Tuesday, August 21, 2012

  |   No comments   |  

Permainan Tuhan

Aku tertegun. Frank berbicara? Apa kupingku tidak salah dengar? Dia berbicara! Ini kali pertama setelah tujuh tahun lebih ia membisu. Ya Tuhan, apakah ini pertanda baik? Kuharap begitu. Tapi kalimat yang keluar dari mulutnya malah berbau sinistik.

“Kaubilang apa, Frank?” Ray juga terkejut, sama seperti semua orang di ruangan ini. Mulutnya bahkan setengah  menganga.

“Jangan terlalu senang menyambutnya. Tuhan hanya sedang mempermainkan kalian. Jangan mensyukuri apa pun.” Suaranya dalam. Berat dan fasih. Tak berbeda dengan suara Frank tujuh tahun lalu, sejak terakhir kalinya ia mengeluarkan suara.

Tapi apa yang dibicarakannya? Apa dia mengkritikku karena terlalu bahagia menyambut cabang bayi di rahimku ini. Salahkah jika aku menyambut antusias anak pertama yang telah dinanti selama lima belas tahun?

Kenapa hal itu yang harus jadi kalimat pembuka kebisuan Frank selama ini?

“Jangan dengarkan orang gila ini, Sayang.” Perkataan Ray membuatku tersentak. Aku tidak rela abang kandungku dihina begitu.

“Jaga mulutmu, Ray. Dia itu abang iparmu!” aku menepis tanggannya yang merangkul bahuku.
Perlahan kudekati Frank yang sedang duduk di kursi roda setianya. Aku merunduk untuk bisa melihat matanya. Tapi tatapannya masih sama—kosong—seperti biasa. Namun, aku sangat berharap kalau kalimat tadi bukan kalimat terakhirnya.

“Kau ingin katakan yang lainnya? Frank?” kutatap matanya. Berusaha menyampaikan kerinduanku, yang selama ini tercipta karena kehilangan figurnya.

Frank memang sangat berubah setelah kehilangan anaknya, Cassamirra. Ia berubah mejadi lebih pendiam—bahkan berhenti berbicara sama sekali. Frank merasa bersalah karena Cassamirra tewas di tangan penculik. Ia selalu beranggapan kalau dialah penyebab kematian putrinya itu.

“Frank? Maukah kau mengobrol denganku?” aku berusaha mencuri perhatian matanya. Dan tampaknya kali ini berhasil.

Ia menatapku selama dua detik penuh. Kemudian tangannya menjangkau kepalaku; mengusap lembut. Sepersekian detik kemudian pendangannya kembali berubah kosong.

“Maaf, Nyonya. Pak Presiden menelepon Anda!” Rose, asistenku, setengah berteriak dari depan pintu ruangan ini.

“Sebentar, Frank. Aku harus terima pekerjaan dulu.” Kudampingi perkataanku dengan senyum, berharap Frank bisa menyadari maksudnya. “Ya, Pak Presiden! Ada yang bisa saya bantu?”


Tiga puluh menit kemudian, aku sudah berada di kantor pribadi Presiden. Ia meneleponku khusus untuk menanggapi gejala sosial yang sekarang tengah merebak di masyarakat. 

“Isu mengenai kiamat pada tanggal 21 Desember tahun ini ternyata berhasil mengambil atensi penduduk Indonesia. Bahkan beberapa kalangan diantara mereka telah melakukan ritual-ritual aneh yang meresahkan. Seperti beberapa pemuda di Bali yang kabur dari rumah dan bersembunyi ke pulau kosong di sekitar Lombok. Saya kira hal ini harus segera ditanggapi.” Dengan wibawanya, Pak Presiden mengingatkanku tentang tragedi aneh yang sedang melanda negeri.

“Sepertinya mereka sangat memercayai statement-statement yang keluar dari mulut para peramal. Tapi perkataan beberapa diantara perama-peramal itu memang terbukti kebenarannya. Seperti tsunami kecil dan beberapa gunung meletus yang terjadi beberapa bulan lalu. Masyarakat pasti sangat mempertimbangkan ramalan-ramalan mereka tentang kedatangan kiamat tersebut. Saya kan tidak bisa merubah presepsi tiap orang tentang hal itu.” Aku berharap Pak Presiden punya jalan keluar atas masalah ini.

“Ya, saya setuju dengan Anda. Apalagi masyarakat negeri ini pantang diberi pandangan, semua langsung tersulut untuk mengumbar pendapatnya masing-masing. Nantinya malah tercipta opini majemuk yang semakin membingungkan kita untuk berbuat apa. Tapi tidak ada salahnya kalau sore nanti Anda memberikan sedikit arahan tentang bagaimana bersikap terhadap isu tersebut.” Pak Presiden memang orang yang cerdas dan bijak dalam mengambil keputusan, dan aku jarang tidak setuju dengan kebijakannya.

“Baiklah kalau begitu. Saya akan menyuruh Rose untuk menyiapkan konfrensi pers sore ini. Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?”

“Oh tidak. Tidak ada lagi. Saya hanya ingin membahas hal ini bersama Anda. Berharap masyarakat kita tidak bertingkah aneh menyambut hari esok yang mereka sangsikan. Ah ya, bagaimana kondisi kehamilan Anda? Semuanya baik-baik saja?”

“Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja, Pak. Maaf kalau kehamilan ini sering menghambat kinerja saya.” Aku tersenyum malu, mengharap kemakluman darinya.

“Ini memang hal pertama dalam sejarah politik Indonesia. Bahwa salah satu menteri wanitanya sedang mengandung ketika dalam masa menjabat. Tapi kinerja Anda malah semakin baik, saya kira.” Beliau memang lawan bicara yang andal.

“Baiklah kalau begitu, Pak. Saya mohon pamit dulu. Saya harus menyiapkan materi yang akan saya sampaikan nanti.” Aku undur diri. Tanganku langsung merogoh kocek setelah keluar dari ruang kerja Pak Yudhawiryawan. Nomor Rose adalah hal pertama yang kucari setelah menggenggam telepon selulerku.

Dengan kecepatan kilat, Rose menyiapkan konfrensi pers itu tepat pukul dua siang. Aku harus pergi mengecek perutku pada pukul tiga, jadi aku hanya memiliki waktu enam puluh menit untuk melayani para wartawan yang menanti tanggapanku tentang ketakutan masyarakat terhadap kabar kiamat.

Rose melakukannya dengan sangat baik, padahal dia sedang mengandung sama sepertiku. Hanya saja usia kandungannya lebih muda daripada kandunganku. Kalau tidak salah, janinnya masih berumur dua atau tiga bulan. Tapi semangatnya sama sekali tidak berkurang. Aku beruntung punya karyawan sepertinya.

“Selamat siang, semua,” aku menyapa para jurnalis yang sudah berkumpul di ruangan ini. “Pada kesempatan ini, saya ingin ajukan beberapa statement mengenai keresahan masyarakat tentang akhir dari hari ini.” Kupadu kalimatku dengan tawa renyah, berusaha mencairkan suasana tegang yang menghiasi seantero ruangan. “Awalnya, saya sendiri tidak terlalu menanggapi isu-isu yang beredar mengenai hari kiamat yang katanya akan terjadi pada hari ini, 21 Desember 2012. Namun, ternyata masalah kecil ini merenggut seluruh atensi masyarakat. Banyak dari mereka yang merasa sangat khawatir dan cemas tentang hari ini. Padahal, lihat saja, kita semua masih hidup sampai saat ini. Dan belum ada hal aneh apa pun yang terjadi hari ini,” aku kembali tertawa—sulit untuk tidak menganggap lucu kegalauan masyarakat yang satu ini. “Matahari bahkan masih terbit dari Timur pagi ini, sekali lagi saya ingin tegaskan, kalau kita tidak perlu cemas tentang akhir dari hari ini. Nikmatilah hari ini seperti umur Anda masih seribu tahun lagi. Kiamat pasti akan datang, tapi yang jelas bukan hari in...” belum selesai ucapanku, mendadak perutku terasa begitu mulas. Seakan-akan perutku sedang diperas di mesin penggilasan. Ya Tuhan, sakit sekali! “...Aduh!” aku mengaduh tanpa sadar. Sambil terus memenggangi perut bundar dan buncitku.

“Ada apa, Bu? Ada apa?” suara-suara penasaran menggema di ruangan ini. Mereka mungkin sedang mengerubungi aku yang mulai tak kuasa untuk berdiri. Penglihatanku memburam. Semuanya mulai gelap, tapi sakit di perutku tidak berhenti menghunjam.


Kepalaku sedikit pusing. Tapi aku harus membuka mata dan segera sembuh, masih ada tumpukan pekerjaan di atas meja yang minta segera diselesaikan. Aku tidak bisa meninggalkan masalah dalam negeri yang sedang bertumpuk. Padahal, kehamilan ini saja sudah cukup menyita waktuku dalam menyelesaikan pekerjaan.

            Tunggu dulu! Apa aku sedang bermimpi saat ini? Kenapa perut buncitku sudah hilang? Jangan-jangan anak di dalam perutku sudah lahir. Tapi usia kandunganku kan masih delapan bulan.

            “Ray! Ray! Bangun!” kutepuk perlahan punggung suamiku yang sedang tertidur di sisi kanan tepi ranjangku.

            “Hai, Sayang! Kau sudah sadar?”

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku bisa di Rumah Sakit ini? Dan kemana bayiku?” aku tak bisa menahan ledakan pertanyaan yang rasanya sudah lama sekali kutahan.

“Tenanglah dulu. Kau masih belum begitu pulih.”

“Aku baru bisa tenang kalau kau sudah menjelaskan semuanya.” Usaha Ray menenangkanku belum berhasil. Rasa penasaranku masih merajai kalbu.

“Baiklah. Pertama kau harus paham, kalau ini adalah hal yang paling sulit untuk dijelaskan. Apalagi bagi orang yang berpatokan terhadap nalar sepertimu...”

“Jangan berbelit-belit! DIMANA BAYIKU?” firasatku buruk tentang hal ini, Ray seharusnya tidak perlu panjang lebar begitu.

“Bayimu—anak kita, sudah meninggal.”

Tenggorokanku tercekat. Aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Rasanya hatiku sedang diiris untuk lembaran keseratus juta. Bagaimana bisa Tuhan tiba-tiba berbuat tidak adil seperti ini. Aku sudah sangat pasrah menjadi wanita yang tidak sempurna—tanpa anak—ketika Dia tiba-tiba menganugerahi kandunganku dengan cabang bayi. Harapanku yang telah pupus selama lima belas tahun dalam penantian itu, mulai berkembang kembali seiring pertumbuhan si cabang bayi. Dan kini, sesuka hati-Nya Ia mempermainkanku.

            Air mata tak terbendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Ray memelukku, dan berusaha menenangkan, “Tenanglah, Afiva. Kau tidak sendiri. Keguguran ini bukan hanya terjadi padamu. Rose dan ratusan wanita lainnya di dunia ini juga sedang menangisi kematian calon bayi mereka.”

            “Apa? Apa yang kaubilang? Rose juga kehilangan bayinya?”

            “Ya, Sayang. Dan ibu-ibu hamil lainnya. Di seluruh dunia!”

            Apa? Bisakah itu diterima nalar? Apa yang sedang Tuhan pikirkan—jika Dia memang berpikir—saat ini? Apa Dia sedang mengadakan pengguguran masal! Oh yang benar saja! Dia benar-benar tidak tertebak.

            “Mungkin ini akan membantu untuk menjelaskannya.” Ray memegang remote televisi, kemudian menyalakannya.

            “Menteri Dalam Negeri, Afiva Andreana Habib, mendadak rubuh kemarin siang saat sedang menyelenggarakan konfrensi persnya menanggapi isu kiamat 21 Desember.” Suara sang penyiar tegas membacakan berita.

            Tayangan di televisi berganti dengan liputan saat konfrensi pers kemarin. Tampak sesosok wanita tiga puluh delapan tahun dengan setelan blus hijau muda sedang mengambil tempat di podium. Menebar senyum singkat lalu menyampaikan materi pernyataannya. “...nikmatilah hari ini seperti umur Anda masih seribu tahun lagi. Kiamat pasti akan datang, tapi yang jelas bukan hari in...” mendadak wanita itu mengaduh dan terjatuh setelah panjang lebar memberikan tanggapan.

            Beberapa orang mengangkatnya keluar frame, tapi kamera tetap merekam. Beberapa wartawan yang maju ke podium—mereka yang berniat menolong sang Ibu Menteri—kembali ke tempat dan membiarkan seorang wanita dengan setelan abu-abu rapi untuk mengambilalih situasi. “Maaf, sebelumnya atas kecelakan barusan. Belakangan kondisi Ibu Menteri memang sedang kurang baik. Mungkin karena pengaruh kondisinya yang sedang mangandung. Jadi, saya memohon maaf kepada Anda semua atas... ADUH!!” Rose juga mengaduh seperti aku yang terlebih dahulu jatuh. Ia memegang perutnya. Dan mendadak pingsan.

Tayangan TV kembali menyorot sang Pembawa Acara. “Sampai berita ini dilansir, belum ada keterangan jelas dari pihak Afiva A. Habib mengenai penyebab kecelakaan ganjil tersebut. Dan menurut Juru Bicara Kepresidenan, Tommy Annanda, Presiden akan segera mengadakan konfrensi pers menanggapi kecelakaan yang menimpa salah satu menterinya tersebut, dalam waktu dekat.” Pembawa acara mengambil jeda. “Beralih ke berita berikutnya, ternyata tumbangnya menteri Dalam Negeri, Afiva A. Habib dan asistennya, Roseey Anindya, berhubungan dengan gejala aneh yang melanda dunia selama seharian kemarin.” Tayangan kembali beralih ke gambar lainnya; gambar puluhan Rumah Sakit dengan puluhan orang mondar-mandir di dalamnya.

“Ratusan Ibu hamil di seluruh dunia, memadati Rumah Sakit sekitar, karena mendadak merasakan kontraksi. Anehnya lagi, semua dari ratusan wanita itu harus menjalani operasi pengangkatan janin karena bayi mereka telah meninggal di dalam rahim. Sampai sekarang, peristiwa aneh ini masih mengambil perhatian penuh dari seluruh negara di dunia. Bahkan, Ann McGuirre, Presiden Amerika Serikat, melakukan pertemuan mendadak dengan Jenderal PBB, Ameita Lee Jyun. Membahas pandemik global yang sedang melanda...”

“Apa yang kaulakukan, Afiva?” Ray histeris melihatku mencabut jarum infus.

“Banyak yang harus kulakukan.” Aku turun dari ranjang dan mengambil beberapa pakaian di dalam lemari, lalu mengganti piyama hijau milik Rumah Sakit yang kukenakan dengan pakaian tersebut di dalam kamar mandi.

“Afiva, ayolah!! Jangan bertingkah seperti anak kecil. Tuhan bahkan akan menyuruhmu istirahat kalau kau ingin Dia menyembuhkanmu.” Ray menggerutu dari luar kamar mandi.

“Persetan dengan Tuhan!” teriakanku menghambur ke muka Ray, lalu aku berlalu dan pergi dari Rumah Sakit keparat ini.

Di tengah lorong yang dipadati orang-orang berlalu lalang (tampak sekali Rumah Sakit masih sibuk dengan pasien-pasiennya yang mendadak membeludak), aku teringat dengan perkataan Frank kemarin pagi. Apakah ini maksud perkataan itu? Bahwa Tuhan memang sedang mempermainkanku.


“Bu Afiva? Anda sudah keluar dari Rumah Sakit?” Pak Yudha tampak sangat terkejut melihat kedatanganku di Istana Negara.

            “Banyak yang harus saya kerjakan, Pak. Bagaimana dengan perkembangan kasus Pengguguran Massal ini?”

“Pengguguran Massal? Istilah yang bagus.” Dino Saptian, salah satu anggota Tim Pencitraan Presiden, menimpali pertanyaanku.

“Menurut data yang sedang dikumpulkan PBB, sudah tercatat jutaan wanita dari seratus dua belas negara yang telah disensus mengalami keguguran massal ini. Dan semua dari wanita itu juga telah didiagnosa tidak bisa hamil lagi.” Jawab Pak Presiden.

Apa? Tidak bisa hamil lagi? Jutaan wanita? Ternyata Tuhan benar-benar ingin bermain. “Data terkumpul secepat itu. Dan apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku.

“Kita akan memberitahu masyarakat setelah punya data resmi dari PBB atau organisasi resmi yang bersangkutan.” Pak Presiden kemudian meninggalkanku dengan beberapa orang lain, di lobi Istana.

Dia pasti punya urusan lain yang harus segera ditangani. Begitu pula aku.

Kutancap gas mobil dan melaju pulang ke rumah. Ada yang ingin kutanyakan pada Frank. Tak peduli ia mau atau tidak, tapi dia harus menjawab pertanyaanku kali ini.

“Frank, kautahu sesuatu tentang kejadian aneh ini?” kutemui Frank sedang larut menonton di kamarnya yang redup. Tingkah Frank masih seperti biasanya. Kaku seperti tidak memiliki ruh.

Dia diam.

“Frank!! Jawab aku!! Apa ini maksud dari perkataanmu kemarin? Bahwa rahimku akan kembali kosong tanpa kehadiran siapa pun. BENAR BEGITU??” aku tahu tindakanku sia-sia. Frank sudah kembali menjadi Frank yang bisu selama beberapa tahun terakhir. Dia akan tetap diam dan dingin walau aku meneriakinya sekeras apa pun.

Rasa putus asa tiba-tiba menusuk hatiku. Rasanya berubah menjadi sakit saat mengingat peringatan Frank kemarin. Sekarang begitu mudah untuk bermain Permainan Seandainya. Seandainya aku tidak terlalu berharap pada kehamilanku kemarin, seandainya aku mendengar Frank tentang Tuhan yang sedang ingin bermain dengan perasaanku. Pasti aku tidak akan sehancur ini. Tidak begitu sakit saat menyadari kalau perutku kembali kosong. Dan tak akan pernah terisi lagi.

“Paradenya belum selesai. Tuhan masih mau terus bermain. Tapi kali ini Dia akan lebih serius.” Frank mendadak bicara. Aku sontak langsung menatap wajah kosongnya. “Dia akan menyelamatkan mereka yang terkutuk selama ini. Dan meninggalkan mereka yang sudah menikmati dunia dengan ketakutan menanti kepunahan mereka.” Frank kembali diam.

Rasa penasaranku tersulut. Frank ternyata berteka-teki. Apa maksud perkataannya ini? Tapi apa pun artinya, pasti akan ada korban lagi. Kali ini pasti mereka yang hidup. Bukan para calon bayi yang belum bernyawa.


Dua bulan berlalu setelah kejadian aneh itu. Ketakutan masyarakat kian membuncah. Semua orang mulai membuat presepsi mereka masing-masing. Beberapa kaum ulama dari berbagai agama mulai menganggap kejadian itu adalah awal datangnya kiamat yang sudah Tuhan rencanakan. Namun mereka masih memercayai Tuhan—bahwa kelak Dia akan datang membawa mereka ke surga.

            Omong kosong!

            Opini kedua pecah. Lebih banyak orang malah menganggap kejadian kemarin sebagai kiamat yang diinterpretasikan Tuhan dari pemahaman-Nya sendiri—bahwa Tuhan punya cara-Nya sendiri mengartikan kiamat untuk manusia.

            Kebanyakan dari orang-orang yang berada di opsi kedua, telah menganggap Tuhan pergi meninggalkan umat-Nya, bersama ketakutan menanti kepunahan mereka—seperti kata Frank.

            Tapi sampai sekarang aku masih tidak mengerti beberapa kalimat terakhir Frank itu. Apa maksudnya Tuhan akan meyelamatkan mereka yang selama ini terkutuk? Apa dia akan mencabut nyawa massal kali ini?

            Aku tertawa memikirkan pikiran itu. Dino Saptian pasti akan menganggap aku pencetus istilah yang andal jika mendengar kata mencabut nyawa massal.


“Bagaimana kabarmu, Rose?” aku menggenggam tangan Rose. Dia masih terbaring lemas di ranjang. Aku belum pernah melihat wajah Rose sepucat ini. Dia bahkan mirip Frank sekarang. Bisu dan membatu.

“Rose istri kedua Baskoro. Istri pertamanya diceraikan Baskoro karena tidak bisa memberikannya anak. Jadi pria bangsat itu sangat mengharapkan anak dari Rose. Tapi setelah kejadian dua bulan lalu, Baskoro frustrasi dan memaki-maki Rose. Dia juga tengah mempersiapkan perceraian mereka saat ini. Kautahu,” Ibu Rose, Nyonya Yolanda, mulai tersedu. “Kehilangan bayi dan suami di waktu yang sama, sudah sangat berat bagi putriku. Tapi kemarin, setelah Reneé, kembaran Rose, meninggal karena penyakit AIDS-nya, semua semakin terlihat tidak adil...” Yolanda sesenggukan. “Tidak adil, Bu.”

Aku hanya bisa mengiba. Melihat wanita tua di depanku dengan pandangan kasihan. Ia juga terluka karena permainan Tuhan. Bahkan kali ini ia terkena dua-duanya.

Pertama, kehilangan cucu dan menantu karena pembukaan permainan Tuhan: pengguguran massal. Kedua, ia kehilangan salah seorang anaknya karena permainan Tuhan kedua: pembunuhan massal mereka-yang-terkutuk.

Dua hari lalu, tepat setelah PBB mengumumkan hasil temuannya tentang kemandulan semua wanita di dunia ini (yakni: kemandulan wanita dewasa 15-55 tahun, dan tidak ditemukannya rahim pada anak perempuan berusia 0-15 tahun), terjadi hal aneh lainnya.

Mendadak semua orang yang mengidap AIDS, Kanker, Hepatitis dan seluruh penyakit yang belum ditemukan obatnya, mati secara massal. Dan tebak, kejadian ini lagi-lagi tidak hanya melanda satu tempat, tapi seluruh dunia.

Semua ini cukup membuatku sangat, sangat membenci Tuhan. Ia menyiksa jutaan orang yang selama ini telah memercayai janji-janji-Nya. Belum cukup dengan itu, ia mengambil harapan manusia untuk memiliki keturunan. Dan kini meninggalkan kami dengan keterpurukan kami menunggu ajal; bahkan Ia memperlakukan Dinosaurus jauh lebih baik.

Rasa benci itu kian bertambah ketika aku bertemu dengan orang-orang seperti Nyonya Yolanda, yang kehilangan seluruh hidupnya di saat yang bersamaan. Dimana Dia saat orang-orang membutuhkan-Nya?

Oh ya! Dia sedang berleha-leha di tahta kekuasaan-Nya. Menunggu jadwal permainan selanjutnya dimainkan.

Dan ternyata bukan aku saja yang berpikiran demikian. Ingat masyarakat opsi kedua? Mereka kini semakin banyak. Dan mulai bertingkah di luar-kendali.

Sebagian besar dari mereka mulai tidak mematuhi peraturan-peraturan dan hukum yang ada. Banyak gadis yang terang-terangan melakukan seks di luar nikah, dan bercumbu di depan umum. Alasan mereka kuat, karena mereka tak punya rahim lagi. Tak ada resiko hamil ataupun terkena penyakit kelamin; karena mereka-yang-terkutuk telah mati.

Bukan hanya itu, kekacauan lain juga terjadi. Banyak dari prajurit pertahanan di setiap negara mulai membelot dan bertingkah sesuka hati mereka. Seperti kemarin di Kalimantan Barat, terjadi perang antara dua kompi Angkatan Bersenjata satu linud, hanya karena sebagian dari mereka adalah orang-orang di opsi pertama.

Pemberontakan orang-orang di opsi kedua semakin menjadi-jadi. Mereka menunjukkan kebencian mereka terhadap Tuhan dengan melanggar semua aturan yang telah mereka jalankan selama ini. Sebenarnya, gejala ini menambah berat tugasku. Tapi aku tidak akan pernah menyalahkan mereka. Tuhan-lah yang bersalah! Ia yang sekarang tidak lebih dari sekadar seorang anak kecil yang mempermainkan bonekanya.
 
***

“Afiva! Apa kautahu apa yang kaulakukan barusan?” Dino Saptian terus memegangi lenganku. Ia bersikeras—sebersikeras aku yang terus berontak. “Kau memukul kepala Presiden! Dan merasa belum puas?” pria seperempat abad itu terus berteriak di telingaku.

            “Biar! Biar kupukul sekali lagi kepalanya. Ini satu-satunya kesempatanku!” aku juga terus berontak. Sedangkan Yudhawiryawan yang kepalanya sudah berlumuran darah dilarikan para pengawalnya menuju ambulan yang sudah menunggu di pelataran depan Istana.

“Sebenarnya apa maumu?” Dino kini dibantu beberapa pria lainnya untuk menenangkanku.

“Dia sudah kuperingatkan! TAPI DIA TIDAK MENDENGAR!! Dia malah menganggapku GILA!!” aku menjerit-jerit. Emosiku sudah benar-benar meledak.

“Kau memang sudah GILA!!”

Begitulah tudingan yang kudengar dari orang-orang terdekatku belakangan ini. Mereka semua bilang kalau aku sudah tidak waras. Ray bahkan menamparku karena aku berbicara kasar—mungkin kotor—terhadap Tuhan yang masih dipercayainya. Mereka semua menganggapku tertekan karena keguguran yang kualami tempo hari. Itu mungkin benar. Tapi aku bukan hanya sekadar tertekan—aku marah—aku tidak terima diperlakukan seperti ini.

Tuhan mengaduk-aduk perasaanku. Mencabik-cabiknya lalu meremukkannya.

Dia masih punya rencana untuk menambah penderitaan kami—makhluk bumi yang tersisa—dengan rencana yang lebih menyakitkan. Frank memberitahuku kemarin. Dan aku baru sadar kemarin, kalau Frank adalah cenayang. Ia bisa melihat masa depan, dan tahu apa niat busuk Tuhan.

Tentu aku tidak akan tinggal diam. Aku harus memberitahu yang lain kalau pagelaran parade musibah dari Tuhan masih akan terjadi lagi. Tapi Yudhawiryawan malah menganggapku bergurau—lebih parahnya lagi, ia menganggapku gila.

Siapa yang tidak marah dianggap seperti itu? Jadi kupukul saja kepalanya dengan haq sembilan senti yang kukenakan. Membuat lubang kecil bersarang di kepala idiotnya. Hahahaha! Sekarang siapa yang akan gila?

Tapi karena pemukulan itu, sekarang aku punya kesempatan untuk berbicara kepada khalayak dan memberitahukan mereka apa yang telah diramalkan Frank.

Dino membawaku ke kantor polisi dan menjalani pemeriksaan. Setelah dua jam diinterogasi dan aku diam saja, aku kemudian dibawa ke tempat tahanan sementara. Di perjalanan, puluhan wartawan mengerubungiku dan meyerang dengan jutaan pertanyaan. Mendadak mataku silau dengan lampu kamera, dan aku sadar kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengatakan apa yang telah Frank ramalkan.

“Saya memperingatkan kalian semua: Tuhan sedang mempermainkan kita. Setelah bermain dengan dua bencana besar, Dia akan sesegera mungkin mengeluarkan permainan ketiganya. Dan kali ini Dia akan membuat kita terjaga sepanjang malam, karena keributan senjata yang beradu. Bahkan langit malam akan berubah merah selamanya. Perang Dunia pertama dan kedua akan jauh lebih baik daripada yang satu ini. Karena dahulu masih ada ibu hamil dan tangisan bayi-bayi!!”

“Apa itu? Wanita ini mengoceh apa?”

“Dia sudah tidak waras!”

“Huu! DASAR PEREMPUAN STRES!!”

Para wartawan itu menghujatku. Meremehkan perkataanku, dan seperti yang lain, menganggapku gila.

(cerpen ini pernah jadi juara II sayembara menulis cerpen se-sumut dan dibukukan di antologi cerpen: Sepasang Sayap Menari)

0 comments :

Post a Comment