Alfonso Cuarón, Sandra Bullock, dan George Clooney bergabung. Tak perlu banyak nama untuk menetaskan film sefenomenal Gravity. Tujuh Piala Oscars sudah membuktikan dahsyatnya kolaborasi mereka.
Salah
satu film favorit saya ialah kreasi sutradara bertangan dingin, Alfonso
Cuarón. Ia hadir delapan tahun lalu dan berhasil masuk tiga nominasi Oscars dengan film The Children of Men. Dibintangi Clive Owen, film itu bercerita tentang dunia yang diserang kemandulan secara global. Sebuah cerita tak biasa, diangkat dari novel karya PD James.
Film itu begitu
rapi di alur cerita dan arahan lakon. Sehingga meski ceritanya sulit
diterima nalar, namun tetap memikat hingga adegan terakhir. Membuat
banyak orang mulai memperhatikan karier Cuarón, yang sebelumnya juga mendapat pujian atas film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban (2003) silam.
Setelah lama menghilang dari dunia penyutradaraan, Cuarón kembali hadir. Kali ini dengan film garapan yang lebih serius.
Tak main-main, ia menyiapkan film satu ini sejak 2010. Dan baru rilis
di tahun lalu. Tiga tahun terkahir ia pakai untuk pematangan editing dan visual efek.
Film tersebut dilabeli tajuk Gravity.
Ceritanya langsung dibuka dengan latar ruang angkasa: pemandangan Bumi berotasi di belakang Ryan Stone (Sandra Bullock), seorang teknisi doktoral yang baru dengan dunia tanpa oksigen. Ia sedang otak-atik
sebuah satelit, dibantu rekan bernama belakang Shariff yang wajah
utuhnya tak kelihatan barang satu adegan pun. Mereka diawasi seorang
astronot senior bernama Matthew Kowalski (George Clooney), tampan dan flamboyan.
Adegan itu
menggambarkan betapa membosankannya ruang angkasa: melayang-layang di
ruang gelap hampa udara, sepi—kecuali teriakan Shariff yang terdengar
menikmati melayang-layang, dan obolan garing dengan stasiun ruang
angkasa—Houston—di Bumi sana.
Untung, sesekali Matt menggoda Ryan. Tapi adegan tenang tersebut hanya berlangsung belasan menit. Sisanya, ketegangan bertubi-tubi yang memompa adrenalin.
Dimulai
sejak serpihan satelit lain yang mendadak menyerbu satelit tempat Ryan
bekerja. Serpihan-serpihan itu bergerak lebih cepat dari peluru yang
diletuskan. Dan sekejap saja memorak-porandakan tempat kerja Ryan. Ia
terlempar ke sisi lain ruang angkasa. Cukup jauh, hingga Matt tak bisa
melihatnya, hingga
ia melayang di bagian Bumi yang sedang malam. Cukup jauh, karena ia
sempat kehilangan sinyal dari Houston dan Matt. Dan cukup lama, hingga
oksigen dalam baju astronotnya hampir habis.
Di beberapa menit awal ini pula, penonton mulai sadar
kalau film ini kemungkinan besar hanya akan diisi dua karakter saja
sampai akhir. Atau mungkin hanya satu. Pasalnya, seluruh rombongan Ryan
dan Matt tewas karena serangan serpihan laju tadi. Bahkan wajah Shariff bolong di tengah. Dan benar saja, film yang hanya berdurasi 91 menit ini memang bercerita proses Ryan bertahan hidup di tengah sepinya angkasa.
Adegan selanjutnya membuat Ryan harus rela berpisah dengan Matt dan berjuang bisa pulang ke Bumi. Sendiri.
Film
panjang dengan sedikit karakter bukanlah perkara gampang, bahkan untuk
dunia sekelas Hollywood. Tak banyak film sejenis bisa menarik perhatian
penonton, apalagi hanya dengan modal alur dan lakon si aktor. Pemilihan Bullock
sebagai protagonis utama adalah salah satu strategi jitu Cuarón. Hanya
aktris sekaliber Bullock yang bisa memaksa penonton ikut tegang
bersamanya, padahal hanya dengan permainan mimik saja.
Sejatinya,
memang tak banyak gestur yang bisa dibuat Bullock. Sebabnya jelas:
tubuhnya dilapisi baju tebal, helm besar, pun cuma bisa melayang-layang
di ruang hampa udara. Takut, haru, senang, putus asa, gelisah, dan marah
hanya bisa digambarkannya lewat mimik—dan gerakan melayang. Tapi sudah cukup membawa ketegangan dan keharuan di saat yang sama.
Pun
akting Clooney dalam penampilan singkatnya tak mungkin tak mencuri
atensi penonton. Ia tampil sebentar, lalu mati, lalu tampil lagi dengan
dialog-dialog kuat. Sungguh berkesan.
Belum lagi teknik pengambilan gambar yang tak biasa disajikan Cuarón. Long shot yang dilakukannya
benar-benar menciptakan suasana ruang angkasa yang begitu nyata, sebab
kamera terus berputar dari sudut mana saja dan bisa berakhir di sudut
mana saja pula dalam sekali pengambilan.
Sesekali Cuarón juga bermain-main dengan point of view—sudut
pandang. Sebuah adegan ia ambil dengan sudut pandang orang ketiga,
lantas secara mendadak sudut pandang tersebut berubah jadi sudut pandang
orang pertama. Misalnya saat Ryan terpelanting ke sudut lain di luar
angkasa. Awalnya kamera mengambil gambar tubuh Ryan yang terlempar jauh,
lalu kamera seolah-olah masuk ke dalam helm astronotnya dan penonton
bisa merasakan degup jantung, napas, dan seluruh penglihatan Ryan.
Satu lagi yang tak mungkin terlewatkan dari
film ini, adalah musik latar yang meneror. Berkat musiknya, adrenalin
penonton terus digenjot hingga akhir film. Tak heran, Steven Price,
penata musiknya berhasil membuat film ini meraih Oscars untuk Best Sound
Mixing.
Dengan
segala strategi yang Cuarón sajikan, dan eksekusi yang bisa kita
nikmati di layar lebar, patut saja Cuarón menang sebagai Sutradara
Terbaik atas film ini. Tangan dinginnya tak perlu diragukan.
Judul : Gravity
0 comments :
Post a Comment