Wednesday, April 20, 2016

  |   No comments   |  

Sandra: Si Idealis Sekaligus Realis


Saya ketemu Sandra Cattelya di organisasi kampus yang kami cintai, Pers Mahasiswa SUARA USU. Well, Sandra sebenarnya adalah senior saya. Dia mahasiswa stambuk 2008, sementara saya mahasiswa baru di tahun itu, 2011 silam. Tapi, karena satu dan lain hal, saya memanggilnya dengan nama depan saja, tanpa embel-embel kakak atau bahkan mahadewi. If You know what I mean. Yeah, organisasi kami memang keren. Hierarki ada, tapi secara profesional. Bukan personal.

Talking about personal, sebenarnya saya dan Sandra bukan teman yang terlalu dekat. Bisa jadi kami berkabar-kabaran hanya sekali setahun. Bahkan, setelah 2012, setelah Sandra selesaikan skripsinya dan balik ke kampung halaman, kami enggak pernah ketemu lagi. Terakhir telponan saja waktu saya jadi Pemred di organisasi itu, awal 2014 lalu. Sisanya cuma tegur sapa lewat messenger atau diskusi di grup SUARA USU di Line. Ah ya, Sandra yang baik hati juga pernah kirim semua koleksi e-book-nya ke email saya, yang pastinya belum saya selesaikan. Tapi secara personal, Sandra adalah salah satu influence-person bagi saya dalam berorganisasi pada masanya.

Pola pikir serta tingkah polahnya cukup mempengaruhi saya dalam bersikap saat berorganisasi. Bagi cecunguk introvert yang baru coba-coba berorganisasi macam saya di 2011 silam lalu, sosok macam Sandra sangat bisa jadi patokan karakter. Well, kalau disuruh mendeskripsikan Sandra dalam satu frasa, saya akan memilih idealis sekaligus realis. Dua hal yang secara konsep bertentangan, tapi bisa terejawantahkan dalam satu wujud.
Anyway, wawancara ini sebenarnya dilakukan tahun lalu. Tapi saya yang kurang ajar ini baru bisa mengunggahnya hari ini. Silakan menikmati salah satu wawancara favorit saya.



She doesnt like pink, arent you, San? Lol But you love purple hair, right?


Who are you? Tell us who you are in your view.
The question is in English, but I’ll stick to answering in Indonesian because ngomong Indonesia aja saya masi belepotan. Nama saya Sandra Cattelya. Saya adalah jenis orang yang suka bingung kapan harus ngomong pake aku-kamu, gue-elu, saya-kamu, atau aku-kau. Hal ini dikarenakan saya lahir dan besar di Cilegon-Banten di mana orang-orangnya Jakarta-sentris dan ngomongnya persis anak Betawi pinggiran, pake gue-elu. Terus saya SMA di Bandung di mana saya sering ngomong pake aku-kamu karena menyesuaikan dengan atmosfernya yang lembut dan selow. Terus saya lanjut kuliah di Medan di mana saya keliatan aneh banget kalau gak beradaptasi untuk ngomong pake aku-kau. Intinya… gak tau apa. Pokoknya saya jadi sering ngerasa harus nyetel ke gaya bahasa tertentu setiap saya ketemu orang dari friend circle yang beda. Ah, pelik. Ini saya ditanya apa, jawabnya apaan kali. Maaf yah, Dam. Sebenernya paling bingung dah kalau ditanya pertanyaan semacam ‘About Me’ begini. Lanjut ajalah yah ke pertanyaan selanjutnya.

Where did you grow up?
Aslinya sih saya lahir dan besar di Cilegon-Banten. Kenapa mesti ada embel-embel ‘Banten’-nya? Karena saya enggak yakin orang bakal tau di mana tuh Cilegon kalau saya enggak langsung sebut ‘Banten’-nya. Itu kota kecil yang penuh polusi dari beragam industri pinggiran pantai. Dari lahir sampai SMP saya di sana. Tapi, saya ngerasa bener-bener ‘bertumbuh’ waktu saya kuliah di Medan dan bergabung ke suatu organisasi yang bakal saya jelasin di pertanyaan ke-sepuluh *udah ngintip daftar pertanyaannya hehe*

What are you doing now? Tell us your late work
Saya sekarang sedang bertindak sebagai full-time daughter, karena bokap sakit dan saya sehari-hari ngejagain dia. Karena keterbatasan bokap sekarang, gak memungkinkan buat saya untuk kerja di luar rumah di mana saya harus menyediakan komitmen waktu dan tenaga, sementara bokap butuh saya sewaktu-waktu dan enggak menentu. Makanya saya freelance sebagai translator, transcriptionist, dan saya juga nulis-nulis artikel gitu untuk sebuah situs. In between all of that, untuk mengisi waktu luang, saya ikutan paduan suara di gereja, banyakin baca buku, nge-blog, dan baru-baru ini saya mulai bikin video-video (yang sungguh amatir, karena apalah saya ini) dan saya upload di Youtube. I just try to make the most of my time, by doing something I can truly enjoy.

What does a typical workday for you look like?
Sebagai freelance translator, saya sekarang seringnya mengerjakan proyek untuk satu perusahaan tertentu, sebut saja Perusahaan N. Dan mereka menerapkan deadline ketat yang membikin saya sering enggak tidur untuk nyelesein kerjaannya. Jadi, my typical workday, when I do get something to work on, is like that. Bertapa seharian di depan laptop, pake baju yang senyaman mungkin, minum air putih banyak-banyak, begadang sampe tengkuk sakit banget, kalau kerjaan udah kelar, saya bakal hibernasi seharian. Sebagai penulis artikel, biasanya saya ngerjain tulisan di akhir minggu dan satu artikel paling lama banget selesai dalam waktu 4 jam. Jadi, gak terlalu memberatkan dan masih bisa dinikmati. Tapi, all in all, saya gak punya tyical workday sih sebenernya, karena saya freelance dan kerjaan datang gak menentu kapan, gak menentu apaan, gak menentu juga deadline-nya.

What label sticks to you?
Saya bakal ngelewatin cincong tentang ‘Ini mah penilaian orang lain dong, jangan tanya saya.’ Tapi, karena emang udah ditanya, sebagai mantan calon siswa teladan, saya bakal jawab. Saya sih ngerasanya orang-orang sering ngeliat saya sebagai orang yang people person gitu. Yang gampang gaul sama orang baru, orang yang gimana aja, easy going. Padahal mah beneran deh saya gak ngerasa kayak gitu. Justru saya seringnya ngerasa canggung dan suka salah tingkah sama orang baru, bahkan sama orang bukan baru sekali pun. Dan label-label yang lain, kalo ada, saya enggak tau. Menurut saya sih orang bisa ngelabelin orang lain tergantung dari apa yang mereka liat, apa yang mereka tau, dan apa yang mereka asumsikan. Jadi, kalo saya sih cenderung gak terlalu mikirin apa yang orang pikir tentang saya, baik tentang hal baik atau buruk. Mereka cuma liat saya dari satu sisi, sedangkan sisi yang lain left unseen. Maybe because I don’t want certain people to see all my sides, maybe certain people just choose what they want to see in me and ignore the rest. So, label is not important to me.

What is the hardest stuff in life so far?
Being strong.

What is your dream job?
By ‘dream’, I guess you mean something that probably won’t ever happen, right?

Bisa jadi
Dari dulu selalu pengin jadi dubber di film-film animasi Disney, pengin bisa kerja bareng Oprah Winfrey, pengin bisa hidup dari nulis. Mungkin yang lebih saya kejar sekarang dan paling realistis itu opsi ke-tiga. Itu pun rasanya masih jauh banget. Yah, namanya juga mimpi. Mimpi jangan ditaro setinggi langit. Taro setinggi langit-langit, biar masih memungkinkan untuk dicapai. Kecuali mau jadi astronot sih.

You love reading. What book you read?
Ah, sotoy nih, Adam. Untung aja bener. Iya, saya suka baca. Kadang ada waktu di saat saya ngerasa reading is breathing. Dan kalo saya lagi di fase begitu, ke mana-mana bukunya gak lepas dari tangan saya. Kalo lagi dalem banget masuk ke bukunya, bisa lupa makan, mandi, dan segala tugas lain jadi ketemu aja alesan untuk gak dikerjain dulu. Buku-buku yang saya baca beragam sih, dan selera saya juga berubah-ubah (sesuai umur kali yah).  Sekarang sih saya lagi menikmati banget buku-buku misteri, thriller, dan fantasi. Dan lagi sangat menikmati buku-buku Bahasa Inggris. Tapi sebenernya buku yang saya baca variatif banget banget kok. Saya bisa dibilang welcome untuk hampir semua genre. Yang sampai sekarang enggak menarik perhatian saya cuma fan fiction.

What is you hate the most from Indonesia?
Keep in mind, everything is yin and yang. There are always the good and bad sides of everything. And… saya baru aja ngapus satu paragraf tentang yang saya gak suka tentang Indonesia. Akhirnya memutuskan enggak ngejawab deh, karena dengan ngejawab, saya ngerasa energi negatif mulai ngerayap di sekitar saya. Don’t spread negativity. Have a positive vibe. That’s kinda my motto.

Tell us about SUARA USU.
SUARA USU adalah tempat saya mulai melihat dan menyikapi dunia dengan cara yang benar-benar berbeda. Bukan berarti saya gak suka sama diri saya sendiri sebelum masuk SUARA USU, tapi saya ngerasa jadi lebih kebentuk, lebih jadi orang, lebih punya pegangan, lebih tahan banting, setelah ngelewatin proses masa bakti di SUARA USU. Itu bukan sekadar tempat di mana mahasiswa yang sok keren jual-jual tabloid dan nulis berita tentang kampus USU. Orang luar mungkin gak akan ngerti esensialnya organisasi ini buat anggota-anggotanya. Bahkan, beberapa anggota di dalamnya juga belum tentu ngerti esensi SUARA USU untuk dirinya sendiri. Semuanya baru terasa setelah proses dilakukan sampai akhir. Sampai masa bakti selesai. Sampai misi selesai. Saya masuk SUARA USU di Agustus 2009 sore yang berangin. Dari awal, tujuan saya adalah pengin tau sebanyak-banyaknya dunia jurnalistik. Pengin belajar banyak hal lain. Emang saya orangnya kurang neko-neko. Saya pertama kali ngelamar jadi Staf Perusahaan karena orang yang waktu itu saya tanyain informasi magang adalah Pemimpin Perusahaan di kala itu. Betapa licik dia, saya diarahkan jadi bawahannya. Bilangnya kalau gak cocok, boleh pindah semau hati, ternyata gak gitu kenyataannya.

Tapi saat prosesnya, saya mensyukuri benar-benar keputusan asal-asalan saya masuk sebagai bagian non-Redaksi. Karena dari awal saya memang pengin tau dunia jurnalistik, walaupun saya ditugaskan khusus di bagian Perusahaan, saya tetap haus untuk nyoba nulis dan liputan, karena itu tujuan utama saya awalnya. Seiring bertambahnya beban tanggung jawab di Perusahaan, saya jadi sadar bahwa saya juga harus menjadikan Perusahaan sebagai tujuan utama saya, di samping passion belajar jurnalistik itu. Dari situ saya jadi belajar hal-hal yang lebih luas lagi yang enggak akan saya pelajari kalo saya enggak terpaksa ada di posisi itu. Memang, banyak kendala yang bikin rambut rontok-rontok. Selain harus bertanggung jawab di bagian sendiri, saya gak mau serta merta meninggalkan kesempatan belajar tentang bagian lain. Saya mahasiswa yang haus dan rakus. Dan di saat sibuk-sibuknya itu saya diopname di rumah sakit untuk pertama kalinya dalam hidup saya, gara-gara kecapekan dan kurang minum. Buset. Tapi karena emang saya orangnya positif banget, saya nyikapin semua itu dengan nikmat. Bersyukur bisa punya banyak kegiatan. Bersyukur punya jadwal padat, bahkan sampe numpuk-numpuk kegiatannya. Bersyukur bisa punya pengalaman yang enggak semua mahasiswa biasa ngalamin. Bersyukur tau ini itu. Bersyukur bisa kenal orang ini orang itu. Bersyukur sekali atas keputusan saya bergabung dan mendedikasikan jiwa raga buat SUARA USU selama 3,5 tahun saya di sana. Bukan, bukan hasil yang saya banggakan. Bukan bagusnya kualitas tabloid atau banyaknya pemasukan atau apa. Tapi proses banting tulang yang penuh susah, penuh amarah, penuh tawa, penuh kebingungan, penuh air mata, penuh ego, penuh drama mahasiswa… semua yang saya lewati bersama orang-orang di dalamnyalah yang membuat saya menjadi saya yang sekarang.

Well, Thank you for sharing, San!




Kalian bisa mengunjungi Sandra di kanal Youtubenya sendiri, untuk bisa mengikuti buku-buku yang di-reviewnya. Klik di sini ya: Kanal Sandra.

Saturday, April 9, 2016

  |   No comments   |  

Pindah





Tepat tiga minggu lalu, saya pindah. Kali ini dari rumah kontrakan yang untuk pertama kalinya saya biayai dengan duit sendiri. Tentu saja rumah itu tidak saya tempati sekaligus sewa sendiri. Rumahnya sangat besar. Dua lantai, tiga kamar, dua kamar mandi, bertempat di sebuah komplek elit, lengkap dengan fasilitas sekuriti dan kolam renang. Harga sewanya setahun saja, Ya Rasul, sampai 7 digit angka nol-nya. Mana mungkin, saya yang masih mahasiswa cum penulis lepas pada waktu itu mampu mengakomodir kebutuhan papan seperti itu. Saya menyewanya dengan tiga teman lain, yang ada baiknya saya ceritakan di lain postingan saja.

Kenapa saya sebut "kali ini"? Sebab, sebenarnya Pindah adalah hal yang paling sering saya alami di hidup ini selain patah hati.

Sebelumnya, Pindah-pindah yang saya hadapi adalah pindah-pindah yang dibiayai dan disebabkan oleh Ayah dan Ibu saya, saya singkat jadi orangtua saya. Ayah sudah pernah pindah pekerjaan berkali-kali, yang akhirnya juga menyebabkan saya pindah rumah sekaligus pindah sekolah berkali-kali pula. Bayangkan saja, saat SD saja saya sudah pernah mencicipi 4 sekolah yang berbeda. Saya belum menghitung, berapa kali pindah rumah yang kami lakukan. Jadi, saya pikir saya adalah orang yang paling mengerti apa artinya pindah.

Pindah bagi sebagian orang, yang baru melakukannya sekali atau dua kali, mungkin adalah hal yang menyenangkan atau bisa jadi menakutkan. Biasanya tergantung alasannya. Kalau kamu harus pindah karena dapat 'surat ajaib' dari universitas favoritmu, let's say Harvard atau IKJ, yang bilang kalau kamu diterima beasiswa di sana, pasti kamu dengan senang hati akan pindah. Tapi bagi mereka yang punya lingkungan nyaman,  teman-teman baik dan tetangga yang seperti keluarga sendiri, atau Ibu tunggal yang terpaksa harus merawat dirinya sendiri di rumah jikalau kamu pergi merantau, pasti akan dilema setengah mati tentang Pindah pertamanya.

Itu wajar. Dulu, saat saya harus menghadapi Pindah pertama saya, dilema itu juga terjadi.

Saya pernah sangat bergairah saat tahu orangtua saya berencana kembali ke Medan dari perantauan di Batam. Saya tak sedih harus meninggalkan teman-teman sekolah saya waktu itu. Di tahun yang sama, saya sampai harus pindah sekolah dua kali karena rumah kami yang juga berpindah. Di tahun berikutnya, perasaan aneh itu baru muncul. Saat tahu saya akan pindah untuk ketiga kalinya, saya mulai sedih dan sadar kalau ada yang salah dengan 'Pindah'. Tapi saat itu saya belum bisa mendefinisakannya, yang saya tahu saya sangat sedih karena harus berpisah dengan teman-teman masa itu. Teman-teman yang saya tangisi dua malam berturut-turut saat sudah pindah di rumah baru. Teman-teman yang saya masih hafal namanya, tapi sudah tak pernah saya temui sekali pun sejak saat itu.

Bahkan karena pengalaman Pindah yang terlalu sering ini, saya sempat menghubungkannya dengan sikap introvert yang tumbuh di dalam diri saya. Saya sempat berpikir bahwa alasan kenapa saya jadi pribadi yang terlalu tertutup dan sulit membaur, bahkan parahnya susah bernapas di keramaian, adalah karena saya sudah terlalu sering Pindah.

Sejak kecil saya nomaden. Sehingga pada akhirnya, diri ini membiasakan diri untuk tidak perlu repot-repot beradaptasi karena dalam waktu relatif singkat akan menghadapi pengalaman Pindah lainnya.

Semua itu mungkin saja ada sangkut-pautnya. Tapi, sekarang saya sudah tidak peduli. Lahir batin, diri ini sudah terbiasa dengan Pindah. Kami jadi akrab. Bukan dengan Pindah, tapi dengan perasaan yang muncul karenanya.

Tapi, bukan arti Pindah yang membuat batin saya gundah saat ini. Melainkan, apa sebenarnya Rumah itu?

Rumah yang pernah saya tinggali memang masih terhitung jari. Tapi, setelah merisetnya ke sejumlah teman dekat, saya masih orang peringkat pertama yang punya pengalaman Pindah terbanyak. Sehingga di umur yang baru sampai di awal-awal kepala dua ini, saya sudah mengantungi jumlah alamat yang banyak sekali dan berganti-ganti.

Jujur saja, pengalaman Pindah yang terlalu banyak jadi membuat saya bingung yang manakah Rumah saya? Apakah Rumah ialah bangunan yang sekarang ditinggali orangtua saya? Ataukah kontrakan baru yang sekarang saya tinggali? Tapi bukahkah, rumah orangtua saya adalah Rumah mereka? Dan kontrakan ini... well, saya juga tahu diri kalau akan segera pindah lagi dari sini... Oh! Mungkin Rumah adalah tempat yang akan saya tinggali di masa depan. Bangunan yang nantinya akan saya cicil sendiri dari gaji pribadi.

Tapi, kalau Rumah memanglah bangunan itu, yang sekarang letaknya saja saya tak tahu, lantas ke mana saya harus Pulang sekarang? (Saat tubuh ini rasanya perlu pelukan, mulut butuh didengarkan, dan batin perlu dininabobokan)




_______
 Tulisan ini saya colong dari jurnal pribadi October