Friday, May 11, 2012

  |   No comments   |  

Ibu dan Lacur

“Lihat mereka, Nak,” ujar Marni di sepotong malam, seraya mengusap-usap perutnya—yang faktanya sedang berisi, namun tetap terlihat tipis. Maklum saja, dia juga baru tahu kalau ia sedang mengandung di malam yang sama. “Ibu sangat benci dengan perempuan-perempuan itu.” Ia memicingkan mata, memandang sinis pada beberapa perempuan yang duduk di sebuah meja elips di depan mejanya sendiri.

Sang jabang bayi, tentu saja hanya diam. Bahkan dewi pemberi kehidupan saja belum meniupkan satu ruh pun pada janin yang baru berusia empat minggu itu.

“Mereka itu nakal!” tambahnya, lantas tertawa singkat. Tawa merendahkan. “Lihat saja pakaiannya. Pusar kelihatan, dada dipampang separo, pakai rok mini tapi tidak pakai celana dalam. Dasar perempuan-perempuan nakal. Kerjanya menggoda pria pula. Nanti, jauh setelah kulit mereka mengendur, dada dan bokong mereka turun dan rambut-rambut wangi mereka berubah perak, baru tahu mereka betapa sia-sianya yang mereka lakukan sekarang.”

Si janin tetap diam. Tapi bagi Marni, bayinya sedang tekun mendengarkan nasihat-nasihatnya. Entah bagaimana bisa begitu, dia tidak peduli rahasia-Nya. Yang penting dia yakin bayinya mendengarkan.
“Jangan sampai kau jadi seperti mereka. Ibu pasti akan sangat membencimu,” bisik Marni. Takut perkataannya di dengar orang. Pasti akan sangat aneh bila dilihat orang lain: seorang wanita bicara pada diri sendiri.

“Hei, Marni!” seorang wanita setengah baya dengan dandanan menor menghampirinya. “Kau pikir uang akan datang tiba-tiba ke depan wajahmu? Jangan duduk-duduk saja. Sana layani Pak Tarno. Dia ada di kamar nomor dua puluh.”

Tutup kupingmu, Nak. Perempuan ini sedikit gila—tidak! Dia memang gila, Marni membatin. Berharap bayinya bias mendengar peringatannya.

Karena takut perempuan itu makin mencemari pendengaran bayinya, Marni bergegas enyah dari situ. Hampir bersamaan dengan seorang perempuan muda dan seksi yang tiba-tiba membisikan sesuatu ke telinga si perempuan menor.
Saat Marni belum menghilang dari pandangannya, perempuan berdandanan menor itu berteriak, “MARNI!! Kemari kau lonte!!”
Marni terkejut, karena teriakan barusan bukan hanya sekadar teriakan. Marni tahu perempuan menor itu sedang marah besar dan biasanya kalau sudah begitu, sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Dan walaupun tahu fakta tersebut, Marni tetap menuruti perintah wanita itu.

“Apa ini?” wanita itu melemparkan sesuatu ke muka Marni.
Marni setengah mati terkejut ketika menyadari benda apa yang baru saja dilempar ke mukanya. Keringat mendadak mengucur deras dari semua pori-porinya.

Test-pack siapa itu?” si perempuan menor semakin mengamuk, sampai semua orang di diskotik itu teralihkan perhatian mereka kepadanya.

Marni membatu. Dia setengah mati ketakutan.
“Gugurkan bayi itu besok, atau kau tau sendiri akibatnya.”

Tidak! Tidak! Aku tidak mau! Hati Marni memberontak. Tapi mulutnya tidak bergerak. Sehingga karena emosi yang tertahan, badannya gemetar sampai akhirnya dia menangis tersedu.
“Dengar yang kubilang? Lakukan saja!” perempuan menor itu pergi meninggalkan Marni, karena dia tidak suka melihat seseorang menangis. Lagipula, dia tidak ingin membuat buruk citra diskotiknya.
Marni masih bergeming. Pikirannya kacau-balau, tapi dia harus memutuskan dengan cepat, lantas ia berkata pada bayinya, “Maafkan Ibu, Nak. Ibu harus menuruti perintah perempuan itu. Ibu harus menurutinya supaya bias tetap bekerja. Tapi, kalaupun ibu akhirnya harus menyingkirkanmu, itu hanya untuk sementara. Karena bagaimapun ceritanya—akhir kisah ini—kau tetap anakku, dan aku tetap ibumu.”

0 comments :

Post a Comment