Wednesday, December 31, 2014

  |   No comments   |  

2014 dalam Sepotong Percakapan



Saya sedang jaga ayah di rumah sakit, saat Cameo datang mengunjungi saya. Dia memang ke sana untuk bicara dengan saya. Bukan untuk melihat kondisi ayah, karena kemarin Cameo sudah menginap di rumah sakit bersama ibu. Bahkan dalam dua minggu ayah diinapkan di rumah sakit, Cameo sudah tiga kali ‘jaga malam’. Sementara saya sendiri, baru nanti malam sempat menginap menjaga ayah untuk pertama kalinya.

Ya, selama September-November kemarin saya memang sangat-sangat sibuk.
Itulah alasan mengapa saya bahkan tak punya waktu menjaga ayah. Itu juga alasan Cameo mengunjungi saya siang itu.

Long time no see, bro!” Cameo memukul pundak saya sambil tersenyum. Senyum yang di dalamnya banyak sekali tanda dan makna. Sesuatu yang membuat saya tak kuat membalas senyumnya.

Memang benar kami sudah tidak bertemu lama sekali. Mungkin sudah enam bulan lebih. Terakhir kali di Maret, saat saya traktir dia segelas cappucino dan kentang goreng. Waktu itu saya butuh kupingnya.

Selepas itu, banyak hal yang membuat saya akhirnya sibuk dengan diri sendiri dan masalah organisasi.

Sesuatu yang akhirnya menarik saya dari Cameo dan alterego lainnya.

“Mari keluar sebentar, bro? Biarin ayah istirahat sebentar,” kata Cameo.

Lalu, kami berdua pergi ke warung nasi padang di depan rumah sakit. Makan siang. Dan di sanalah terjadi sebuah percakapan yang membuat saya berefleksi atas diri sendiri. Ia terjadi awal November kemarin, tapi sengaja baru saya tulis sekarang.

Karena rasanya, akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk membaginya.
Kira-kira beginilah penggalan percakapan itu:

Cameo: Ke mana saja belakangan ini?

Saya: (tersenyum) tidak ke mana-mana. Biasa. Organisasi jadi sedikit butuh perhatian di tahun terakhir ini.

Lalu ada jeda. Pikiran saya sendiri kosong waktu itu.

Cameo: Tahun yang sulit ya… (tersenyum).

Saya bahkan tak bisa tersenyum. Cameo benar. Tahun ini benar-benar sulit, sebenarnya. Tak peduli seberapa besar saya berpikiran positif tentangnya.

Cameo: Berapa resolusimu yang sudah terlaksana?

Saya: (terkejut kemudian tertawa) Saya belum menghitung. Tapi sepertinya tinggal satu yang tidak terlaksana.

Cameo: Apa itu?

Saya: Jadi lebih produktif sebagai penulis lepas. Tahun ini saya jadi susah atur waktu. Termasuk waktu untuk menulis demi diri saya sendiri. Kau pasti paham maksudku, Kem. (tertawa)

Cameo: Ya… ya.. masalah atur waktu lagi ya (tersenyum getir).

Ada jeda lagi. Kali ini lumayan panjang.

Cameo: Lalu, kalau saya tanya apa kabarmu sekarang, kau mau jawab bagaimana?

Saya diam. Pertanyaan Cameo berhasil menohok ulu hati. Entah kenapa pahitnya empedu iba-tiba terasa hingga ke lidah. Membuat mulut ini berat untuk bergerak. Pikiran saya tiba-tiba meloncat-loncat di saat yang sama. Kembali mengenang bagaimana tahun ini dimulai.

Sebuah tanggung jawab besar saya emban di organisasi. Waktu itu keadaan memang tidak nyaman bagi beberapa orang, termasuk saya. Masalah juga datang dari rumah. Ibu dan ayah ‘berdebat hebat’ hahaha… kalau saya boleh pakai istilah itu. Semuanya dimulai dengan perasaan berkecamuk tahun ini. Lalu, seiring berjalan, masalah-masalah lain mulai muncul.

Sulit menjabarkannya tanpa kembali merasa getir di ulu hati dan sekujur tubuh. Tapi masalah-masalah itu terasa begitu kentara sehingga sulit mengingat momen-momen yang membuat bahagia.

Perkara cinta masih sama. Tahun ini saya masih tuna asmara. Tak bisa menemukan orang sebaik Rahasia, sehingga sadar atau tidak sadar saya masih berkeliling di lingkaran hidupnya. Berpindah hati ternyata bukan perkara gampang. Sampai… ah ya! Saya punya satu momen bahagia yang rasanya menutup kenangan atas beberapa masalah yang terjadi setahun ini!

Momen itu saya sebut sebagai ‘momen damai’. Terjadi saat saya sedang berdua dengan Rahasia, dalam sebuah perjalanan pulang ke rumah. Sulit menjelaskannya dengan kata-kata, tapi malam itu terasa sangat damai. Kami berdua terlibat percakapan ringan tentang hidup, seperti yang sebenarnya biasa kami lakukan, tapi beberapa saat kemudian kami berdua diam. Malam juga tiba-tiba ikut diam. Hening itu kemudian menyusupkan damai ke dalam hati kami berdua. Rahasia tersenyum di boncengan. Saya juga, kemudian bertanya, “Kamu juga merasa apa yang saya rasa sekarang?”. Dia menjawab, “Iya, sulit menjelaskannya tapi saya paham maksudmu.”

Abstrak? Begitulah yang kami rasakan. Entah dari mana perasaan damai itu datang, tapi bahagia yang diciptakannya benar-benar menyentuh kami secara abstrak.

Tapi, seminggu ini saya sudah tidak berhubungan lagi dengan Rahasia. Ada masalah yang mengganggunya. Tentang eksistensi diri saya, dan eksistensi dirinya sendiri. Masalah filosofi dalam hidup kami. Ada benturan pikiran, yang sebenarnya biasa terjadi antarkami berdua. Tapi kali ini sudah ditumpuk-tumpuk tanpa ada komunikasi lancar sebelumnya. Sehingga beginilah: masalah dengan Rahasia juga jadi salah satu masalah terberat setahun ini.

Sejumlah orang yang punya tempat istimewa tersendiri di hati dan pikiran saya anehnya juga terdepak begitu saja dari hidup saya. Beberapa karena masalah yang seumur hidup belum pernah saya alami di tahun-tahun sebelumnya. Saya memang tak pernah punya masalah personal seberat semua masalah personal yang terjadi di 2014 ini. Tak pernah kehilangan teman karena masalah begini, dan karena ini yang pertama kali, maka rasanya begitu berat dan sakit.

Tapi masalah ini berhasil membawa saya tiga langkah lebih mengenal diri saya sendiri. Lagi.
Tahun ini juga membawa jarak yang sangat panjang sebenarnya pada seorang kakak. Kakak yang belakangan saya rindukan alang kepalang. Sempat bertemu di tahun ini, jadi sedikit bersyukur. Semoga tahun depan bisa punya waktu untuk bertemu lebih lama. Bercerita lagi di sore-sore bersenja cantik, sambil minum espresso paling pahit.

Ah ya, betapa buruknya kesan yang ditinggalkan tahun ini, masih ada ‘semoga’ yang bisa terlontar untuk tahun berikutnya. Masih ada harapan yang mampu melambungkan perasaan getir.
Jadi kalau ditanya, apa kabar saya sekarang? Maka jawabannya adalah, “Pada akhirnya saya masih saya. Tentu dengan segala yang hilang dan apa pun itu yang bertambah. Dengan segala kesenangan dan kegetiran di dalamnya, saya baik-baik saja.”

P.S. Sebenarnya ada lagi yang terjadi di Desember, sesuatu yang saya pikir tak mungkin lagi terjadi. Maksudnya, bagaimana mungkin kegetiran masih berani menyelinap masuk ke bulan terakhir tahun ini? Dan ternyata ia berhasil menyusup sehingga benar-benar menutup tahun ini dengan kegetiran yang sempurna.

Hal itu adalah ketika melihat adik-adik, saudara, keluarga, atau apalah julukan yang pas saya berikan pada beberapa orang yang berhasil membuat saya jatuh cinta pada mereka tahun ini, menangis karena jatuh ke dalam prediksi meleset mereka. Prediksi yang kelewat jauh jatuhnya memang akan merusak orientasi yang sudah rapi disusun.

Sejak awal saya memang menarik diri jauh-jauh dari keputusan besar yang mau mereka pilih sendiri. Kepada adik-adik ini, saya bilang saya tak bisa bantu untuk pilihan mereka kali ini. Karena mereka sudah dewasa dan harus belajar berpegang pada apa yang telah mereka putuskan dan pilih. Tapi yang terjadi mereka malah sedih, karena lupa opsi lain yang sudah dicadangkan takdir.

Namun demikian, karena takdirlah yang sudah mencadangkan tentu saja yang terjadi bukanlah sesuatu tak ber-jalan keluar. Seperti yang salah seorang adik pernah bilang, kiranya sama seperti momen-momen mengejutkan lainnya, setelahnya menjadi soal terima-tidak terima dan mulai kembali berirama. Semuanya memang akan kembali berirama, maka beranilah untuk mengontrol iramanya agar tak berujung jadi irama yang bising alang kepalang.

Untuk tangis yang pernah jatuh, percayalah saya benar-benar minta maaf.

P.S.S. Kalau matamu sudah sampai ke paragraf ini, dan kau tak mengerti sepenuhnya apa isi tulisan ini, maka tetaplah di sana. sebab ini hanya catatan pribadi tentang tahun ini. Hanya sesuatu yang personal oleh seorang pribadi. Hanya sebatas itu.

0 comments :

Post a Comment