Wednesday, November 4, 2015

  |   No comments   |  

Hidup Kadang Terlalu Indah




Beberapa malam ini tidur saya nyenyak. Kadang bahkan, bila beruntung, saya mendapati diri saya sedang menari-nari dalam tidur. Menari-nari secara harfiah. Tangan goyang kanan-goyang kiri, kaki gerasak-gerusuk sana-sini di tepi bawah selapis tilam busa tipis yang jadi peraduan saya tiap malam di kontrakan.

Mungkin karena terbawa suasana menggembirakan dari salah satu lagu di daftar musik saya yang terputar melalui sepasang headset. Ya, saya memang tipikal orang aneh yang selalu sumbat kuping dengan headset menyala sebelum tidur. Dari artikel-artikel kesehatan receh yang bisa dijumpai di tumpukan teratas sampah-sampah di Google, saya tahu kalau tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang bijak bagi kesehatan telinga. Tapi, dari pengalaman pribadi saya yang bebal ini, memekakkan telinga dengan musik pengantar tidur begitu sungguh bikin sehat psikologi saya. Sederhananya, batin ini tenang. Buktinya, bisa sampai menari-nari saat tidur.

Tapi, bisa saja nyenyaknya tidur saya beberapa malam ini bukan cuma karena selera musik saya yang bagus. Mungkin saja ada faktor tambahan seperti beberapa nasib baik yang belakangan sering menyambangi hidup bujang terkutuk ini; nasib-nasib baik yang belakangan juga jadi pikiran-pikiran positif, sehingga pada akhirnya mengakumulasi jadi ketenangan tersendiri bagi kalbu saya, my state of mind.

Tahun lalu, pada akhir-akhirnya, ada sebuah kejadian yang sekarang saya sadari sebagai salah satu titik balik terberat dalam hidup saya, terjadi. Kejadian itu menyadarkan saya tentang banyak hal dalam hidup; baiknya, membuat saya lebih mengenal diri sendiri. Tapi trauma yang ditimbulkan kejadian itu sungguh besar. Saya yang terbiasa berpikir tanpa dakwaan, dan cenderung ceplos-ceplos saja dalam berpikir dan bertindak mulai berubah menjadi pribadi negatif, curigaan, dan kikuk dalam berpikir. Praduga-praduga yang biasanya berbentuk negatif, menjadi basis saya dalam berpikir dan berperilaku. Itu semua semata-mata saya lakukan untuk tidak jatuh lagi, dan merasa sakit lagi sama seperti sakit yang ditimbulkan kejadian itu,

Sehingga, sejak kejadian itu hingga pertengahan tahun ini saya selalu merasa tidak tenang. Parahnya, pada beberapa sahabat saya sering bilang kalau saya kehilangan diri saya sendiri, Dan saya merindukannya. Pernahkah kau merasa kosong sekosong-kosongnya, hingga kau merasa ada sebuah lubang besar di dadamu, yang tak peduli seberapa kuatnya tanganmu mencengkram dadamu sendiri, lubang itu tetap terngaga. Dan menimbulkan sensasi sunyi dan dingin, yang usahkan kaulenyapkan, tapi hiraukan saja tak bisa.

Akibat kejadian itu, saya memang kehilangan diri sendiri. Ada banyak pola pikir baru yang muncul yang beradu dan berusaha membunuh pola-pola pikir lama saya.

Bukannya tak suka pada suatu hal yang baru, justru saya tak pernah bisa benar-benar hidup dengan sebuah kerutinan. Tapi pikiran-pikiran baru yang muncul pasca-kejadian itu sungguh-sungguh menabrak apa adanya saya yang pernah ada. Yang terjadi adalah semacam pemograman ulang otak saya. Sebab kejadian itu, saya memang kehilangan diri saya sendiri, sesuatu yang paling berharga dalam hidup saya yang singkat ini.

Mungkin beberapa teman dekat bisa merasakannya. Saya jadi jarang bertemu para alterego, jadi terlalu waras dan membosankan. Kaku, bahkan jadi lebih rewel dan sangat-sangat sensitif. Saya juga heran, betapa hebatnya dampak yang diberikan kejadian tahun lalu itu. Betapa sebuah kejadian bisa merombak banyak hal dari seseorang.

Tapi, belakangan, sejak tidur-tidur nyenyak itu kembali akrab dengan saya, semuanya terasa seperti apa ia di sedianya.

Saya tanpa sadar mulai melakukan beberapa hal yang sudah hampir setahun tidak saya lakukan. Semacam menjadi diri saya yang perfeksionis (ya, sesungguhnya sifat perfeksionis adalah sesuatu yang lahir bersama saya, seperti gen, sehingga kalau kamu pernah berdekatan dengan saya dan merasa kalau saya ini menye-menye dan orang yang santai, percayalah kamu belum mengenal saya yang sebenarnya).

Cameo dan October yang hampir setahun ini juga merajuk, beberapa hari lalu kembali datang dan menegur saya.

Pikiran-pikiran negatif itu juga lamat-lamat tergantikan pikiran-pikiran positif lagi. Saya yang rewel itu diam-diam mati kutu dibantai keindahan hidup belakangan ini. Pikiran-pikiran itu juga mengajak saya bersyukur pada rute hidup saya belakangan yang ternyata betul-betul mengasyikan. Mulai dari berjalan lancarnya proses skripsi saya (harus ada tulisan khusus untuk keberuntungan satu ini), hingga beberapa pekerjaan yang membuat saya bisa menjalankan hidup ini dengan kebahagiaan. Akhirnya, saya yang selalu merutuki apa pun yang terjadi sepanjang tahun ini, menjelang berakhirnya tahun ini, mulai mensyukuri apa pun itu yang terjadi.

Tahun ini, saya menamatkan bab hidup saya sebagai mahasiswa, berpelesir ke beberapa tempat yang saya sendiri tak pernah bayangkan, bertemu beberapa orang baru yang sungguh memperkaya batin saya, juga memperdalam perkenalan dengan diri saya sendiri. Oh ya, saya juga pergi ke luar negeri, tanpa perencanaan, dan tak terduga sama sekali. Rasanya, tombol 'mulai' sudah dipencet untuk mengaktifkan keseruan hidup singkat bujang ini!

0 comments :

Post a Comment