Kali ini saya ingin menulis tentang Ibu. Soalnya,
seumur-umur blog ini ada, kerjaan saya cuma puja-puji orang yang saya taksir: yang
mikirin perasaan saya saja belum tentu, apalagi mikirin saya sudah makan apa
belum siang ini. Beda dengan orang yang ingin saya ceritakan kali ini. Dia
satu-satunya perempuan di dunia ini yang paling peduli dengan eksistensi saya,
bahkan lebih peduli ketimbang saya sendiri. Saya panggil dia, Ibu.
***
Belakangan, Ibu setiap hari telepon. Kalaupun kadang tidak
saya angkat dan jadi satu atau lima panggilan tak terjawab, dia akan sms. Tanya
kabar asam lambung saya. Maklum, beberapa hari lalu saya kena tifus, selain
selalu lemas, efeknya perut saya sakit terus karena asam lambung yang juga ikut
bikin repot. Belum pulih benar, saya ngotot untuk balik ke kontrakan karena ada
beberapa kerjaan yang memang tidak bisa ditinggal.
Duh, kok kesannya metropop sekali hidup bujang ini ya. Tapi,
ya kadang hidup ini memang ikut-ikutan drama macam novel metropop yang dipajang
di Gramedia.
Tapi sesungguhnya, Ibu adalah salah satu drama paling drama
yang Tuhan berikan di hidup saya yang singkat ini. Dia adalah salah satu alasan
kenapa saya sentimental terhadap hidup yang kepalang saya pandang sinis.
“Apa sih kelakuan Ibu yang enggak kau anggap drama, Dam?”
tiba-tiba kalimat yang sering Ibu katakan ini terlintas di kepala saya; persis
dengan suara bosan khasnya saat bilang kalimat rengekan ini.
Ya, begitulah hubungan kami. Saya akan selalu jujur pada
Ibu. Bahkan jika saya tak suka dengan sikap perhatiannya yang sebenarnya
mungkin tak berlebihan bagi orang lain, selain saya. Kami di rumah saja
menyebutnya sebagai Drama Queen, julukan yang sebenarnya berasal dari saya,
anaknya yang paling kurang ajar, yang kemudian diamalkan sebagai panggilan
sehari-hari oleh adik-adik saya yang tak kalah kurang ajar.
Kasihan benar Ibu. Memang.
Padahal kalau dipikir-pikir, ia cuma menjalankan
pekerjaannya sebagai Ibu. Bukankah seorang Ibu memang harus bawel, bising, dan
ribet terkait semua hal tentang anak-anaknya? Mulai dari kesehatan, pergaulan,
sampai perkara iman.
Ibu memang orang yang paling bising mengingatkan saya
ini-itu. “Jangan tinggalkan salat!”, “Sudah makan belum?”, “Obatmu masih ada?”,
“Paspormu simpan di map tempat ijazahmu saja!”, “Jangan begadang terus!”, “Sudah
bolos kerja saja hari ini, pulang dulu ke rumah.” Ibu memang bisa bawel tentang
apa saja. Tapi yang dilakukannya selalu sesuai porsi, dan itu yang membuat saya
makin cinta pada Ibu.
Ibu sebenarnya tidak termasuk salah satu orang yang mengenal
baik diri saya. Memang, tak banyak orang yang tahu saya ini sebenarnya
bagaimana, sederhananya, tak banyak orang tau apa yang saya sukai dan tidak. Sesungguhnya
saya tak peduli itu, tapi saya harus bilang kalau Ibu memang tidak terlalu
kenal saya, anak pertamanya. Ia tak banyak tahu tentang siapa teman saya,
dengan siapa saya sering menghabiskan waktu, dan bagimananya. Dan itu sama
sekali bukan salahnya.
Bukan berarti Ibu tak perhatian pada anaknya, tapi saya yang
membiasakannya begitu. Saya memang sangat mencintai privasi, dan membutuhkannya
untuk tetap hidup seimbang. Ibu yang sebenarnya sangat paranoia lama-kelamaan
menerima sikap alamiah saya ini dan berhasil mengimbangi saya. Feedback-nya? Saya akan selalu jujur
pada Ibu. Tak ada rahasia di antara kami. Dia bisa bertanya apa saja tentang
saya, dan akan saya jawab jujur selama pertanyaan itu tidak terlalu jauh masuk
ke ruang privasi.
Ibu tahu kalau saya memang jarang salat dan meragukan fungsi
institusi agama, padahal Ibu sangat teguh pada agamanya. Ibu tahu kalau saya
tidak mau menikah, meskipun dia selalu bilang dengan santai, “Enggak usah
takabur,” tiap kali saya bilang begitu. Dan dia tahu kalau saya orang yang
terbuka dengan isu kemanusian, seperti LGBT, konflik agama, dan semacamnya.
Padahal, Ibu bukan aktivis yang mengerti arti sekularisme, agnostik,
HAM dan lainnya. Makan bangku kuliahan saja ia tidak. Dia hanya seorang ibu
rumah tangga biasa yang sangat teguh pada imannya terhadap Islam, sehingga
seperti Sunni lainnya, ia menganggap tidak percaya kepada agama adalah perbuatan
sesat, mendukung LGBT akan dipanggang di neraka, membela orang berbeda agama
akan dilaknat Allah, tidak salat akan mendapat siksa kubur, dan Amerika adalah
kiblat para kafir. Yang bikin saya bangga atas sikap Ibu itu adalah, karena
sesungguhnya ia tidak terlalu mengerti apa pun itu yang saya sebutkan di atas. Tapi
ia tetap menjadi Ibu bagi saya.
Ia tetaplah perempuan yang paling peduli pada seorang
manusia kurang ajar seperti saya; yang bersikap seolah lebih pintar dari orang
tuanya dan lebih banyak memilih pikiran-pikiran berbeda dari apa yang telah
mereka ajarkan padanya sejak kecil.
Ibu tetaplah orang yang paling mencintai saya, bagaimanapun
bentuk saya setelah ditempa hidup yang fana ini.
P.s Ibu tetap
selalu jadi orang yang mengetuk kamar saya tiap subuh kalau saya menginap di
rumah, untuk membangunkan saya supaya salat. Tapi ia juga orang yang akan
membiarkan saya tidur, kalau saya mengeluh kelelahan dan butuh tidur dengan
suara mengkek. Meskipun, ia juga orang yang akan marah-marah besok paginya,
saat sarapan, karena saya lebih memilih lanjut tidur ketimbang salat subuh.
0 comments :
Post a Comment