Friday, June 26, 2015

  |   1 comment   |  

Sepotong Pagi Kita




Aku terbangun dengan keringat dan muka kusut bekas jiplakan seprai. Sedetik sebelumnya, aku terlarut dalam sebuah mimpi buruk. Buruk sekali... hingga aku gelapan mencari-cari udara ketika sadar kalau semuanya mimpi.

"Mimpi buruk?" katamu, yang juga jadi harus terbangun karena suara gelapanku.

Aku hanya mengangguk, kemudian memelukmu. Membaui lehermu. Bau yang selalu membuat saraf-sarafku tenang.

Kemudian yang terjadi, api menjalar di mana-mana. Membakar epidermis kita berdua. Sebabnya? Kulitku bersentuhan dengan kulitmu. Aku masih sering heran, kenapa denganmu gairah itu tak pernah hilang? Lima belas tahun menikah denganmu tak membuat gairahku hilang setiap kali mencium bau tubuhmu, merasakan nafasmu meniup lembut bibir atasku. Dan kita selalu saja bisa terbakar.

***

Pagi itu kau memasak telur dadar untuk sarapan. "Tumben masak?" kataku, meledekmu. Seraya mengalungkan lenganku ke pinggul kecilmu, yang tetap saja kecil setelah bertahun-tahun kau menumpuk umur. Seolah tubuhmu memang tak bisa memproduksi lemak.

"Kau telat bangun karena mimpi buruk tadi pagi. Jadi, daripada membangunkanmu, lebih baik aku melatih bakat hebatku, kan," katamu, kemudian mengecup pipiku.

"Denting sudah bangun?" tanyaku.

"Sepertinya belum. Hari ini kan sekolah libur," sahutmu.

Lalu kita berdua sarapan di meja kecil di dapur kecil kita. Wajah tirusmu masih memesona. Membuat telur dadarmu yang biasa-biasa saja semakin tak menarik. Kau belum punya keriput di usia kepala tiga ini. Hanya saja, beberapa rambut perak mulai muncul di rambut pendekmu. Tapi, dari pertama kali kita berjumpa dulu, aku juga sering memperhatikan satu-satu rambut perak sudah berani muncul di kepalamu. Padahal waktu itu kau belum dua puluh tahun.

"Hari ini jadi ikut denganku?" mendadak kau berkata, membuyarkan lamunanku.

"Oh ya, seminar buku keempatmu, ya? Tentu, tentu. Tapi kau yang menyetir, kan?"

Kau merengut. "Kau ini. Laki-laki mana yang malas sekali menyetir sepertimu," kau meledekku. Tapi kita berdua tertawa setelahnya.

Aku benar-benar suka tawamu. Kau sangat manis saat memasangnya. Ya, Tuhan, kenapa aku hari ini? Kurasa aku jatuh cinta lagi padamu hari ini. Tapi aku malu mengatakannya. Rasanya, aku sudah terlalu tua untuk bilang, aku cinta kamu, lalu mengecup keningmu. Kita memang tak pernah begitu. Kau pemalu, begitu juga aku. Sudah sifat alamiah. Dan beginilah kalau dua orang pemalu jatuh cinta lalu menikah. Kedua-duanya akan jadi sangat canggung dengan hal-hal romantis yang seharusnya wajar saja di hubungan orang lain di luar rumah kita.

Aku tak bisa menahan tawa karena pikiran aneh barusan. Kita memang pasangan yang aneh. Tapi selalu asyik untuk jadi aneh berdua denganmu.

Mendadak mimpi tadi pagi terlintas lagi di kepalaku. Mimpinya tentang kita berdua, lima belas tahun lalu, saat kita masih sangat muda.

Aku bermimpi tentang Ibu yang pingsan berkali-kali saat aku pertama kali membawamu ke rumah orangtuaku, memperkenalkan kau sebagai kekasihku. Ia menjerit histeris, menyumpah-serapahi kita berdua. Kau hampir menangis, tapi aku udah lebih dahulu dibanjiri air mata. Tangan kita bergenggaman. Erat sekali, hingga aku merasa ada tenaga tambahan yang mengalir dari sana. Tenaga tambahan yang membuatku kuat menghadapi histerisnya Ibu.

Sebenarnya itu bukan mimpi. Itu adalah kenangan yang terus melekat di kepalaku. Kenangan yang tak mungkin bisa hilang.

"Ah ya, kau mimpi apa tadi pagi?"

Aku tertawa dengan pertanyaan pemecah keheningan darimu. "Kau membaca pikiranku ya?"

"Ha?" wajahmu melongo bingung.

"Aku baru saja memikirkannya." Aku masih selalu heran betapa kita berdua begitu terkoneksi. Ini bukan kali pertamanya kau benar-benar bisa membaca pikiranku. Sejak kita belum saling mengenal dan tak berani mengungkapan perasaan karena banyak hal, kita juga sering saling membaca pikiran. Sebenarnya ini sebab mengapa aku tahu kau adalah masa depanku. "Aku mimpi tentang Ibu," tambahku.

"Hai, Dads..." Denting muncul dari pintu dapur. Wajahnya kusut, rambutnya masai. Putri kita baru bangun. "Ini ada telepon dari nenek," katanya sambil menyerahkan selulernya kepadaku.

"Oh," kataku. Lalu aku menerima telepon Ibu. Suaranya riang sekali. Katanya Farid, anak pertama adikku, cucu pertamanya, dapat beasiswa di Amerika. Jadi dia ingin aku dan kau menyambut ponakan kita itu nanti setibanya dia di sini. Ibu juga cerita panjang lebar tentang kabarnya, sekaligus mencecarku pertanyaan tentang kabar kita di sini. Dia juga bilang sesuatu yang mengejutkanku. "Kata Denting, dia sedang naksir orang. Kau pasti belum tahu. Coba tanya sana, selidiki, nanti anakmu suka pada preman Amerika," katanya.

Atas secuil informasi itu, aku langsung mengajakmu main ke kamar Denting. Membangunkannya, lalu bertanya tentang hal itu.

"Ya ampun, seperti tidak bisa nanti-nanti saja bertanyanya," anak gadismu itu merajuk, pasang muka sangar.

"Kan kami cuma mau tahu, Dens. Masa nenek yang di Indonesia lebih dulu tahu daripada ayahmu sendiri," kataku membujuknya.

"Okay. Well, aku sebenarnya masih bingung, Dad," katanya. "There's a girl I like, and there's this boy I like. And I dont know which one I like more. I still dont know  what to do."

Kita berdua langsung bertukar pandangan. Ada dua reaksi yang terjadi, mata kita sama-sama hampir keluar, kemudian detik berikutnya kita sama-sama tersenyum.

Kau kemudian duduk di samping Denting dan berkata, "Which one is good person? Which one make you laugh more?"

"I think this boy, Dad," sahut denting padamu.

1 comment :