Kemarin Oktober cerita pada saya. Kami bertemu di sebuah
sore pengap, karena matahari belum kembali ke ufuk barat. Langit juga masih
oranye. Bocah berkacamata itu masuk ke kamar saya. muka dia juga pengap. Singkat
cerita, rupanya dia habis pulang olahraga sore-sore: lari-lari kecil, push up,
sit up, dan semacamnya.
“Sejak kapan, O?” saya, tentu, kaget. Setengah. Mati.
“Baru dua hari ini,” kata Oktober. “Harusnya sih sejak dua
bulan lalu,” tambahnya sambil melempar handuk basah bekas keringat ke arah
saya. Untungnya meleset.
Saya menyumpah, tapi dia tak peduli. Beberapa menit berlalu
dengan jeda panjang, akhirnya dia buka mulut duluan. Soalnya, saya sibuk
menonton dengan earphone terpasang sebelah saja, hanya di telinga kiri. Jaga-jaga
kalau Oktober hendak mengobrol. Dan ternyata benar.
Kali ini Oktober menceritakan orang baru. Sebenarnya tidak
terlalu baru, karena orang yang diceritakan Oktober ini sudah kami kenal sejak
pertengahan tahun lalu. Tapi, Oktober baru menyadari kalau dia punya interaksi
yang aneh dengan orang tersebut.
Sebut saja namanya Kuning. Tentu bukan nama sebenarnya.
Kenapa Kuning? Karena di sepenggal cerita panjang Oktober ada sekali ia bilang,
“entah kenapa, warna kuning melintas di pikiran saya waktu mengingat gadis ini.”
Kuning adalah junior Oktober di jurusan dan fakultas yang
beda. Kenalnya di organisasi. Tapi tak terlalu lama, karena Kuning punya
masalah yang buat dia jadi harus keluar dari organisasi itu.
Tapi yang aneh adalah interaksi yang dilakukan Oktober dan
Kuning. Mereka berdua jarang bertemu. Pernah sekali di sebuah KFC depan
Gramedia. Dan tentu saja yang terjadi adalah, Kuning jadi orang yang paling
ramah dan protagonis. Sementara Oktober adalah si canggung yang tolol dan bodoh
dalam berinteraksi. Padahal, beberapa kali mereka terlibat perbincangan dalam
tentang filosofi hidup dan segala tetek-bengeknya.
Kuning selalu memulai perbincangan melalui Line, dan curhat
tentang beberapa kasus. Oktober selalu diminta jadi orang yang menanggapi dan
memberi solusi. Si bodoh itu kadang keseringan bingung. Dan karena dia bodoh,
dia sering terkejut dengan respon Kuning yang ternyata senang dengan
jawabannya.
Ini jadi unik karena Kuning dan Oktober hampir tak pernah
bertemu. Tapi obrolan mereka dalam.
Dalam hidup si bodoh Oktober, ini kali pertamanya dia punya
interaksi aneh begini. Katanya, dia berasa jadi bimbingan konseling. “Tapi
seru,” kata Oktober. Di saat yang sama ia merasa punya teman pena. Meski tanpa
harum kertas atau tinta.
Halo kuning.. Pada cerita selanjutnya, tolong muncul dan mengejutkan saya ya...
ReplyDelete