Wednesday, November 28, 2012

,   |   4 comments   |  

(Masih) Bab I: Manusia Paling Aneh Sejagad Raya


Leo untuk Cameo: Masih Aneh, ha ha ha

Dan di sinilah orang yang dari tadi kami perbincangkan: Cameo.

            Sudah sepuluh tahun lebih aku tidak berjumpa dengannya. Dan dia masih sama. Kacamata persegi, tubuh kurus, gaya berpakaian yang berantakan, senyum aneh khasnya, rambut kusut, semuanya masih seperti Cameo yang dulu. Bisa dibilang dia cukup awet muda. Padahal kami semua sudah mau kepala tiga.

            Aku, Tommy dan Cameo adalah sahabat sejak SMA. Sayangnya, aku harus kuliah ke luar negeri untuk memenuhi tanggung jawabku sebagai anak yang baik pada sang ayah, dan meninggalkan kedua cecunguk ini. Kami jenis sahabat yang selalu menghabiskan waktu bersama hanya untuk melakukan hal-hal tidak penting, semisal menukar susunan novel sastra Indonesia dengan ensiklopedi sains di perpustakaan nasional; atau mengisi matras olahraga sekolah dengan katak-katak hidup; tapi yang paling kusukai adalah saat melihat wajah panik Cameo ketika epilepsi Tommy kumat dan aku menyembunyikan obatnya. Biasanya Cameo akan puasa bicara pada kami, kalau dia tahu Tommy hanya pura-pura.

            “Leo?” tanyanya datar. Khas Cameo. Dia akan selalu menjadi stupid awkward weirdo jika bertemu orang baru, atau bahkan orang yang sudah dikenalnya lama tapi baru dijumpainya kembali setelah bertahun-tahun tidak, seperti aku ini.

            “Leo? Maaf, apa saya mengenal Anda?” kukerjain sekalian saja.

            “Oh, maaf. Saya kira Anda orang yang saya kenal,” tambahnya buru-buru. Kalau saja niat jailku tidak kuat, aku pasti sudah tergelak melihat tampang tololnya. Dan Tommy si bodoh malah sudah tertawa.

            “Jangan jahat begitu padanya, Leo.” Tommy memukul kepala Cameo dengan sikutnya.

            Akhirnya aku tergelak. Tampang tolol Cameo benar-benar lucu. Wajahnya mendadak berubah ungu karena menahan kesal. Ya Tuhan, bocah ini tampaknya benar-benar tidak berubah. Masih aneh.

            “Jadi, apa kabarmu?” tanyaku memecah kekakuannya. Aku paham sekali jalan pikirannya. Ia tidak akan bicara jika tidak ada yang bicara padanya. Terkadang sifatnya yang satu ini cukup mengesalkan.

            Well,” dia kikuk sekali. Sialan! Dia sepertinya benar-benar menganggapku asing. “Aku masih begini-begini saja. Kau bagaimana?” Ia tersenyum. Senyum canggung.

            “Aku sudah resmi pindah ke sini sekarang. Kebetulan perusahaanku bekerja sama dengan perusahaan Tommy. Dan di sinilah kami.”

            “Jadi ini gawat darurat yang kau maksud, bodoh?” Cameo menyikut kepala Tommy sekali lagi. “Aku kira kau sudah dibuang pelayan di sini ke laut karena tak berhenti kejang-kejang.”

            “Leo yang menyuruhku, dia bilang mau tes sifat altuistikmu yang aneh itu.” Tommy merasa bersalah, dan memandangku untuk minta bantuan.

            “Iya, aku yang suruh. Aku takut kau tidak mau datang kalau Tommy bilang yang sebenarnya. Kau kan sombong!”

            “Hei, kau yang sombong, man!” sekali lagi dia terpancing. Cameo ternyata seratus persen tidak berubah. Aku masih paham hal apa yang disukai atau tidak disukainya, hal apa yang akan memancing emosinya, dan semacamnya. “Aku pasti datang kok kalau kalian bilang yang sebenarnya. Tidak perlu mengolok-olok begini.”

            Kami bertiga lantas tertawa. Tawa yang sudah lama sekali tidak kami keluarkan sejak berpisah. Sesaat aku terjebak nostalgia dan merasa melankolis. Aneh, tapi dengan dua orang ini rasanya dunia terasa lebih lunak. Apalagi Cameo. Teman yang tidak akan kautemui duplikatnya di belahan dunia manapun.

            Yang terjadi selanjutnya adalah perbincangan seru mengenang masa lalu. Semakin aku banyak bicara, semakin banyak bicara pula si canggung Cameo, semakin cair pula suasananya. Kami juga bercerita tentang masa kini, pekerjaan masing-masing dan semacamnya. Aku bertanya tentang epilepsi Tommy yang katanya semakin memarah. Aku juga bertanya tentang Kirana, adik semata wayang Cameo. Dia pasti sudah tumbuh jadi gadis yang cantik sekarang ini. Dan mereka menanyakan apakah aku sudah menikah dan semacamnya. Tentu saja belum.

            “Aku single. Bagaimana kalian?”

            Tommy menghela napas, “Aku gagal menikah. Pacarku tidak siap menikahi orang cacat sepertiku.”

            “Sudahlah, Tomm. Debora hanya gadis murahan. Kan sudah kubilang dari awal kalau dia tidak baik untukmu. Kau yang tak mau dengar,” gerutu Cameo. “Lagipula untuk apa menikah. Kau hanya akan jadi susah dan tambah tua jika menikah. Tanggunganmu akan bertambah, begitu juga tanggungan istrimu. Kalian berdua akan sama-sama disibukan dengan keinginan pasangannya. Belum lagi jika punya anak. Kalian harus ekstra hati-hati dalam membesarkan manusia kecil. Salah sedikit, dampaknya akan besar. Coba anakmu jadi berandal, kau dan istrimu pasti akan stres memikirkannya. Belum lagi dampaknya ke lingkungan. Untuk apa melahirkan anak, kalau tidak sanggup. Jangan hanya memikirkan enaknya saja. Menikah itu sulit. Salah-salah hanya buat semak Bumi ini.”

            Tommy tertunduk, sebal. Aku menganga. “Inilah sebabnya aku menunda menikah, Tomm. Aku tidak mau dikhutbahi oleh bocah cecunguk ini,” kataku pada Tommy.

            Kami berdua tertawa dan Cameo jadi sebal.

            Aku tidak tahu nama ilmiah atau ciri-ciri fobia terhadap pernikahan, tapi untuk sesaat aku yakin kalau Cameo memang takut menikah. Well, dia memang aneh, dan keanehan tentang pernikahan ini memang bukan hal baru. Dulu saat masih sekolah, dia juga selalu berpendapat begini tentang pernikahan.Bahwa yang berhak menikah adalah orang-orang tertentu, bahkan dia sempat punya usulan aneh agar pemerintah menyeleksi orang-orang yang layak untuk menikah. Tapi dulu kukira itu hanya lelucon remaja labil. Dulu aku yakin pikirannya itu akan berubah seiring waktu yang menggelinding. Mana mungkin orang dewasa tidak ingin menikah? Itu sudah ada di gen setiap manusia! Mereka butuh menikah.

            Aku tadi yakin seratus persen kalau Cameo memang tidak berubah sedikitpun. Bahwa dia tetap sama anehnya. Tapi sekarang keyakinanku mengganda berjuta-juta kali lipat. Aku yakin dia masih sama, masih aneh.

4 comments :