Halo, semua.
Ini Oktober yang sedang menulis. Kali ini, ada sesuatu yang
ingin saya ceritakan, dan hanya saya yang bisa menceritakannya. Untuk kehadiran
pertama saya di sini, saya mohon maaf jika Anda kurang suka. Tapi, kalau tak
masalah, saya ucapkan terima kasih.
Di kali pertama ini, saya ingin menceritakan sebuah
perjalanan tanya-jawab hidup seorang kawan. Entah ini penting atau tidak,
biarlah Anda hakimi setelah membaca kalimat terakhir.
Sebagai perkenalan, saya beritahu sedikit karakter kawan
ini. Dia seorang pria, lahir dengan rasa penasaran besar dan penyakit paru-paru
basah. Sampai usia dua tahun, ia harus menjalani berbagai macam pengobatan;
mulai dari bersama dokter berijazah sampai beraneka dukun yang punya beraneka
obat nyentrik pula. Jadi kelak, saat ibunya mulai menyadari kalau IQ anaknya di
atas rata-rata, ia akan menjuluki putra pertamanya sebagai “anak obat”, sebab
vitamin dan segala macam obat yang dimakannya sejak lahir hingga berusia dua
tahun.
Dia dilahirkan di keluarga muslim kental. Meski ibunya
adalah seorang mualaf. Baru masuk Islam setahun setengah sebelum kelahirannya.
Jadilah ia dididik dengan segala macam ajaran Islam. Ia
salat sejak usia lima, memang belum penuh lima waktu, paling sering tinggal
subuh dan isya, tapi diimbangi dengan kepintarannya membaca Iqra. Di usia itu
pula dia sudah bisa membaca dan menuliskan 26 alfabet dan angka satu sampai
lima ratus. Meskipun sebenarnya dia menderita disleksia ringan yang membuat
beberapa alfabet dan angka yang ditulisnya tertukar-tukar atau terbalik
garisnya. Untungnya, disleksia itu tak berlangsung lama. Karena di usia enam ia
sudah bisa menulis dikte dari gurunya.
Dia memang dikenal sebagai anak pintar. Neneknya—yang
Kristen, dari pihak Ibu—pernah bangga sekali padanya yang masih berusia empat
tahun karena sudah paham membaca jam dengan tepat.
Diam-diam, bocah ini senang dengan kepintarannya sendiri.
Kepintaran-kepintaran yang ia buat selalu beroleh hadiah dari orang sekitarnya.
Seperti saat dia pertama kali dapat peringkat pertama di kelas I SD. Waktu itu,
sang kakek—yang muslim, dari pihak Ayah—membelikannya sepeda pertama, sesuatu
yang membuat sepupu-sepupu sebayanya iri hati. Kala itu, dia juga sering
dijadikan tolok ukur anak yang baik bagi sepupu-sepupunya yang bandal. Sebab ia
sudah bisa salat lima waktu dan puasa penuh saat Ramadan. Ia juga sudah bisa
baca Al-Quran dan juara dua dari delapan puluh anak di Madrasah tempatnya
belajar mengaji.
Semua dilakukannya demi menyenangkan orang-orang di sekitarnya.
Demi beroleh pujian-pujian yang membuatnya semangat mengerjakan salat, puasa,
mengaji, bahkan puasa-puasa sunah di luar Ramadan. Sebab ia sepenuhnya belum
paham dengan semua yang dikerjakannya hingga usianya tujuh tahun. Hingga usia
segitu, ia masih paham kalau semua yang dilakukannya untuk menyenangkan orangtua,
pakcik-makcik, kakek-nenek, sanak-saudara, para tetangga, bahkan teman-teman
Ayah dan Ibu yang kadang singgah ke rumah di akhir pekan. Sebab jika
orang-orang itu senang, maka ia akan beroleh pujian-pujian yang juga membuatnya
senang.
Tapi suatu waktu, saat usianya delapan tahun, ia menemukan
sesuatu mengganjal pikirannya untuk waktu yang cukup lama. Ia temukan sesuatu
itu saat membaca tafsiran Al-Quran di waktu senggang. Sebab Bobo yang ia baca
tujuh kali sudah mulai membuatnya bosan.
Di Al-Quran, ia menemukan ayat yang bilang kalau beribadah
kepada Allah tidak boleh berdasarkan hal lain selain karena Allah SWT semata.
Ya, kalau tidak salah artinya serupa demikian, tentu tidak dengan kalimat yang
persis.
Maka, ayat itu tersangkut di kepalanya berhari-hari.
Ia berdialog dengan batinnya sendiri; ia menanyakan apakah
salat yang selama ini dikerjakannya semata-mata karena Allah? Tentu tidak, Allah tahu aku bohong kalau
kujawab iya. Dia kan Yang Maha Mengetahui.
Lalu? Sah-kah salatnya selama ini? Berdosakah iya karena
salat-salat yang tidak sah itu? Jika dihitung-hitung, maka ia akan masuk neraka
untuk waktu yang lama, sebab seorang ustadz pernah bilang di sebuah dakwah
salat Jumat kalau sekali meninggalkan salat berarti akan disiksa di neraka
selama 40 tahun. Sementara satu hari di neraka sama dengan empat puluh tahun di
dunia. Maka bocah itu stres alang kepalang.
Waktu itu dia diajarkan ibunya kalau dosa seseorang dihitung
sejak dia baligh. Tapi baligh didefinisikan sang Ibu sebagai kesadaran
seseorang tentang mana dosa dan mana yang tidak. Maka sejak berusia enam tahun,
ia sudah diingatkan kalau ia sudah menanggung dosa sendiri: maka dari itu,
berhati-hatilah dalam tutur dan perilaku, kata Ibunya.
Belakangan sekali, saat usianya dua belas tahun, baru sang
bocah tahu kalau baligh berarti sudah mimpi basah bagi pria, dan sudah
menstruasi bagi perempuan. Jadilah ia terjebak dalam ketakutan yang tak
semestinya datang di usia segitu. Salah kaprah ‘baligh’ itu didasarkan kepada
keengganan ibunya menjelaskan definisi mimpi basah pada anaknya yang baru
berusia delapan tahun. Sebab seks tabu: sesuatu yang kasat mata terpatri di
setiap keluarga muslim-taat (kalau tak mau dibilang moderat) di Indonesia.
Di keluarga sang bocah memang banyak sekali yang tabu.
Selain seks, pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan juga sangat diminimalisir
keberadaannya oleh orang tua si bocah. Hal ini tak disadarinya sebelum ia
menemukan ayat tentang ibadah yang riya. Sebab, sebelum menemukan ayat itu,
pertanyaan: siapa sebenarnya Allah itu?
Kenapa ia yang jadi Tuhan? Tak pernah singgah di kepalanya.
Tapi kini… kepalanya pusing dan berputar-putar dibuat
pertanyaan-pertanyaan itu.
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena ia merasa salatnya
tak pernah ia persembahkan dengan sangat rela hanya untuk Allah saja. Biasanya
agar terlihat patuh saja di depan orang tuanya. Ia tak mau ayahnya yang galak
sampai harus ambil potongan selang di atas lemari untuk memaksanya salat. Ia
tahu kalau cambukan selang itu bisa jadi birat menyakitkan di pahanya.
Maka, pertanyaan: siapa
sebenarnya Allah itu? mulai muncul. Sebab, logikanya berkata, bagaimana
bisa ia salat—menyembah—mempersembahkan sesuatu—pada sesuatu yang belum
dikenalnya. Apalagi ia punya nenek kandung yang Kristen, yang sehari-harinya
tak perlu salat lima waktu, puasa, atau apa pun yang dilakukan seorang muslim
untuk bisa mendapat surga milik Allah.
Neneknya juga menyembah Allah, tapi pelafalannya saja yang
berbeda. Neneknya menyebut Allah sebagaimana ajaran alfabet di Indonesia.
Sementara ia dan seluruh keluarganya yang muslim, membaca Allah dengan tajwid.
Sebab ada tanda tasydid di atas huruf lam. Tapi semua keanehan yang
menggelisahkan batinnya itu masih ia tahan sendiri.
Imajinasi liarnya mulai membayangkan bentuk Allah. Dan sosok
Atok Zakwan—sepupu neneknya dari pihak ayah, yang tinggal di depan rumah
mereka—terpilih mewakili sosok imajiner Tuhan versi si bocah. Atok Zakwan
(sekarang mendiang) adalah pria gemuk yang sehari-harinya cuma pakai singlet
dan sarung duduk di teras depan rumahnya. Suaranya berat, jarang tertawa, dan
terlihat sangat wibawa. Mungkin sebab itu dia diam-diam menjadikan sosok Atok
Zakwan sebagai Tuhan yang mengambang-ambang di gelapnya jagat raya. Belakangan,
saat ia menemukan ayat lainnya, ia tahu bahwa Allah tidak berkelamin seperti
makhuk yang diciptakan-Nya.
Pertanyaan-pertanyaan itu merambat ke asal-mula Allah. Dan
si bocah malah jadi semakin pusing. Sebab orang tuanya hanya menjawab, “enggak
boleh membayangkan yang enggak-enggak tentang Allah. Kita harus mengimani-Nya.
Cuma Dia Tuhan semesta ini. Tidak beranak dan diperanakan,” saat ia akhirnya
berani mengeluarkan pertanyaan itu dari kepalanya. Bocah itu memang pernah
mendengar entah sebuah ayat di Al-Quran atau sebuah hadist, yang menjelaskan
bahwa Allah tidak beranak dan diperanakan.
Seiring waktu berjalan, dan pertanyaan-pertanyaannya terus
berkembang (misalnya, siapa Muhammad? Kenapa Islam yang rahmatan lil alamin?
Apakah benar orang Kristen yang paling banyak jumlahnya cuma bakal jadi kayu
bakar di neraka bersama kafir lainnya?), ia jadi jarang salat. Dan membuat
orang tua serta pakcik-makciknya harus merepet dulu untuk mengingatkannya
salat.
Di saat yang sama, si bocah terus belajar tentang Tuhan dan
agama. Ia membaca sejarah, kitab-kitab. Ia berusaha keras mengenal Allah, Tuhan
pertama yang ia kenal karena terlahir dari keluarga muslim.
Diam-diam, ia jadi jarang salat karena takut salatnya
hanyalah perbuatan riya. Itu jika Allah yang dikenalkan Islam padanya adalah
benar-benar Tuhan yang menciptakan dunia ini. Tapi kalau yang terjadi adalah
sebaliknya, maka ia tak mau melakukan hal yang sia-sia.
Tapi, dalam hati, ia juga berharap kalau Allah itu adalah
Tuhan yang memang harusnya ia sembah.
Sebab, tujuh tahun hidup dikelilingi orang-orang yang beriman pada-Nya, tentu
saja sudah cukup mengikat hati si bocah. Diam-diam, ia juga takut jadi kafir,
dan masuk neraka. Ia sadar, jika Tuhan memang ada, maka pikiran-pikiran ini tak
bisa disembunyikannya.
Tapi semua pikiran ini bisa disembunyikannya dari semua
orang terutama orang tuanya. Sebab, selain takut jadi kafir, si bocah alih-alih
lebih takut dimarahi ayah dan ibunya karena punya pikiran-pikiran ekstrem.
Ia simpan semuanya hingga remaja. Di sela-sela itu, ia masih
salat dan puasa di depan orang tuanya. Takut dimarahi. Tapi terkadang memang
karena ingin berdialog dengan Tuhan. Di sela-sela itu pula, ia mulai percaya
bahwa di dunia ini, tak seorang manusia pun bisa bertahan tanpa berpegangan
pada sesuatu; sesuatu spiritual yang ia sendiri sebut sebagai Tuhan (sebab
seorang ateis mungkin menyebutnya lain). Tapi, melalui sejarah-sejarah dan
pengalamannya sendiri, ia mengalami krisis kepercayaan kepada agama.
Mempelajari sejarah dan agama membuatnya mengalami hal ini.
Awalnya, ia menemukan ketenangan saat membaca kitab-kitab.
Tak ada hal lain yang diajarkan agama-agama selain kedamaian, begitu pikir sang
bocah. Tapi lama-kelamaan dirinya sadar bahwa itu semua, yang ia pikirkan,
hanyalah kesimpulannya sendiri belaka. Sebab setelah membaca kisah-kisah di
kitab itu, ia jadi punya pandangan sendiri tentang dosa dan tidak. Semuanya tak
pernah jadi sangat teknis, seperti yang selama ini keluarganya ajarkan.
Contohnya tentang hitung-hitungan hukuman di neraka bagi yang melalaikan salat
yang didengar bocah dari seorang ustadz saat salat Jumat. Ternyata itu hanyalah
kesimpulan yang dibuat dari potongan-potongan informasi di Al-Quran.
Ia jadi sadar kalau semua orang bisa menafsirkan hal yang
berbeda sesuai dengan perspektifnya sendiri. Dan ia melihat itu terjadi di
sekelilingnya. MUI memfatwakan rokok haram, tapi Ayah si bocah dan Ayahnya Ayah
si bocah berhenti merokok bukan karena fatwa itu. Tapi karena sakit paru-paru
yang akhirnya mereka derita karena ribuan batang rokok yang mereka isap, bahkan
setelah mendengar fatwa itu. Yang terjadi adalah perbedaan tafsir. MUI dan
Ayahnya sama-sama mengaku Islam. Dan keduanya sama-sama merasa melakukan hal
yang benar.
Akhirnya si bocah berkesimpulan, bahwa agama pada akhirnya
hanyalah persepsi yang terbentuk dari lingkunganmu-sejak-lahir dan dirimu-sendiri-selama-menjalani-hidup.
Tapi karena definisi ini, agama bisa menjadi salah satu hal
paling merusak dunia. Hal inilah yang dirasakan sang bocah saat melihat para
teroris menjual nama agama sebagai tindakan menghalalkan mereka membunuh. Ia
juga melihat dengan mata kepalanya betapa manusia bisa begitu membenci
sesamanya hanya karena berbeda agama.
Belum lagi melihat manusia-manusia yang memanfaatkan agama
sebagai alat untuk mencapai kekuasaan atau lebih parah: untuk berkuasa.
Tapi pikiran begini bisa didebat dengan pertanyaan retoris: kenapa agama yang dibenci? Bukannya yang
dari tadi kau bahas adalah manusia yang melakukan inilah-itulah?
Maka si bocah sepakat untuk mengedit bahasanya. Ia tak
curiga pada agama. Tapi ia mencurigai institusi agama. Ia memusuhi intitusi
agama, yang katanya hadir sebagai medium tercapainya kedamaian, tapi adanya
sebagai sumber kekisruhan duniawi.
Tapi, jikalaupun
manusia yang salah, dan agama tak berdosa atas eksistensinya, bayangkan jika
tak ada surga dan neraka? Seperti yang pernah Lennon nyanyikan dalam lagunya Imagine. Begitu pikir si bocah.
Sayangnya, diskusi-diskusi tentang agama begini jarang
sekali ia cicipi. Kebanyakan temannya, yang ia yakini juga mengalami
kegelisahan yang sama dengannya, malah tak punya nyali besar untuk mau diajak
diskusi.
Rasanya wajar. Sebab di negeri ini sendiri ada latar politik
dan budaya yang membentuk simulacra sendiri. Sejak 1965, pemerintah negeri ini
di bawah kuasa Diktator Soeharto mulai membenci komunisme. Tak sekadar benci,
tapi juga dimusuhi. Di orde itu sebuah partai berbasis komunisme, Partai
Komunis Indonesia ditumpas atas tuduhan sebagai dalang terbunuhnya tujuh
perwira Angkatan Darat pada 30 September tahun itu. Setelahnya, pemerintah
menyamakan komunisme dengan materialisme dan ateis. Siapa yang ateis akan
dituduh komunis. Siapa yang komunis, maka boleh dipenjarakan.
Dan semua hal ini benar-benar dinasionalkan dengan baik oleh
pemerintah Orde Baru, nama orde tersebut. Ayah dan Ibu si bocah adalah generasi
kedua yang benar-benar membenci dan ketakutan setengah mati pada komunis. Sebab
kakeknya dari ayah adalah seorang pegawai negeri di dinas sosial, sementara
kakek dari ibunya adalah Tentara Nasional Indonesia.
Hal inilah yang jadi sebuah simulacra lucu di sini, di
Nusantara. Dengan latar belakang politik demikian, manusia-manusianya dididik
dengan teror: sebab menyangkal atau mempertanyakan Tuhan bukan hanya mengirimmu
ke neraka setelah mati, tapi juga bui sebelum kematian itu datang.
Simulacra adalah istilah yang
ditemukan sosiolog Jean Baudrillard. Artinya, realitas tiruan, realitas semu
yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya. Istilah ini hanya saya
pinjam lalu pakai untuk menggambarkan apa yang dirasakan si bocah.
Stigma masyarakat itu memang kuat sekali dampaknya. Bocah
itu ingat betapa takutnya ia bertanya pada sang ayah perkara hal-hal begitu.
Takut divonis kafir dan dianggap sesat. Ia berasumsi kalau banyak temannya juga
mengalami hal yang sama, dan pada akhirnya memilih diam. Diam mengikuti
ketentuan yang telah dunia ini tetapkan.
Ia melihat sendiri beberapa teman juga mencari-cari tahu
siapa sebenarnya Tuhan? Tapi tak banyak yang melanjutkan pencarian itu dengan
serius, sebab takut stigma kafir dan sesat. Kadang, kata-kata memang jauh lebih
runcing dari pedang mana pun, dan lebih kencang dari peluru apa pun.
Banyak temannya yang tetap mengenakan jilbab meski tak salat
lima waktu, tetap memakai kalung salib meski jarang ke gereja. Agama jadi
begitu fleksibel bagi beberapa orang.
Tapi beberapa temannya justru begitu alim mengikuti syariat.
Diam-diam ia senang melihat beberapa temannya yang semakin
taat pada agama yang mereka yakini. Mereka melakukan semua ritual yang disuruh
agama seperti karena kehendak sendiri. “Mungkin mereka telah memahami dan
memilih hidup rukun dengan agamanya,” pikir si bocah. “Mungkin perjalananku
sampai sana masih perlu waktu lagi.”
Tapi untuk saat ini, si bocah masih tidak bisa percaya pada
institusi agama. Seperti gereja yang kehilangan kekuasaannya di abad ke-15,
bocah itu juga kehilangan kepercayaannya pada agama di usia 7-10 tahun. Jika di
Eropa sana orang-orang mulai meninggalkan gereja karena zaman rasionalitas
mulai masuk, maka sama halnya yang terjadi pada si bocah. Dia dia-diam mengerti
kenapa paham sekularisme itu perlu. Sekularisme sendiri adalah paham yang
memisahkan negara dan agama. Kelak, saat kuliah di jurusan Ilmu Politik, si
bocah jauh lebih paham kenapa negara yang bijak harus memisahkan antara kepentingan
negara dan agama-agama. Sebab agama-agama telah berubah jadi sesuatu yang
sensitif.
(Bersambung…)
Wah Perjalanan Oktober ya..hahaha keingat salah satu film...ditunggu sambungannya bang kk
ReplyDeletehai oktober. sehat selalu ya
ReplyDelete