Saturday, April 9, 2016

  |   No comments   |  

Pindah





Tepat tiga minggu lalu, saya pindah. Kali ini dari rumah kontrakan yang untuk pertama kalinya saya biayai dengan duit sendiri. Tentu saja rumah itu tidak saya tempati sekaligus sewa sendiri. Rumahnya sangat besar. Dua lantai, tiga kamar, dua kamar mandi, bertempat di sebuah komplek elit, lengkap dengan fasilitas sekuriti dan kolam renang. Harga sewanya setahun saja, Ya Rasul, sampai 7 digit angka nol-nya. Mana mungkin, saya yang masih mahasiswa cum penulis lepas pada waktu itu mampu mengakomodir kebutuhan papan seperti itu. Saya menyewanya dengan tiga teman lain, yang ada baiknya saya ceritakan di lain postingan saja.

Kenapa saya sebut "kali ini"? Sebab, sebenarnya Pindah adalah hal yang paling sering saya alami di hidup ini selain patah hati.

Sebelumnya, Pindah-pindah yang saya hadapi adalah pindah-pindah yang dibiayai dan disebabkan oleh Ayah dan Ibu saya, saya singkat jadi orangtua saya. Ayah sudah pernah pindah pekerjaan berkali-kali, yang akhirnya juga menyebabkan saya pindah rumah sekaligus pindah sekolah berkali-kali pula. Bayangkan saja, saat SD saja saya sudah pernah mencicipi 4 sekolah yang berbeda. Saya belum menghitung, berapa kali pindah rumah yang kami lakukan. Jadi, saya pikir saya adalah orang yang paling mengerti apa artinya pindah.

Pindah bagi sebagian orang, yang baru melakukannya sekali atau dua kali, mungkin adalah hal yang menyenangkan atau bisa jadi menakutkan. Biasanya tergantung alasannya. Kalau kamu harus pindah karena dapat 'surat ajaib' dari universitas favoritmu, let's say Harvard atau IKJ, yang bilang kalau kamu diterima beasiswa di sana, pasti kamu dengan senang hati akan pindah. Tapi bagi mereka yang punya lingkungan nyaman,  teman-teman baik dan tetangga yang seperti keluarga sendiri, atau Ibu tunggal yang terpaksa harus merawat dirinya sendiri di rumah jikalau kamu pergi merantau, pasti akan dilema setengah mati tentang Pindah pertamanya.

Itu wajar. Dulu, saat saya harus menghadapi Pindah pertama saya, dilema itu juga terjadi.

Saya pernah sangat bergairah saat tahu orangtua saya berencana kembali ke Medan dari perantauan di Batam. Saya tak sedih harus meninggalkan teman-teman sekolah saya waktu itu. Di tahun yang sama, saya sampai harus pindah sekolah dua kali karena rumah kami yang juga berpindah. Di tahun berikutnya, perasaan aneh itu baru muncul. Saat tahu saya akan pindah untuk ketiga kalinya, saya mulai sedih dan sadar kalau ada yang salah dengan 'Pindah'. Tapi saat itu saya belum bisa mendefinisakannya, yang saya tahu saya sangat sedih karena harus berpisah dengan teman-teman masa itu. Teman-teman yang saya tangisi dua malam berturut-turut saat sudah pindah di rumah baru. Teman-teman yang saya masih hafal namanya, tapi sudah tak pernah saya temui sekali pun sejak saat itu.

Bahkan karena pengalaman Pindah yang terlalu sering ini, saya sempat menghubungkannya dengan sikap introvert yang tumbuh di dalam diri saya. Saya sempat berpikir bahwa alasan kenapa saya jadi pribadi yang terlalu tertutup dan sulit membaur, bahkan parahnya susah bernapas di keramaian, adalah karena saya sudah terlalu sering Pindah.

Sejak kecil saya nomaden. Sehingga pada akhirnya, diri ini membiasakan diri untuk tidak perlu repot-repot beradaptasi karena dalam waktu relatif singkat akan menghadapi pengalaman Pindah lainnya.

Semua itu mungkin saja ada sangkut-pautnya. Tapi, sekarang saya sudah tidak peduli. Lahir batin, diri ini sudah terbiasa dengan Pindah. Kami jadi akrab. Bukan dengan Pindah, tapi dengan perasaan yang muncul karenanya.

Tapi, bukan arti Pindah yang membuat batin saya gundah saat ini. Melainkan, apa sebenarnya Rumah itu?

Rumah yang pernah saya tinggali memang masih terhitung jari. Tapi, setelah merisetnya ke sejumlah teman dekat, saya masih orang peringkat pertama yang punya pengalaman Pindah terbanyak. Sehingga di umur yang baru sampai di awal-awal kepala dua ini, saya sudah mengantungi jumlah alamat yang banyak sekali dan berganti-ganti.

Jujur saja, pengalaman Pindah yang terlalu banyak jadi membuat saya bingung yang manakah Rumah saya? Apakah Rumah ialah bangunan yang sekarang ditinggali orangtua saya? Ataukah kontrakan baru yang sekarang saya tinggali? Tapi bukahkah, rumah orangtua saya adalah Rumah mereka? Dan kontrakan ini... well, saya juga tahu diri kalau akan segera pindah lagi dari sini... Oh! Mungkin Rumah adalah tempat yang akan saya tinggali di masa depan. Bangunan yang nantinya akan saya cicil sendiri dari gaji pribadi.

Tapi, kalau Rumah memanglah bangunan itu, yang sekarang letaknya saja saya tak tahu, lantas ke mana saya harus Pulang sekarang? (Saat tubuh ini rasanya perlu pelukan, mulut butuh didengarkan, dan batin perlu dininabobokan)




_______
 Tulisan ini saya colong dari jurnal pribadi October

0 comments :

Post a Comment