Wednesday, November 16, 2016

  |   2 comments   |  

Kemas-kemas



Kalau ada yang bilang perjalanan itu dimulai dengan satu langkah kecil, mungkin dia keliru selama ini. Sebab, yang terjadi sebenarnya adalah, sebuah perjalanan selalu dimulai dengan kemas-kemas.

Sudah jadi sifat dasar manusia untuk merasa siap sebelum melakukan apa pun. Termasuk dan terutama, sebelum melakukan perjalanan. Itu sebabnya, kemas-kemas jadi salah satu tahap paling penting sebelum melakukannya.

Kemas-kemas bagi orang yang sering pindah macam saya, bukan lagi tentang seberapa banyak sempak yang akan diselipkan dalam koper atau berapa banyak uang tunai yang diselipkan dalam tiap kocek. Bagi orang yang terlampau sering pindah, bagaimana bentuk kamar barumu jauh lebih penting ketimbang berapa banyak koper yang akan dijinjing; menyusun perpisahan yang berkesan lebih penting ketimbang sibuk mencari-cari berkas administratif yang harus selalu dibawa setiap kali pindah.

Kalau kau sudah pernah pindah berkali-kali sampai kau sendiri bosan dan tak lagi menghitungnya, detail paling penting dari kemas-kemas adalah merapikan kenangan dan ancang-ancang mental.

***

Saya teringat pengalaman pertama kali naik pesawat sendiri, menyebrang provinsi, saat masih tiga belas atau empat belas. Saya khawatir. Tapi lebih banyak girangnya. Meski sadar kalau jakun belum tumbuh dan pipis belum lurus, tapi saya merasa dewasa betul waktu itu. Pasalnya, saya yang sebenarnya sering melakukan perjalanan jauh naik kapal laut, kapal udara, dan jalur darat sejak umur tiga tahun, akhirnya bisa merasakan perjalanan sendiri tanpa orang tua. Tanpa ada orang dewasa yang harus mempersiapkan ini-itu sebelum keberangkatan, atau bawel ini-itu selama perjalanan.

Perjalanan itu jadi tidak biasa bukan cuma karena saya melakukan semuanya sendiri, tapi juga karena saya merasa dipercaya untuk jadi dewasa oleh Ibu dan Ayah. Untuk remaja bau kencur yang minim pengalaman hidup, perasaan seperti itu rasanya luar biasa.

Lalu, perjalanan-perjalanan lainnya yang saya lakukan sendiri menyusul. Saya jadi terbiasa. Orang tua saya juga terbiasa. Girang yang muncul waktu itu lama-lama jadi asing. Saya tak pernah lagi merasakannya. Tak peduli seberapa kerennya tujuan perjalanan berikutnya. Terlalu sering melakukan perjalanan, nyatanya membuat saya mati rasa atas kegirangan yang mestinya selalu muncul sebelum melakukan perjalanan baru.

Saya yang sinis ini sepakat pada mereka yang memandang hidup sebagai sebuah perjalanan. Sepengalaman saya, hidup dua puluh dua tahun belakangan adalah tentang pindah dari satu tempat-ke tempat lain. Tentang membuat perjalanan setelah perjalanan lainnya.

Ini bukan berarti saya tak melihat adanya hal indah dalam sebuah perjalanan.

Bagi saya sendiri, ada tiga hal yang paling indah dalam tiap perjalanan: kemas-kemas, proses mencari rumah, dan kenangan.

Ketiganya adalah sebuah siklus yang akan selalu beriringan. Saat kemas-kemas, ada kenangan yang turut dikemas. Saat kemas-kemas ada pula ancang-ancang mental yang dilakukan untuk mempermulus proses mencari rumah. Dan dari proses mencari rumah, akan ada kenangan yang dibentuk, untuk kembali dikemas ketika siap melakukan perjalanan berikutnya.

Ketiganya adalah hal paling indah dari sebuah perjalanan. Karena bagi orang sentimental yang selalu merindukan kematian macam saya, yang bikin hidup ini sedikit bergairah adalah kenangan-kenangan yang dibikin saat menjalaninya.

Selama enam tahun terakhir, bisa dipastikan saya melalui banyak sekali perjalanan dan pindah. Dan di dalamya, tentu saja sudah tak terhitung kemas-kemas yang dilakukan. Yan menarik adalah, jumlah rumah yang ditinggali lalu ditinggalkan. Tapi yang paling menarik adalah jumlah rumah yang (akan) ditinggalkan namun akan tetap ditinggali.

Rumah yang dimaksud jelas bukan sekadar sepetak bangunan yang jadi tempat peraduan saat malam datang. Sebagian besar rumah yang ditinggalkan namun tetap ingin ditinggali ini rupanya berbentuk manusia: mereka yang selalu didatangi saat saya terbentur dengan hidup dan pernak-perniknya.

Dan bak segala hal yang selalu punya dua sisi, betapa indahnya kemas-kemas, ia juga punya sisi jelek. Saat kemas-kemas kita akan memilah-milah mana kenangan yang bisa dibawa, sekaligus bikin ancang-ancang untuk siap tak bertemu lagi mereka yang kemungkinan besar akan melalui jalan yang tak akan bersinggungan dengan jalan kita. Di sana, kemas-kemas akan terasa sangat sentimental.

Di sana, mengemas  perpisahan yang berkesan lebih penting ketimbang mengemas koper yang akan dijinjing.




P.S. Saat menulis ini, saya belum kemas sehelai sempak pun, belum beli Meranti dan Teri Medan untuk mereka yang menunggu di sana, bahkan belum beli tiket untuk kepergian besok. Yang sudah saya lakukan hanyalah bagian favorit dari kemas-kemas: bertemu mereka, rumah yang (akan) ditinggalkan namun akan tetap ditinggali, satu per satu.

2 comments :

  1. Saya suka soal meninggalkan dan merapikan kenangannya. Hahaha.... itu salah satu detail yang penting.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya, mas. Itu detail yang penting 😂

      Delete