Aku sedang berenang bersama Rian saat
mendadak kakiku keram. Sialnya, rasa sakit yang mendadak mencekik
separuh badanku ini membuat mulutku tak bisa menjerit mencari
pertolongan. Rian yang berenang tak jauh dariku pun tak tau kalau aku
sedang sakaratul maut.
Napasku mulai disumbat air asin yang masuk
melalui mulut dan hidung. Sedang dadaku mulai terasa sesak dan panas.
Begitu panasnya hingga aku merasa ada sesuatu yang pecah di paru-paruku.
Di saat itu juga penglihatanku memburam dan membawa kegelapan yang
kekal.
“Aaaaa!!!”
Seseorang menjerit!
Ibu? Ibu kah itu?
Mataku kembali terbuka, disertai sengatan pusing akibat disorientasi singkat.
“Aaaa!!” sekali lagi suara teriakan terdengar.
Aku, yang masih disorientasi karena baru
bangun tidur, pontang-panting turun dari kamarku di lantai dua dan
berlari mencari sumber suara. Berlari ke lantai satu, tempat Ibu
menjerit histeris barusan.
Tapi di tengah tangga, langkahku terhenti.
Seseorang berdiri di sana... seseorang? Benarkah itu seseorang? Karena
yang kulihat adalah... Roy? Benarkah itu Roy?
Mendadak tubuhku bergidik. Merinding hebat.
Rasanya temperatur ruangan ini tiba-tiba turun drastis.
Membuat perasaan
bergidik ini mengganda berkali-kali lipat. “Roy?” akhirnya ada yang
keluar dari mulutku.
Tapi ‘seseorang’ yang membuat aliran darahku
tersendat ini diam saja. Memandangku dengan mata kosong dan bibir
penuhnya yang melengkung ke bawah. Membentuk seringai terbalik yang
membangkitkan bulu di tengkuk leherku.
“Kau kah itu Roy?”

Pertanyaan retorik itu sebenarnya tak perlu
ia jawab. Dari jarak kami saling berhadapan ini tentu saja aku masih
bisa mengenali wajah itu. Dia memang Roy. Abangku... yang tiga tahun
lalu sudah meninggal.
Roy masih diam.
Tiga tahun lalu, Roy mendadak hilang saat
kami sekeluarga berlibur ke Pantai Senggigi. Selama dua hari, dibantu
polisi, kami sibuk menyisir kawasan pantai itu untuk mencarinya. Tapi
nihil. Dugaan-dugaan menyeramkan mulai muncul. Ada yang mengira abangku
yang berumur 14 tahun itu terbawa arus pantai yang memang sedang pasang
saat dia menghilang. Ada pula yang menduga Roy diculik oleh orang tak
dikenal dan dibawa entah ke mana.
Dugaan pertama terdengar lebih masuk akal,
karena hingga kini tak ada seorang pun yang menelepon untuk minta
tebusan agar Roy dikembalikan. Sampai hari ini tubuh Roy memang belum
ditemukan. Tapi aku tak yakin kalau yang berdiri di depanku sekarang
memang lah ‘tubuh’ Roy yang selama ini kami cari?
“Kemana saja kau, Roy?” aku tak tahu kenapa
pertanyaan itu keluar dari mulutku. Mungkin karena terlalu merindukan
sosoknya yang membuat keluarga ini berkabung terus selama dua tahun
terakhir.
Ada hening yang lama sebelum Roy menjawab, “Aku selalu di rumah, Za.”
Bulu-bulu di tengkukku semakin menegang
mendengar suaranya. Terlebih karena dia menyebutkan namaku dengan fasih;
persis seperti terakhir kali aku mendengarnya menyebut namaku dua tahun
lalu.
Dadaku mendadak sesak. Diikuti rasa terbakar
yang menandak-nandak di mataku. Rasanya seperti ingin menangis, tapi tak
ada air yang jatuh. Aneh. Padahal biasanya aku memang orang yang
gampang menangis.
“IBU! BANGUN BU!” tiba-tiba suara bariton
ayah mengambil alih perhatianku. Sehingga aku menoleh ke arah bawah
tangga. Tepat, tempat ayah sedang merebahkan Ibu yang kelihatannya
sedang pingsan.
Tapi saat mataku kembali menoleh ke depan, Roy telah hilang.
Tentu saja tubuhku yang sedari tadi bergidik
makin bergidik dibuatnya. Tapi fokusku telah teralihkan ke arah bawah
tangga. Ibu sedang pingsan karena menangis sesenggukan. Sebenarnya apa
yang sedang terjadi?
Saat aku telah tiba di bawah dan ingin
bertanya, “Ibu kenapa, Yah?”, Merry, kakak sulungku malah telah
mendahuluiku dengan pertanyaannya, “Ada apa, Yah?”
Ayah yang juga menangis melirik Merry dengan tatapan pilu. Tapi ada yang aneh. Ayah seolah-olah hanya memberikan tatapan itu pada Merry. Padahal aku sedang berdiri di antara mereka berdua.
Ayah sedang memangku Ibu yang tergolek lemah,
sementara Merry baru masuk dan berdiri di dekat pintu depan. Tapi
keduanya bertingkah seolah-olah hanya mereka berdua yang ada di ruangan
itu, ditambah Ibu yang sedang tidak sadar. “Yah?” tanyaku.
Tapi pandangan ayah masih tertumpu pada Merry
dan ia mulai menangis sesenggukan. “Reza meninggal, Merry. Rian barusan
menelepon, katanya Reza tenggelam,” kata Ayah sambil menangis terisak.
Saat kepalaku belum sepenuhnya mencerna
adegan mengerikan yang barusan kulihat, di saat itulah Roy memilih
kembali muncul. Tepat lima sentimeter di depan hidungku.
Kali ini dia tersenyum.
Sambil berkata, “Sekarang aku tidak sendiri lagi terkurung di rumah ini, Za.”
lanjutin...
ReplyDeletehttp://onyaedward.blogspot.com/
ReplyDeleteall about instrument technology :)