Tuesday, May 29, 2012

  |   No comments   |  

Nephillim

“Umurku sudah 82 tahun, tapi ingatanku tentang hari itu masih sangat jelas, Sayang. Percayalah, tak kan ada yang terlewatkan jika kuceritakan lagi kisah ini padamu,” ujar nenek sambil mengelus-elus rambutku.
“Kalau begitu, ceritakanlah, Nek,” pintaku.
Dan nenek mulai bercerita.

***

Rita muda sedang menyulam di taman belakang rumahnya pagi itu. Ditemani Bruce Springsteen, ia tekun menyatukan tiap benang dengan jarum. Tiba-tiba ia dikejutkan bunyi gemerisik kasar dari semak-semak di taman lily miliknya.

“Siapa di sana?” katanya karena kaget. Ia sebenarnya tidak yakin kalau ada orang di semak-semak  itu, karena halaman belakang rumahnya dipagari kayu mahoni setinggi dua meter. Dan jika benar ada orang di sana, ia pasti akan melihat orang itu memanjat pagarnya.

Sejenak hening, dan Rita sempat berharap kalau suara gemerisik itu adalah suara yang dibuat Serena, kucingnya. Tapi seseorang berjubah hitam yang keluar dari semak-semak itu berhasil membuat Rita menjerit.
“Kumohon jangan menjerit,” kata orang itu. Kepalanya ditutupi jubah sehingga Rita tak bisa melihat wajahnya.

“Siapa kau? Mau apa kau di sini?” Rita hampir menangis saking takut. Tapi ia berusaha tegar dan berani.

“Aku Mlatinhdhra. Kau bisa memanggilku M,” katanya. Sepertinya ia seorang pria. Dan dari tingginya, ia pasti pria dewasa. “Aku sedang terluka, Rita... bisakah kau membantuku?”

Pria itu mendekat, dan Rita semakin takut. “Darimana kau tahu namaku?”

“Aku malaikat. Kami bisa membaca pikiran,” katanya sambil melepaskan jubah hitamnya. Dan ia sedang tersenyum. Meski terlihat jelas ia sedang menahan sakit di saat bersamaan. Yang membuat Rita terkejut adalah sepasang sayap di belakang pria itu. Sayap dengan bulu putih dan paling indah yang pernah Rita lihat.
Rita bahkan hampir menangis karena kagum. Makhluk yang beberapa detik lalu sempat membuatnya begitu ketakutan, ternyata adalah makhluk paling indah yang pernah matanya saksikan. Aku pasti sedang bermimpi, pikirnya.

“Tidak, Cantik. Kau tidak sedang bermimpi,” M sudah berdiri tepat di depan Rita yang masih melotot kaget. Dan wajah M, entah bagaimana, begitu memukau dan indah. Rita tak pernah melihat pria setampan M. Bahkan Rudy, suaminy, yang merupakan aktor opera sabun tertampan di kota kecil mereka tak ada apa-apanya dibandingkan M. Dan bagaimana kau bisa memanggilku cantik saat kau ada di dekatku, pikirnya lagi.

M tertawa membaca pikiran Rita, tapi tak lama malah mengaduh. Luka di lengannya yang membuatnya mengaduh. “Kenapa lenganmu?” tanya Rita. Ia mulai terbiasa dengan keanehan yang sedang dihadapinya. Fokusnya juga sudah dialihkan oleh luka di lengan M.

“Seseorang menembakku di hutan. Ia mungkin kaget karena melihatku,” jawab M.

“Tunggulah sebentar, sku akan mengobatimu,” pinta Rita.

***

“Lalu apa yang terjadi, Nek?”

“Tentu saja aku mengobatinya, Bodoh!” Nenek menepuk lembut kepalaku. “Dan sejak hari itu kami berteman begitu akrab, Celia.” Nenek tersenyum.

Lalu kami berdua diam sejenak.

“Apakah Mlatinhdhra nyata, Nek?”

Nenek memelototiku. “Memangnya kau tidak percaya, Celia?”

“Tentu saja aku percaya.”

“Lalu, kenapa kau bertanya begitu?”

Aku diam. Tapi sungguh aku percaya cerita nenek tentang Mlatinhdhra. “Kalian masih sering bertemu?”
Nenenk tertawa. “Tidak, Sayang. Tentu saja tidak. Terakhir kali kami bertemu saat aku mengandung ibumu. Sejak itu M menghilang. Tapi belakangan aku sering bermimpi tentangnya.” Tawa nenek berubah jadi senyum pilu. Ia tersenyum, tapi garis mukanya sedih. “Mungkin aku hanya merindukannya,” tambah nenek.

“Hai Celia Sayang! Ayo kita pulang? Suster bilang nenek harus istirahat.” Mendadak Ibu masuk ke kamar nenek dan mengajakku pulang. Tapi sebelum pulang, nenek sempat membisikkan sesuatu padaku. Ia bilang, “Sebenarnya kakekmu bukanlah Rudy.”

Tapi aku tidak mengerti maksudnya. Bagaimana mungkin kakek Rudy bukan kakekku? Ia adalah ayah Ibuku, tentu saja dia adalah kakekku. Nenek terkadang memang suka bergurau.

“Nenek tadi cerita apa saja? Tentang Mlatinhdhra lagi?” tanya ibu saat menyelimutiku sebelum tidur.
Aku mengangguk.

Dasar Ibu! Selalu saja menceritakan imajinasi berlebihannya pada Celia, pikir ibu.

“Tapi nenek tidak berimajinasi, Bu,” celetukku.

“Apa, Celia? Kau bilang apa barusan?”

Sialan! Barusan ibu memang tidak bicara apa pun. Dia hanya berpikir.

“Tidak, Bu. Bukan apa-apa,” kilahku.

0 comments :

Post a Comment