Thursday, May 15, 2014

,   |   No comments   |  

Surat (Terakhir?) untuk Rahasia





Akhirnya tulisan ini kumulai… percayalah, aku tersenyum sekarang.

Sebelumnya, aku ingin menegurmu, Rahasia. Apa kabar? Masih kasmaran pada orang asing yang kau temui di salah satu festival kampus? Kupikir, jawabannya pasti ya. Semoga kau menemukannya dan berhasil menanyakan, “Siapa namamu?”

Aku berdoa sungguh-sungguh.

Ah ya. Aku baru saja membaca tulisan seorang teman, seorang kakak. Dia menulis sebagai hadiah ulang tahun pacarnya. Mereka ternyata sudah jadian enam bulan! Jujur saja, aku tahu banyak cerita mereka dari tulisan tersebut. Sebab, kami berdua memang sudah jarang sekali berbincang. Terlalu banyak perihal pekerjaan. Sedikit sekali tentang perasaan. Dan ketika menyadari hal ini, aku merindukannya. Well, kau pasti mengerti kenapa aku merindukan kakak yang satu itu.

Tapi sebenarnya aku bukan ingin mengadu padamu tentang kerinduan ini. Mungkin nanti, suatu waktu di sepotong sore.

Yang ingin kuceritakan sebenarnya adalah kita. Sorry, kalau pakai ‘kita’. Aku tahu, ‘kita’ bagimu hanya sebatas kemarin. Bagiku, sulit sampai ke sana. Sekarang pun mungkin belum seratus persen.

Sebenarnya, aku ingin menulis tentang ‘kita’ sejak minggu pertama kita jujur pada perasaan masing-masing. Saat kakiku selalu lemas melihat senyummu. Dan kau selalu berubah gugup—hingga sulit berkata saat mata kita beradu. Aku tahu kau istimewa. Itu sebabnya, aku ingin kau abadi dalam tulisan-tulisanku. Karya yang tujuan utamanya memuja-muji sosokmu, Rahasia.

Tapi di saat yang sama aku ragu.

Jujur, saat itu aku tak yakin kalau kau adalah yang terakhir bagiku. Karena sebelum kau datang, aku sedang kasmaran. Pada orang lain.

Tapi, kau merubah segalanya. Tak perlu kuceritakan lagi bagaimana berpengaruhnya kau dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pernah, sesekali bahkan, aku berusaha menceritakannya, tapi kau menolak dengar. “Babababa... udah deh, enggak nyaman,” katamu.

Entah kau dengar atau tidak saat itu, tapi sesuatu patah di rongga dadaku. Dan nyerinya keterlaluan. Tapi dari luka itu, aku berusaha mencari hikmah. Bahwa usahamu melupakanku begitu keras. Bukti bahwa yang ‘kita’ lalui kemarin Mei hingga September, memang membekas lekat di dirimu.

Tapi... benarkah? Atau aku yang tolol ini terlalu mencari-cari sesuatu yang tak seharusnya kucari? Entahlah, walaupun salah, biarkanlah aku berpikir demikian.

Dahulu, kupikir: bagaimanapun akhir kisah kita, kau akan tetap kutulis dalam beberapa judul. Kupikir, kisah kita istimewa. Terlalu berharga jika dilupa begitu saja. Kupikir, aku yang tak mau melupakanmu, melupakan kita. Tapi beberapa bulan terakhir, pikiranku meliuk-liuk. Melilit-lilit jadi benang kusut. Dan pikiran-pikiran kusut ini benar-benar menguras tenaga, waktu, dan perhatianku.

Aku harus selesaikan urusan kita, segera!

Kalimat ini kepalang sering menerorku. Mencak-mencak di kepalaku. Kau makin sibuk. Makin jahat pula padaku. Makin sering marah-marah. Makin sering merajuk tak bersebab. Sebenarnya, aku tak masalah dengan semua perilaku burukmu padaku. Kau tau, kau selalu bisa menguasaiku. Aku pun tau.

Tapi pernah dalam beberapa malam, kau kembali manis. Memporak-porandakan pertahananku. Membuat jantungku pengin loncat lagi dari rongganya.

Sejujurnya, terselip pula keraguanku dalam setiap sikap manismu. Raguku adalah tentang ragumu. Jika kau mengerti maksudku.

Tapi akhirnya aku tersadarkan oleh kadomu di ulang tahunku minggu lalu. Saat kau bilang kau punya seseorang baru. Yang kau temui di festival budaya itu. Percayalah, hatiku remuk-redam-hancur-lebur kala itu. Bunyi patahnya memekakkan telingaku. Hingga, maaf saja kalau aku tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja seperti biasanya. Maaf kalau aku menyebalkan saat itu. Tapi, aku butuh hal itu.

Terima kasih telah jujur. Kejujuranmu membuka mataku. Sangat lebar.

Aku sadar kalau berharap jadi halaman terakhirmu dan kau jadi halaman terakhirku, bukan berarti harus menjerumuskan diri dalam cinta semu yang tak sehat.

Aku sadar bahwa selama ini, selepas September, aku memang telah melepaskanmu. Membiarkanmu bertindak semaumu. Seperti sebelum kita bersama. Intinya, aku berhenti mengekangmu dalam istilah ‘kita’. Aku membiarkanmu menjadi dirimu lagi. Dirimu yang tanpa aku. Meski di saat yang sama aku merasa dirajam.

Tapi aku lupa satu hal.

Dalam proses itu, seharusnya aku juga berhenti mengekang diriku dalam istilah ‘kita’. Aku lupa kalau ‘kita’ hanyalah sebuah konsep di kemarin hari. Diam-diam aku berharap masih ada ‘kita’ di kemudiannya.

Tapi kau telah menyadarkanku. Terima kasih. Sekali lagi. Aku takkan mengubah pikiranmu tentang hal tersebut. Aku akan menyimpannya sampai nanti. Tapi, kali ini aku akan benar-benar menyimpannya, bukan malah memikirkannya tiap hari, tiap detik.

Akan kubuka kalau tiba saatnya.

Mungkin ini jenis cinta yang paling sesuai buat kita. Cinta yang tak perlu saling kekang. Biarkan masa muda tak dikekang janji-janji setia selamanya. Ya, kita memang terlalu muda. Setidaknya kau begitu. Hahahha... pasti kau mengerti maksudku.

Semoga ini bukan sebuah akhir. Karena seperti kubilang, aku tidak membuanh konsep ‘kita’, hanya menyimpannya.

Jika tak bisa temukan pengganti yang persis seperti aku, datanglah kembali. Ketuk pintu itu. Ruang di mana aku menyimpan ‘kita’. Kau pasti tahu di mana.

Kalau kau sudah sedikit tua dan dewasa, paham kalau muda bukan segala-galanya, dan takkan pernah jadi selamanya, ingat saja: aku ada. Setidaknya pernah ada.

***

Ah ya, sebenarnya aku punya rahasia ketika menamaimu Rahasia. Diam-diam, aku menebak ujung kisah ‘kita’. Tebakan pertamaku, suatu saat Rahasia akan terkuak. Persis sebagian rahasia lain di dunia ini.

Yang kedua, kupikir kau akan menjadi Rahasia yang tetap jadi rahasia. Persis sebagian rahasia lain di dunia.

Mungkin saat ini kau adalah Rahasia yang kedua. Tapi mungkin saja kau berubah jadi Rahasia yang pertama. Siapa sangka? Hahaha...

Akhirnya tulisan ini kuakhiri... percayalah, aku sedang tersenyum saat ini.
Aku tetap melanjutkan tulisan ini karena pada akhirnya aku yakin kalau kau memang saat istimewa, 

Rahasia. Tak peduli sebesar apa kepalamu setelah membacanya. Maaf kalau aku terlalu terbuka. Tapi aku hanya berusaha jujur pada diri sendiri. Hal yang sebenarnya bukan perkara ringan.

Rahasia, mari berteman saja!

Teman karib yang tetap selalu ada di setiap kala. Kau tahu, kupikir cinta jenis ini yang cocok dengan kita.

P.S. Tulisan ini sejujurnya kubuat 11 Mei lalu. Tapi sengaja kupublis di hari ini, tepat sehari sebelum kau menyatakan sesuatu yang mengubah duniaku di tahun lalu. Hari yang kini kau lupa hari apa. Ah ya, kau kira ia hanya Sabtu biasa.

0 comments :

Post a Comment