“Antah Berantah,”
“Oke. Tunggu di sana. Jangan Ke mana-mana!”
Tut... tut... tut...
***
Ini menstruasi pertamaku. Dan
demi janggut Kanye West! Aku tak tahu kalau rasanya akan semenyeramkan ini.
Perutku memilin hebat, memecah enzim masam yang merusak mood-ku seharian. Belum
lagi cairan merah-kental-lengket yang membuat selangkanganku tak nyaman ini!
Rasanya mau teriak seharian saja; atau merobohkan lemari kesayangan ibu yang
berisi gelas-gelas kristal koleksinya.
Aku butuh Damian.
Barusan dia meneleponku karena
sebelumnya telah kukirimi pesan: cepat
temani aku, Bastard! Paling semenit lagi dia sampai di sini: di Antah
Berantah.
“Hei, kenapa?” ternyata tak
sampai semenit. Batang hidung Damian, lengkap dengan tubuh tinggi kerempengnya,
mata sayu dan rambut kusut ala Harry Style sudah nampak.
“Aku menstruasi.”
“Oh. Aku kira kenapa.”
“Aku memang kenapa-napa,
bodoh! Ini menstruasi pertamaku!”
Damian diam selama dua detik,
lalu terpingkal. “Pertama? Kau kan sudah 15 tahun!”
“Hei, mbak Rara saja pertama
kali menstruasi umur 17 tahun!” gerutuku.
“Oke... oke, jadi aku harus ngapain?” dia datang mendekat. Duduk di
sebelahku.
“Temani aku di sini,” jawabku
sambil menyampirkan kepala ke pundaknya.
Lalu kami diam. Menikmati
pemandangan langit sore yang mulai jingga dari Antah Berantah.
Ah ya, aku lupa jelaskan
tentang tempat ini. Namanya Antah Berantah; semacam tempat rahasia kami.
Antah Berantah adalah atap
rumahku yang kami modifikasi habis-habisan. Sebelumnya tempat ini hanyalah atap
rumah biasa yang ibu pakai sebagai tempat menjemur pakaian. Tapi aku dan Damian
menambahkan beberapa pernak-pernik ringan untuk menjadikan Antah Berantah
tempat rahasia yang paling keren di dunia.
Ada sofa bekas punya Ayah yang
masih empuk diduduki, beberapa bonekaku yang kami jadikan bantal, dan terpal
biru muda yang kami jadikan atap di atas sofa.
Kebetulan, Antah Berantah
menghadap ke danau buatan komplek ini yang cukup keren kalau dilihat saat senja
begini.
Di sini, aku dan Damian baisa
menghabiskan waktu untuk bercerita berjam-jam. Sesungguhnya lebih banyak aku
yang bercerita dan Damian yang mendengarkan. Dan karena itu aku selalu
membutuhkannya.
Seperti sekarang ini. Aku
membutuhkannya sebagai pengalih dari rasa sakit menstruasi pertama ini. Dan ternyata
cukup berhasil. Aku jadi tidak terlalu menikmati sensasi pertama petaka wanita yang akan datang lagi bulan depan, bulan depannya lagi dan bulan
depannya lagi ini. Aku malah jadi tertarik memerhatikan senyum sahabatku ini.
“Kenapa?” ternyata dia sadar
sedang kuperhatikan.
“Tidak! Tidak ada apa-apa!”
aku jadi gelapan.
“Hei, apa kabar Joshua, Daniel
atau Kevin?”
“Ha? Kenapa tanya tentang
mereka?”
“Biasanya kan kau cerita
tentang pacar-pacarmu itu.”
“Mantan!” buru-buru kukoreksi.
Damian benar juga. Biasanya
memang aku yang sibuk membahas senyum manis Joshua, atau potongan rambut Daniel
yang mirip anggota The Wanted atau malah badan super kerennya Kevin yang memang
model cover majalah. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa senyum Damian lebih manis
daripada senyum Joshua? Rambut ala Harry Style punya Damian juga lebih keren
daripada rambut Daniel. Badan Damian juga keren.
Ha? Apa-apaan sih aku?!
“Kenapa diam?” Damian
membuyarkan lamunanku.
“Tidak... tidak... aku cuma
teringat kenangan-kenangan kita di Antah Berantah ini,” ujarku. “Mulai dari
saat aku pacaran pertama kali, putus pertama kali bahkan sekarang menstruasi
pertama kali, kau selalu ada di sini mendengarkan celotehanku,” tambahku sambil
tergelak.
“Iya juga ya,” Damian ikut tertawa.
“Tapi kenapa semuanya tentangmu ya, Namira?”
Aku hanya tertawa. Lalu ada
hening sejenak.
“Namira? Sudah malam, masuk
dulu, kita mau makan malam,” tiba-tiba suara Ibu terdengar dari pintu atap ini.
“Ibumu sudah memanggil,” bisik
Damian.
“Sebentar!” aku berteriak
untuk Ibu, sekaligus menjawab pernyataan Damian.
Mendadak perutku memilin lagi,
kali ini bukan karena menstruasi sialan ini. Tapi karena wajah Damian keparat
yang mendadak jadi tampan ini. “Aku masuk dulu, Dam,” ujarku buru-buru.
Meninggalkannya sendiri di Antah Berantah.
Sebelumnya dia sempat bertanya
sesuatu, “Kenapa ibumu tidak pernah mengajakku makan malam bersama kalian?”
Aku hanya tersenyum dan
menjawabnya ringan, “Karena seperti tempat ini, kau juga hanya teman
khayalanku, Dam. Ibuku tidak bisa melihatmu.”
0 comments :
Post a Comment