Wednesday, November 28, 2012

,   |   No comments   |  

Bab 1: Manusia Paling Aneh Sejagad Raya


Cameo untuk dirinya sendiri: Aku Memang Aneh


Bertemu Fabian memang selalu sedikit menguras tenaga.

            Adeleta bilang, calon suaminya itu selalu curiga terhadap hubungan kami. Menurut Fabian, aku membuat Adeleta berbeda sejak bergaul denganku. Padahal seingatku, Adeleta bertemu denganku terlebih dahulu, jauh sebelum bertemu Fabian dan memutuskan untuk menikah November nanti. Tapi terserahnya saja. Dia hanya membuang-buang waktunya dengan mencemburui bocah aneh sepertiku. Aku 170 setengah sentimeter; Fabian 182 sentimeter. Aku ceking dan tak seksi; Fabian punya bisep sebesar paha sapi dan semua perempuan selalu memuja tubuh atletisnya. Aku hanya bujang lapuk yang hidup dari tulisan-tulisannya, terkadang menjadi wartawan freelance; Fabian adalah Chef andal dengan tiga restoran Perancis yang sepertinya akan buka cabang keempat sesegera mungkin. Benar-benar tidak ada alasan baginya mencemburuiku. Lagipula Adeleta adalah salah satu wanita paling waras dan rasional yang pernah kukenal di dunia ini. Dia tidak cukup bodoh untuk meninggalkan Fabian demi diriku yang… entahlah, susah tidak menertawakan kebodohan Fabian yang satu ini. Belum lagi umur kami. Aku 28, Leta 32. Well, walaupun selisih 4 tahun adalah hal kecil jika melihat daftar mantan pacarku, tetap saja tidak mungkin. Adeleta bukan tipeku (sorry, lady).

            Telepon selulerku bergetar. Ada nama Tommy di layarnya. “Sudah di mana, Cam?” cerocosnya saat kusentuh tanda ‘angkat’.

            “Aku sudah di parkiran. Sabar sedikit.”

            “Cepatlah, kau tega membiarkan sobatmu ini mati karena kau terlalu lama datang?”

            “Tidak usah hiperbolis begitu, Tomm.” Kalau tidak ingat catatan epilepsi yang dideritanya, aku pasti tidak akan sepanik ini.

            “Kalau begitu, cepatlah. Lari.”

            Tut.. tut… panggilan diakhiri.

            Aku sengaja pergi dari restoran Fabian saat menerima sms mendadak Tommy. Gawat. Pokoknya gawat darurat. Aku di Starbucks biasa, katanya dalam pesan singkat itu. Terakhir kali dia bilang begitu, aku menemukannya terkapar pingsan di lobi hotel di kawasan Cilandak. Epilepsinya benar-benar kambuh. Untung aku tiba tepat waktu, karena hampir saja pelayan hotel itu menelepon polisi karena tidak menemukan kartu tanda pegenal apa pun di saku dan tas Tommy. Adeleta memberikan kunci mobilnya. Walau sungkan, aku terpaksa menerima tawarannya itu. Khawatir kalau-kalau Tommy sudah dilemparkan ke laut saat aku tiba. Beruntung karena Starbucks yang dimaksud tidak terlalu jauh dari restoran Fabian, masih di kawasan Jakarta Selatan.

            Kedai kopinya sepi. Tidak ada kerumunan heboh yang menonton seseorang menggelepar di lantai. Hanya ada beberapa penikmat kopi yang sibuk dengan komputer jinjingnya dan Tommy yang tampak sedang asik mengobrol dengan seseorang.

            “Hei, bajingan! Ternyata kau masih sehat wal afiat,” sindirku sebal sambil bergabung dengan Tommy dan kenalannya.

            “Hei! Sampai juga kau.” Tommy menarikan kursi di sebelahnya untukku. Aku memukul kepalanya dengan sikutku, lalu duduk. “Hei! Kau merusak rambutku, Cam!” gerutunya.

            Saat Tommy sibuk membenahi rambut klimisnya yang dipenuhi minyak rambut berbau aneh, aku baru sadar kalau aku mengenal kenalan Tommy yang duduk di depan kami. Dia menatapku dengan simpul senyum ramah. Menungguku untuk menyapanya lebih dulu.

            “Leo?” dahiku mengernyit. Berharap tebakanku tidak salah.

0 comments :

Post a Comment