Kata orang, mulailah menulis dengan sesuatu yang kau suka.
Belakangan otakku memang buntu; tak ada siapa-siapa yang
muncul di kepalaku, minta dituliskan ceritanya. Kalau kau menebak “siapa-siapa”
itu sebagai tokoh-tokoh yang ada di cerita-ceritaku, kau benar. Biasanya memang
begitu. Dalam sehari, bisa saja ada satu
atau dua tokoh yang datang kepadaku, menceritakan siapa mereka dan bagaimana
latar belakang hidupnya. Lalu, bersama-sama kami memilah potongan cerita mana
yang akan kutuliskan untuknya.
Misalnya, Attaria. Kalau kau tidak lupa, Attaria adalah
wanita-pribumi-paling-beruntung-kisah-cintanya, yang jadi tokoh utama dalam
Surat Cinta Perak. Ia datang pertama kali padaku saat aku masih abege SMA. Wajah
teduh dan suara berwibawanya berhasil meyakinkanku untuk mendengarkan kisahnya.
Kami duduk di ruang tamu rumah orangtuaku. Aku pegang secangkir milo hangat,
saat Attaria berhasil membuatku menangis atas cerita cintanya yang begitu
manis. Saking manisnya, milo hangat waktu itu malah mendadak terasa hambar.
Selain karena begitu manis, dan original, cerita Attaria dan
Nik, suaminya, sedikit-sedikit menyerempet kisah cinta Ayah dan Ibu. Meski tak
sama persis, ada isu berbeda keyakinan yang membuat kisah dua pasang ini punya proksiminitas tersendiri buatku.
Tak hanya Attaria, ada puluhan kadang ratusan tokoh yang
datang padaku dengan hasrat berbagi cerita. Tapi biasanya tak semua bisa
kudengarkan. Aku yang bloon ini kadang terlalu bloon untuk bisa mengatur waktu
dengan mereka semua, sehingga tak jarang pula berakhir mengecewakan mereka. Seperti
Chandlabra, seorang assassin cantik
yang sungguh punya kisah hidup menarik. Atau Gemini, seorang nenek tua yang
juga salah satu petinggi di Polda Metro Jaya, adalah salah satu contoh
karakter-karakter yang sudah kujanjikan sebuah cerita, tapi sama sekali belum
dimulai satu huruf pun.
Omong-omong soal janji, aku jadi teringat Savannah. Dia
seorang jurnalis idealis yang kutemui beberapa bulan lalu, kalau tak salah di
awal tahun ini. Padanya sudah kuikrarkan sebuah janji, bahwa sebelum tahun ini
berakhir, aku sudah selesai menuliskan kisah panjangnya. Kami juga sudah berjanji
untuk bertemu beberapa kali lagi, untuk mendiskusikan potongan mana saja yang
ingin kutuliskan. Tapi, aku malah mangkir dari janji-janji itu. Sekitar dua
bulan sudah aku menghindari pertemuan dengan Savannah. Padahal ceritanya bagus
sekali.
Tahukah kau sebabnya? Sebab mengapa aku mendadak berhenti
bertemu tokoh-tokoh itu? Bolehkah dengan suara lembut dan sopan-santun,
kubilang bahwa kaulah penyebabnya?
Maaf, sebelumnya. Tapi kupikir aku jatuh cinta padamu.
Sebab, belakangan kepalaku hanya berisi citra-citra dirimu. Citra-citra
yang terbentuk dari memoriku atas dirimu.
Ahya, sekali lagi, aku mau minta maaf. Dengan lancang,
kunamai dirimu Diam. Sama seperti Rahasia, Senja, dan nama-nama lainnya yang
ada di sini, Diam hanyalah panggilan intimku untukmu.
Nyaliku kepalang kecil untuk menuliskan namamu di sini. Ada
banyak pertimbangan di balik itu semua. Tapi, sesungguhnya aku tak sedang ingin
membahas perasaanku padamu. Aku hanya ingin menulis.
Tapi, kata orang, mulailah menulis dengan sesuatu yang kau
suka. Maka, tanganku memilih untuk menulis ini, menulis ungkapan pertamaku
untukmu, setelah berminggu-minggu diam-diam mencintaimu, Diam.
0 comments :
Post a Comment