Leo
untuk Cameo: Masih Aneh, ha ha ha
Dan di
sinilah orang yang dari tadi kami perbincangkan: Cameo.

Aku, Tommy dan Cameo adalah sahabat
sejak SMA. Sayangnya, aku harus kuliah ke luar negeri untuk memenuhi tanggung
jawabku sebagai anak yang baik pada sang ayah, dan meninggalkan kedua cecunguk
ini. Kami jenis sahabat yang selalu menghabiskan waktu bersama hanya untuk
melakukan hal-hal tidak penting, semisal menukar susunan novel sastra Indonesia
dengan ensiklopedi sains di perpustakaan nasional; atau mengisi matras olahraga
sekolah dengan katak-katak hidup; tapi yang paling kusukai adalah saat melihat
wajah panik Cameo ketika epilepsi Tommy kumat dan aku menyembunyikan obatnya.
Biasanya Cameo akan puasa bicara pada kami, kalau dia tahu Tommy hanya
pura-pura.
“Leo?” tanyanya datar. Khas Cameo.
Dia akan selalu menjadi stupid awkward
weirdo jika bertemu orang baru, atau bahkan orang yang sudah dikenalnya
lama tapi baru dijumpainya kembali setelah bertahun-tahun tidak, seperti aku
ini.
“Leo? Maaf, apa saya mengenal Anda?”
kukerjain sekalian saja.
“Oh, maaf. Saya kira Anda orang yang
saya kenal,” tambahnya buru-buru. Kalau saja niat jailku tidak kuat, aku pasti
sudah tergelak melihat tampang tololnya. Dan Tommy si bodoh malah sudah
tertawa.
“Jangan jahat begitu padanya, Leo.”
Tommy memukul kepala Cameo dengan sikutnya.
Akhirnya aku tergelak. Tampang tolol
Cameo benar-benar lucu. Wajahnya mendadak berubah ungu karena menahan kesal. Ya
Tuhan, bocah ini tampaknya benar-benar tidak berubah. Masih aneh.
“Jadi, apa kabarmu?” tanyaku memecah
kekakuannya. Aku paham sekali jalan pikirannya. Ia tidak akan bicara jika tidak
ada yang bicara padanya. Terkadang sifatnya yang satu ini cukup mengesalkan.
“Well,”
dia kikuk sekali. Sialan! Dia sepertinya benar-benar menganggapku asing. “Aku
masih begini-begini saja. Kau bagaimana?” Ia tersenyum. Senyum canggung.
“Aku sudah resmi pindah ke sini
sekarang. Kebetulan perusahaanku bekerja sama dengan perusahaan Tommy. Dan di
sinilah kami.”
“Jadi ini gawat darurat yang kau
maksud, bodoh?” Cameo menyikut kepala Tommy sekali lagi. “Aku kira kau sudah
dibuang pelayan di sini ke laut karena tak berhenti kejang-kejang.”
“Leo yang menyuruhku, dia bilang mau
tes sifat altuistikmu yang aneh itu.”
Tommy
merasa bersalah, dan memandangku untuk minta bantuan.
“Iya, aku yang suruh. Aku takut kau tidak mau datang
kalau Tommy bilang yang sebenarnya. Kau kan sombong!”
“Hei, kau yang sombong, man!” sekali lagi dia terpancing. Cameo
ternyata seratus persen tidak berubah. Aku masih paham hal apa yang disukai
atau tidak disukainya, hal apa yang akan memancing emosinya, dan semacamnya.
“Aku pasti datang kok kalau kalian bilang yang sebenarnya. Tidak perlu
mengolok-olok begini.”
Kami bertiga lantas tertawa. Tawa
yang sudah lama sekali tidak kami keluarkan sejak berpisah. Sesaat aku terjebak
nostalgia dan merasa melankolis. Aneh, tapi dengan dua orang ini rasanya dunia
terasa lebih lunak. Apalagi Cameo. Teman yang tidak akan kautemui duplikatnya
di belahan dunia manapun.
Yang terjadi selanjutnya adalah
perbincangan seru mengenang masa lalu. Semakin aku banyak bicara, semakin
banyak bicara pula si canggung Cameo, semakin cair pula suasananya. Kami juga
bercerita tentang masa kini, pekerjaan masing-masing dan semacamnya. Aku
bertanya tentang epilepsi Tommy yang katanya semakin memarah. Aku juga bertanya
tentang Kirana, adik semata wayang Cameo. Dia pasti sudah tumbuh jadi gadis
yang cantik sekarang ini. Dan mereka menanyakan apakah aku sudah menikah dan
semacamnya. Tentu saja belum.
“Aku single. Bagaimana kalian?”
Tommy menghela napas, “Aku gagal
menikah. Pacarku tidak siap menikahi orang cacat sepertiku.”
“Sudahlah, Tomm. Debora hanya gadis
murahan. Kan sudah kubilang dari awal kalau dia tidak baik untukmu. Kau yang
tak mau dengar,” gerutu Cameo. “Lagipula untuk apa menikah. Kau hanya akan jadi
susah dan tambah tua jika menikah. Tanggunganmu akan bertambah, begitu juga
tanggungan istrimu. Kalian berdua akan sama-sama disibukan dengan keinginan
pasangannya. Belum lagi jika punya anak. Kalian harus ekstra hati-hati dalam
membesarkan manusia kecil. Salah sedikit, dampaknya akan besar. Coba anakmu
jadi berandal, kau dan istrimu pasti akan stres memikirkannya. Belum lagi
dampaknya ke lingkungan. Untuk apa melahirkan anak, kalau tidak sanggup. Jangan
hanya memikirkan enaknya saja. Menikah itu sulit. Salah-salah hanya buat semak
Bumi ini.”
Tommy tertunduk, sebal. Aku
menganga. “Inilah sebabnya aku menunda menikah, Tomm. Aku tidak mau dikhutbahi
oleh bocah cecunguk ini,” kataku pada Tommy.
Kami berdua tertawa dan Cameo jadi
sebal.
Aku tidak tahu nama ilmiah atau
ciri-ciri fobia terhadap pernikahan, tapi untuk sesaat aku yakin kalau Cameo
memang takut menikah. Well, dia
memang aneh, dan keanehan tentang pernikahan ini memang bukan hal baru. Dulu
saat masih sekolah, dia juga selalu berpendapat begini tentang pernikahan.Bahwa
yang berhak menikah adalah orang-orang tertentu, bahkan dia sempat punya usulan
aneh agar pemerintah menyeleksi orang-orang yang layak untuk menikah. Tapi dulu
kukira itu hanya lelucon remaja labil. Dulu aku yakin pikirannya itu akan berubah
seiring waktu yang menggelinding. Mana mungkin orang dewasa tidak ingin
menikah? Itu sudah ada di gen setiap manusia! Mereka butuh menikah.
Aku tadi yakin seratus persen kalau
Cameo memang tidak berubah sedikitpun. Bahwa dia tetap sama anehnya. Tapi
sekarang keyakinanku mengganda berjuta-juta kali lipat. Aku yakin dia masih
sama, masih aneh.
cameo itu unik bukan aneh
ReplyDeletemenurutnya sama aja, nis :)
ReplyDeletegak sabar nunggu kelanjutannya dam... gaya penulisannya asik
ReplyDeletecameo yang 'bebas' dengan dunianya hahahah keren isi blognya :)
ReplyDelete