Saturday, August 4, 2012

  |   No comments   |  

Surat Cinta Perak

Tangan Attar gatal ingin membukanya. Padahal surat itu sudah ia masukan ke dalam selembar amplop violet, dan telah ia beri lem rapat-rapat. Dirasanya ada yang kurang dan harus diperbaiki. Kata-kata dalam surat itu masih terasa terlalu sempit untuk menggambarkan apa yang sedang ia rasakan. Dan karenanya tangan Attar semakin gatal ingin merobek amplop itu. Tapi itu amplop kesebelas! Sialnya ia hanya beli selusin dan kini hanya tersisa satu.

Ya Tuhan! Kenapa aku susah sekali dalam hal menulis? batinnya.

Akhirnya amplop itu ia robek dengan tidak sabaran. Kemudian kembali membaca isi kertas itu. Begini isinya:

Kupikir aku sedang jatuh cinta lagi, Nik.

Aku tahu ini akan terdengar aneh dan pasti akan membuatmu terkikik saat membacanya. Tapi kau adalah sahabatku, dan bukankah salah satu tugas sahabat adalah mendengarkan celotehan girang gembira (berlebihan) sahabatnya saat ia sedang jatuh cinta begini; seperti aku sekarang. Hahaha

Aku tahu kau sudah muak mendengar cerita-cerita cintaku selama ini, tapi percayalah yang satu ini benar-benar menakjubkan; membuatku gila; sepanjang malam tidak tidur; senyum-senyum sendiri setiap saat; dan gejala-gejala mengerikan lainnya yang jarang kualami sebelum aku bertemu dengan orang yang akan kuceritakan ini.

Mungkin kau sedang menguap di bagian ini. Jadi kupercepat saja ceritanya. Tapi sesungguhnya aku bingung untuk memulainya dari mana. Bagaimana kalau dari bagian ketika kami pertama kali bertemu? Ya! Dari bagian itu saja.

Kami bertemu di sepotong senja di Khan-el-Khalili. Di sebuah kedai kopi terkenal bernama Fishawy’s. Aku memesan shisa dan teh mint.

Saat aku sedang santai menghirup shisa-ku, seseorang menghampiri. Seorang pria Mesir. Rambut lurus panjangnya sebahu. Mata hitamnya sepekat jelaga, dan entah bagaimana begitu cemerlang dan tajam. Hidungnya, tentu saja, lancip dan mungil, khas pria Mesir lainnya. Dan yang agak membuatku terpana adalah senyum paling manis sedunia yang ia miliki.

“May I?” tanyanya sambil tersenyum; menunjuk kursi kosong di sebelahku dengan pandangannya.

Awalnya aku diam. Terpelongo. Lalu cepat-cepat mengangguk kebingungan.

“Kursinya penuh,” ujarnya dalam bahasa Inggris beraksen aneh. “Nice place, huh?” tambahnya.

Lagi lagi aku hanya menggangguk. Tapi dia tak hanya tampan, dia juga tuan rumah yang ramah. Ia bercerita padaku tentang sejarah kedai kopi itu. Bahkan aku kembali mengangga saat ia beritahu kalau kedai kopi yang buka 24 jam itu sudah berdiri sejak 200 tahun lalu. Hahaha

Sisa malam itu kuhabiskan untuk mengobrol dengannya. Diam-diam dalam hati, aku berdoa itu bukan pertemuan terakhir kami.

Dalam beberapa jam di suatu malam di Mesir, kupikir aku telah bertemu jodohku dan jatuh cinta padanya. Rasanya aneh, tapi aneh yang menggembirakan.

Keesokan harinya, ia mengajakku ke Masr-el-Qadima atau yang lebih sering disebut orang Mesir sebagai Old Cairo. Di sana kau akan menemukan Masjid, Gereja dan Sinagoga dibangun berdampingan. Awalnya ia mengajakku ke Masjid Ibn-al-As untuk salat zuhur berjamaah. Tapi lantas aku tersenyum dan berkata, “I’m Indonesian, but I’m not Muslim. I’m Christian.”

Kata-kataku ternyata membuat kami berdua tertawa. “Shalat saja dulu. Aku akan berdoa di St. Sergius sambil menunggumu,” tambahku. Dan dia makin terkikik. Katanya, dia merasa sangat bodoh karena langsung mengajakku ke Masjid untuk salat tanpa terlebih dahulu menanyakan keyakinanku.

Saat itu sempat terlintas di pikiranku, bahwa sedikit perbedaan tentang keyakinan ini adalah benih yang akan berkembang jadi masalah besar dalam hubungan kami, kelak. Tapi saat kusampaikan hal itu padanya, ia malah menjawab begini dengan tenang, “Tuhan adalah Tuhan, My Sweetheart Attaria. Hanya keyakinan kita yang berbeda. Dia tidak akan mengutuk kita karena mencintai orang yang punya keyakinan berbeda. Malah, Dia akan mengutuk kita jika kita berhenti mencintai-Nya.”

Dan perasaan yakin muncul begitu saja di hatiku. Believe that he is the one!

Bagaimana? Apa kau sudah bosan mendengarnya, Nik? Aku bahkan belum sampai di bagian terindah! Masih mau membacanya kan? Kuharap kau sedang mengangguk saat ini.

Sampai mana tadi? Ah ya, sampai perasaan yakin itu muncul. Tapi aku langsung saja ke bagian terindahnya: kami menikah! Tentu tidak di hari yang sama saat ia mengajakku salat di Ibn-as-Al. Limit visa-ku habis keesokan harinya, jadi aku harus pulang ke Indonesia. Dan Mesir tidak punya administrasi canggih untuk membantunya mengurus visa dalam semalam. Jadi dia tidak ikut denganku.

Namun beberapa bulan kemudian kami bertemu lagi di Sydney. Kau tahu! Indonesia belum punya aturan yang bisa membantu pasangan berbeda agama untuk menikah dengan tenang. Belum lagi kami berbeda kewarganegaraan. Semua urusan yang melibatkan surat-surat itu memang cukup membuat pusing dan memakan waktu.

Singkat cerita, kami menikah dan bahagia. Tapi tak bertahan lama. Di lima tahun awal pernikahan kami semua hal yang bersangkutan dengan surat-surat itu tak terlalu menganggu. Tapi untuk sepuluh tahun berikutnya, hal itu merumit berkali-kali lipat. Apalagi pernah suatu waktu, ketika ekonomi keluarga kami sedang diuji, suamiku terpaksa harus dideportasi dari Indonesia tercinta ini karena tak mampu membayar iuran kepada pihak Imigrasi.

Karena itu aku harus berpisah selama dua tahun darinya. Saat-saat itu adalah saat-saat paling mencekam dalam hidupku. Aku benar-benar menderita. Terpisah dari dirinya benar-benar menyiksaku. Aku tak punya kata-kata lain selain kalimat-kalimat di atas yang (tampaknya) terus kuputar-putar. Karena aku memang benar-benar menderita.

Perpisahan itu membuatku—kami, tepatnya—semakin menderita karena buah hati yang tak kunjung datang. Aku merasa tak lengkap sebagai istri. Dan di tengah perbincangan kami di saluran jarak jauh, aku selalu saja merasa semakin tak sempurna saat dia mencoba menguatkanku tentang masalah ini.

“Bersabar saja Sayang. Lagipula, kenapa aku harus begitu egois untuk mendapatkan seorang anak untuk membuatku bahagia, ketika Tuhan telah memberikanmu sebagai pendamping hidupku. Benar kan? Or you don’t feel me the way I feel you?” guraunya.

Tahukah kau Nik? Aku menangis di bagian ini. Bukan karena hingga sekarang kami belum dianugerahi seorang putera pun. Tapi karena aku benar-benar bahagia memilikinya sebagai pasangan hidup sekaligus sahabat yang begitu mencintaiku. Tak peduli dengan rahimku yang selalu kosong, tak peduli dengan keriput yang menoda di sekitar pelipis, leher dan dadaku; dia tetap mencintaiku seperti saat pertma kali kami bertemu di Fishawy’s, kedai kopi berumur panjang yang tenar hingga sekarang. Kuharap cinta kami juga lebih panjang umurnya daripada raga kami yang kian melapuk dikikis waktu.

Kini kami tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran Desa Tenganan, Bali. Dan kebetulan hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-25. Seingatku, ini adalah surat cinta pertama yang kukirimkan padanya—padamu. Sebelumnya kami hanya berkomunikasi melalui seluler, email atau pun Skype, terlalu zaman sekarang. Jadi kuputuskan untuk menulis surat ini sebagai hadiah di ulang tahun perak ini.

Kuharap kau senang, Nik. Nik-ku, sahabat sekaligus pasangan hidup terindah yang pernah Tuhan titipkan padaku.

“Indah sekali, My Sweetheart Attaria,” sebuah suara mengejutkan Attar. Suara itu muncul dari seorang pria renta yang ternyata sudah berdiri di belakangnya sejak tadi. Kulit pria itu mengendur karena umur, dipenuhi oleh bintik-bintik hitam khas orang tua. Tapi mata hitam jelaganya masih secemerlang dulu, pikir Attar. Begitu pula senyum paling manis di dunia yang ia miliki. Semuanya masih sama dan melekat pada Nik-ku.

“Sebenarnya aku mau mengulanginya sekali lagi,” ujar Attar menutupi perasaan malu yang mendadak berkabut di hatinya.

“Tak perlu kau ulangi. Aku akan menyimpan yang itu,” sahut Nik, lantas mengambil lembaran surat itu untuk disimpan.

“Tunggu sebentar.” Attar malah mengambil surat itu kembali, kemudian menuliskan sesuatu di amplop violetnya.

Surat Cinta Perak.

0 comments :

Post a Comment