Cameo
untuk dirinya sendiri: Aku
Memang Aneh
Bertemu Fabian memang
selalu sedikit menguras tenaga.
Adeleta bilang, calon suaminya itu
selalu curiga terhadap hubungan kami. Menurut Fabian, aku membuat Adeleta
berbeda sejak bergaul denganku. Padahal seingatku, Adeleta bertemu denganku
terlebih dahulu, jauh sebelum bertemu Fabian dan memutuskan untuk menikah
November nanti. Tapi
terserahnya saja. Dia
hanya membuang-buang waktunya dengan mencemburui bocah aneh sepertiku. Aku 170 setengah sentimeter;
Fabian 182 sentimeter. Aku
ceking dan tak seksi; Fabian punya bisep sebesar paha sapi dan semua perempuan
selalu memuja tubuh atletisnya. Aku hanya bujang lapuk yang hidup dari
tulisan-tulisannya, terkadang menjadi wartawan freelance; Fabian adalah Chef andal dengan tiga restoran Perancis
yang sepertinya akan buka cabang keempat sesegera mungkin. Benar-benar tidak
ada alasan baginya mencemburuiku. Lagipula Adeleta adalah salah satu wanita
paling waras dan rasional yang pernah kukenal di dunia ini. Dia tidak cukup
bodoh untuk meninggalkan Fabian demi diriku yang… entahlah, susah tidak
menertawakan kebodohan Fabian yang satu ini. Belum lagi umur kami. Aku 28,
Leta 32. Well, walaupun selisih 4
tahun adalah hal kecil jika melihat daftar mantan pacarku, tetap saja tidak
mungkin. Adeleta bukan tipeku (sorry,
lady).
Telepon selulerku bergetar. Ada nama
Tommy di layarnya. “Sudah di mana, Cam?” cerocosnya saat kusentuh tanda
‘angkat’.
“Aku sudah di parkiran. Sabar
sedikit.”
“Cepatlah, kau tega membiarkan
sobatmu ini mati karena kau terlalu lama datang?”
“Tidak usah hiperbolis begitu,
Tomm.” Kalau tidak ingat catatan epilepsi yang dideritanya, aku pasti tidak
akan sepanik ini.
“Kalau begitu, cepatlah. Lari.”
Tut.. tut… panggilan diakhiri.
Aku sengaja pergi dari restoran
Fabian saat menerima sms mendadak Tommy. Gawat.
Pokoknya gawat darurat. Aku di Starbucks biasa, katanya dalam pesan singkat
itu. Terakhir kali dia bilang begitu, aku menemukannya terkapar pingsan di lobi
hotel di kawasan Cilandak. Epilepsinya benar-benar kambuh. Untung aku tiba
tepat waktu, karena hampir saja pelayan hotel itu menelepon polisi karena tidak
menemukan kartu tanda pegenal apa pun di saku dan tas Tommy. Adeleta memberikan
kunci mobilnya. Walau sungkan, aku terpaksa menerima tawarannya itu. Khawatir
kalau-kalau Tommy sudah dilemparkan ke laut saat aku tiba. Beruntung karena
Starbucks yang dimaksud tidak terlalu jauh dari restoran Fabian, masih di
kawasan Jakarta Selatan.
Kedai kopinya sepi. Tidak ada
kerumunan heboh yang menonton seseorang menggelepar di lantai. Hanya ada
beberapa penikmat kopi yang sibuk dengan komputer jinjingnya dan Tommy yang
tampak sedang asik mengobrol dengan seseorang.
“Hei, bajingan! Ternyata kau masih
sehat wal afiat,” sindirku sebal sambil bergabung dengan Tommy dan kenalannya.
“Hei! Sampai juga kau.” Tommy
menarikan kursi di sebelahnya untukku. Aku memukul kepalanya dengan sikutku,
lalu duduk. “Hei! Kau merusak rambutku, Cam!” gerutunya.
Saat Tommy sibuk membenahi rambut
klimisnya yang dipenuhi minyak rambut berbau aneh, aku baru sadar kalau aku
mengenal kenalan Tommy yang duduk di depan kami. Dia menatapku dengan simpul
senyum ramah. Menungguku untuk menyapanya lebih dulu.
“Leo?” dahiku mengernyit. Berharap
tebakanku tidak salah.
0 comments :
Post a Comment