Tuesday, March 17, 2015

  |   2 comments   |  

Seorang Bocah dan Pertanyaannya



Halo, semua.



Ini Oktober yang sedang menulis. Kali ini, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan, dan hanya saya yang bisa menceritakannya. Untuk kehadiran pertama saya di sini, saya mohon maaf jika Anda kurang suka. Tapi, kalau tak masalah, saya ucapkan terima kasih.

Di kali pertama ini, saya ingin menceritakan sebuah perjalanan tanya-jawab hidup seorang kawan. Entah ini penting atau tidak, biarlah Anda hakimi setelah membaca kalimat terakhir.

Sebagai perkenalan, saya beritahu sedikit karakter kawan ini. Dia seorang pria, lahir dengan rasa penasaran besar dan penyakit paru-paru basah. Sampai usia dua tahun, ia harus menjalani berbagai macam pengobatan; mulai dari bersama dokter berijazah sampai beraneka dukun yang punya beraneka obat nyentrik pula. Jadi kelak, saat ibunya mulai menyadari kalau IQ anaknya di atas rata-rata, ia akan menjuluki putra pertamanya sebagai “anak obat”, sebab vitamin dan segala macam obat yang dimakannya sejak lahir hingga berusia dua tahun. 

Dia dilahirkan di keluarga muslim kental. Meski ibunya adalah seorang mualaf. Baru masuk Islam setahun setengah sebelum kelahirannya.

Jadilah ia dididik dengan segala macam ajaran Islam. Ia salat sejak usia lima, memang belum penuh lima waktu, paling sering tinggal subuh dan isya, tapi diimbangi dengan kepintarannya membaca Iqra. Di usia itu pula dia sudah bisa membaca dan menuliskan 26 alfabet dan angka satu sampai lima ratus. Meskipun sebenarnya dia menderita disleksia ringan yang membuat beberapa alfabet dan angka yang ditulisnya tertukar-tukar atau terbalik garisnya. Untungnya, disleksia itu tak berlangsung lama. Karena di usia enam ia sudah bisa menulis dikte dari gurunya.

Dia memang dikenal sebagai anak pintar. Neneknya—yang Kristen, dari pihak Ibu—pernah bangga sekali padanya yang masih berusia empat tahun karena sudah paham membaca jam dengan tepat.
Diam-diam, bocah ini senang dengan kepintarannya sendiri. Kepintaran-kepintaran yang ia buat selalu beroleh hadiah dari orang sekitarnya. Seperti saat dia pertama kali dapat peringkat pertama di kelas I SD. Waktu itu, sang kakek—yang muslim, dari pihak Ayah—membelikannya sepeda pertama, sesuatu yang membuat sepupu-sepupu sebayanya iri hati. Kala itu, dia juga sering dijadikan tolok ukur anak yang baik bagi sepupu-sepupunya yang bandal. Sebab ia sudah bisa salat lima waktu dan puasa penuh saat Ramadan. Ia juga sudah bisa baca Al-Quran dan juara dua dari delapan puluh anak di Madrasah tempatnya belajar mengaji.

Semua dilakukannya demi menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Demi beroleh pujian-pujian yang membuatnya semangat mengerjakan salat, puasa, mengaji, bahkan puasa-puasa sunah di luar Ramadan. Sebab ia sepenuhnya belum paham dengan semua yang dikerjakannya hingga usianya tujuh tahun. Hingga usia segitu, ia masih paham kalau semua yang dilakukannya untuk menyenangkan orangtua, pakcik-makcik, kakek-nenek, sanak-saudara, para tetangga, bahkan teman-teman Ayah dan Ibu yang kadang singgah ke rumah di akhir pekan. Sebab jika orang-orang itu senang, maka ia akan beroleh pujian-pujian yang juga membuatnya senang.

Tapi suatu waktu, saat usianya delapan tahun, ia menemukan sesuatu mengganjal pikirannya untuk waktu yang cukup lama. Ia temukan sesuatu itu saat membaca tafsiran Al-Quran di waktu senggang. Sebab Bobo yang ia baca tujuh kali sudah mulai membuatnya bosan. 

Di Al-Quran, ia menemukan ayat yang bilang kalau beribadah kepada Allah tidak boleh berdasarkan hal lain selain karena Allah SWT semata. Ya, kalau tidak salah artinya serupa demikian, tentu tidak dengan kalimat yang persis.

Maka, ayat itu tersangkut di kepalanya berhari-hari.

Ia berdialog dengan batinnya sendiri; ia menanyakan apakah salat yang selama ini dikerjakannya semata-mata karena Allah? Tentu tidak, Allah tahu aku bohong kalau kujawab iya. Dia kan Yang Maha Mengetahui.

Lalu? Sah-kah salatnya selama ini? Berdosakah iya karena salat-salat yang tidak sah itu? Jika dihitung-hitung, maka ia akan masuk neraka untuk waktu yang lama, sebab seorang ustadz pernah bilang di sebuah dakwah salat Jumat kalau sekali meninggalkan salat berarti akan disiksa di neraka selama 40 tahun. Sementara satu hari di neraka sama dengan empat puluh tahun di dunia. Maka bocah itu stres alang kepalang.

Waktu itu dia diajarkan ibunya kalau dosa seseorang dihitung sejak dia baligh. Tapi baligh didefinisikan sang Ibu sebagai kesadaran seseorang tentang mana dosa dan mana yang tidak. Maka sejak berusia enam tahun, ia sudah diingatkan kalau ia sudah menanggung dosa sendiri: maka dari itu, berhati-hatilah dalam tutur dan perilaku, kata Ibunya.

Belakangan sekali, saat usianya dua belas tahun, baru sang bocah tahu kalau baligh berarti sudah mimpi basah bagi pria, dan sudah menstruasi bagi perempuan. Jadilah ia terjebak dalam ketakutan yang tak semestinya datang di usia segitu. Salah kaprah ‘baligh’ itu didasarkan kepada keengganan ibunya menjelaskan definisi mimpi basah pada anaknya yang baru berusia delapan tahun. Sebab seks tabu: sesuatu yang kasat mata terpatri di setiap keluarga muslim-taat (kalau tak mau dibilang moderat) di Indonesia.

Di keluarga sang bocah memang banyak sekali yang tabu. Selain seks, pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan juga sangat diminimalisir keberadaannya oleh orang tua si bocah. Hal ini tak disadarinya sebelum ia menemukan ayat tentang ibadah yang riya. Sebab, sebelum menemukan ayat itu, pertanyaan: siapa sebenarnya Allah itu? Kenapa ia yang jadi Tuhan? Tak pernah singgah di kepalanya.

Tapi kini… kepalanya pusing dan berputar-putar dibuat pertanyaan-pertanyaan itu.
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena ia merasa salatnya tak pernah ia persembahkan dengan sangat rela hanya untuk Allah saja. Biasanya agar terlihat patuh saja di depan orang tuanya. Ia tak mau ayahnya yang galak sampai harus ambil potongan selang di atas lemari untuk memaksanya salat. Ia tahu kalau cambukan selang itu bisa jadi birat menyakitkan di pahanya.

Maka, pertanyaan: siapa sebenarnya Allah itu? mulai muncul. Sebab, logikanya berkata, bagaimana bisa ia salat—menyembah—mempersembahkan sesuatu—pada sesuatu yang belum dikenalnya. Apalagi ia punya nenek kandung yang Kristen, yang sehari-harinya tak perlu salat lima waktu, puasa, atau apa pun yang dilakukan seorang muslim untuk bisa mendapat surga milik Allah.

Neneknya juga menyembah Allah, tapi pelafalannya saja yang berbeda. Neneknya menyebut Allah sebagaimana ajaran alfabet di Indonesia. Sementara ia dan seluruh keluarganya yang muslim, membaca Allah dengan tajwid. Sebab ada tanda tasydid di atas huruf lam. Tapi semua keanehan yang menggelisahkan batinnya itu masih ia tahan sendiri.

Imajinasi liarnya mulai membayangkan bentuk Allah. Dan sosok Atok Zakwan—sepupu neneknya dari pihak ayah, yang tinggal di depan rumah mereka—terpilih mewakili sosok imajiner Tuhan versi si bocah. Atok Zakwan (sekarang mendiang) adalah pria gemuk yang sehari-harinya cuma pakai singlet dan sarung duduk di teras depan rumahnya. Suaranya berat, jarang tertawa, dan terlihat sangat wibawa. Mungkin sebab itu dia diam-diam menjadikan sosok Atok Zakwan sebagai Tuhan yang mengambang-ambang di gelapnya jagat raya. Belakangan, saat ia menemukan ayat lainnya, ia tahu bahwa Allah tidak berkelamin seperti makhuk yang diciptakan-Nya.

Pertanyaan-pertanyaan itu merambat ke asal-mula Allah. Dan si bocah malah jadi semakin pusing. Sebab orang tuanya hanya menjawab, “enggak boleh membayangkan yang enggak-enggak tentang Allah. Kita harus mengimani-Nya. Cuma Dia Tuhan semesta ini. Tidak beranak dan diperanakan,” saat ia akhirnya berani mengeluarkan pertanyaan itu dari kepalanya. Bocah itu memang pernah mendengar entah sebuah ayat di Al-Quran atau sebuah hadist, yang menjelaskan bahwa Allah tidak beranak dan diperanakan.

Seiring waktu berjalan, dan pertanyaan-pertanyaannya terus berkembang (misalnya, siapa Muhammad? Kenapa Islam yang rahmatan lil alamin? Apakah benar orang Kristen yang paling banyak jumlahnya cuma bakal jadi kayu bakar di neraka bersama kafir lainnya?), ia jadi jarang salat. Dan membuat orang tua serta pakcik-makciknya harus merepet dulu untuk mengingatkannya salat.
Di saat yang sama, si bocah terus belajar tentang Tuhan dan agama. Ia membaca sejarah, kitab-kitab. Ia berusaha keras mengenal Allah, Tuhan pertama yang ia kenal karena terlahir dari keluarga muslim.
Diam-diam, ia jadi jarang salat karena takut salatnya hanyalah perbuatan riya. Itu jika Allah yang dikenalkan Islam padanya adalah benar-benar Tuhan yang menciptakan dunia ini. Tapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya, maka ia tak mau melakukan hal yang sia-sia.

Tapi, dalam hati, ia juga berharap kalau Allah itu adalah Tuhan  yang memang harusnya ia sembah. Sebab, tujuh tahun hidup dikelilingi orang-orang yang beriman pada-Nya, tentu saja sudah cukup mengikat hati si bocah. Diam-diam, ia juga takut jadi kafir, dan masuk neraka. Ia sadar, jika Tuhan memang ada, maka pikiran-pikiran ini tak bisa disembunyikannya.

Tapi semua pikiran ini bisa disembunyikannya dari semua orang terutama orang tuanya. Sebab, selain takut jadi kafir, si bocah alih-alih lebih takut dimarahi ayah dan ibunya karena punya pikiran-pikiran ekstrem.

Ia simpan semuanya hingga remaja. Di sela-sela itu, ia masih salat dan puasa di depan orang tuanya. Takut dimarahi. Tapi terkadang memang karena ingin berdialog dengan Tuhan. Di sela-sela itu pula, ia mulai percaya bahwa di dunia ini, tak seorang manusia pun bisa bertahan tanpa berpegangan pada sesuatu; sesuatu spiritual yang ia sendiri sebut sebagai Tuhan (sebab seorang ateis mungkin menyebutnya lain). Tapi, melalui sejarah-sejarah dan pengalamannya sendiri, ia mengalami krisis kepercayaan kepada agama.

Mempelajari sejarah dan agama membuatnya mengalami hal ini.

Awalnya, ia menemukan ketenangan saat membaca kitab-kitab. Tak ada hal lain yang diajarkan agama-agama selain kedamaian, begitu pikir sang bocah. Tapi lama-kelamaan dirinya sadar bahwa itu semua, yang ia pikirkan, hanyalah kesimpulannya sendiri belaka. Sebab setelah membaca kisah-kisah di kitab itu, ia jadi punya pandangan sendiri tentang dosa dan tidak. Semuanya tak pernah jadi sangat teknis, seperti yang selama ini keluarganya ajarkan. Contohnya tentang hitung-hitungan hukuman di neraka bagi yang melalaikan salat yang didengar bocah dari seorang ustadz saat salat Jumat. Ternyata itu hanyalah kesimpulan yang dibuat dari potongan-potongan informasi di Al-Quran.

Ia jadi sadar kalau semua orang bisa menafsirkan hal yang berbeda sesuai dengan perspektifnya sendiri. Dan ia melihat itu terjadi di sekelilingnya. MUI memfatwakan rokok haram, tapi Ayah si bocah dan Ayahnya Ayah si bocah berhenti merokok bukan karena fatwa itu. Tapi karena sakit paru-paru yang akhirnya mereka derita karena ribuan batang rokok yang mereka isap, bahkan setelah mendengar fatwa itu. Yang terjadi adalah perbedaan tafsir. MUI dan Ayahnya sama-sama mengaku Islam. Dan keduanya sama-sama merasa melakukan hal yang benar.

Akhirnya si bocah berkesimpulan, bahwa agama pada akhirnya hanyalah persepsi yang terbentuk dari lingkunganmu-sejak-lahir dan dirimu-sendiri-selama-menjalani-hidup.

Tapi karena definisi ini, agama bisa menjadi salah satu hal paling merusak dunia. Hal inilah yang dirasakan sang bocah saat melihat para teroris menjual nama agama sebagai tindakan menghalalkan mereka membunuh. Ia juga melihat dengan mata kepalanya betapa manusia bisa begitu membenci sesamanya hanya karena berbeda agama.

Belum lagi melihat manusia-manusia yang memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai kekuasaan atau lebih parah: untuk berkuasa.

Tapi pikiran begini bisa didebat dengan pertanyaan retoris: kenapa agama yang dibenci? Bukannya yang dari tadi kau bahas adalah manusia yang melakukan inilah-itulah?

Maka si bocah sepakat untuk mengedit bahasanya. Ia tak curiga pada agama. Tapi ia mencurigai institusi agama. Ia memusuhi intitusi agama, yang katanya hadir sebagai medium tercapainya kedamaian, tapi adanya sebagai sumber kekisruhan duniawi.

Tapi, jikalaupun manusia yang salah, dan agama tak berdosa atas eksistensinya, bayangkan jika tak ada surga dan neraka? Seperti yang pernah Lennon nyanyikan dalam lagunya Imagine. Begitu pikir si bocah.

Sayangnya, diskusi-diskusi tentang agama begini jarang sekali ia cicipi. Kebanyakan temannya, yang ia yakini juga mengalami kegelisahan yang sama dengannya, malah tak punya nyali besar untuk mau diajak diskusi.

Rasanya wajar. Sebab di negeri ini sendiri ada latar politik dan budaya yang membentuk simulacra sendiri. Sejak 1965, pemerintah negeri ini di bawah kuasa Diktator Soeharto mulai membenci komunisme. Tak sekadar benci, tapi juga dimusuhi. Di orde itu sebuah partai berbasis komunisme, Partai Komunis Indonesia ditumpas atas tuduhan sebagai dalang terbunuhnya tujuh perwira Angkatan Darat pada 30 September tahun itu. Setelahnya, pemerintah menyamakan komunisme dengan materialisme dan ateis. Siapa yang ateis akan dituduh komunis. Siapa yang komunis, maka boleh dipenjarakan.

Dan semua hal ini benar-benar dinasionalkan dengan baik oleh pemerintah Orde Baru, nama orde tersebut. Ayah dan Ibu si bocah adalah generasi kedua yang benar-benar membenci dan ketakutan setengah mati pada komunis. Sebab kakeknya dari ayah adalah seorang pegawai negeri di dinas sosial, sementara kakek dari ibunya adalah Tentara Nasional Indonesia.

Hal inilah yang jadi sebuah simulacra lucu di sini, di Nusantara. Dengan latar belakang politik demikian, manusia-manusianya dididik dengan teror: sebab menyangkal atau mempertanyakan Tuhan bukan hanya mengirimmu ke neraka setelah mati, tapi juga bui sebelum kematian itu datang.
 Simulacra adalah istilah yang ditemukan sosiolog Jean Baudrillard. Artinya, realitas tiruan, realitas semu yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya. Istilah ini hanya saya pinjam lalu pakai untuk menggambarkan apa yang dirasakan si bocah.

Stigma masyarakat itu memang kuat sekali dampaknya. Bocah itu ingat betapa takutnya ia bertanya pada sang ayah perkara hal-hal begitu. Takut divonis kafir dan dianggap sesat. Ia berasumsi kalau banyak temannya juga mengalami hal yang sama, dan pada akhirnya memilih diam. Diam mengikuti ketentuan yang telah dunia ini tetapkan.

Ia melihat sendiri beberapa teman juga mencari-cari tahu siapa sebenarnya Tuhan? Tapi tak banyak yang melanjutkan pencarian itu dengan serius, sebab takut stigma kafir dan sesat. Kadang, kata-kata memang jauh lebih runcing dari pedang mana pun, dan lebih kencang dari peluru apa pun.
Banyak temannya yang tetap mengenakan jilbab meski tak salat lima waktu, tetap memakai kalung salib meski jarang ke gereja. Agama jadi begitu fleksibel bagi beberapa orang.

Tapi beberapa temannya justru begitu alim mengikuti syariat.

Diam-diam ia senang melihat beberapa temannya yang semakin taat pada agama yang mereka yakini. Mereka melakukan semua ritual yang disuruh agama seperti karena kehendak sendiri. “Mungkin mereka telah memahami dan memilih hidup rukun dengan agamanya,” pikir si bocah. “Mungkin perjalananku sampai sana masih perlu waktu lagi.”

Tapi untuk saat ini, si bocah masih tidak bisa percaya pada institusi agama. Seperti gereja yang kehilangan kekuasaannya di abad ke-15, bocah itu juga kehilangan kepercayaannya pada agama di usia 7-10 tahun. Jika di Eropa sana orang-orang mulai meninggalkan gereja karena zaman rasionalitas mulai masuk, maka sama halnya yang terjadi pada si bocah. Dia dia-diam mengerti kenapa paham sekularisme itu perlu. Sekularisme sendiri adalah paham yang memisahkan negara dan agama. Kelak, saat kuliah di jurusan Ilmu Politik, si bocah jauh lebih paham kenapa negara yang bijak harus memisahkan antara kepentingan negara dan agama-agama. Sebab agama-agama telah berubah jadi sesuatu yang sensitif.

(Bersambung…)

2 comments :

  1. Wah Perjalanan Oktober ya..hahaha keingat salah satu film...ditunggu sambungannya bang kk

    ReplyDelete