Friday, August 10, 2012

  |   2 comments   |  

Hemaphrodite

M memutar setir, menginjak gas sedalam-dalamnya lalu meluncur dengan Ford Escape XLT silver kesayangannya menuju rumah sakit. Ia terburu-buru, mengingat pesan yang dua menit lalu dikirimkan Hill kepadanya. M memang selalu terburu-buru kalau menanggapi masalah yang bersangkutan dengan gadis ini.

            Bukan hanya karena persahabatan mereka yang sudah memasuki usia kedelapan tahun, tapi karena Hill memang satu-satunya orang terpenting dalam kehidupan M saat ini. Setelah semua kehilangan yang dirasakannya, mana mungkin M rela kehilangan Hill.

“Halo! Syukurlah, Hill. Akhirnya kauangkat teleponku. Kenapa lama sekali?” semua kekhawatiran yang M rasakan menghambur dalam suaranya.

Tapi Hill tidak menjawab. Ia hanya sesengukan di ujung telepon.
“Astaga, please jangan menangis, Hill. Ceritakan semuanya padaku. Ayolah.” M berusaha menyemangati, walau nada khawatir masih sangat kentara di suaranya.

“Dia sudah keluar dari ruang ICU, M...”

M memotong kata-kata Hill, “Syukurlah. Berarti operasinya berjalan lancar?”

“Bukan,” Hill semakin tersedu, suaranya hampir tidak jelas. “Beni sudah meninggal, M. Dia sudah tidak ada.” Yang terdengar selanjutnya hanyalah tangisan Hill yang semakin tak keruan.

M terdiam, memikirkan nasib sahabatnya setelah ditinggalkan Beni, calon suami Hill. Seharusnya lima hari lagi Hill dan Beni akan bersanding di pelaminan. Tapi semua rencana indah yang telah dirancang sepasang kekasih itu rusak karena kematian Beni.

Siang tadi Beni terkena peluru nyasar ketika sedang latihan menembak di kantornya. Salah seorang rekan polisi Ben menjemput Hill beberapa jam setelah operasi pengangkatan peluru di dada Ben berlangsung. Semalaman suntuk, Hill menunggu kabar Ben dari dokter yang bertugas sambil duduk sendiri di ruang tunggu.

Sekarang, M tengah sibuk mengejar waktu untuk tiba di rumah sakit sesegera mungkin. Hill dan Beni sama-sama tak punya keluarga. Keduanya adalah single survivor di kota besar ini. Jadi, sebagai seorang sahabat, M merasa sangat bertanggungjawab untuk mengurus segala sesuatu hal yang bersangkutan dengan pemakaman Beni, nantinya. Dan jauh di dalam lubuk hatinya, ia juga merasa bertanggungjawab untuk mengembalikan keceriaan Hill, karena kehilangan Ben.

Sesampainya di rumah sakit, M mendapati Hill tengah tak sadarkan diri karena dehidrasi di salah satu ruang inap di rumah sakit itu. Untunglah ia hanya kekurangan ion saja, mungkin karena terlalu kelelahan menunggui Ben.

Memanfaatkan waktu, M segera mengurusi semua administrasi dan registrasi yang dibutuhkan Beni untuk mendapatkan pemakaman yang layak.

Dalam beberapa lembar form yang diisinya, M selalu berhenti dan berpikir sejenak di kolom jenis kelamin. Bukannya ia tak tahu harus mengisi apa di kolom itu, tapi setiap kali melewatinya, sebaris memori tentang masa lalunya berkelabat di kertas itu.


M ingat betul masa kecilnya, ia dibesarkan dan dididik sebagai seorang pria oleh Dikan dan Dewi, kedua orangtuanya. Begitu pula yang tertera di akta kelahirannya, M adalah seorang pria. Tapi Dewi pernah bilang pada M kalau akta kelahirannya yang sekarang adalah akta pengganti yang dibuat karena terdapat kesalahan di akta sebelumnya. Ia terlahir sebagai anak perempuan. Dokter yang menangani kelahirannya sangat yakin akan hal itu.
Tapi beberapa hari setelah kelahirannya, kelamin M berubah menjadi skrotum; dengan kata lain, ia adalah pria.

Baru beberapa tahun yang lalu—tepat saat M berusia tiga belas tahun—ia baru tahu kalau dirinya adalah seorang True Hemaphrodite. Seorang Kelamin Ganda sejati. Rahasia ini disimpannya sendiri, hanya Dede, kakak lelaki satu-satunya M yang tahu tentang hal itu. Karena kedua orangtua mereka meninggal saat M berusia sepuluh tahun.

Tapi hidup harus tetap berlanjut. M yang saat itu adalah seorang remaja rapuh, harus sudah bisa mengontrol emosinya dan berlapang dada dengan kondisi aneh-nya itu. Ia dan Dede sepakat untuk merahasiakan semua masalah itu. Toh, selama ini ia telah diakui semua orang sebagai seorang pria. Tak ada gunjingan ataupun makian dari orang-orang, selama mereka tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

Rahasia ini harus ditutupi dari semua orang; semuanya, termasuk Hill sekalipun.
Yang terpenting adalah, pilihan M. Dan ia telah memilih untuk menjadi seorang pria; menganggap hormon testosterone-nya lebih mendominasi. Berharap sisi kewanitaannya sama sekali tidak ada. Walaupun ia sadar betul, kalau ia adalah setengah perempuan.


“Bagaimana, Pak? Sudah selesai form-nya?” salah seorang suster membuyarkan lamunan M. Dan dengan senyum manis, sang suster menagih lembaran-lembaran kertas putih di tangan M

“Ah ya. Ini, Sus! Tolong diurus sebaik-baiknya, ya.”

Kemudian M berlalu, menjengguk sebentar jasad Beni yang disimpan di kamar jenazah, dan langsung mendatangi Hill di ruang inapnya.

“Hai.” Sapa M, saat melihat Hill sudah sadar.

“Hai. Terima kasih ya. Kau sangat membantu.” Hill memaksa untuk tersenyum.

“Tak perlu, Sayang. Ini kewajibanku.” Tangan M mengelus lembut rambut Hill yang masih
berbaring di atas kasur. “Bagaimana kabar Barry? Apa dia sudah tahu tentang Beni?”

“Ya. Dia sedang dalam perjalanan ke sini. Aku sudah menyuruhnya untuk tetap di rumah dan  menyiapkan segala sesuatunya, tapi dia bersikeras untuk datang kemari.” Suara Hill terdengar sangat parau.

“Istirahatlah. Biar aku yang menangani semuanya. Termasuk Barry.”

Kemudian Hill mengikuti saran M. Ia lelap hanya dalam beberapa menit saja.


M,
Aku duduk di sofa di sebelah ranjang Hill, sambil menunggu kedatangan Barry. Anak itu pasti sekarang sedang sangat terpukul. Dia sudah kehilangan kedua orangtuanya di usia yang sangat muda. Diam-diam dalam hati, aku berjanji untuk tetap berteman dengannya selama yang kubisa. Menjadi orang pertama yang maju ketika dia dalam kesulitan, seperti yang sekarang kulakukan terhadap Hill.

Di atas ranjang itu, tubuh Hill tampak sangat rapuh. Ia terlihat begitu kelelahan, sendiri, dan sangat sedih—bahkan saat ia terlelap kau bisa melihat kesedihan mengalir deras di garis mukanya.

Shit! Sadar M! Hill baru saja kehilangan Ben, dan sempat-sempatnya kau mengagumi sahabatmu sendiri? Oh, yang benar saja.

“M?”

Kepalaku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Barry sudah berdiri di balik pintu masuk. Tubuhnya yang begitu ramping dan tinggi—sial! Apa yang kaumakan, Barr? Kenapa sudah setinggi ini?—sudah berdiri di samping sofa yang kududuki.

“Barry?” aku terlonjak, dan benar saja, sekarang bocah ini sudah lebih tinggi satu kepala dari tubuhku.

“Bagaimana keadaan Hill?” ekspresinya begitu datar. Khas Barry yang kukenal. Selalu berusaha tak menunjukkan ekspresi yang sedang dirasanya.

“Dia hanya pingsan tadi. Mungkin kelelahan. Kau sudah melihat Ayahmu?” aku memperlambat kata-kataku pada kalimat terakhir.

“Ya. Dia terlihat...” walaupun ditutupi, aku berani sumpah kalau tadi ada garis getir melintas di matanya. “Kautahu-lah, kaku.” Barry tersenyum, dan tulang rusukku sepertinya baru saja disiram dengan air dingin dari kutub. Anak ini bukan sekadar sedih, dia sangat terpukul.

“Tenanglah, Man. Masih ada Hill dan aku. Aku janji kita akan tetap berkawan.” Kuberanikan diri untuk melingkarkan tangan di pundaknya. Dan sayang, tanganku hanya bisa merangkul sejauh tengkuk lehernya.

Di luar dugaan, Barry menangis dan membalas pelukanku. Dia menangis. Menangis sejadi-jadinya.

“Kau mau kopi?” tanyaku bingung untuk menenangkannya.

Beberapa menit kemudian, kami sudah duduk di salah satu bangku di kantin di rumah sakit itu. Barry sudah tak lagi menangis, dan ia tampak sangat malu karena tadi sempat menangis di bahuku.

“Maaf, M. Tadi aku tidak bermaksud...”

“Tenang saja, itu tadi manusiawi. Dan setahuku itu hal paling manusiawi yang pernah kaulakukan.” Aku tersenyum lalu menyeruput kopiku dengan bibir, sebelum kusadari ada yang aneh dengan kalimatku barusan. “Maaf, maaf. Bukan itu maksudku.” Dasar bodoh! Kenapa menebar ranjau, saat suasana sudah mulai membaik, gerutuku dalam hati.

Barry malah tertawa, tawa ringan. “Kau ini lucu.” Ia menenggak cappuccino-nya.

“Apa?” keningku mengernyit. “Apa aku barusan bertingkah bodoh?” tentu saja, tolol.
Barry tertawa lagi, sejenak kulihat ia melepaskan semua kesedihannya bersama tawa terakhir. Syukur jika tindakan tololku barusan bisa mengurangi kesedihan anak ini.

“Apa Hill sudah menyiapkan pemakaman Dad?” matanya kembali datar. Tidak tersirat apa pun di dalamnya.

“Tenang saja. Semuanya sudah kuurus.”

“Kau memang benar-benar baik sekali, M.”

“Kuanggap itu pujian. Terima kasih kembali.”

Dan pemuda ini tertawa lagi. Sepertinya beberapa menit saja denganku sudah berhasil membuatnya menjadi lebih manusiawi.


Hari berlalu secepat kijang berlari.

Keadaan Hill semakin membaik setiap harinya, walau tetap saja ini adalah seminggu terburuk dalam hidupnya. Dia harus kehilangan calon suami di saat hari pernikahannya menjelang. Memangnya ada yang bisa lebih buruk lagi? Ternyata ada. Sekarang seluruh ruangan di pikiran Hill diambil alih oleh masa depan Barry.

Anak itu sebatang kara, sekarang. Walaupun belum resmi sebagai ibu Barry yang sah, Hill tetap merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak itu. Usianya baru 17 tahun. Harus ada seseorang yang merawatnya, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan, sampai Barry bisa mengurus dirinya sendiri.

Henry memang tidak meninggalkan tangung jawab sebesar itu pada Hill tanpa sedikit pun bantuan. Ternyata almarhum calon suaminya itu telah meninggalkan deposito, asuransi dan segala jenis keperluan lainnya yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup anaknya jikalau kejadian yang sekarang telah terjadi, terjadi. Hill tak khawatir dengan masalah itu. Dan sepertinya Barry juga tidak. Yang sedikit mengganggu pikirannya adalah tentang bagaimana berhadapan dengan remaja 17 tahun dengan kemampuan wanita dua puluh tujuh tahun sepertinya?

Hill belum pernah menikah, apalagi punya anak. Tapi M selalu ada di masa-masa membingungkan seperti ini. Dan Hill tak pernah berhenti bersyukur atas hari pertama ia dipertemukan dengan M, oleh Tuhan.

“Ada yang mencarimu, Hill, seorang pria,” ujar M di suatu siang, saat mereka berdua tengah membahas pilihan universitas untuk Barry di rumah Hill.

“Siapa? Oh, hai Garin. Lama tidak bertemu.” Hill bangkit dari sofa dan langsung memeluk tamu yang dibawa M.

“Aku turut berduka, Hill. Aku baru pulang dari tugas dinas, sehingga baru bisa datang sekarang.”

“Oh, tidak apa-apa. Aku bisa mengerti.” Raut kesedihan kembali merasuki wajah Hill.
“Ada yang ingin kubicarakan, Hill, bisakah?” Garin melirik ke arah M. Mungkin ia hanya ingin bicara empat mata dengan Hill.

“Oh, tidak masalah, aku bisa keluar sebentar.” M paham dengan maksud lirikan Garin. “Lagi pula aku harus menjemput Barry dari sekolahnya.”

“Terima kasih, M.” Hill tersenyum, berterimakasih atas pengertian M.


M,
“Bagaimana ujiannya?” tanyaku pada Barry, saat ia telah menutup pintu mobil dari dalam.
“Tidak buruk, sejauh ini lancar-lancar saja,’ jawab Barry.

“Sudah punya pilihan universitas?” aku mennghidupkan mesin mobilnya dan menancap gas.

“Entahlah, aku masih bingung. Sebenarnya aku ingin melanjutkan kuliah di bidang seni, mungkin teaterikal atau musik, tapi ayah dulu tidak setuju dengan pilihanku itu. Dia lebih senang kalau aku mengikuti jejaknya masuk ke akademi polisi.”

“Sulit juga ya.” Aku berkomentar sekenanya. “Bagaimana pendapat Hill?”

“Dia bilang, dia lebih senang jika yang kupilih membuatku senang. Dan sumpah, jawabannya sama sekali tidak membantu. Tapi kautahulah bagaimana Hill, dia hanya ingin aku senang.” Barry tertawa ringan menjawab pertanyaanku.

Ya Barr, aku sangat tahu bagaimana karakter Hill, dan karena itu aku masih tidak bisa memandangnya hanya dengan pandangan sebatas sahabat.

“M?” Barry membuyarkan pikiranku.

“Ya?”

“Apa pendapatmu melihat waria itu?” Barry menunjuk sesuatu di luar jendela mobil dengan pandangannya, saat lampu lalu lintas menyala merah.

“Apa maksudmu?” entah mengapa, pertanyaannya membuatku gugup. Kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang waria itu? Apa dia mulai menyadari sesuatu yang aneh dari penampianku? Apakah dia mulai curiga kalau ada yang salah dengan tubuhku? Aku memang terlalu kecil bila dibandingkan dengan ukuran pria pada umumnya. Kuitku juga jauh lebih halus dari pria normal, belum lagi warnanya yang terang membuatku semakin terlihat lebih seperti pria cantik, ketimbang pria normal. Aku juga punya dada seperti perempuan, walaupun tidak terlalu besar. Tapi dada itu kan sudah kusembunyikan dengan kain pembebat, sehingga kalau dilihat dari luar aku seperti pria biasa yang sewajarnya tidak memiliki dada.

“Tidak ada. Aku hanya merasa senasib dengan mereka. Karena apa yang mereka inginkan bertentangan dengan apa yang orang di sekitarnya inginkan dari mereka.”dia tertawa.

“Pintar juga ya, aku berfilosofi,” tambahnya, bergurau.

Lalu kami berdua hanya tertawa. Aku setengah bersyukur karena ternyata ketakutanku tidak beralasan.


Seminggu lagi berlalu dengan cepat. Hill semakin membaik, begitu pula dengan Barry. M juga semakin sering berkunjung, memastikan keadaan mereka berdua baik-baik saja. Tapi ternyata M tidak sendiri, Garin, teman almarhum Beni itu, belakangan juga semakin sering berkunjung. Tapi sejauh yang M perhatikan, kunjungan pria jangkung itu bukan kunjungan biasa.

            Garin sering membawakan makanan-makanan ringan untuk Hill dan Barry. Terkadang bahkan dia menetap sampai waktu makan malam, dan kalau M tidak salah mengingat, Garin sudah dua kali menginap di rumah Hill. Dan semua itu mulai mengganggu M.

            Apakah mungkin Garin sedang menarik perhatin Hill? Apakah Garin suka dengan Hill sejak Beni masih hidup, hanya saja baru memiliki kesempatan sekarang untuk mendekati Hill? Batin M, dalam pikiran-pikiran paranoia-nya.

            “Hai M, sedang apa?”tiba-tiba saja sosok Garin sudah ada di sofa di ruang tengah rumah Hill, tempat M sedang asyik menonton TV.

            “Nonton,’ jawab M dengan nada kesal yang kentara sekali. M memang bermasalah dengan emosinya yang meluap-luap.

            :Garin malah tertawa mendengar jawaban ketus M. “Ya, aku tahu yang itu. Maksudku, kau selalu di sini, apa kau tidak bekerja?”

            “Hei, kau ini memang selalu blakblakan begitu ya? Lalu kau sendiri? Bukannya kau polisi? Kenapa sekarang tidak di lampu merah?”

            Garin malah tertawa lagi, terlihat lebih geli. “Aku bukan Polantas, dan maaf karena terlalu blakblakan.”

            Suasana hening cukup lama. Mereka berdua berubah semakin kaku di setiap detiknya. Kecanggungan mendadak begitu terasa. “Omong-omong, aku penulis,” kata M di sela kecanggungan itu.

            “Oh.” Garin melenguh cukup panjang. “Kau novelis?”

            Dan yang terjadi selanjutnya adalah perbincangan yang panjang di antara keduanya. Perbincangan yang tidak disangka-sangka M, menjadi jalan keakrabannya dengan Garin, orang yang selama ini dianggapnya sebagai saingan.

            Tapi di lain sisi, kedekatan mereka ternyata mengundang kecemburuan dari Barry. Selama ini, diam-diam Barry menaruh perhatian pada M, sahabat Hill, yang telah dianggapnya ibu sekarang. Barry tahu kalau ada yang salah dengan rasa simpati yang ditaruhnya pada M; mereka sama-sama pria, setidaknya begitu sepengetahuan Barry. Tapi ternyata kharisma M lebih kuat dari yang diduganya selama ini. Dia tetap saja tidak bisa membohongi perasaannya.

            “Ada yang ingin kubicarakan, M, bisa?” tanya Barry di sepotong siang pada M.

            “Tentu, tentu,” jawab M memenuhi permintaan Barry.

            Lalu, keduanya pergi ke halaman belakang rumah Hill. Perawakan Barry tampak sangat tegang dan serius, sedang M menanggapinya dengan senyum geli. “Ada apa, Barr? Serius sekali?”

            “Ada yang ingin kukatakan.”

            “Katakan saja.”

            Ada jeda yang cukup lama, Barry tampak seperti sedang berpikir dan menimbang pikirannya. “Aku… aku… aku menyukaimu, M.”

            Dunia M serasa runtuh. Dia benar-benar terkejut. Dan tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. “Kau bercanda kan, Barr?” M berharap perkataannya benar.

            “Aku tidak, M. Aku serius. Aku sudah lama memikirkan ini.” Barry mendekat, berusaha memeluk M. Tapi M, tentu saja, mengelak.

            “Aku tidak bisa, Barr. Tentu kutahu itu.” M mulai kalut. Dia tidak menyangka hal ini bisa terjadi.

            “Kenapa? Karena pria itu?”

            “Pria? Siapa?”

            “Si Garin bodoh itu. Pria yang telah membunuh ayahku!!” Barry berubah gusar. Emosi yang selama ini dipendamnya meledak.

            “Membunuh ayahmu?” dunia M kembali disambar petir. Dia yakin otaknya sebentar lagi korslet karena semua kejutan ini.

            “Seharusnya yang mati saat itu dia, bukan ayah! Ternyata sebelum kejadian itu, dia meminta ayah untuk menukar shift tugas mereka! Dia sendiri yang mengaku pada Hill,” ucapan Barry terdengar sangat dingin.

            “Tidak, Barr. Bukan karena Garin. Aku hanya berteman dengannya. Lagipula, kami…” perkataan M terhenti. Dia sebenarnya ingin bilang kalau dia dan Garin sama-sama pria, sehingga mereka tidak seharusnya bersama seperti dugaan Barry. Tapi M tahu kalimatnya akan salah dan teredngar seperti kebohongan besar. Dia bukan pria, dia setengah pria dan setengah wanita.

            “Kalian apa?” tuntut Barry.

            M masih diam; berpikir.

            “Kalian apa, M?” Barry mengguncang-guncang bahu M.

            “Kami tidak ada apa-apa! AKU MENYUKAI HILL! HILL! BUKAN GARIN!” M juga meledak. Dia akhirnya mengeluarkan apa yang ia pendam selama ini.

            Kali ini dunia Barry yang tersambar petir. Padahal ia sudah menyiapkan diri untuk jawaban tidak dari M. Tapi bukan dengan alasan seperti ini. “Baiklah.”

            “Baiklah apa?”

            “Kau bisa memiliki Hill.”

            M malah tertawa mendengar pernyataan tanpa nada yang keluar dari mulut Barry barusan. “Kalau aku mau aku bisa mendapatkannya dari dulu. Masalahnya, aku tidak bisa.”

            Wajah Barry berubah heran. Dia memang tidak bertanya, tapi matanya berisyarat begitu, lantas M berkata, “Aku ini bukan pria, Barr, serta bukan pula wanita. Aku setengah dari kedua-duanya. Aku hemaphrodite.”

(MUNGKIN) BERSAMBUNG...

2 comments :

  1. lagi baca dengan seru-serunya tau-tau ada dua kata (mungkin) bersambung...
    HIKSHIKS
    mana lanjutannya kaak

    ReplyDelete
    Replies
    1. M belakangan sombong dan terlalu menjaga privasi. Nanti aku tanya dulu ya, mau diteruskan atau tidak. Terima kasih sudah membaca. :)

      Delete