Sunday, May 13, 2012

  |   No comments   |  

Sepenggal Kisah Tentang Hitam dan Hampa

Oleh: Gadis Merah Jambu (hadissaprimanda.blogspot.com)

                Aku tak tau pasti kapan pertama kali aku bertemu dengannya. Yang aku ingat, ia datang dengan wajah lelah karena sebelumnya terburu-buru untuk masuk ke ruangan tempat aku dan dia kini bernaung. Tanpa pikir panjang ia langsung saja duduk tanpa memerhatikan sekeliling. Tak jauh dari tempatku duduk pula. Sebelum akhirnya ia disuruh pindah ke bagian lebih dalam dari ruangan itu. Kesan pertama yang aku ingat adalah cupu, polos, dan dagu belah. Ku panggil dia adik dagu belah. Semakin takjub tatkala tau nama lengkapnya yang diawali dengan kata “Aulia”. Sebuah nama yang hingga kini masih membuat jantungku bergetar aneh. 

                Sejak itulah aku entah kenapa mulai lebih sering memerhatikannya dibanding manusia baru lain yang juga berkunjung ke rumah itu. Sehari-hari, ia didominasi dengan kemeja lengan panjang. Serta tas ranselnya. Sehari-hari pula, ia lebih banyak diam. Sibuk dengan dunianya sendiri yang tak bisa dimasuki oleh orang lain. Punya tameng transparan yang membuat orang lain hanya mampu berdiri di sekitarnya tanpa sanggup mendekat. Ia hanya sesekali berbicara. Hanya yang penting-penting saja. Dan itu pun dengan bahasa yang tak mudah dicerna. Sungguh, ia adalah orang aneh.
                Keanehan itu semakin terpancar dari akun jejaring sosialnya. Penasaran telah mengantarku untuk membuka detail-detail kehidupannya yang lain. Dari jenis buku, jenis musik, dan quotes yang ia pampangkan di situ, aku berkonklusi kalau asumsiku memang tak salah. Dia aneh. Selera buku dan musiknya tidak seperti orang kebanyakan.

                Perlahan, aku mulai punya forum dengannya. Aku mulai bisa melepas dahaga penasaranku dengan bertanya hal-hal lain tentang dirinya. Tapi tetap saja tak mudah menjadikannya lawan bicara. Sepanjang apa pun kau bertanya, ia hanya memberi jawaban minimal. Seluas apa pun penjabaranmu mengenai suatu masalah, paling dia hanya akan tersenyum dan menimpali dengan dua kata.

                Waktu pernah membiarkan aku  berada di rumah itu berdua saja dengannya. Hampir  satu jam kami bernaung dengan iklim sepi. Namun tak ada satu pun alunan kata yang keluar. Benar-benar aneh. Terlebih aku bukan orang yang bisa membuka pembicaraan dengan siapa saja. Ia diam, aku juga turut diam.

                Jujur, mengenal dia di awal hubungan kami sungguh melelahkan. Ia benar-benar tak banyak menggubrisku. Namun tidak dengan orang lain. Dan ini tentu saja membuatku kesal. Kepada beberapa temanku yang lain, ia bisa terbuka. Dan bercerita.

                Ia sosok yang berbeda saat di dunia maya dengan dunia nyata. Ia lebih nyata di dunia maya, sementara maya di dunia nyata. Hal itu yang aku tangkap dari uraian pesan singkat yang ia kirimkan kepada temanku. Di dunia maya, ia bisa jadi orang yang apabila kau berbicara dengannya, kau tidak akan kehilangan arah. Ia menjadi orang paling cerewet dan menanggapi apa pun yang kau tuliskan. Teman komunikasi dua arah yang baik. Satu lagi, bukti keanehannya.

                Di balik itu, ia ilustrator yang andal. Aku terkesima saat ia menitipkan potret wajah temanku tadi dalam sehelai kertas. Tak ada cacat, serupa dengan aslinya. Saat itu, siapa pun yang melihat gambar itu berdecak kagum. Pujian-pujian mengalir. Keberuntungan memang milik si teman tadi. Aku sangat iri kala itu. Ingin pula aku yang dijadikan objek lukis si ilustrator andal.

                Ia juga ahli menulis. Cerpen “Cermin”-nya adalah karya pertama yang aku baca. Cerita yang rumit, bahkan hingga kini aku tak mampu memahami pesan apa yang ingin disampaikannya. Sekali lagi, dia memang aneh.

                Lalu, ia mulai punya kelompok sendiri di rumah itu. Kelompok yang katanya punya keanehan yang sama dengannya. Keanehan yang menurutku mereka sesuaikan sendiri dengan pribadi si adik dagu belah. Mungkin ini wujud kecemburuanku kala itu. Tapi itu benar. Terlalu banyak fakta hingga tak bisa ku ungkapkan. Salah satu yang paling aku ingat adalah demam Adele yang tiba-tiba menyerang kelompok itu. Padahal sebelumnya, hanya satu orang yang menggaungkan nama si penyayi. Itu pun hanya beberapa lagu.

                Dan ia juga pandai menyanyi. Suaranya khas, serak basah, lembut dan menenangkan. Aku tak bisa melupakan kesan berduet dengannya menyanyikan “Need you know” dari Lady Antebellum. Sebuah suasana yang tidak sengaja, sementara saat itu ia masih tersipu malu saat berhadapan denganku.

***

                Ia menamai dirinya Hitam dan Hampa. Sebuah kombinasi unik dari sebuah warna dasar dengan kondisi kosong dan hening. Sepertinya, hitam menggambarkan tetang pribadinya yang tak mudah dijamah orang lain. Hanya hitam, sehingga orang hanya mampu meraba. Menerka seperti apa dia yang sesungguhnya. Atau, bisa juga ia adalah orang yang rumit. Terlalu banyak hal yang merangkai dirinya. Layaknya ribuan warna yang bila dicampurkan semua akan berujung hitam.

                Lalu hampa. Kosong. Hening. Tanpa sesuatu. Mungkin ia masih mencari. Siapa dan dimana sesuatu yang bisa benar-benar paham akan dirinya. Atau hampa karena setiap orang yang berusaha mencarinya dalam kegelapan akan dirinya hanya akan menemukan kehampaan. Kosong. Hening. Tanpa sesuatu. Memang hanya dia yang paham betul, seperti apa dan untuk apa dia ada. 

                Ini hanya sepenggal dari kisahnya. Setidaknya ini bisa memberikan gambaran, seperti apa Hitam dan Hampa itu berpadu.

-140512- 00:10 am
When he asked about how complicated he is, the complicated man that I’ve ever meet !!

0 comments :

Post a Comment