Thursday, May 19, 2016

  |   No comments   |  

Hal yang Tak Mungkin Bisa Saya Lakukan Lagi di Hidup Ini

Sejak bisa mengingat, saya adalah seorang pelamun. Orang yang suka melamun.

Ya, pelamun. Bukan pengkhayal atau pemimpi. Karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terakhir, yang saya lakukan lebih tetap dimaknai sebagai melamun, bukan mengkhayal atau bermimpi. Dan pelamun, memang tidak ada di KBBI. Tapi kalau orang yang suka berkhayal disebut pengkhayal, dan orang yang suka bermimpi disebut pemimpi, maka mari menyebut seorang yang suka melamun sebagai seorang pelamun. Semoga kata ini ada di KBBI edisi terbaru yang segera akan terbit.

Harapan saya terhadap KBBI baru ini tentu saja tak sepesimis judul tulisan ini, yang kalau dirasa-rasa sangat dramatis, alih-alih depresi.

Tapi judul tersebut bukanlah dikarang-karang demi clickbaits (memangnya ini blog apaan huft), sebab sungguh tidak Anda saja yang merasa kalau judul ini mirip dengan judul-judul berita di media abal-abal. Ia saya ciptakan dari realita. Sebab, bukannya saya seorang pesimis, tapi memang ada hal-hal yang tak mungkin bisa saya lakukan lagi di hidup ini.

Mau tau apa saja? Simak, dan buktikan sendiri betapa tidak berlebihannya judul ini.

1. Nonton Konser Amy Winehouse secara langsung

Siapa tak kenal Amy Winehouse? Banyak! Untuk itu saya ilustrasikan wajahnya dengan senyum (asal tahu saja, Amy ini seniman yang jarang senyum) dan sumringah dengan kemeja merah muda (Amy biasanya tampil berantakan, dengan kostum sering kali hitam).



Tapi yang kenal juga pasti banyak sekali. Dia terkenal sebagai penyanyi jazz di era ini. Lagunya yang paling laku ialah Back to Black dan Valerie. Tapi dia lebih terkenal karena pernah masuk rehabilitasi akibat gaya hidupnya yang suka 'tinggi'.

Makin terkenal setelah dia mati di usia produktif, 27 tahun. Semua orang langsung bilang, kalau dia sangat keren, karena bisa masuk Club 27. Itu loh, sebuah klub rekaan teori konspirasi yang bilang kalau Kurt Cobain, Jimmy Hendrix, Janis Joplin, dan sejumlah artis kenamaan lainnya yang meninggal di usia 27, sedang duduk-duduk santai di surga khusus mereka. Itulah kenapa klub mereka disebut Club 27.

Anyway, sekarang sudah tahu kan kenapa saya tidak akan pernah bisa lagi menonton Konser Amy Winehouse seumur hidup saya? Ya, tepat! Amy sudah koit. Sebelum saya mampu menafkahi diri sendiri untuk bisa membeli tiket konsernya. Padahal, saya sangat senang dengan genre musik, gaya bernyanyi, dan lirik-lirik lagunya. Amy adalah salah satu penyanyi yang paling sering saya dengarkan saat SMP sampai SMA.

2. Jadi bintang tamu Oprah di The Oprah Winfrey Show

Saya sangat jarang nangis. Oke, saya bohong. Tapi yang coba saya sampaikan adalah, saya sangat-sangat ingat kapan saja saya nangis sampai kesulitan sendiri untuk memberhentikan tangis itu. Ya, hal-hal memalukan atau mungkin diperlukan begitu memang terjadi di hidup. Seingat saya, tak banyak tangis yang seperti itu terjadi. Jaraknya pasti jauh-jauh.

Dan salah satu yang paling saya ingat adalah tangis pada 26 Mei 2011. Hari itu adalah episode terakhir The Oprah Winfrey Show. Well, secara teknis di Amerika Serikat masih tanggal 25 Mei sih. Tahun itu, acaranya Oprah itu memasuki musim ke-25. Bukan! Kalau ada yang menebak saya menangis karena pupusnya harapan saya bisa jadi bintang tamu di acara itu, maka "bukan" adalah jawabannya. Saya menangis karena acara-paling-keren-sedunia-sejak-dunia-ada-sampai-sekarang itu sudah habis. Dan tidak akan pernah ada lagi. Selama-lama... mengetik ini saja membuat saya teringat sedihnya waktu itu.

Oprah bagi saya, dan saya yakin bagi banyak sekali orang di Bumi, adalah semacam nabi di zaman ini.

Selama saya menonton acara itu, Oprah selalu menunjukkan pelajaran penting untuk manusia, bahwa: (1) manusia adalah manusia, tak terkategorikan oleh hal sekecil apa pun (2) yang terpenting selama hidup adalah untuk mencapai kedamaian.

Cara Oprah untuk berdampak terhadap dunia ini benar-benar memengaruhi saya. Bahwa menolong orang lain adalah pekerjaan paling membahagiakan, serupa dengan membuat orang lain bahagia. Dan dia menunjukkannya dengan banyak sekali cara. Bagi yang belum pernah menonton acaranya, maka tontonlah. Ada di Youtube, ataupun dijual dalam bentuk DVD.

Sampai sekarang, saya belum punya rekomendasi acara yang bisa menggantikan The Oprah Winfrey Show. Tapi Ellen DeGeneres punya tujuan mulia serupa melalui acaranya. Dan dia juga semacam nabi bagi saya pribadi. Ellen mengubah dunia dengan cara positif sekali ke arah yang juga positif sekali.

3. Ini yang paling membuat saya sedih, alih-alih menderita

Tuhan menciptakan satu-satunya hal yang bisa jadi anugerah sekaligus kutukan di dunia ini. Satu-satunya hal yang bisa menyebabkan perang sekaligus meredakannya. Satu-satunya hal yang bisa bikin manusia sakit sekaligus jadi penawarnya. Hal itu dinamakan cinta, dalam bahasa Indonesia, dan nama lainnya dalam ragam bahasa sedunia.

Salah satu hal yang tak mungkin lagi bisa saya lakukan di dunia ini, dan saya menderita karenanya adalah, menaikkan haji Andong dan Atok.

Andong dan Atok adalah sebutan Nenek dan Kakek dalam bahasa Melayu. Mereka berdua ini adalah orang yang paling saya cintai dan hormati di dunia ini. Bahkan dulu, saat saya masih muda sekali, mulut durhaka ini pernah bilang begini ke Ibu kandung saya, "Rasanya Andong adalah orang yang paling Adam sayang di dunia ini... Lebih daripada sayang ke Ibu."

Saat mengucapkan itu, respon Ibu hanyalah diam saja. Tapi belakangan jauh hari setelah itu, saya baru tahu kalau Ibu menyimpan sakit atas kata-kata saya. Tahunya pun dari adik saya, bukan Ibu sendiri.

Saya tidak menyesal mengatakannya. Sebab begitulah yang memang saya rasa. Tapi saya keliru tentang satu hal. Bahwa Andong memang orang yang paling saya sayang, pun begitu dengan Ibu. Belakangan saya sadar kalau posisi Ibu dan Andong selalu sama di hati saya. Mereka yang paling puncak. Selalu begitu, sejak dulu.

Kedekatan saya dengan Andong dan Atok tentu punya alasannya sendiri. Sebagai cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki pertama, Andong dan Atok yang merupakan muslim taat, tak tahu secara sadar atau tidak, memperlakukan saya seperti cucu kesayangan. Sehingga saya lebih sering tinggal bersama Andong dan Atok ketimbang orangtua sendiri, sedari kecil sampai tamat SD. Padahal cucu mereka banyak sekali. Waktu itu ada 17 orang, dan berakhir di angka 23 sampai sekarang.

Diam-diam saya berniat menaikkan haji keduanya, kelak saat saya punya kesempatan untuk itu. Sebab, sebelum keduanya pergi... damai bersama Ilahi, yang paling mereka inginkan adalah melengkapi rukun Islam, agama yang mereka pegang teguh semasa hidup.

Maka, dua tangis-menjadi-jadi lainnya yang paling saya ingat adalah saat saya mencium pipi dan kening Andong dan Atok yang sudah dikafani. Andong meninggal pada puasa terakhir di tahun 2004, sementara Atok meninggal masih dalam suasana lebaran tahun 2014.

_________________________________________________________________________________

Omong-omong. Saya pernah terpikir, kalau bisa memilih sendiri mati di usia ke berapa adalah sebuah kemewahan yang akan sangat saya syukuri. Tapi karena tak pernah bisa berdialog dua arah dengan Tuhan, maka sejak remaja saya diam-diam berdoa agar mati di usia 36. Entah kenapa. Hanya menebak kalau semua keinginan saya sudah tergenapi di usia segitu.

Nah, karena saya ini adalah orang yang sangat terobsesi (kalau boleh dibahasakan begitu) dengan kematian, maka saya tak terlalu antusias dengan hidup. Dalam rangka menyemarakkan hidup saya sambil menunggu-nunggu datangnya kematian, maka secara rahasia, saya membuat sebuah daftar tentang hal-hal yang ingin saya lakukan sebelum mati. Daftar itu masih rahasia. Tapi yang bisa saya bilang, sebagian dari daftar itu sudah dicentang. Sebagian besarnya belum terwujud tapi masih besar kemungkinannya untuk diwujudkan, tapi yang tidak saya sangka, ada sebagian yang sudah tidak bisa diwujudkan lagi. Misalnya, tiga hal di atas.