Friday, November 6, 2015

  |   No comments   |  

Ibu



Kali ini saya ingin menulis tentang Ibu. Soalnya, seumur-umur blog ini ada, kerjaan saya cuma puja-puji orang yang saya taksir: yang mikirin perasaan saya saja belum tentu, apalagi mikirin saya sudah makan apa belum siang ini. Beda dengan orang yang ingin saya ceritakan kali ini. Dia satu-satunya perempuan di dunia ini yang paling peduli dengan eksistensi saya, bahkan lebih peduli ketimbang saya sendiri. Saya panggil dia, Ibu.



***
Belakangan, Ibu setiap hari telepon. Kalaupun kadang tidak saya angkat dan jadi satu atau lima panggilan tak terjawab, dia akan sms. Tanya kabar asam lambung saya. Maklum, beberapa hari lalu saya kena tifus, selain selalu lemas, efeknya perut saya sakit terus karena asam lambung yang juga ikut bikin repot. Belum pulih benar, saya ngotot untuk balik ke kontrakan karena ada beberapa kerjaan yang memang tidak bisa ditinggal.

Duh, kok kesannya metropop sekali hidup bujang ini ya. Tapi, ya kadang hidup ini memang ikut-ikutan drama macam novel metropop yang dipajang di Gramedia.

Tapi sesungguhnya, Ibu adalah salah satu drama paling drama yang Tuhan berikan di hidup saya yang singkat ini. Dia adalah salah satu alasan kenapa saya sentimental terhadap hidup yang kepalang saya pandang sinis.

“Apa sih kelakuan Ibu yang enggak kau anggap drama, Dam?” tiba-tiba kalimat yang sering Ibu katakan ini terlintas di kepala saya; persis dengan suara bosan khasnya saat bilang kalimat rengekan ini.

Ya, begitulah hubungan kami. Saya akan selalu jujur pada Ibu. Bahkan jika saya tak suka dengan sikap perhatiannya yang sebenarnya mungkin tak berlebihan bagi orang lain, selain saya. Kami di rumah saja menyebutnya sebagai Drama Queen, julukan yang sebenarnya berasal dari saya, anaknya yang paling kurang ajar, yang kemudian diamalkan sebagai panggilan sehari-hari oleh adik-adik saya yang tak kalah kurang ajar.

Kasihan benar Ibu. Memang.

Padahal kalau dipikir-pikir, ia cuma menjalankan pekerjaannya sebagai Ibu. Bukankah seorang Ibu memang harus bawel, bising, dan ribet terkait semua hal tentang anak-anaknya? Mulai dari kesehatan, pergaulan, sampai perkara iman.

Ibu memang orang yang paling bising mengingatkan saya ini-itu. “Jangan tinggalkan salat!”, “Sudah makan belum?”, “Obatmu masih ada?”, “Paspormu simpan di map tempat ijazahmu saja!”, “Jangan begadang terus!”, “Sudah bolos kerja saja hari ini, pulang dulu ke rumah.” Ibu memang bisa bawel tentang apa saja. Tapi yang dilakukannya selalu sesuai porsi, dan itu yang membuat saya makin cinta pada Ibu.

Ibu sebenarnya tidak termasuk salah satu orang yang mengenal baik diri saya. Memang, tak banyak orang yang tahu saya ini sebenarnya bagaimana, sederhananya, tak banyak orang tau apa yang saya sukai dan tidak. Sesungguhnya saya tak peduli itu, tapi saya harus bilang kalau Ibu memang tidak terlalu kenal saya, anak pertamanya. Ia tak banyak tahu tentang siapa teman saya, dengan siapa saya sering menghabiskan waktu, dan bagimananya. Dan itu sama sekali bukan salahnya.

Bukan berarti Ibu tak perhatian pada anaknya, tapi saya yang membiasakannya begitu. Saya memang sangat mencintai privasi, dan membutuhkannya untuk tetap hidup seimbang. Ibu yang sebenarnya sangat paranoia lama-kelamaan menerima sikap alamiah saya ini dan berhasil mengimbangi saya. Feedback-nya? Saya akan selalu jujur pada Ibu. Tak ada rahasia di antara kami. Dia bisa bertanya apa saja tentang saya, dan akan saya jawab jujur selama pertanyaan itu tidak terlalu jauh masuk ke ruang privasi.

Ibu tahu kalau saya memang jarang salat dan meragukan fungsi institusi agama, padahal Ibu sangat teguh pada agamanya. Ibu tahu kalau saya tidak mau menikah, meskipun dia selalu bilang dengan santai, “Enggak usah takabur,” tiap kali saya bilang begitu. Dan dia tahu kalau saya orang yang terbuka dengan isu kemanusian, seperti LGBT, konflik agama, dan semacamnya.

Padahal, Ibu bukan aktivis yang mengerti arti sekularisme, agnostik, HAM dan lainnya. Makan bangku kuliahan saja ia tidak. Dia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang sangat teguh pada imannya terhadap Islam, sehingga seperti Sunni lainnya, ia menganggap tidak percaya kepada agama adalah perbuatan sesat, mendukung LGBT akan dipanggang di neraka, membela orang berbeda agama akan dilaknat Allah, tidak salat akan mendapat siksa kubur, dan Amerika adalah kiblat para kafir. Yang bikin saya bangga atas sikap Ibu itu adalah, karena sesungguhnya ia tidak terlalu mengerti apa pun itu yang saya sebutkan di atas. Tapi ia tetap menjadi Ibu bagi saya.

Ia tetaplah perempuan yang paling peduli pada seorang manusia kurang ajar seperti saya; yang bersikap seolah lebih pintar dari orang tuanya dan lebih banyak memilih pikiran-pikiran berbeda dari apa yang telah mereka ajarkan padanya sejak kecil.

Ibu tetaplah orang yang paling mencintai saya, bagaimanapun bentuk saya setelah ditempa hidup yang fana ini.


P.s Ibu tetap selalu jadi orang yang mengetuk kamar saya tiap subuh kalau saya menginap di rumah, untuk membangunkan saya supaya salat. Tapi ia juga orang yang akan membiarkan saya tidur, kalau saya mengeluh kelelahan dan butuh tidur dengan suara mengkek. Meskipun, ia juga orang yang akan marah-marah besok paginya, saat sarapan, karena saya lebih memilih lanjut tidur ketimbang salat subuh.

Thursday, November 5, 2015

  |   1 comment   |  

Perbincangan dengan Diam (Pt. I)

P.s. perbincangan di bawah sedikit banyak akan mengungkapkan siapa sebenarnya kau, Diam. Maaf kalau aku belum sempat bilang padamu langsung, bahwa kau adalah Diam.

Latar: sebuah kafe sederhana yang menyediakan menu terjangkau. Suasananya tidak terlalu ramai, pun tidak terlalu sepi. Cukup tenang untuk kita berdua yang introvert. Saat itu senja hampir malam.

Tokoh: aku dan kau, Diam.

***



Aku: sudah lama? (Telat datang dengan tampang gugup yang sukar disembunyikan)

Kau: tidak juga. (Tampangmu berusaha lurus-lurus saja, tapi aku berhasil menangkap sebaris ekspresi salah tingkah yang lewat).

Ada jeda saat aku ambil kursi dan duduk di sampingmu. Aku sengaja tak ambil kursi di depanmu, takut menghadapi tatapan langsung dengan matamu. Kita sama-sama bersiap diri, mencoba tidak terlihat salah tingkah. Mencoba menutupi kegugupan, yang sebenarnya telah menguasai atmosfer antara kita berdua.

Kau: sudah nonton ♜♔♞♝ (judul film terbaru)? (Kau berhasil duluan mengenyahkan kegugupan).

Aku: belum. Kamu sih ndak ngajak aku? (Aku berhasil melemparkan lelucon-setengah-lelucon pertamaku).

Kau: (Diam saja, bahkan tidak tersenyum. Kita berdua tahu, kau sedang membranding dirimu sebagai pribadi yang dingin).

Ada jeda lagi. Aku masih mati kutu dimakan kegugupan. Jantungku bahkan rasanya terlalu bising dengan bunyi bum-bum-bum yang membuatku makin susah fokus untuk tidak gugup.

Kau: jadi, apa yang ingin kaubilang?

Aku: (Diam. Masih mencoba mengatur ritme jantung yang berantakan).

Ada jeda lagi. Kali ini kau mengecek selulermu.

Kau: sudah. Bilang saja. Aku tau ada yang ingin kaubilang sejak lama.

Aku: apa itu?

Kau: ya mana aku tahu. Kau yang pengin bilang.

Aku: (ingin mendebat. Tapi berdebat denganmu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan saat itu). Kau sedang suka orang, tidak? (Jantungku makin tak keruan).

Kau: (menggeleng, berusaha sesantai mungkin. Tapi matamu tak bisa menyembunyikannya).

Aku: wah. Kalau aku suka kamu gimana? (Jantungku mencelos dari sangkarnya).

Kau: terus gimana? Ya aku bisa apa.

Aku: (tak tau harus beri respon apa. Jantungku sendiri berhenti dua detakan). Kau bisa jadi pacarku? (Otak dan mulutku belum seratus persen bekerja sama saat kalimat itu melompat begitu saja dari tempatnya keluar).

Kau: ya, kalau maumu begitu, ya sudah.

Ada guntur yang tiba-tiba memekakkan telingaku. Duh rasanya... Darahku mendidih. Naik semua ke pipi. Duh... Aku enggak tau seberapa merah mukaku Sekarang...


Duh...
Sebaiknya perbincangan imajiner ini tidak kulanjutkan.

Wednesday, November 4, 2015

  |   No comments   |  

Hidup Kadang Terlalu Indah




Beberapa malam ini tidur saya nyenyak. Kadang bahkan, bila beruntung, saya mendapati diri saya sedang menari-nari dalam tidur. Menari-nari secara harfiah. Tangan goyang kanan-goyang kiri, kaki gerasak-gerusuk sana-sini di tepi bawah selapis tilam busa tipis yang jadi peraduan saya tiap malam di kontrakan.

Mungkin karena terbawa suasana menggembirakan dari salah satu lagu di daftar musik saya yang terputar melalui sepasang headset. Ya, saya memang tipikal orang aneh yang selalu sumbat kuping dengan headset menyala sebelum tidur. Dari artikel-artikel kesehatan receh yang bisa dijumpai di tumpukan teratas sampah-sampah di Google, saya tahu kalau tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang bijak bagi kesehatan telinga. Tapi, dari pengalaman pribadi saya yang bebal ini, memekakkan telinga dengan musik pengantar tidur begitu sungguh bikin sehat psikologi saya. Sederhananya, batin ini tenang. Buktinya, bisa sampai menari-nari saat tidur.

Tapi, bisa saja nyenyaknya tidur saya beberapa malam ini bukan cuma karena selera musik saya yang bagus. Mungkin saja ada faktor tambahan seperti beberapa nasib baik yang belakangan sering menyambangi hidup bujang terkutuk ini; nasib-nasib baik yang belakangan juga jadi pikiran-pikiran positif, sehingga pada akhirnya mengakumulasi jadi ketenangan tersendiri bagi kalbu saya, my state of mind.

Tahun lalu, pada akhir-akhirnya, ada sebuah kejadian yang sekarang saya sadari sebagai salah satu titik balik terberat dalam hidup saya, terjadi. Kejadian itu menyadarkan saya tentang banyak hal dalam hidup; baiknya, membuat saya lebih mengenal diri sendiri. Tapi trauma yang ditimbulkan kejadian itu sungguh besar. Saya yang terbiasa berpikir tanpa dakwaan, dan cenderung ceplos-ceplos saja dalam berpikir dan bertindak mulai berubah menjadi pribadi negatif, curigaan, dan kikuk dalam berpikir. Praduga-praduga yang biasanya berbentuk negatif, menjadi basis saya dalam berpikir dan berperilaku. Itu semua semata-mata saya lakukan untuk tidak jatuh lagi, dan merasa sakit lagi sama seperti sakit yang ditimbulkan kejadian itu,

Sehingga, sejak kejadian itu hingga pertengahan tahun ini saya selalu merasa tidak tenang. Parahnya, pada beberapa sahabat saya sering bilang kalau saya kehilangan diri saya sendiri, Dan saya merindukannya. Pernahkah kau merasa kosong sekosong-kosongnya, hingga kau merasa ada sebuah lubang besar di dadamu, yang tak peduli seberapa kuatnya tanganmu mencengkram dadamu sendiri, lubang itu tetap terngaga. Dan menimbulkan sensasi sunyi dan dingin, yang usahkan kaulenyapkan, tapi hiraukan saja tak bisa.

Akibat kejadian itu, saya memang kehilangan diri sendiri. Ada banyak pola pikir baru yang muncul yang beradu dan berusaha membunuh pola-pola pikir lama saya.

Bukannya tak suka pada suatu hal yang baru, justru saya tak pernah bisa benar-benar hidup dengan sebuah kerutinan. Tapi pikiran-pikiran baru yang muncul pasca-kejadian itu sungguh-sungguh menabrak apa adanya saya yang pernah ada. Yang terjadi adalah semacam pemograman ulang otak saya. Sebab kejadian itu, saya memang kehilangan diri saya sendiri, sesuatu yang paling berharga dalam hidup saya yang singkat ini.

Mungkin beberapa teman dekat bisa merasakannya. Saya jadi jarang bertemu para alterego, jadi terlalu waras dan membosankan. Kaku, bahkan jadi lebih rewel dan sangat-sangat sensitif. Saya juga heran, betapa hebatnya dampak yang diberikan kejadian tahun lalu itu. Betapa sebuah kejadian bisa merombak banyak hal dari seseorang.

Tapi, belakangan, sejak tidur-tidur nyenyak itu kembali akrab dengan saya, semuanya terasa seperti apa ia di sedianya.

Saya tanpa sadar mulai melakukan beberapa hal yang sudah hampir setahun tidak saya lakukan. Semacam menjadi diri saya yang perfeksionis (ya, sesungguhnya sifat perfeksionis adalah sesuatu yang lahir bersama saya, seperti gen, sehingga kalau kamu pernah berdekatan dengan saya dan merasa kalau saya ini menye-menye dan orang yang santai, percayalah kamu belum mengenal saya yang sebenarnya).

Cameo dan October yang hampir setahun ini juga merajuk, beberapa hari lalu kembali datang dan menegur saya.

Pikiran-pikiran negatif itu juga lamat-lamat tergantikan pikiran-pikiran positif lagi. Saya yang rewel itu diam-diam mati kutu dibantai keindahan hidup belakangan ini. Pikiran-pikiran itu juga mengajak saya bersyukur pada rute hidup saya belakangan yang ternyata betul-betul mengasyikan. Mulai dari berjalan lancarnya proses skripsi saya (harus ada tulisan khusus untuk keberuntungan satu ini), hingga beberapa pekerjaan yang membuat saya bisa menjalankan hidup ini dengan kebahagiaan. Akhirnya, saya yang selalu merutuki apa pun yang terjadi sepanjang tahun ini, menjelang berakhirnya tahun ini, mulai mensyukuri apa pun itu yang terjadi.

Tahun ini, saya menamatkan bab hidup saya sebagai mahasiswa, berpelesir ke beberapa tempat yang saya sendiri tak pernah bayangkan, bertemu beberapa orang baru yang sungguh memperkaya batin saya, juga memperdalam perkenalan dengan diri saya sendiri. Oh ya, saya juga pergi ke luar negeri, tanpa perencanaan, dan tak terduga sama sekali. Rasanya, tombol 'mulai' sudah dipencet untuk mengaktifkan keseruan hidup singkat bujang ini!