Thursday, November 5, 2015

  |   1 comment   |  

Perbincangan dengan Diam (Pt. I)

P.s. perbincangan di bawah sedikit banyak akan mengungkapkan siapa sebenarnya kau, Diam. Maaf kalau aku belum sempat bilang padamu langsung, bahwa kau adalah Diam.

Latar: sebuah kafe sederhana yang menyediakan menu terjangkau. Suasananya tidak terlalu ramai, pun tidak terlalu sepi. Cukup tenang untuk kita berdua yang introvert. Saat itu senja hampir malam.

Tokoh: aku dan kau, Diam.

***



Aku: sudah lama? (Telat datang dengan tampang gugup yang sukar disembunyikan)

Kau: tidak juga. (Tampangmu berusaha lurus-lurus saja, tapi aku berhasil menangkap sebaris ekspresi salah tingkah yang lewat).

Ada jeda saat aku ambil kursi dan duduk di sampingmu. Aku sengaja tak ambil kursi di depanmu, takut menghadapi tatapan langsung dengan matamu. Kita sama-sama bersiap diri, mencoba tidak terlihat salah tingkah. Mencoba menutupi kegugupan, yang sebenarnya telah menguasai atmosfer antara kita berdua.

Kau: sudah nonton ♜♔♞♝ (judul film terbaru)? (Kau berhasil duluan mengenyahkan kegugupan).

Aku: belum. Kamu sih ndak ngajak aku? (Aku berhasil melemparkan lelucon-setengah-lelucon pertamaku).

Kau: (Diam saja, bahkan tidak tersenyum. Kita berdua tahu, kau sedang membranding dirimu sebagai pribadi yang dingin).

Ada jeda lagi. Aku masih mati kutu dimakan kegugupan. Jantungku bahkan rasanya terlalu bising dengan bunyi bum-bum-bum yang membuatku makin susah fokus untuk tidak gugup.

Kau: jadi, apa yang ingin kaubilang?

Aku: (Diam. Masih mencoba mengatur ritme jantung yang berantakan).

Ada jeda lagi. Kali ini kau mengecek selulermu.

Kau: sudah. Bilang saja. Aku tau ada yang ingin kaubilang sejak lama.

Aku: apa itu?

Kau: ya mana aku tahu. Kau yang pengin bilang.

Aku: (ingin mendebat. Tapi berdebat denganmu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan saat itu). Kau sedang suka orang, tidak? (Jantungku makin tak keruan).

Kau: (menggeleng, berusaha sesantai mungkin. Tapi matamu tak bisa menyembunyikannya).

Aku: wah. Kalau aku suka kamu gimana? (Jantungku mencelos dari sangkarnya).

Kau: terus gimana? Ya aku bisa apa.

Aku: (tak tau harus beri respon apa. Jantungku sendiri berhenti dua detakan). Kau bisa jadi pacarku? (Otak dan mulutku belum seratus persen bekerja sama saat kalimat itu melompat begitu saja dari tempatnya keluar).

Kau: ya, kalau maumu begitu, ya sudah.

Ada guntur yang tiba-tiba memekakkan telingaku. Duh rasanya... Darahku mendidih. Naik semua ke pipi. Duh... Aku enggak tau seberapa merah mukaku Sekarang...


Duh...
Sebaiknya perbincangan imajiner ini tidak kulanjutkan.

1 comment :