Friday, May 11, 2012

  |   No comments   |  

Han Hee Jun dan Rania

You are my heaven on earth
You are my last and my first
Senandung sendu memenuhi kamar itu. Suara lembut Beyoncé Knowles. Menyayat hati dua orang panik di dalamnya.

Keringat mengucur deras disekujur tubuh Han Hee Jun. Kepalanya mulai pusing. Adrenalin yang berpacu membuat jantung di rongga dadanya melompat-lompat minta keluar. Pasalnya, sebuah pistol sedang ditodongkan ke pelipisnya. Sebuah pistol yang siap meletus kapan saja, saat pelatuknya ditarik.

“Kau yakin?,” tanya gadis yang menodongkan pistol ke kepalanya.

“Tarik saja pelatuknya, Rania!” Hee Jun berteriak. Dia ragu tapi penuh tekad.

Rania menghela napas panjang dan berkata, “Baiklah.” Lalu menarik pelatuknya.

Han Hee Jun terkapar di lantai. Separuh kepalanya lebur. Darah muncrat ke mana-mana, ke lantai, ke pakaian Rania, ke wajahnya.

Rania menangis. Menjerit tapi tidak mengeluarkan suara. Ia tercekik karena ketakutannya.
Dua detik berlalu dengan lama, tiga, empat… tapi rasanya begitu panjang. Rania menarik napas sekali lagi. Kali ini benar-benar panjang, dan ia memejamkan mata. Berusaha menenangkan diri sendiri, lalu…
… and than I hear the voice inside,
singing Ave Maria… Ave Maria…
…meletakan mulut pistol yang masih hangat ke pelipisnya sendiri; menghembuskan napas; lalu, menarik pelatuknya. Dan ia pun terkapar di samping Han Hee Jun kekasihnya. Tangan mereka berdua, entah bagaimana, tersampir bersebelahan. Seakan kedua mayat itu benar-benar tak ingin dipisahkan, bahkan oleh kematian.
***
Demonstrasi besar-besaran terjadi di depan Gedung Putih, Washington D.C, pagi ini pukul delapan waktu setempat. Demonstran memenuhi jalan, membawa spanduk-spanduk besar bertuliskan: Hapus Undang-Undang Pembatasan Pernikahan. Demonstrasi ini dilakukan demi mengenang sepuluh tahun berlakunya Undang-Undang Pembatasan Pernikahan di seluruh dunia. Amerika sendiri telah memberlakukan Undang-Undang ini selama 15 tahun terakhir. Aksi serupa juga digelar di sejumlah negara…

Televisi itu mendadak padam. Han Hee Jun melemparkan remotnya ke layar televisi sambil menyumpah serapah. TV-nya memang agak kurang sehat belakangan ini. Tapi dia tidak punya cukup waktu untuk membawa kotak persegi berisik itu ke tempat reparasi.

Diliriknya jam, lantas menyumpah sekali lagi. Telat, batinnya. Ia harus segera berangkat ke Istana Negara kalau tidak ingin dipecat Kepala Chef-nya yang cerewet. Memang beginilah kehidupannya sehari-hari. Bekerja sebagai koki di Istana Negara memang menyita waktunya. Dan, meski begitu melelahkan dan menjemukan, ia tetap melakukannya.

Setibanya di Istana, Hee Jun melihat kerumunan demonstran yang memenuhi depan pagar. Semuanya mencoba untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap Undang-Undang Pembatasan Pernikahan. Tapi, sejujurnya, Hee Jun tidak terlalu peduli. Mereka benar-benar bodoh, pikirnya. Undang-undang itu kan membebaskan mereka untuk berhubungan seks sepuasnya, tanpa konsekuensi punya anak haram. Pembatasan pernikahan itu dibuat agar jumlah manusia di dunia ini tidak meledak, kan. Memang sedikit menganggu hak asasi, sih. Tapi setidaknya kan kita terbebas dari suara tangis-tangis bayi yang bising. Ah, peduli apa aku! Ia tersenyum sambil terus berjalan ke dapur Istana.

“Hee Jun!” seseorang mengejutkannya di lorong menuju dapur.

“Rania?”

“Cepat, kemari, bodoh!” gadis itu setengah berteriak memanggilnya.

Hee Jun melirik kana-kiri-depan-belakang, memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua. Bisa mati aku, kalau ketahuan pacaran dengan putri Presiden, batinnya.

Lantas mereka berdua pergi ke sebuah ruangan di lorong itu. Tempat kain pel dan segala peralatan rumah tangga Istana disimpan. Tempat itu semacam tempat rahasia bagi keduanya. Tempat di mana keduanya bisa benar-benar merasa… pacaran, ya, mungkin itu kata yang tepat.

“Ada apa?” Hee Jun membelai pipi kekasihnyasaat dirasanya telah cukup aman.

“Aku ingin demo dengan para demonstran di depan sana,” ujar Rania ketus. Ia tampak sedang sangat sebal.

“Bicara apa sih? Mana ada putri Presiden ikut demo.” Hee Jun tersenyum, menganggap kekasihnya bergurau.

“Justru itu masalahnya. Aku benci jadi putri Presiden! Semuanya harus diatur! Termasuk…” Rania melembutkan nada bicaranya. “…pernikahanku.”

Hee Jun tertawa, masih menganggap Rania bergurau. “Gurauanmu tidak lucu, Rania.”

“Aku tidak bergurau, Hee Jun Sayang. Ayahku—Presidenmu—telah mengatur pernikahanku dengan Dewanto, putra Om Sinuhaji. Bulan delan.”

“Bulan depan?” Hee Jun terpukul. “Lalu bagaimana dengan Undang-Undang Pembatasan Pernikahan? Kalian kan harus menjalankan serangkaian tes dulu, baru diijinkan negara untuk menikah. Kau belum menjalankan tes apa-apa kan?”

“Aku putri Presiden, Hee Jun. Aku tak perlu menjalankan tes-tes sialan itu untuk bisa menikah. Yah, walaupun aku memang harus, untuk melengkapi administrasi negara.”
Keheningan melanda sejenak.

Han Hee Jun benar-benar pusing. Ia tahu ia hanya seorang koki, dan kekasihnya adalah putri Presiden. Ditambah Undang-Undang sialan itu, mereka benar-benar tidak bisa dipersatukan. Tapi Hee Jun kepalang mencintai gadis di hadapannya itu. Dan dia tahu, gadis di depannya juga mencintainya.

“Kita kawin lari saja,” tiba-tiba ide gila itu melintas begitu saja di kepalanya.

Rania tersenyum dan berkata, “Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang mengijinkan warganya untuk menikah tanpa melalui tes. Dan kemana kita harus berlari untuk dinikahkan? Kantor catatan sipil?” dan lantas tertawa.

“Aku serius, Rania!” Hee Jun berubah panik. Ia meremas-remas kepalanya.

“Aku juga serius, Sayang.” Rania menggenggam tangan Hee Jun yang meremas kepalanya. “Aku bersedia kau bawa kabur.”

Lantas keduanya tersenyum.

Cinta mereka terlalu berharga untuk dipisahkan. Hee Jun tidak ingin kehilangan Rania, apalagi melihatnya dimiliki orang lain. Rania milikku, pikirnya. Dia milikku seorang, bahkan Presiden pun tidak akan kuijinkan mengambilnya dariku, meski Presiden itu ayahnya sekali pun.
***
Rania Aminadiningrat Whiryawan, Putri Presiden Agung Whiryawan ditemukan tewas di kamar Han Hee Jun, seorang koki Istana. Di TKP ditemukan sebuah pistol dengan sidik jari Rania. Polisi menduga Rania menembak Hee Jun terlebih dahulu sebelum mengakhiri nyawanya sendiri. Alasan kematian keduanya masih kabur. Dugaan sementara, Rania menjalin hubungan dengan Hee Jun. Semenjak berita ini dilansir, Presiden Whiryawan belum memberikan komentar apa pun.” TV di lorong rumah sakit berisik.

Kau tahu, Rania? Hee Jun menatap ruh kekasihnya, lalu mayat keduanya yang sekarang terkapar di ruang mayat. Sekarang aku benar-benar yakin. Kurasa lebih baik begini.

Aku kira juga begitu, ruh Rania tersenyum.

Ayahmu seorang Presiden. Kemana pun kita pergi, dia akan menemukan kita. Lalu membawamu pulang dan menikahkanmu dengan Dewanto. Lalu aku akan menderita sampai mati karena melihatmu dimiliki orang lain.

bisa pula di lihat di: suarausu-online.com

0 comments :

Post a Comment