Kalau ada yang bilang perjalanan itu dimulai dengan satu
langkah kecil, mungkin dia keliru selama ini. Sebab, yang terjadi sebenarnya
adalah, sebuah perjalanan selalu dimulai dengan kemas-kemas.
Sudah jadi sifat dasar manusia untuk merasa siap sebelum
melakukan apa pun. Termasuk dan terutama, sebelum melakukan perjalanan. Itu sebabnya,
kemas-kemas jadi salah satu tahap paling penting sebelum melakukannya.
Kemas-kemas bagi orang yang sering pindah macam saya, bukan
lagi tentang seberapa banyak sempak yang akan diselipkan dalam koper atau
berapa banyak uang tunai yang diselipkan dalam tiap kocek. Bagi orang yang
terlampau sering pindah, bagaimana bentuk kamar barumu jauh lebih penting
ketimbang berapa banyak koper yang akan dijinjing; menyusun perpisahan yang
berkesan lebih penting ketimbang sibuk mencari-cari berkas administratif yang
harus selalu dibawa setiap kali pindah.
Kalau kau sudah pernah pindah berkali-kali sampai kau
sendiri bosan dan tak lagi menghitungnya, detail paling penting dari
kemas-kemas adalah merapikan kenangan
dan ancang-ancang mental.
***
Saya teringat pengalaman pertama kali naik pesawat sendiri,
menyebrang provinsi, saat masih tiga belas atau empat belas. Saya khawatir.
Tapi lebih banyak girangnya. Meski sadar kalau jakun belum tumbuh dan pipis
belum lurus, tapi saya merasa dewasa betul waktu itu. Pasalnya, saya yang
sebenarnya sering melakukan perjalanan jauh naik kapal laut, kapal udara, dan
jalur darat sejak umur tiga tahun, akhirnya bisa merasakan perjalanan sendiri
tanpa orang tua. Tanpa ada orang dewasa yang harus mempersiapkan ini-itu
sebelum keberangkatan, atau bawel ini-itu selama perjalanan.
Perjalanan itu jadi tidak biasa bukan cuma karena saya
melakukan semuanya sendiri, tapi juga karena saya merasa dipercaya untuk jadi
dewasa oleh Ibu dan Ayah. Untuk remaja bau kencur yang minim pengalaman hidup,
perasaan seperti itu rasanya luar biasa.
Lalu, perjalanan-perjalanan lainnya yang saya lakukan sendiri
menyusul. Saya jadi terbiasa. Orang tua saya juga terbiasa. Girang yang muncul
waktu itu lama-lama jadi asing. Saya tak pernah lagi merasakannya. Tak peduli
seberapa kerennya tujuan perjalanan berikutnya. Terlalu sering melakukan
perjalanan, nyatanya membuat saya mati rasa atas kegirangan yang mestinya
selalu muncul sebelum melakukan perjalanan baru.
Saya yang sinis ini sepakat pada mereka yang memandang hidup
sebagai sebuah perjalanan. Sepengalaman saya, hidup dua puluh dua tahun
belakangan adalah tentang pindah dari satu tempat-ke tempat lain. Tentang membuat
perjalanan setelah perjalanan lainnya.
Ini bukan berarti saya tak melihat adanya hal indah dalam
sebuah perjalanan.
Bagi saya sendiri, ada tiga hal yang paling indah dalam tiap
perjalanan: kemas-kemas, proses mencari rumah, dan kenangan.
Ketiganya adalah sebuah siklus yang akan selalu beriringan.
Saat kemas-kemas, ada kenangan yang turut dikemas. Saat kemas-kemas ada pula
ancang-ancang mental yang dilakukan untuk mempermulus proses mencari rumah. Dan
dari proses mencari rumah, akan ada kenangan yang dibentuk, untuk kembali dikemas
ketika siap melakukan perjalanan berikutnya.
Ketiganya adalah hal paling indah dari sebuah perjalanan. Karena
bagi orang sentimental yang selalu merindukan kematian macam saya, yang bikin
hidup ini sedikit bergairah adalah kenangan-kenangan yang dibikin saat
menjalaninya.
Selama enam tahun terakhir, bisa dipastikan saya melalui
banyak sekali perjalanan dan pindah. Dan di dalamya, tentu saja sudah tak
terhitung kemas-kemas yang dilakukan. Yan menarik adalah, jumlah rumah yang
ditinggali lalu ditinggalkan. Tapi yang paling menarik adalah jumlah rumah yang
(akan) ditinggalkan namun akan tetap ditinggali.
Rumah yang dimaksud jelas bukan sekadar sepetak bangunan
yang jadi tempat peraduan saat malam datang. Sebagian besar rumah yang
ditinggalkan namun tetap ingin ditinggali ini rupanya berbentuk manusia: mereka
yang selalu didatangi saat saya terbentur dengan hidup dan pernak-perniknya.
Dan bak segala hal yang selalu punya dua sisi, betapa indahnya
kemas-kemas, ia juga punya sisi jelek. Saat kemas-kemas kita akan memilah-milah
mana kenangan yang bisa dibawa, sekaligus bikin ancang-ancang untuk siap tak
bertemu lagi mereka yang kemungkinan besar akan melalui jalan yang tak akan
bersinggungan dengan jalan kita. Di sana, kemas-kemas akan terasa sangat
sentimental.
Di sana, mengemas perpisahan yang berkesan lebih penting
ketimbang mengemas koper yang akan dijinjing.
P.S. Saat menulis ini, saya belum kemas sehelai sempak pun,
belum beli Meranti dan Teri Medan untuk mereka yang menunggu di sana, bahkan
belum beli tiket untuk kepergian besok. Yang sudah saya lakukan hanyalah bagian
favorit dari kemas-kemas: bertemu mereka, rumah yang (akan) ditinggalkan namun
akan tetap ditinggali, satu per satu.
Saya suka soal meninggalkan dan merapikan kenangannya. Hahaha.... itu salah satu detail yang penting.
ReplyDeleteHahaha iya, mas. Itu detail yang penting 😂
Delete