Thursday, November 17, 2016

2 comments   |  

Ibu Pt. III: Anak dalam Kepitan Ketiak Ibu



Ibu belakangan jadi topik menarik ya di sini. Beberapa orang jadi penasaran dengan karakter Ibu saya yang sebenarnya. Tak sedikit pula yang mendoakannya cepat sembuh.

Kabar terakhir, Ibu baru selesai operasi. Tapi bukan operasi usus buntu seperti yang diceritakan postingan sebelumnya. Usus buntu adalah diagnosis pertama yang salah. Selanjutnya dia diduga punya kista. Tapi dokter masih belum yakin, sehingga dilakukan foto abdomen ulang, dan sejumlah USG. Diagnosis berikutnya bikin lebih ngeri. Kata hasil laboratorium, Ibu terkena Ileus Obstruktif. Sederhananya, ia adalah penyumbatan usus. Tapi risikonya parah. Bila tak ditangani dalam waktu 36 jam, maka kemungkinan meninggal bisa sampai 25-30 persen.

Padahal hasil lab terakhir itu keluar saat Ibu sudah diinapkan empat hari di rumah sakit. Saya sempat bikin gaduh di rumah sakit, karena penanganan mereka yang terlalu lama dan terkesan sepele. Tapi setelah Ibu dianjurkan CT Scan, barulah penyakit di perutnya mulai terang juntrungannya.

Ia rupanya memelihara tumor di rahim. Tak main-main ada tiga sekaligus. Satu di kanan, satu di kiri, dan lainnya di ujung rahim. Sehingga ia harus melalui dua kali operasi.

Operasi terakhir rampung Rabu lalu. Kini ia masih kepayahan jalan karena luka operasi yang belum kering. Oh ya, separuh indung rahim kirinya ikut dipotong karena tumor yang tumbuh di sana lebih berbahaya. Gara-gara ini, Ibu kemungkinan besar tidak akan menstruasi lagi di umurnya yang masih 46 tahun.

Dua bulan ini jelas adalah masa-masa paling sulit. Ibu adalah oli penggerak keluarganya. Kealpaannya karena sakit jelas membuat yang lain ikut tertatih-tatih. Saya sendiri lebih 10 hari berturut-turut tidak masuk kantor karena harus kena shift jaga Ibu.

Selain sakit di perutnya, Ibu juga punya diabetes yang cukup menyusahkan proses pengangkatan tumor. Angka gula darah yang terlalu tinggi akan membuat luka operasinya susah kering. Sehingga dua bulan ini, salah satu masa tersulit adalah ketika harus memantau turun naiknya gula darah Ibu.

Semua baik-baik saja, sampai beberapa jam sebelum operasi. Ibu sempat hampir mati justru bukan karena tumornya. Melainkan karena gula darahnya yang turun sampai angka 40.

"Nak, kayaknya ada yang enggak beres. Kaki Ibu kedinginan. Perut ini rasanya sudah kebas, seperti dibius. Panggilkan susternya, tolong, Nak," katanya pada saya waktu itu.

"Sebentar lagi, Buk. Kan sebentar lagi jam cek gula," bantah saya yang tolol ini. Waktu itu Ibu memang akan dicek angka gula darahnya sekali setiap jam. Saya malas mengingatkan kimplotan suster-suster galak itu. Soalnya, beberapa kali saya sudah adu mulut dengan beberapa di antara mereka karena pelayanan buruk dan sangat-sangat tidak ramah.

Ibu diam sejenak. Mungkin cuma sepuluh detik. Dia kembali bergumam sambil pegang tangan saya, "Tolong panggil, Nak. Ini enggak betul lagi."

Saya lantas lari, dan suster juga lari. Beberapa jam kemudian kami sibuk menyemangati Ibu yang sudah kelemasan dan banjir keringat. Para suster sibuk mengontrol angka gula darahnya. Ibu sempat limbung, sampai ngantuk berat dan seolah kesadarannya ditarik.

Hari itu benar-benar mengerikan untuk diingat. Perasaan gelisah karena takut kemungkinan-kemungkinan terburuk akan terjadi adalah mimpi buruk terburuk yang pernahada di hidup manusia. Gelisah karena takut ditinggal Ibu adalah perasaan paling menyiksa yang pernah saya rasakan.

Kini, penderitaannya memang berangsur-angsur menipis. Tapi, pindah di saat-saat begini sebenarnya tetap terasa tidak benar -- tidak tepat.

Rupanya, perasaan takut tak bisa mengurus Ibu saat dia butuhkan jauh lebih menyiksa. Penyiksaan itu semakin menjadi-jadi saat saya sadar kalau kelak, di seberang pulau, saat saya yang sakit, akan susah sekali untuk pulang dan berharap tangan hangat Ibu mengurut kening ini sambil membawel tentang pola hidup saya yang kacau.

Semalam, sambil memeluk saya di atas kasurnya, Ibu bilang, "Susah punya anak yang sudah dewasa. Rasanya ingin selalu dikepit di bawah ketiak, supaya tak jauh dari pandangan. Bisa dijaga, bisa dirawat. Tapi karena sudah dewasa, kepitan ketiak sudah enggak muat lagi. Artinya, Tuhan sudah suruh ikhlas."

Tapi rasanya mau terus-terusan dikepit Ibu. Di tempat paling nyaman di bumi ini: di bawah pantauan seorang Ibu. Di bawah kepitan ketiak Ibu.

2 comments :

  1. Speechless baca tulisan ini, Adam. Aku tau betapa susahnya ketika orang tua sakit. Tapi, pengalaman kita sepertinya agak berbeda. Kedua orang tuaku tidak suka berobat ke rumah sakit. Bapak sempat terkena gula juga, tapi bisa sembuh karena diet total mengonsumsi gula. Bahkan tidak makan nasi putih, cuma makan nasi merah setiap harinya. Mungkin hal yang sama juga bisa dilakukan untuk mengurangi kadar gula pasca operasi ibu, Dam. Mesti telaten dan sabar ya. Memang prosesnya lama, tapi bukan berarti nggak bisa sembuh. Sama halnya ibuku, beliau ternyata pernah didiagnosis kista dan tumor. Tapi, orang satu rumah nggak ada yang dikasih tau dan ibuku mengobati dengan caranya sendiri.

    Kebetulan ibu di rumah sering berkebun, menanam segala macam tumbuhan yang aneh dan jarang ditemui di Jawa. Beberapa kali juga, aku bawain tanaman obat tradisional yang ku dapat saat riset di Kalimantan. Aku taunya ibu suka berkebun, nggak sadar kalau ternyata hobinya ditujukan untuk mengobati sakit yang tidak diceritakannya. Setelah rutin bikin jamu dari tanaman yang aneh-aneh itu, beberapa bulan kemudian kista dan tumornya sudah hancur, bahkan dokternya heran sendiri. baru aja sebulan yang lalu ibu cerita perihal sakit yang pernah dideranya.

    Semoga Ibu lekas membaik.
    Sabar ya, Dam. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup :)

    ReplyDelete