Sunday, May 11, 2014

,   |   No comments   |  

Nephillim 2.0

SUDAH dua minggu sejak nenek dimakamkan, tapi air mata ibu tak kunjung kering. Dia masih saja mengurung diri di kamar, sambil terus mengisak tangis dan memeluk selembar daster terakhir yang nenek pakai saat kematian menjelangnya.
Padahal tak ada yang mengejutkan dari kematian nenek. Ia genap kepala sembilan, dua bulan lalu. Pun telah berbaring di dipan rumah sakit sejak delapan tahun silam, saat alzheimer dan osteoporosis kompak menggerogoti tubuhnya. Maksudku, kematian nenek sungguhlah hal paling alami yang tak perlu dikejutkan, apalagi dijadikan alasan untuk bermelodrama, seperti yang ibu lakukan.

Bukannya aku tak sedih. Nenek adalah manusia favoritku. Tak mungkin aku tak sedih. Aku juga menangis. Tapi tak separah ibu. Kadang, di satu atau dua potong malam, aku juga tenggelam dalam rindu yang begitu mengerikan pada sosok nenek. Dan tangis memang sesuatu yang tak bisa dicegah. Oleh karenanya, aku mencoba mengerti perasaan ibu. Mungkin dia memang sangat merindukan nenek.
Oh nenek....
Sosoknya memang begitu menentramkan. Meskipun alzheimer menggeroggoti ingatan-ingatannya, tapi ia selalu punya kenangan yang bisa diceritakan. Kenangan-kenangan itu berupa pengalaman hidup yang tampaknya begitu membekas di ingatannya. Pengalamannya bertemu Mlathiandra, sosok malaikat yang tak sengaja jatuh di halaman rumahnya, karena sayap Mlathiandra terluka.
Sebab alzheimer pula nenek hanya bisa menceritakan sepotong ingatan itu-itu saja kepadaku. Yang mengherankanku, kenapa dari berjuta memori yang pasti nenek miliki, hanya memori itu yang berhasil tinggal di kepalanya.
Tapi aku berhenti bertanya begitu saat ulang tahunku yang ketiga belas, delapan tahun lalu. Semuanya terjawab saat mendadak kepalaku dimasuki suara-suara aneh dari pikiran-pikiran orang di sekitarku. Persis seperti Mlathiandra yang nenek bilang juga bisa membaca pikiran orang. Nenek juga pernah bilang kalau kakek Rudi, suaminya, ayah ibuku, bukanlah kakekku yang sebenarnya.
Tapi benarkah aku seorang nephillim? Manusia setengat malaikat?
Tentu semua itu membingungkanku yang masih berusia tiga belas tahun. Kendati begitu, aku tak pernah menceritakan rahasia nenek ini pada siapapun. Termasuk ibu. Karena ibu hanya menganggap cerita tentang malaikat ini hanyalah efek samping dari penyakit alzheimer nenek.
“Malaikat itu hanya imajinasi nenek, Celia sayang.”
Hal ini pernah ibu ucapkan saat aku bertanya apakah ia mempercayai adanya malaikat.
Sejak saat itu, aku tahu ibu juga takkan percaya padaku kalau aku bilang aku bisa membaca pikirannya. Lagi pula, apa yang lebih menyeramkan daripada mengetahui kalau anakmu bisa membaca pikiran? Bisa-bisa aku diserahkan ke peneliti syaraf di universitas tempat ibu mengajar, untuk dibedah dan diteliti.
Jadi aku putuskan bungkam. Biarlah suara-suara bising di kepalaku ini jadi rahasiaku seorang diri.
“Kau sudah sarapan, Sayang?” suara ibu mendadak mengejutkanku. Suara yang keluar dari mulut, bukan berupa pikiran. Ia keluar dari pintu kamarnya. Perawakannya kusut. Rambutnya masai. Matanya sembab. Hidungnya pun sumbat karena ingus yang terlampau banyak. Tubuhnya kian bungkuk.
“Sudah, Bu,” kataku sambil lalu. Tapi ada enzim masam yang pecah di ulu hatiku melihat penampilan ibu. Penampilannya tak pernah seberantakan ini. Ia memang bungkuk, karena kyphosis yang dideritanya, tapi kaki jenjang dan pinggul ramping membuat penampilan ibu selalu memukau.
“Ibu mau ke mana?” aku tidak berencana bertanya, sampai kulihat ia mengambil payung dan memegang knop pintu. “Di luar hujan deras, Bu.”
Ibu berhenti sebelum memutar knop. “Ibu ada urusan mendadak di universitas. Jangan lupa makan malam ya. Ibu akan pulang larut,” katanya. Lalu ia memutar kenob dan hilang di balik pintu.
Cegah dia pergi, Celia.
Tiba-tiba sebuah suara melintas di kepalaku. Suara seorang pria.
“Siapa kau?” aku sangat terkejut. Rumah ini jelas-jelas kosong sepeninggal ibu beberapa detik lalu. Maksudku, hanya ada aku di sini. Jadi suara siapa itu?
Cegah ibumu pergi. Dia akan membahayakan hidup kalian. Suara itu kembali menggema di kepalaku, tidak merambat di udara yang masuk ke kupingku.
Aku tak menjawabnya, tapi memutar pandangan ke seluruh penjuru rumah. Rumah kami tidak besar, hanya terdiri dari satu ruang tamu, ruang televisi dan ruang makan yang dijadikan satu tanpa sekat, serta ada dua kamar yang saling berhadapan. Aku sedang berdiri di ruang televisi, dan dengan jelas bisa melihat sekeliling rumah. Kecuali dapur yang gelap gulita di samping kamar ibu. Lantas pandanganku berhenti di sana.
“Celia... kumohon dengarkan aku sebelum terlambat.”
Suara pria itu kembali terdengar. Kali ini bukan hanya di pikiranku, tapi juga keluar dari mulutnya.
Suara itu keluar bersamaan dengan gerakan sebuah siluet di dapur. Suara itu... ia memakai jubah hitam.
“Si... siapa.. kau?” adrenalinku meninggi. Sejak kapan dia ada di situ?
“Tenanglah, Celia sayang. Aku Mlathiandra. Jangan takut.” Ia membuka tudung jubahnya.
“Mlathiandra?!”
AKU tak menemukan istilah lain selain kaget setengah mati setelah melihat langsung Mlathiandra. Ia memang pria luar biasa tampan. Bersinar. Tinggi. Kokoh. Gagah. Dan... luar biasa tampan. Persis seperti deskripsi nenek. Meski tubuhnya ditutupi jubah hitam jelaga, tapi aku bisa melihat tumpukan bulu putih cemerlang yang kuncup dari balik bahu hingga betisnya. Sayap yang begitu indah...
“Celia! Segeralah kejar ibumu....
“Kenapa?”
Ia diam tapi melangkah maju, mendekat ke arahku.
“Sulit menjelaskannya... tapi kumohon kejar dia. Dia akan mengejar Vallen. Dia ingin membalas dendam atas kematian nenekmu.”
“Vallen? Balas dendam? Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Vallen, malaikat penjaga perdamaian. Ibumu ingin balas dendam pada mereka karena kematian Rita.
Vallen yang membuat nenekmu gila dan meracuninya dua minggu lalu.” Ocehan Mlathiandra makin tak keruan. Aku makin tak mengerti.
“Nenek tidak gila, Mlathiandra! Dia terkena alzheimer. Dan tak ada yang meracuninya!”
“Tidak, Sayang. Nenekmu sengaja dibuat gila setelah Vallen mengetahui kalau Rita melahirkan seorang Nephillim, ibumu.”
“Ibu? Nephillim? Apa maksudmu nephillim manusia setengah malaikat?”
“Ya. Seperti kau.”
Aku terdiam. Semuanya mulai tercerna dengan baik di kepalaku.
“Jadi kau memang kakek kandungku?” bulu kudukku meremang.
“Ya, Sayang. Ibumu adalah anakku.” Mlathiandra diam sejenak. “Setelah dia mengetahui dirinya nephillim, ia membawa Rita dan kau bersembunyi dari kejaran para Vallen. Tapi seorang Vallen berhasil menemukan Rita dua minggu lalu dan meracuninya. Ibumu ingin membalas dendam, tapi takut mencelakaimu. Ia juga sudah tahu kalau kekuatan membaca pikiranmu sudah mucul, tapi ia masih ingin merahasiakan semua ini darimu. Sejauh ini Vallen tak tahu kalau ada dua nephillim yang hidup. Aku sudah menasihatinya untuk tetap bersembunyi, tapi ia tidak mau dengar,” Mlathiandra bicara panjang lebar.
Tapi, saat aku ingin menjawab, pintu rumah ini tiba-tiba terbuka. Ibu yang basah kuyup masuk dengan tampang murka. “Mlathiandra, segera bawa Celia pergi dari sini!” ia setengah berteriak, setengah menggeram. “Cepat!!” katanya sekali lagi sebelum kami sempat menyahut.
Mlathiandra segera membungkusku dengan jubah hitamnya dan mengepakkan sayap lalu terbang menerobos langit-langit rumah.
Aku tak sempat merespon apapun saking cepatnya Mlathiandra bergerak. Adegan selanjutnya, yang kusaksikan melalui lubang di atap rumahku akibat hantaman tubuh kami, berlangsung cepat: Ibu membuka kemejanya dan menampakkan gumpalan bulu putih cemerlang yang menguncup sesuai bentuk punggungnya. Jadi itu alasan selama ini kenapa ibu bungkuk? Ia menyembunyikan sayapnya.
Lalu seseorang, yang juga bersayap, menerkamnya. Orang itu memegang sebuah tombak yang sudah bersarang di sayap kanan ibu. Darah muncrat.
“Aaaarrgh...” ibu berteriak.
“Ibu!!’

Aku balas meneriakinya, tapi Mlathiandra terbang begitu cepat, hingga lubang atap rumahku semakin mengecil buat jarak. Kami terbang makin tinggi, makin jauh dari ibu.

0 comments :

Post a Comment