenarnya apa?”
“Sebenarnya
aku dan Amos juga punya masalah yang sama.”
“Amos?
Pacar barumu itu? Apa maksudmu dengan masalah yang sama?”
Tanpa
sadar aku dan Billy mengambil tempat di sofa marun di salah satu sudut ruang
kerjaku ini. Semakin serius dengan perbincangan kami.
“Aku
juga sudah mengajukan gagasanku untuk punya anak dengannya—tentu dengan bayi
tabung atau paling buruk dengan adopsi,” buru-buru ia menambahkan sebelum aku
sempat memotong. “Tapi menurutnya itu hal yang aneh. Atau dengan kata lain dia
tidak siap—setidaknya begitu yang kulihat darinya.”
“Bukannya
terlalu cepat untuk memutuskan begitu? Maksudku, kalian kan baru jadian dua
bulan, dan kau sudah memutuskan untuk punya anak dengan dia? Aku saja belum
bertemu dengannya, Bill.”
“Itu
juga yang menjadi bahan pertimbanganku. Mungkin dia benar-benar belum siap.
Lalu apa alasan Alex?”
Aku
terdiam. Tak berani mengungkapkannya bahkan dalam pikiranku sendiri. Pertanyaan
Billy tadi terus menghantuiku sepanjang hari ini, sampai sekarang, saat aku
berbaring santai di depan televisi.
Alex
bilang dia tidak mau punya anak dari pria-entah-siapa. Itu berarti dia tidak
ingin merawat anak orang lain—dengan kata lain menolak cara “Adopsi”.
Namun
di sisi lain, alasan itu menguatkanku untuk mengandung sendiri bayiku nanti.
Tapi tetap saja aku butuh sperma seorang pria untuk bisa punya anak.
Dan
sepertinya di situ masalah utamanya. Tidak mungkin aku harus tidur dengan
seorang pria hanya untuk mewujudkan impianku ini? Apa aku harus mengubur mimpi
ini? Sepertinya Tuhan memang hanya ingin aku bahagia dengan Alex, tanpa
tambahan putra atau putri.
Alex
saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membuatku bahagia sampai akhir
hayat, dan dengan rakusnya aku berharap lebih pada Tuhan?
Aku
benar-benar egois! Alex benar, aku juga harus mengalah padanya kali ini!
“Rizky?”
Alex pulang. Terdengar suara pintu tertutup beberapa detik setelah suaranya
bergaung.
“Alex
ada yang harus kubicarakan padamu.” Aku menghampirinya yang masih sibuk
melepaskan high heels di ruang depan apartemen ini.
“Aku
dulu.” Dia memotong, dan langsung memasang wajah serius. “First, aku
minta maaf karena mendiamkan kamu selama hampir sisa pekan ini. Aku minta maaf
karena bertingkah kekanak-kanakan. Dan kedua, aku setuju dengan gagasanmu untuk
punya anak.”
Aku
tercengang. Hampir menganga. Apa aku tidak salah dengar barusan? Aku hampir
saja menyerah pada Alex di detik-detik terakhir. Tapi malah dia yang mengalah
lebih dulu.
Aku
tersenyum, ternyata begini rasanya menang perdebatan dari pasanganmu? Tidak
buruk! “Lanjutkan,” kataku.
“Tapi
dengan banyak syarat,” tambah Alex.
Alisku
naik mengkerut, “Bisa sebutkan satu per satu?”
“Pertama
aku tidak mau ada adopsi. Terlalu ribet dan berisiko, kita tidak pernah tahu
anak siapa yang kelak akan kita rawat. Mungkin saja ayahnya adalah serial
killer yang sedang jadi buronan. Atau ibunya adalah orang gila yang punya
penyakit diabetes keturunan.” Alex tersenyum, berharap aku juga tersenyum
mendengar leluconnya. Tapi aku tidak. Penjelasannya tadi terdengar terlalu
menyeramkan untuk ditertawai. “Alasan pertama tadi mengharuskan salah satu di
antara kita untuk mengandung anak kita sendiri. Dan seperti yang kauketahui,
aku sudah tidak punya rahim karena kanker dua tahun lalu. Itu berarti anak kita
nanti akan lahir dari rahimmu.”
“Lalu
bagaimana dengan sperma-nya?” aku tidak mau menyebutkan kata ‘ayahnya’. Mungkin
kata itu berpotensi untuk mengubah pikiran Alex.
“Kedua
aku tidak ingin ada bayi tabung. Terlalu bahaya. Bisa saja pria yang menjadi
donor kita adalah serial killer yang telah membuang anaknya di panti
asuhan. Jadi bayi tabung dicoret.” Dia lagi-lagi tersenyum. Masih menganggap
yang dikatakannya barusan adalah lelucon yang cukup lucu. Tapi aku tetap
bergeming. Masih belum paham kemana hilir pembicaraan ini.
“Jadi
mau tidak mau, kita sendiri yang harus mencari donornya. Dan aku mau aku yang
memilih pria itu,” ada jeda yang cukup lama. “Bagaimana?”
“Tunggu
dulu. Let me straight this, kamu mau aku tidur dengan pria lain?” dahiku
makin mengkerut. Aku tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Alex.
bisa-bisanya dia menyuruhku untuk selingkuh?
“Kasarnya
begitu.” Dia mendekat, mulai sadar kalau aku hampir meledak marah. “Tapi
seperti yang kita berdua ketahui, kalau kamu dan aku lebih tertarik pada
Kristen Stewart daripada R-Patz. Jadi kalau sama si Vampir paling tampan di
dunia saja kita tidak tertarik, bagaimana kau bisa tertarik dengan pria yang
bakal kupilih.”
Alex
sudah ada di sampingku, melingkarkan tangannya di pundakku.
Tapi
bila dipikir-pikir, Alex ada benarnya juga. Aku lebih bergairah melihat Kristen
Stewart dan Dakota Fanning di Runaway daripada pria manapun, termasuk Johnny
Depp atau Lukman Sardi, aktor favoritku. Jadi, kenapa harus khawatir terjadi
sesuatu?
“Dan
ada kabar baik lainnya,” tambah Alex di antara kesunyian.
“Kabar
baik? Apa itu?” aku menatapnya penasaran.
“Mr.
Younghusband akan datang untuk makan malam nanti, jadi kita akan memasak atau
pesan delivery saja?”
“Apa?
Siapa yang kaubilang mau datang? Mr. Younghusband? Pria tua di pesta Dedee
kemarin?”
“Tenang
saja. Aku juga tidak mau punya anak dari pria setua dia kok. Ini Mr.
Younghusband yang lain. Masa kau tidak percaya denganku sih?” Alex merangkul
erat pinggulku. Berusaha untuk menstabilkan keadaan kembali.
“Baiklah,
aku akan memasak untuk calon ayah dari anakku. Tapi awas kalau dia bukan pria
muda tampan, pintar dan kaya. Aku akan menendangnya saat dia berani
menyentuhku,” ancamku penuh unsur humor. Dan berhasil membuat Alex tertawa.
“Tenang
saja. Dia kualitas pertama. Tampan, pintar, kaya, muda, berbakat, dan yang
jelas tidak punya dada Pamela Anderson atau Julia Perez, jadi dia aman untuk
konsumsimu,” jelas Alex, membuat kami berdua semakin tergelak.
Satu
jam kemudian, pria yang dimaksud Alex datang. Dan Alex benar tentang
perawakannya. Mr. Younghusband adalah pria muda, tinggi dan tampan. Seratus
persen Kaukasia dengan mata bitu safir yang cukup menarik perhatian. Tapi bukan
tipikal orang yang akan langsung menarik perhatianmu di kerumunan orang-orang.
Dia juga punya tubuh yang ideal. Sudah jelas pintar dengan gelar Ph.D-nya. Dan
bekerja sebagai Dokter Ginekologi.
“Masakanmu
benar-benar enak, Ms. Kumalasari. Apa tadi namanya?” tanya Younghusband di
tengah acara makan malam ini.
“Pecel.
Itu makanan khas dari Jawa, Indonesia.” Aku sengaja tidak menyebut Jawa dengan
sebutan Java. Mengetes kemampuan geografi sekaligus pengetahuan umumnya.
“Oh,
I see. Jawa! I’ve been there for three years. Indonesia memang
negeri yang indah.” Aku terkejut dengan
kalimat terakhirnya. Ternyata dia bisa berbahasa Indonesia dengan pelafalan
yang cukup fasih. Aku semakin tertarik dengan sosoknya—maksudnya bukan tertarik
seperti aku tertarik pada Alex, sebenarnya lebih kepada kagum.
“Mmmh...
Mr. Yonghusband, sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan pada Anda,” cetusku
tiba-tiba. Memang ada satu pertanyaan yang dari tadi mengganjal ulu hatiku.
“Apa
itu, Ms Kumalasari?”
“Kenapa
Anda menerima tawaran Alex untuk menjadi donor kami? Seperti yang kau ketahui,
kami berdua kan gay. Apa kau tidak keberatan kalau anakmu nanti punya seorang
Ibu lesbian?”
Mendadak
suasana mencekam. Pandangan Younghusband dan Alex tersedot ke arahku. Mereka
mungkin benar-benar tidak menduga kalau pertanyaan itu akan keluar.
Tapi
suasana itu tiba-tiba dipecahkan dengan tawa rendah dari Younghusband.
“Memangnya kenapa kalau punya seorang Ibu lesbian? Bagaimanapun si Ibu, dia
tetap perempuan yang melahirkan anak saya nantinya. Anak memang karunia terindah
bagi para orangtua. Begitu pula harga seorang Ibu. Ibu adalah karunia terindah
yang pernah dimiliki seorang anak, benar tidak?”
Kurasa
jawabannya cukup bagus. Bila kelak anakku malu karena punya dua orang Ibu
lesbian, kurasa cepat atau lambat dia dan dunia akan sadar kalau kami tidak
pernah mau menjadi seperti ini. Tuhan selalu punya rencana khusus untuk setiap
hamba-Nya. Dan setiap bayi di dunia ini pasti tidak terlahir dengan niat
menjadi penyuka sesama jenis setelah dia dewasa nanti.
“Lagipula,
aku juga seorang gay—homoseksual. Bila anakku keberatan dengan Ibunya yang lesibian, berarti dia juga harus
keberatan karena punya seorang ayah gay.” Younghusband masih tertawa.
Apa?
What the hell is this? Younghusband seorang gay? Apa Alex gila? Anakku nanti
pasti sudah sangat tertekan karena punya dua Ibu lesbian. Dan masih harus
ditambah dengan fakta bahwa ayahnya—ayah kandungnya—ayah biologisnya adalah
seorang gay?
Oh
yang benar saja!
Sebaiknya
aku membatalkan rencana ini. Tanpa anak sepertinya jauh lebih baik.