Sebenarnya
susah menerka apa yang ingin disampaikan film ini: sepotong riwayat
hidup Allen Ginsberg? Dunia sastra di era Perang Dunia II? Atau isu lesbian gay biseksual transgender (LGBT)? Biar pun begitu, Daniel Radcliffe menunjukkan perkembangan seni perannya di sini.
Allens Ginsberg adalah seorang pujangga Amerika era 50-an. Karyanya yang terkenal adalah kumpulan puisi berjudul Howl.
Ia penentang militerisme, kapitalisme Amerika, dan represi seksualitas.
Ia juga salah satu anggota Beat Generation, sekelompok penulis kiri di
zamannya. Mereka menentang yang biasa, mendukung alternatif seksualitas,
tertarik pada agama-agama yang berkembang di Timur, dan menolak gagasan
kapitalisme yang mulai berkembang kala itu.
Jelas,
jika seseorang tertarik mengangkat hidupnya ke dalam rol film, adalah
pekerjaan berat untuk membungkus fokus. Hidup Ginsberg tak biasa, ia
seorang tokoh dunia: pujangga, sastrawan, homoseksual, seorang anak
korban rumah tangga yang berantakan, punya ibu yang mentalnya terganggu,
dan lainnya. Terlalu banyak hal menarik yang bisa diangkat.
Dan
sang sutradara John Krokidas, memilih masa muda Ginsberg sebagai jalan
cerita filmnya. Masa kala Ginsberg masih jadi junior di University of
Columbia. Kala ia, yang diperankan Daniel Radcliffe, bertemu dengan
Lucien ‘Lu’ Carr (Dane Deehane), orang yang membawanya mengenal
orang-orang luar biasa lainnya di dunia sastra masa itu.
Bak
masa muda siapa pun, masa muda para pemuda ini juga dipenuhi pergolakan
batin tentang identitas diri, politik negeri yang mau tak mau terkait
dengan kehidupan mahasiswa seperti mereka, serta cinta, obsesi, dan ego
pribadi.
Cerita
tentang terbentuknya Beat Generation jadi fokus awal cerita. Di saat
yang sama, pergolakan batin Ginsberg yang mulai jatuh cinta pada Lu juga
seolah jadi ide utama cerita. Pun, Krokidas juga meyelipkan kisah
keluarga Ginsberg yang amburadul di sini.
Pada
setengah film berjalan, tergambar jelas kehidupan remaja yang begitu
liar. Ginsberg, Lu, dan kawan-kawan mereka di Beat Generation selalu
teler. Kalau tak karena alkohol, mesti karena heroin. Adegan Daniel
Radcliffe onani di kamar asramanya juga memperkuat kesan liar yang coba
Krokidas tonjolkan.
Tapi terlalu banyak fokus cerita yang mau ia sampaikan.
Ada
cerita Jack Kerouac (Jack Huston), yang sebenarnya bisa dibuatkan satu
biofilm sendiri, diselipkan dalam film ini. Kisah cinta rumit Lu dan
David Kammerer (Micheal C Hall), seorang pujangga yang juga terkenal di
era itu juga turut hadir di sini. Porsinya juga tak sedikit. Bahkan, di
akhir cerita penonton baru sadar kalau fokus yang coba dibungkus
Krokidas adalah kasus pembunuhan David Kammerer oleh Lu.
Penonton
akan sadar kalau fokus yang dipilih Krokidas untuk film ini adalah
sepotong riwayat hidup Allen Ginsberg saat mencintai pria yang ternyata
seorang pembunuh. Penonton akan sadar kalau, inti dari film ini adalah
Ginsberg sadar kalau ia harus meninggalkan Lu yang penuh pesona. Dan
penonton akan sadar, terlalu banyak hal yang diselipkan Krokidas untuk
mengerucutkan satu intisari singkat tersebut.
Pertanyaannya,
kenapa dari sekian banyaknya hal menarik dari hidup Ginsberg, hanya
sepotong ini yang berusaha ia tonjolkan? Mungkin jawabannya karena ia
sulit membungkus fokus.
Tapi, seni peran
Daniel Radcliffe adalah salah satu penghibur dari film tak berfokus
ini. Ia tak lagi terlihat seperti bocah penyihir penyelamat dunia, ia
memang terlihat seperti pujangga 50-an yang masih remaja, yang begitu
rapuh karena kesensitivitasan yang ia miliki. Caranya memandang Lu,
menghisap heroin hingga teler, dan adegan ranjangnya dengan seorang pria
tak dikenal, semuanya terlihat natural.
Pun demikian dengan seni peran
Dane Deehane. Ia membuat karakter Lucien Carr begitu gelap sekali gus
begitu memikat. Caranya bicara, bergerak, membuat karakter ini tak
gampang dilupakan. Dane Deehane bisa dibilang menghidupkan karakter
Lucien Carr yang meskipun pembunuh, kasar, keras kepala, tapi akan tetap
membuat kita berempati padanya.
Satu
lagi bagusnya film ini adalah musik jazz yang begitu menyatu di
sepanjang cerita. Wells terbantu karena lagu-lagu tersebut menguatkan
latar 50-an yang ia berusaha bangun.
nulis nama dane deehane itu salah tau
ReplyDeleteyg bener tuh dane Dehaan .