Tuesday, May 15, 2012

  |   No comments   |  

Satu Tubuh, Dua Jiwa

Judul : The Host
Penulis : Stephenie Meyer
Penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Genre : Roman Fiksi-Fantasi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Juli 2009
Tebal; tinggi : 776 hlm; 25 cm
Harga : Rp 99.000.00,-
No. ISBN : 978-979-22-4777-0

Apa yang membuat cinta manusia ini teramat sangat kudambakan, dibandingkan cinta bangsaku sendiri? Apakah karena itu cinta yang eksklusif dan mudah berubah? Jiwa menawarkan cinta dan penerimaan kepada semuanya. Apakah aku mendambakan tantangan yang lebih besar? Ini cinta yang rumit; tak memiliki peraturan yang tetap dan pasti—bisa diberikan dengan cuma-cuma, seperti kepada Jamie, atau diperoleh melalui waktu dan kerja keras, seperti kepada Ian, atau benar-benar tak tergapai dan mematahkan hati, seperti kepada Jared.
Atau apakah cinta ini memang lebih baik? Karena manusia-manusia ini bisa membenci sebegitu dahsyatnya, apakah di ujung lain spektrum mereka bisa mencintai lebih besar, gelora dan api?



Jiwa adalah sebutan untuk para makhluk asing yang tiba-tiba menjajah bumi secara masif dan tak terduga. Seperti namanya, makhluk ini tak bisa hidup tunggal tanpa raga. Oleh karena itu mereka menginvasi tubuh manusia untuk tetap hidup sebagai inangnya.

Namun, makhluk asing yang satu ini bukan tipikal alien jahat seperti yang sering digambarkan kebanyakan film. Karena mereka adalah sesosok Jiwa, tentu saja mereka serbabaik: penyayang, sabar, jujur, bijak, dan penuh cinta. Kebalikan dari sifat-sifat kasar yang dimiliki manusia: mudah mendusta, sering mengingkar, terkadang membenci, dan penuh keegoisan. Mereka lebih kepada makhluk-makhluk penderita altruisme—sifat mementingkan kepentingan orang lain.

Dan karena Wanderer—sang Pengelana—adalah Jiwa, maka ia mempunyai semua sifat itu. Kecemasan, ketakutan, kejengkelan dan emosi-emosi lain yang tergabung dalam spektrum negatif akan menjadi keganjilan bagi dirinya yang baru tiba di bumi.

Tapi semua spektrum negatif itu terus didesak masuk oleh tubuh barunya—Melanie Stryder—dalam bentuk ingatan-ingatan yang begitu kental. Ingatan tentang Jared, kekasihnya dan Jamie, adik kandungnya. Tentu saja Wanderer tidak terbiasa dengan semua luapan emosi itu. Luapan-luapan emosi dan perasaan melimpah yang terkadang sulit ia jelaskan untuk dirinya sendiri.
Sebenarnya Wanderer mampu mengenyahkan sosok penghuni lama tubuhnya itu, untuk selama-lamanya. Tapi Wanderer adalah Jiwa, dan Jiwa selalu berpikir menggunakan hatinya. Ia tak tega dan tidak akan pernah tega untuk menghilangkan eksistensi makhluk lain; apalagi sesosok mahkluk asing yang terjebak dalam kepalanya.

Ia tetap membiarkan Melanie hidup sebagai musuh di dalam pikirannya sendiri. Tak jarang, sifat-sifat kasar manusia yang dimiliki inangnya tersebut menyakiti cara berpikirnya. Tapi Wanderer adalah jiwa yang kuat dan sangat baik hati. Ia mampu bertahan dari gerilya-gerilya Mel yang diselipkannya melalui potongan-potongan ingatan.

Tapi sesuatu yang tak pernah dibayangkan Mel terjadi: Wanderer lama-kelamaan juga ikut merasakan emosi-emosi yang dulu—bahkan sampai sekarang—Melanie rasakan terhadap Jamie dan Jared. Diam-diam Wanderer juga jatuh hati kepada kedua pria paling dicintai Mel itu.
Dan melalui pikiran-pikiran Melanie, Wanderer menyelidiki keberadaan Jamie dan Jared yang masih hidup dan bersembunyi.

Pikiran-pikiran itu membawa mereka berdua ke kawasan Gurun di antara Tucson dan Phoenix. Tempat persembunyian yang sempat Uncle Jeb—paman Melanie—sampaikan pada keponakannya itu saat ia masih manusia seutuhnya. Selama perjalanan itu pula, Wanderer dan Melanie memulai persahabatan mereka. Keduanya dipersatukan oleh maut yang hampir menjelang, saat tubuh mereka kekurangan cairan akibat teriknya gurun. Melalui rintangan yang begitu menyiksa, Wanderer akhirnya berhasil membawa tubuh mereka ke tempat persembunyian itu.
Tapi penyiksaan belum berhenti sampai di situ.

Mereka dibawa ke sebuah ruang bawah tanah oleh sekerumunan orang. Orang-orang yang berhasil bersembunyi dari incaran para jiwa di atas sana. Mereka dipimpin langsung oleh Jeb, seorang kakek tua nyentrik yang selalu mengacungkan senapan saat ide-ide uniknya ditentang penghuni lain.
Wanderer dan Melanie begitu terkejut sekaligus girang bukan kepalang, saat menyadari kalau Jared termasuk dari salah satu mereka yang membawanya ke sebuah ruang sempit di tempat persembunyian itu. Dengan kata lain, Jared dan Jamie berhasil meyelamatkan diri mereka.
Tapi Jared berbeda. Ia bahkan ingin membunuh tubuh mereka, saat menyadari kalau Mel telah disisipi. Tentu saja kenyataan itu menggerus hati keduanya: Melanie dan Wanderer, kedua sosok yang punya cinta permanen pada pria bertubuh besar itu. Bahkan Kyle, salah seorang dari mereka yang selamat, sempat dua kali melakukan percobaan pembunuhan pada tubuh Wanderer dan Melanie.
Mereka begitu beruntung hingga bisa tinggal lebih lama dan mendapat kepercayaan dari sebagian di antara orang-orang itu. Bahkan Wanderer punya nama baru di tempat tersebut. Mereka semua memanggilnya Wanda atas usul Jeb.

Waktu terus berjalan, dan Wanda semakin dipercaya dan terbukti kesetiaannya. Ia dihargai sebagaimana manusia lain dihargai di tempat itu. Tapi kabar bagus itu malah menyakitkan bagi Mel. Ia yang sepenuhnya tidak bisa lagi mengontrol tubuhnya mulai merasa terabaikan dan tidak diperlukan. Tapi Wanda berusaha keras meyakinkan sahabatnya—atau mungkin lebih tepat disebut saudarinya itu, bahwa setidaknya Jared dan Jamie masih sangat membutuhkannya.
Kebaikan dan ketulusan hati Wanda mendapat nilai lebih di hati Ian, salah seorang dari para survivor yang notabene-nya adalah adik Kyle.

Diam-diam Ian jatuh hati pada makhluk asing itu. Ia mencintai sosok di balik tubuh itu. Tapi Jared menanggapi perasaan Ian dengan salah paham. Jared tidak suka kalau Ian semakin dekat dengan Wanda, karena tubuh yang Wanda pakai adalah tubuh kekasihnya. Begitu pula Melanie, yang tidak suka kalau tubuhnya disentuh oleh Ian yang punya perasaan pada Wanda.

Tentu saja hal itu menjadi dilema yang sangat besar bagi Wanda. Ia juga punya perasaan spesial pada Ian, tapi di lain hal, ia juga mencintai Jared sama seperti cinta Mel pada pria itu. Kebimbangan ini pula yang akhirnya harus segera diselesaikan oleh Wanda.

Ia tidak ingin menyakiti salah seorang pun dari kerabatnya itu; baik Ian, Jared apalagi Melanie. Tapi ia juga tidak ingin kembali ke bangsanya. Wanda telah benar-benar jatuh hati pada makhluk-makhluk asing itu. Makhluk-makhluk asing yang sempat ia pikir sebagai monster karena sifat-sifat kasar mereka. Ia tahu bahwa ia sekarang adalah pengkhianat kaumnya. Benar-benar yakin hingga ia ingin mati dan dikebumikan di planet ini bila tiba waktunya.
Lantas apa yang akan dilakukan Wanda, demi membahagiakan semua pihak? Akankah ia mengembalikan raga yang ia tempati, kepada Mel? Lalu siapa Petals Open to the Moon? Sosok yang akhirnya dipacari Ian? Bagaimana perasaan Wanda?

Buku setebal 776 halaman ini benar-benar menggugah rasa penasaran pembaca di setiap halamannya. Menyajikan sebuah cerita yang begitu jarang diangkat penulis lain: sebuah cerita yang menggabungkan unsur Sains-Fantasi-Fiksi dengan seratus persen Roman yang menyayat-nyayat hati.
Buku keempat Stephenie Meyer ini, berhasil membawa pembaca mengenal lebih dalam tentang sifat-sifat dasar manusia yang ia rangkum dari sudut pandang makhluk luar angkasa yang begitu polos. Meyer menciptakan sebuah tokoh yang punya dua jiwa di satu tubuh—bukan tokoh psikotik yang berkepribadian ganda, tapi benar-benar dua jiwa berbeda yang tinggal di satu tubuh; sebuah rekaan fiksi yang luarbiasa dan tak terduga.

Para pembaca seakan diingatkan oleh Meyer—melalui karakter Wanda yang begitu tulus dan serbabaik—tentang kekerasan-kekerasan yang berasal dari hati kelabu para manusia. Bahwa cinta manusia sangat subyektif. Bahwa kita bahkan bisa saling membunuh—tak peduli kalau kita punya kode genetik yang sama atau kita berada di satu spesies yang seharusnya saling melindungi, demi diri sendiri dan apa yang kita yakini benar.

Meyer juga menyisipkan pesan, bahwa dalam kondisi apa pun, cinta dan hidup akan terus berjalan beriringan. Bahwa akan tetap ada cinta di mana hidup masih tergelar. Seperti ucapan terima kasihnya yang singkat di awal buku: untuk ibuku, Candy, yang mengajariku bahwa cinta adalah bagian terbaik dari cerita apa pun.

Dalam rangkuman panjang The Host, Meyer tampaknya masih sangat senang menyisipkan daerah-daerah yang dulu pernah ia tinggali semasa kanak-kanak. Seperti Tucson, Phoenix, Forks, dan Seattle, yang juga menjadi latar di buku-bukunya sebelum ini.

Namun sayang, mahakarya sastra ini dikotori dengan salah ketik di beberapa bagian, contohnya pada halaman 490: Kurasa belakangan ini kau terlalu banyak menyindir,” ujar Melanie kepadaku.
Seharusnya sebaris kalimat pikiran Melanie itu tidak menggunakan tanda petik di ujungnya, sebagaimana kalimat-kalimat pikiran Mel yang lain.

Tapi setitik kekurangan itu dapat dibalut rapi Meyer dengan frasa-frasa indah dalam novelnya ini. Semisal: ... Aku memperhatikan seorang lelaki berambut ikal warna jahe terang yang mencolok—dan ia yang paling jangkung (The Host, halaman 768). Maksudnya, bagaimana bisa seseorang mengamati warna jahe sehingga menyamakannya dengan warna rambut orang lain? Meyer juga menunjukan kejeniusannya dalam menulis dengan perumpamaan-perumpaan yang jarang digunakan penulis lain; semisal: Aku merasa marah, karena kata-kata ini masih memiliki kekuatan untuk melukaiku, untuk mendatangkan air mata yang menyengat mataku. Kucoba untuk tetap memikirkan Ian—ia sauhku, seperti Kyle menjadi sauh untuk Sunny—tapi sulit melakukannya saat Jared menyentuhku, dengan aroma tubuhnya di hidungku. Rasanya seperti mencoba melantunkan lagu dengan biola ketika seluruh alat musik perkusi sedang dibunyikan keras-keras... (The Host, halaman 733).

Selebihnya buku ini adalah sebuah gagasan romantis yang layak disandingkan dengan kisah-kisah cinta ternama sebelumnya: seromantis Titanic; setragis Romeo and Juliet; dan semembahagiakan Twilight.

0 comments :

Post a Comment