Kemarin, saat saya sedang duduk sendiri di sebuah mini market
24 jam, mendadak seorang pria, mungkin 24 atau 25 tahun, duduk di samping saya.
Sebelum duduk, tangannya menepuk ringan pundak saya.
“Hei, kamu!” saya kaget, tapi langsung mengenalinya.
“Sendiri saja?” dia tersenyum.
“Iya nih. Kamu?”
“Iya. Sedang sendiri juga,” katanya.
Pria itu adalah Rudi, bocah yang diceritakan Naomi pada saya
dua tahun lalu. Naomi adalah gadis yang bekerja sebagai Teman Khayalan dalam 31Desember.
“Kamu sibuk?” tanya Rudi pada saya. Dia tampak begitu
gelisah.
“Tidak juga. Cuma sedang me-time.”
Saya tertawa.
“Wah, berarti saya mengganggu.”
“Oh, tidak-tidak… me-time yang saya maksud ya begini ini.
Biasanya didatangi orang-orang seperti kamu.”
“Oh,” katanya. Lalu kami berdua tertawa.
Rudi, setahun belakangan, memang sering menjumpai saya.
Terakhir kali Desember tahun lalu. Dia yang kini sudah tak remaja lagi sedang
sering mengalami disorientasi. Katanya, dia sering membayangkan sosok seorang
gadis yang sama sekali tak ia kenal. Tapi, bayangan gadis itu kelewat sering
muncul di mimpi ataupun lamunannya untuk bisa disebut kebetulan lalu diabaikan.
Di umurnya yang sudah 25 tahun, tentu saja Rudi telah
mengenal banyak sekali gadis. Tapi dia tak ingat pernah dekat dengan yang satu
ini. Dari ciri-ciri yang disebutkan Rudi, saya bisa pastikan kalau gadis itu
sebenarnya adalah Naomi. Tapi saat saya beritahu tentang siapa Naomi, Rudi
tidak percaya, dan malah menganggap saya bercanda. “Mana ada yang seperti itu,”
kata Rudi suatu waktu di pertemuan pertama kami. Saya tak ambil pusing respon
Rudi. Ia malah yakin kalau gadis yang ada di visinya itu adalah seseorang yang
akan dijumpainya di masa depan; bahwa entah bagaimana, kepalanya bisa memproyeksikan
citra gadis yang akan jadi jodohnya di masa depan, seperti cenayang. Saya
berusaha menahan tawa, membiarkannya memercayai apa yang ingin dia percayai.
Tapi suatu siang di pertengahan tahun lalu, Rudi tak sengaja
membaca 31 Desember, dan perlahan mulai membuka diri untuk percaya. Itu
sebabnya dia jadi sering datang menemui saya. Berharap Naomi juga datang
menemui saya, saat kami sedang mengobrol begini. Tapi, Naomi memang tak pernah
datang lagi setelah dua tahun lalu. Dia lenyap begitu saja seperti semua orang
yang bekerja sebagai Teman Khayalan. Tipikal.
“Masih belum bertemu Naomi?” Rudi tersenyum. Tapi senyuman
yang terasa getir.
Saya hanya menggeleng. Lalu terdengar helaan nafas berat
yang panjang dari Rudi.
Tampaknya pria ini sudah sampai pada suntuk beratnya. Dia
mungkin setengah mati ingin tahu cerita sebenarnya dari Naomi, gadis yang
menjajah pikirannya belakangan ini.
Lalu kami berdua diam untuk waktu yang cukup lama. Rudi
sibuk melamun dengan sesekali menyesap kopi dingin miliknya. Sementara saya
kembali larut dalam selembar jendela microsoft word yang sedang terbuka.
“Kamu sedang menulis apa?” tiba-tiba Rudi kembali membuka
perbincangan.
“Ah ini,” saya tertawa. “Aku sedang kena writer’s block.
Jadi sedang berusaha menuliskan sesuatu.”
“Oh,” kata Rudi sambil mengintip ke jendela komputer jinjing
saya. “Siapa itu Diam? Tokoh baru?” tambahnya.
“Eumm… Bukan… bukan…,” sahut saya. Sekonyong-konyong rasanya
darah mengalir naik ke pipi saya. Menyebabkan sensasi malu di sekujur tubuh.
“Dia orang sepertiku—Naomi dan aku?” Rudi kembali menambahi
pertanyaannya.
Lama diam, baru saya menjawab, “Bukan. Dia salah seorang
teman.”
“Dan kamu sedang suka dia ya.” Rudi tidak melontarkan
pertanyaan. Nada suaranya bilang kalau yang tadi itu adalah pernyataan.
Saya kembali diam. Kali ini tertohok malu yang lebih besar.
Saya memang tipikal orang yang tak nyaman membahas dirinya sendiri. Apalagi di
depan orang asing seperti Rudi. Saya memang jauh lebih nyaman untuk jadi
pendengar, bagi mereka yang mau berbagi kisahnya. Dan sungguh, rasanya tidak
nyaman sekali saat Rudi sadar kalau saya sedang jatuh cinta pada seseorang.
“Eh, Rud,” mendadak saya punya satu hal yang bisa dijadikan
pengalih perhatian Rudi. “Saya sepertinya akan buat sesuatu yang baru di blog
saya.”
“Ha? Apa itu?”
“Selama ini, saya belajar banyak sekali dari mendengar
cerita orang-orang—kamu, Naomi, Attaria, M, Celia, dan banyak lainnya. Saya
juga dapat pelajaran banyak dari melihat dan mendengar langsung cerita beberapa
kawan saya yang tak pernah masuk di blog. Jadi, saya akan mulai memasukkan
mereka ke sana. Saya ingin orang lain juga belajar dari cara berpikir mereka,”
kata saya panjang lebar.
“Wah, bagus itu. Kapan rencananya?”
“Secepatnya. Saya sudah wawancara dua kawan baik. Yang satu
sudah hampir selesai, dan sedang menunggu yang satunya lagi. Dua orang ini, somehow, memengaruhi pola pikir saya di
beberapa momen hidup saya. Dan saya ingin orang lain tahu kalau mereka keren.”
“Aku jadi pengin baca, tapi apa mereka mau kisahnya
ditampilkan di blog?”
“Mereka berdua mau. Tapi beberapa kawan lainnya belum saya
tanyai. Semoga saja mau. Sebab, bagi mereka yang mau, saya akan mengahadiahinya
sketsa wajah mereka.” Saya tertawa. “Bukan sogokan, hanya seperti ucapan terima
kasih.”
“Wah. Bagus… bagus… konsep yang bagus.”
“Terima kasih,” kata saya.
“Seperti pepatah lama ya, semua orang adalah guru, semua
tempat adalah sekolah,” kata Rudi sambil tertawa.
Saya juga tertawa bersama Rudi. Entah kenapa kalimat
terakhirnya itu benar-benar mengena. Saya selalu paham istilah itu, tapi belum
pernah menemukan kalimat pas yang bisa membungkusnya. Dan terima kasih kepada
Rudi yang telah membahasakannya untuk saya.
Sayang, beberapa menit setelah perbincangan itu Rudi harus
kembali ke kantornya. Ahya, dia sudah lama tidak jadi penari jalanan lagi. Kini
dia bekerja sebagai seorang dosen muda di salah satu universitas negeri. Entah
kenapa, dalam hati saya berjanji pada diri sendiri untuk menuliskan cerita Rudi
suatu saat nanti, meski ia tak memintanya. Mungkin saya bisa menggabungkan
cerita dari Naomi dan versi Rudi. Mungkin cerita mereka akna hebat. Siapa tahu.
Kan semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah.
0 comments :
Post a Comment