Tuesday, July 31, 2012

  |   1 comment   |  

Alex, Bagaimana Kalau Kita Punya Anak?

 Hari ini Dedee, salah seorang rekan kerja Alex di firma, mengadakan pesta kecil-kecilan di apartemen mewahnya di kawasan Upper East Side, Manhattan, NYC. Dedee dan Sonya, pasangannya, baru saja dikaruniai seorang putri setelah delapan tahun pertunangan mereka. Dan rencananya bulan depan mereka akan menggelar pesta pernikahan di pantai Miami.



            Alex sangat semangat untuk menghadiri pesta itu. Maklum saja, dia dan Dedee sudah bersahabat sejak aku belum hadir di kehidupan Alex. Kebahagiaan  Dedee yang baru mendapatkan putri pertama seolah menular pada sahabat kentalnya itu. Alex bahkan sempat pusing memilih kado untuk Lidya, si bayi imut yang sedang menangis di gendonganku.

            “Sonya, bisa bantu aku? Lidya sepertinya tidak suka parfumku,” candaku sembari menyerahkan malaikat kecil itu kembali ke gendongan ibunya.

            “Sayang sekali, Honey. Padahal perfume Auntie Rizky itu perfume yang mahal,” ujar Sonya membalas candaku dengan bahasa Inggrisnya yang kental aksen Rumania—dan selalu tidak tepat mengeja namaku.

            “Bisa pinjam Sonya dan malaikat ini sebentar, Rizky?” tiba-tiba Dedee sudah ada di depanku, di sebelah isterinya. Ia tersenyum—dan seperti Sonya, tidak fasih menyebutkan namaku. Lebih terdengar seperti Ræiski ketimbang Rizky.

            Kemudian keluarga kecil itu menjauh beberapa langkah dariku. Ternyata mereka punya tamu lain yang harus ditemui. Dengan bangga Dedee dan Sonya memamerkan putri mereka pada Fred Johnson, pemilik Firma tempat Dedee dan Alex bekerja sebagai pengacara. Sepasang ayah-ibu muda itu terus saja tersenyum di sela perbincangan mereka dengan si Bos Besar. Terlalu bahagia dibuat bayi pertama mereka.
 
            Mendadak spektrum aneh mengalir di sekujur tubuhku. Spektrum yang dikenali tubuhku sebagai sensasi kecemburuan. Tapi aku tidak tahu untuk apa kecemburuan ini? Mungkinkah aku cemburu pada Sonya yang sedang menggendong bayinya sendiri? Benarkah aku cemburu untuk menjadi seorang Ibu?

            “Rizky?” seseorang menegurku—dengan pelafalan tepat dan fasih, dan satu-satunya yang bisa begitu hanyalah...

            “Ya, Alex?”

            “Bisa kemari sebentar? Ada yang mau kukenalkan,” ujarnya dengan senyum lebar. “Ini Mr. Younghusband, George Younghusband, beliau adalah rekanan kerja Firma kami. Advokat paling disegani di Negara Bagian ini,” tambah Alex setibanya aku di sampingnya.

            Pria setengah baya dengan rambut keperakan di depan kami tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya untuk berjabat denganku. “Nice to meet you, Ms.?”

            “Kumalasari, Rizky Kumalasari,” ucapku tegas. Fasih dengan ejaan bahasa Indonesia yang tepat. “Nice to meet you too, Mr. Younghusband.”

“Owh, what a beautiful name. Where do you come from, Beautiful Lady?” tanya pak tua itu lagi. Masih dengan senyum ramah.

I’m from Indonesia, Sir.”

“Indonesia? Sorry?”

Aku selalu benci bagian ini. Kenapa orang-orang dari negeri ini selalu bingung saat aku menjelaskan dari mana asalku. Apa mereka tidak memelajari peta di bangku sekolah dasar—maksudku Elementary School?

Do you know Bali, Sir?” Alex menyadari kegusaranku, dan dia mengambilalih perbincangan.

Yes. Oh, I see! Indonesia is a part of Bali, right?”

No! No!” Alex tak bisa menahan tawanya, tapi aku tidak menemukan bagian lucu dari kebodohan pria tua di depanku ini. “Bali is a part of Indonesia, that’s the correct.”

Lalu mereka berdua tertawa. Menertawakan keeksistensian negeriku yang malang. Jelas sudah kalau Bali lebih tenar daripada Indonesia. Menyedihkan!

“Omong-omong, Pak, Rizky ini adalah isteri saya.” Alex memotong tawa mereka dengan pernyataan yang tampaknya sangat mengejutkan Younghusband.

Tapi, siapa pun akan terkejut jika mendengar kalimat itu untuk pertama kali. Siapa yang tidak terkejut kalau melihat dua wanita muda dengan gaun summer mengaku sebagai sepasang suami-istri di sebuah pesta kecil begini. Jadi keterkejutan Younghusband sama sekali tidak melukai perasaanku, dan aku yakin begitu juga dengan Alex.

“Kalian berdua sudah menikah?” tanyanya masih dengan mata terbelalak, seperti sedang menelan biji durian—durian? Ya, aku rindu buah itu—bulat-bulat.

“Ya, Pak,”sahutku dengan senyum sinis, lalu merangkul hangat pinggul Alex. Rasanya senang sekali melihat mata mendeliknya itu. Siapa suruh tadi menertawakan Tanah Airku?

“Ohh.” Dia hanya bisa melenguh panjang.

Dan aku tidak bisa menahan tawaku melihat ekspresinya. Bahkan aku terus tertawa hingga pesta itu selesai. Senang sekali melihat orang-yang-telah-mengolok-olok-negeriku menderita.

“Jangan tertawa terus, Sayang. Jangan jahat begitu pada Pak Tua tadi,” ujar Alex ketika melihatku masih tertawa saat baru keluar dari kamar mandi di kamar tidur kami.

“Siapa suruh mengolok-olok negeriku begitu? Indonesia itu negeri yang hebat tau? Kaya Sumber Daya Alam berkualitas dan satu-satunya negara dengan penduduk muslim terbanyak yang berhasil menerapkan sistem Demokrasi dengan nilai A plus...”

“Kan mulai lagi deh. Kalau semangat nasionalismenya sudah kebakar gini, pasti jadi orator yang andal,” potong Alex melihatku terus mengoceh.

“Kesal juga dibuat bapak tadi,” gerutuku.

“Sudah, jangan dipikir lagi. Kemari saja.” Alex menepuk-nepuk sisi ranjang di sebelahnya. Mengisyaratkan padaku untuk segera merangsak di tempat tidur.

“Tapi Lex, I think Younghusband has crush on you sebelum dia tahu kalau kita suami-istri,” kataku dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang separo-separo. Walaupun tidak begitu fasih, tapi Alex ngerti bahasa Indonesia sedikit-sedikit. Hasil bimbinganku bertahun-tahun.

“Jangan mulai deh. Tahu kan kalau aku malas banget sama perbincangan yang mengarah ke sini begini.” Alex menutup mukanya dengan bantal.

“Tapi serius deh. Siapa sih yang bisa nolak kharisma kamu?”

“Oh, please Rizky. Yang cantik itu kamu. Semua cewek-cewek di kantor aku selalu jealous sama kulit kuninng-tropis kamu, rambut hitam kamu yang asli hitam seratus persen, bukan hasil cat kimia kayak mereka. Mata hitam kamu juga bikin semua orang makin cemburu kan? Mereka malah harus pakai kontak lensa untuk bisa begitu.”

“Itu kan cewek-cewek di sini aja yang nggak pernah puas sama penampilan mereka. Udah syukur punya kulit putih yang bakal balik putih nggak peduli dibakar di UV sampai dua ribu Fahreinhet, malah mau kulit cokelat kayak orang Asia. Sama tuh, kayak cewek-cewek di Indonesia yang mati-matian mau mutihin kulitnya. Coba mereka tinggal di sini pasti bakal lebih pede-an dikit...”

“Loh? Loh? Tadi ngomel-ngomel bela-in Indonesia, kenapa sekarang malah jelek-jelekin begitu.”

Aku malah tertawa mendengar kalimat terakhir Alex. “Aku baru kali ini dengar bule ngomong Loh? Loh? pake aksen British lagi. Lucu banget sih kamu sayang.” Aku terus tertawa sambil mengacak-acak rambut panjang Alex.

Please don’t ma hair, Rizky!” Alex bangkit dari pembaringannya dan mengambil guling untuk menyerangku.

Untuk beberapa menit kami terlibat pertarungan lempar-lemparan-guling yang sengit. Tapi seperti di pertarungan apa pun, aku selalu mengalah pada Alex. Dan dia selalu keluar jadi pemenangnya.

“Lex, kamu lihat tidak kalau Dedee dan Sonya tadi gembira banget?” tanyaku saat kami berdua sudah tergeletak lemas di atas ranjang setelah pertarungan lempar-lemparan-bantal.

“Tentu. Dedee sudah mengharapkan Lidya selama bertahun-tahun. Akhirnya anak itu muncul juga,” jawabnya lirih, masih tersengal-sengal karena napas.

“Lex...”

“Ya?”

“Kau mau anak juga tidak?”

Sepersekian detik kemudian Alex bangkit untuk duduk secepat kilat. “Apa?”

“Kubilang, kau mau punya anak juga tidak?”

Lalu dia tertawa. “Kamu ini ngomong apa sih, Rizky? Kita ini pasangan lesbian. Gimana caranya punya anak?”

“Itu yang sudah kupikirkan dari tadi.” aku juga ikut bangkit, bersandar pada sandaran kasur seperti yang sedang Alex lakukan.

“Sudah? Apa maksudnya sudah?”

“Sebenarnya aku terus memikirkan hal ini setelah melihat bayi Dedee tadi. Bayi itu sepertinya menggodaku untuk mengikuti jejak ibunya. Aku sepertinya juga ingin mengandung anakku sendiri.” Kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku. Aku bahkan belum sempat memikirkannya.

“Tapi bagaimana caranya?”

“Kita melakukan bayi tabung?”

“Lalu siapa ayahnya? Kau juga ingin mencari donor? Apa kau mau kita punya anak dari pria-entah-siapa?” raut wajah Alex mendadak berubah serius.

“Kita bisa mencarinya pelan-pelan. Tidak perlu terburu-buru.”

“Tapi...” perkataannya terpotong. “Sebaiknya kita tidur saja dulu. Besok kita bicarakan lagi.” Alex menurunkan bantal yang menjadi sanggahan kepalanya. Kemudian berputar sembilan puluh derajat untuk tidur membelakangiku.

“Kuharap kau benar-benar memikirkannya, Lex. Karena aku benar-benar merindukan seorang anak.”

Itu perkataan terakhirku pada Alex sejak lima hari lalu. Dan selama itu pula kami berdua saling diam tanpa menyapa.

Aku paham betul dengan sifat dan tabiat Alex. Dia sengaja mendiamkanku agar aku bosan sendiri dan menyerah pada permintaanku tempo hari. Dia paham betul kalau aku sangat mencintainya dan dia sangat pintar memanfaatkan fakta itu.

Tapi aku tidak mau menyerah. Aku benar-benar sudah sampai pada keputusan bulat untuk segera memiliki anak dari rahimku sendiri. Tak peduli bagaimana caranya, apa pun tantangannya, aku benar-benar sudah yakin.

Aku memang seorang lesbian—wanita yang lebih menyukai dada penuh dalam bra, daripada dada bidang pria seksi—tapi fakta itu tidak bisa mematahkan bahwa aku adalah seorang wanita. Dan wanita punya naluri untuk menjadi Ibu. Seharusnya Alex memahami hal itu, bukannya mendiamkanku agar melupakan permintaan ini.

“Bisa tolong pasangkan dasiku, Rizz?” Billy mendadak muncul dari balik pintu ruang kerjaku, menguar pelan seraya memegang dasi kupu-kupu merah yang terlilit—tidak rapi—di lehernya.

Aku beringsut berdiri dari kursiku untuk membenahi dasi pemuda Eropa dua puluh delapan tahun di depanku. Billy Guillio adalah rekan kerja sekaligus sahabat karibku di perusahaan M-Magazine. Kami berdua adalah Chief Editor di majalah Fashion ini. “Ada meeting ya?”

“Yup. Aku harus bertemu dengan Salome Rodriguez-si nenek sihir itu. Perusahaannya kan sedang mempersiapkan Pekan Fashion untuk minggu depan. Aku kebagian tugas mengulas hasil wawancaranya dengan Gemma. Hanya sekadar mengecek. Jangan khwatir. Tapi sepertinya kau bukan sedang khawatir padaku. What’s on your mind, Darling? Masalah rumah tangga?” dia tersenyum.

“Begitulah,” ujarku sambil mengencangkan dasinya—sentuhan terakhir untuk membuat dia tampil perfecto. “Alex dan aku masih puasa bicara.” Aku tidak bisa—tidak pernah bisa—menyembunyikan perasaanku saat di depan Billy. Dia manusia paling kucintai setelah Alex dan Almarhum kedua orangtuaku.

“Sejak lima hari lalu? Oh yang benar saja. Sepertinya ini perang paling berat yang pernah kalian alami. Apa aku sekarang boleh tahu masalah BESAR apa yang sedang kalian hadapi?” Billy bertingkah melebih-lebihkan saat mengucapkan kata besar.

“Alex tidak menyetujui gagasanku untuk punya anak.”

What? Kau mau punya anak?”

“Kenapa? Kau juga menganggapku gila?”

“Tidak, tentu tidak, Sayang.” Billy mengusap-usap pundakku. “Kukira ini sangat tiba-tiba. Dan sebenarnya...”

Mendadak suasana hening. Billy membuat jeda.

“Dan sebenarnya apa?”

“Sebenarnya aku dan Amos juga punya masalah yang sama.”

“Amos? Pacar barumu itu? Apa maksudmu dengan masalah yang sama?”

Tanpa sadar aku dan Billy mengambil tempat di sofa marun di salah satu sudut ruang kerjaku ini. Semakin serius dengan perbincangan kami.

“Aku juga sudah mengajukan gagasanku untuk punya anak dengannya—tentu dengan bayi tabung atau paling buruk dengan adopsi,” buru-buru ia menambahkan sebelum aku sempat memotong. “Tapi menurutnya itu hal yang aneh. Atau dengan kata lain dia tidak siap—setidaknya begitu yang kulihat darinya.”

“Bukannya terlalu cepat untuk memutuskan begitu? Maksudku, kalian kan baru jadian dua bulan, dan kau sudah memutuskan untuk punya anak dengan dia? Aku saja belum bertemu dengannya, Bill.”

“Itu juga yang menjadi bahan pertimbanganku. Mungkin dia benar-benar belum siap. Lalu apa alasan Alex?”

Aku terdiam. Tak berani mengungkapkannya bahkan dalam pikiranku sendiri. Pertanyaan Billy tadi terus menghantuiku sepanjang hari ini, sampai sekarang, saat aku berbaring santai di depan televisi.

Alex bilang dia tidak mau punya anak dari pria-entah-siapa. Itu berarti dia tidak ingin merawat anak orang lain—dengan kata lain menolak cara “Adopsi”.

Namun di sisi lain, alasan itu menguatkanku untuk mengandung sendiri bayiku nanti. Tapi tetap saja aku butuh sperma seorang pria untuk bisa punya anak. 

Dan sepertinya di situ masalah utamanya. Tidak mungkin aku harus tidur dengan seorang pria hanya untuk mewujudkan impianku ini? Apa aku harus mengubur mimpi ini? Sepertinya Tuhan memang hanya ingin aku bahagia dengan Alex, tanpa tambahan putra atau putri.

Alex saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membuatku bahagia sampai akhir hayat, dan dengan rakusnya aku berharap lebih pada Tuhan?

Aku benar-benar egois! Alex benar, aku juga harus mengalah padanya kali ini!

“Rizky?” Alex pulang. Terdengar suara pintu tertutup beberapa detik setelah suaranya bergaung.

“Alex ada yang harus kubicarakan padamu.” Aku menghampirinya yang masih sibuk melepaskan high heels di ruang depan apartemen ini.

“Aku dulu.” Dia memotong, dan langsung memasang wajah serius. “First, aku minta maaf karena mendiamkan kamu selama hampir sisa pekan ini. Aku minta maaf karena bertingkah kekanak-kanakan. Dan kedua, aku setuju dengan gagasanmu untuk punya anak.”

Aku tercengang. Hampir menganga. Apa aku tidak salah dengar barusan? Aku hampir saja menyerah pada Alex di detik-detik terakhir. Tapi malah dia yang mengalah lebih dulu.

Aku tersenyum, ternyata begini rasanya menang perdebatan dari pasanganmu? Tidak buruk! “Lanjutkan,” kataku.

“Tapi dengan banyak syarat,” tambah Alex.

Alisku naik mengkerut, “Bisa sebutkan satu per satu?”

“Pertama aku tidak mau ada adopsi. Terlalu ribet dan berisiko, kita tidak pernah tahu anak siapa yang kelak akan kita rawat. Mungkin saja ayahnya adalah serial killer yang sedang jadi buronan. Atau ibunya adalah orang gila yang punya penyakit diabetes keturunan.” Alex tersenyum, berharap aku juga tersenyum mendengar leluconnya. Tapi aku tidak. Penjelasannya tadi terdengar terlalu menyeramkan untuk ditertawai. “Alasan pertama tadi mengharuskan salah satu di antara kita untuk mengandung anak kita sendiri. Dan seperti yang kauketahui, aku sudah tidak punya rahim karena kanker dua tahun lalu. Itu berarti anak kita nanti akan lahir dari rahimmu.”

“Lalu bagaimana dengan sperma-nya?” aku tidak mau menyebutkan kata ‘ayahnya’. Mungkin kata itu berpotensi untuk mengubah pikiran Alex.

“Kedua aku tidak ingin ada bayi tabung. Terlalu bahaya. Bisa saja pria yang menjadi donor kita adalah serial killer yang telah membuang anaknya di panti asuhan. Jadi bayi tabung dicoret.” Dia lagi-lagi tersenyum. Masih menganggap yang dikatakannya barusan adalah lelucon yang cukup lucu. Tapi aku tetap bergeming. Masih belum paham kemana hilir pembicaraan ini.

“Jadi mau tidak mau, kita sendiri yang harus mencari donornya. Dan aku mau aku yang memilih pria itu,” ada jeda yang cukup lama. “Bagaimana?”

“Tunggu dulu. Let me straight this, kamu mau aku tidur dengan pria lain?” dahiku makin mengkerut. Aku tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Alex. bisa-bisanya dia menyuruhku untuk selingkuh?

“Kasarnya begitu.” Dia mendekat, mulai sadar kalau aku hampir meledak marah. “Tapi seperti yang kita berdua ketahui, kalau kamu dan aku lebih tertarik pada Kristen Stewart daripada R-Patz. Jadi kalau sama si Vampir paling tampan di dunia saja kita tidak tertarik, bagaimana kau bisa tertarik dengan pria yang bakal kupilih.”

Alex sudah ada di sampingku, melingkarkan tangannya di pundakku.

Tapi bila dipikir-pikir, Alex ada benarnya juga. Aku lebih bergairah melihat Kristen Stewart dan Dakota Fanning di Runaway daripada pria manapun, termasuk Johnny Depp atau Lukman Sardi, aktor favoritku. Jadi, kenapa harus khawatir terjadi sesuatu?

“Dan ada kabar baik lainnya,” tambah Alex di antara kesunyian.

“Kabar baik? Apa itu?” aku menatapnya penasaran.

“Mr. Younghusband akan datang untuk makan malam nanti, jadi kita akan memasak atau pesan delivery saja?”

“Apa? Siapa yang kaubilang mau datang? Mr. Younghusband? Pria tua di pesta Dedee kemarin?”

“Tenang saja. Aku juga tidak mau punya anak dari pria setua dia kok. Ini Mr. Younghusband yang lain. Masa kau tidak percaya denganku sih?” Alex merangkul erat pinggulku. Berusaha untuk menstabilkan keadaan kembali.

“Baiklah, aku akan memasak untuk calon ayah dari anakku. Tapi awas kalau dia bukan pria muda tampan, pintar dan kaya. Aku akan menendangnya saat dia berani menyentuhku,” ancamku penuh unsur humor. Dan berhasil membuat Alex tertawa.

“Tenang saja. Dia kualitas pertama. Tampan, pintar, kaya, muda, berbakat, dan yang jelas tidak punya dada Pamela Anderson atau Julia Perez, jadi dia aman untuk konsumsimu,” jelas Alex, membuat kami berdua semakin tergelak.

Satu jam kemudian, pria yang dimaksud Alex datang. Dan Alex benar tentang perawakannya. Mr. Younghusband adalah pria muda, tinggi dan tampan. Seratus persen Kaukasia dengan mata bitu safir yang cukup menarik perhatian. Tapi bukan tipikal orang yang akan langsung menarik perhatianmu di kerumunan orang-orang. Dia juga punya tubuh yang ideal. Sudah jelas pintar dengan gelar Ph.D-nya. Dan bekerja sebagai Dokter Ginekologi.

“Masakanmu benar-benar enak, Ms. Kumalasari. Apa tadi namanya?” tanya Younghusband di tengah acara makan malam ini.

“Pecel. Itu makanan khas dari Jawa, Indonesia.” Aku sengaja tidak menyebut Jawa dengan sebutan Java. Mengetes kemampuan geografi sekaligus pengetahuan umumnya.

“Oh, I see. Jawa! I’ve been there for three years. Indonesia memang negeri yang indah.”  Aku terkejut dengan kalimat terakhirnya. Ternyata dia bisa berbahasa Indonesia dengan pelafalan yang cukup fasih. Aku semakin tertarik dengan sosoknya—maksudnya bukan tertarik seperti aku tertarik pada Alex, sebenarnya lebih kepada kagum.

“Mmmh... Mr. Yonghusband, sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan pada Anda,” cetusku tiba-tiba. Memang ada satu pertanyaan yang dari tadi mengganjal ulu hatiku.

“Apa itu, Ms Kumalasari?”

“Kenapa Anda menerima tawaran Alex untuk menjadi donor kami? Seperti yang kau ketahui, kami berdua kan gay. Apa kau tidak keberatan kalau anakmu nanti punya seorang Ibu lesbian?”

Mendadak suasana mencekam. Pandangan Younghusband dan Alex tersedot ke arahku. Mereka mungkin benar-benar tidak menduga kalau pertanyaan itu akan keluar.

Tapi suasana itu tiba-tiba dipecahkan dengan tawa rendah dari Younghusband. “Memangnya kenapa kalau punya seorang Ibu lesbian? Bagaimanapun si Ibu, dia tetap perempuan yang melahirkan anak saya nantinya. Anak memang karunia terindah bagi para orangtua. Begitu pula harga seorang Ibu. Ibu adalah karunia terindah yang pernah dimiliki seorang anak, benar tidak?” 

Kurasa jawabannya cukup bagus. Bila kelak anakku malu karena punya dua orang Ibu lesbian, kurasa cepat atau lambat dia dan dunia akan sadar kalau kami tidak pernah mau menjadi seperti ini. Tuhan selalu punya rencana khusus untuk setiap hamba-Nya. Dan setiap bayi di dunia ini pasti tidak terlahir dengan niat menjadi penyuka sesama jenis setelah dia dewasa nanti.

“Lagipula, aku juga seorang gay—homoseksual. Bila anakku keberatan dengan Ibunya  yang lesibian, berarti dia juga harus keberatan karena punya seorang ayah gay.” Younghusband masih tertawa.

Apa? What the hell is this? Younghusband seorang gay? Apa Alex gila? Anakku nanti pasti sudah sangat tertekan karena punya dua Ibu lesbian. Dan masih harus ditambah dengan fakta bahwa ayahnya—ayah kandungnya—ayah biologisnya adalah seorang gay?

Oh yang benar saja!

Sebaiknya aku membatalkan rencana ini. Tanpa anak sepertinya jauh lebih baik.

1 comment :

  1. Hi all muslim girls,
    I'm Sonja McDonell, 24, Swiss Airlines Stewardess. Indonesia is a very conservative country. Girls & women, who've lesbian desires, have seldom this luck to realize their wishes. I'll spend again my june / july vacations in Indo and when you want to meet me then, please write me. I'm very tender with a lot fantasies, also in my wonderful job.
    Regards
    Sonja in sonjamcdonell@yahoo.com

    ReplyDelete